Suara tangis bayi memecah kesunyian ruang tunggu rumah sakit. Tangis kecil yang terdengar nyaring, dan begitu polos.
Nara duduk di sudut, menyaksikan keluarganya berkerumun di dekat inkubator kaca. Adiknya, Renata, terbaring lemah, tetapi wajahnya memancarkan kelegaan. Mantan tunangan Nara, Endra, memegang lembut tangan Renata, sesekali mencium keningnya dengan penuh kasih sayang.
Bayi mungil itu, menggerakkan tangan dan kakinya dengan lemah. Satu per satu anggota keluarga mendekat, memperlihatkan ekspresi takjub dan sayang.
“Cantik sekali, ya … wajahnya mirip sekali dengan Endra,” kata ibu Nara, suaranya bergetar menahan haru.
Nara menggigit bibirnya. Tatapannya kosong menatap lantai ubin yang dingin.
“Iya, mirip sekali dengan Endra, ya … matanya, hidungnya … bibirnya juga.” Ibunya Endra menambahkan, suaranya terdengar riang.
Lagi, pujian demi pujian ditujukan pada bayi mungil perempuan itu. Seluruh perhatian sedang tercurah pada bayi yang usianya baru beberapa jam itu.
“Katanya sih, kalau bayi wajahnya mirip sekali dengan papanya, artinya papanya yang cintanya paling besar,” kata ibu Renata yang tampaknya terlalu bahagia menimang cucu pertama, sampai-sampai tidak menyadari anaknya yang lain sedang menahan tangis.
“Naf-sunya kali yang paling besar waktu bikin,” sahut Bibi yang juga ikut antusias menyambut kelahiran bayi Renata.
Perkataan Bibi membuat semua orang tertawa. Mereka semua tampak bahagia. Semuanya, kecuali Nara.
Hati Nara terasa diperas dengan kuat. Setiap kata yang terlontar, tiap tawa dan bisikan penuh kasih sayang itu, adalah tamparan bagi hatinya yang hancur.
Ia merasa sendiri, terasing di tengah keluarga yang sedang bergembira. Air matanya jatuh membasahi pipi, lambat tetapi mampu membanjiri hatinya.
Nara memejamkan mata, mencoba menghalau bayangan-bayangan yang terus berputar dalam kepalanya. Bayangan Endra yang tersenyum penuh kasih sayang kepada bayi mungil itu, bayi perempuan yang sangat mirip dengannya.
‘Ironis sekali. Lelaki yang dulu berjanji akan mencintaiku seumur hidup, kini mendekap perempuan lain dengan kasih sayang yang dulu pernah dia berikan kepadaku.’
‘Lima tahun. Lima tahun aku bersamanya. Lima tahun aku membangun mimpi, merencanakan masa depan, mencari tempat untuk berteduh dari terik matahari, tetapi akhirnya aku hanya merasakan dinginnya lantai setelah kepergiannya.’
Nara merasakan tangannya gemetar. Ia mencengkeram erat roknya, mencoba untuk mengendalikan gemetar tubuhnya. Bayi itu … setiap lenguh dan tangisnya adalah pengingat akan kehilangan dan pengkhianatan.
Udara di ruangan itu terasa begitu berat, dipenuhi oleh kesedihan yang tersembunyi di balik senyum-senyum terpaksa. Tangis bayi yang seharusnya menjadi tanda sukacita, justru membangkitkan luka yang menganga di hati Nara. Kesunyian di sudut ruangan itu seakan berbisik, mengisahkan kisah cinta yang hancur dan harapan yang sirna.
Rasanya ia ingin berteriak, ingin memberitahu mereka semua betapa perih hatinya. Ingin menjelaskan bahwa di balik senyum yang dipaksakannya, ada luka menganga yang tak kunjung sembuh. Ingin mengatakan bahwa dia juga ingin menikah dan punya anak, ingin merasakan cinta seorang ibu.
Namun, kata-kata itu terhambat di tenggorokannya. Hanya isakan-isakan kecil yang keluar, sunyi, dan pilu.
Bayangan-bayangan masa lalu terus menghantuinya. Kenangan indah bersama Endra, masa-masa penuh cinta dan harapan, semua hancur lebur seperti debu yang beterbangan ditiup angin. Tangis bayi mungil itu semakin menambah kesedihan yang mencekam hatinya. Seolah-olah seluruh dunia sedang melawannya, sedangkan Nara hanya seorang diri yang tenggelam dalam samudra kesedihan yang tak bertepi.
Endra, sesekali melirik Nara, tetapi hanya sekilas. Seolah tak ingin mengusik kesedihannya. Entah karena merasa bersalah, atau hanya sekadar ketidaknyamanan.
Nara tak peduli. Karena tak ada yang akan mampu mengobati luka hatinya selain waktu, mungkin. Atau mungkin tidak ada obat sama sekali.
Nara kini melirik ke arah Endra yang masih setia mengusap kepala Renata. Pandangan yang begitu mesra …
‘Senyum yang begitu manis … itu yang dulu selalu dia berikan kepadaku. Sekarang, semuanya milik orang lain.’ Air mata Nara jatuh membasahi pipinya. ‘Aku kehilangan segalanya … aku kehilangan dia, aku kehilangan masa depanku.’
Nara bangkit, meninggalkan ruangan itu dengan tubuh yang terasa lemas. Langkahnya gontai menyusuri lorong rumah sakit yang sunyi. Lalu, ia menjeda langkahnya sebentar di dekat jendela.
Dari jendela itu Nara dapat melihat gemerlap kota dari atas rumah sakit, tetapi hanya terlihat buram oleh air mata yang mengalir di pipinya. Cahaya kota tak mampu menerangi kegelapan yang mencengkeram hatinya.
Kota yang begitu ramai itu terasa begitu sunyi baginya. Hanya ada dirinya, kesedihan, dan bayangan Endra yang memeluk perempuan lain.
Ia bertanya-tanya, “Apakah ada harapan yang tersisa untukku? Apakah hatiku akan sembuh dari luka yang dalam ini? Ataukah aku akan terus terjebak dalam kegelapan ini selamanya?”
Tanpa sadar, Nara melanjutkan langkahnya. Menikmati kesedihannya di dalam bus kota yang membawanya pulang.
Lagu-lagu patah hati mengiringi perjalanannya yang lelah. Dia seperti hancur sendirian tanpa ada seorang pun yang menghiburnya.
Sampai akhirnya, sebuah pesan mencuri perhatiannya. Bukan pesan dari ibu atau ayahnya, melainkan pesan dari seorang yang tak terduga.
Undangan pesta dari Anya, sahabatnya saat SMA, tiba di tengah kepedihan Nara. Anya menuliskan alamat yang samar dan meminta Nara untuk datang setelah mendengar berita bahwa Renata sudah melahirkan.
“Kamu harus datang. Kalau tidak, aku akan memblokir nomormu!”
Peringatan keras bernada ancaman dari Anya membuat Nara sedikit terhibur. Meski sedikit ragu, tetapi rindu akan sahabatnya membuat Nara mengiyakan.
Sesampainya di rumah, ia memilih gaun hitam sederhana, menyisir rambut dan mengikatnya tinggi-tinggi, tidak seperti biasanya.
Begitu sampai di tempat tujuan, Nara tercengang. Ini bukanlah pesta rumah biasa.
Bangunan megah berdesain futuristik, dengan penjagaan ketat, menyambutnya. Musik berdebar keras dari dalam, mengungkapkan sebuah night club mewah yang tak pernah terbayangkan Nara.
Ini adalah dunia yang berbeda, jauh dari kehidupan sederhana Nara.
Di dalam, lampu-lampu berwarna-warni berkelap-kelip, irama musik menghentak, dan orang-orang berdansa dengan liar.
“Nara!” Anya menyambutnya dengan hangat, kemudian memaksanya untuk bergabung dengan teman-teman Anya yang lainnya.
“Kenapa kamu bikin pesta di sini sih? Kamu kan tahu, aku nggak biasa ….”
Anya menutup mulut Nara dengan jari telunjuknya dan menjawab, “Karena aku tahu, kamu butuh tempat ini untuk melampiaskan kesedihanmu. Di sini ….” Anya melirik ke sekeliling sebelum kembali melanjutkan, “Banyak cowok-cowok tajir dan tampan. Kamu bisa dapat yang lebih dari seekor Endra!”
Anya lalu menyeret Nara untuk duduk di meja yang telah dia dan teman-temannya pesan. Mereka bercanda, bernyanyi, dan menawarkan koktail beraneka warna.
Awalnya Nara menolak, tetapi Anya dan teman-temannya meyakinkan Nara untuk minum.
“Ayolah, Nara! Alkohol akan menghilangkan kesedihanmu!” seru Dania, teman Anya.
“Tapi, aku nggak ….”
“Cobain dulu deh, kalau nggak enak nggak usah lanjut!” Anya memaksa dan memindahkan gelas minuman itu ke tangan Nara.
Terpaksa, Nara meminum koktail yang ditawarkan. Satu demi satu gelasnya berkurang. Ia mencoba untuk melupakan sejenak rasa sakitnya.
Namun, alkohol justru membuka tabir kesedihan di hati Nara. Malam semakin larut, teman-temannya sudah mulai beranjak pulang.
Nara menggeleng saat Anya mengajaknya pulang. “Aku masih ingin di sini,” katanya lirih. Kepalanya terasa berat, pikirannya kacau.
“Kamu terlalu banyak minum, Nara. Kita harus pulang,” kata Anya sedikit cemas, meski dirinya sendiri sudah mabuk.
“Nggak,” sahut Nara, suaranya sedikit serak. “Aku perlu ini. Aku harus … harus … melupakan semuanya.”
Dengan langkah gontai, Nara mendekati meja bar. Ia ingin memesan minuman lagi.
Di tengah hiruk pikuk musik dan suara riuh, matanya menangkap sebuah gelas berisi cairan berwarna merah tua. Tanpa berpikir panjang, Nara merebut gelas itu dari tangan seorang pria yang duduk di sebelahnya.
“Aku haus sekali,” ucap Nara, suaranya hampir tak terdengar di antara gemuruh musik.
Pria itu menatapnya dengan tatapan heran. Baru saja minumannya dirampas di depan mata. Oleh seorang gadis yang terlihat sangat mabuk.
Nara menghabiskan minuman itu dalam sekali teguk. Cairan itu membakar tenggorokannya, membuat matanya berkaca-kaca.
“Hei, itu minumanku!” seru pria itu.
“Maaf,” ucap Nara dengan lirih.
Dia mulai mengoceh, suaranya semakin tinggi. “Mereka … mereka mengkhianatiku! Baji ngan itu … Endra … dan Renata … si ja lang itu!” ucapnya terbata-bata. “Aku akan minum sampai mabuk. Aku akan maki mereka sampai puas!” Air matanya kini bercampur dengan alkohol, menetes deras.
Gadis itu kembali meneguk minuman di depan pria asing tadi, dalam sekali teguk. Suaranya semakin keras, menggema di tengah hiruk pikuk suasana klub malam. Ia tidak peduli siapa yang mendengarnya. Ia hanya ingin melampiaskan rasa sakitnya.
Malam ini, ia ingin bebas. Bebas memaki, bebas menangis, bebas tenggelam dalam kesedihannya sendiri.
“Nona, ini minumanmu. Itu bukan milikmu!” seru bartender memperingatkan Nara.
“Biarkan saja! Aku tidak keberatan,” sahut pria asing itu yang kemudian memandangi Nara dengan intens.
Dia tersenyum, seolah ikut merasa lega saat Nara berteriak memaki-maki nama Endra dan Renata.
“She is so cute!”
***
Halo Assalamualaikum, aku Itta Haruka. Ketemu lagi denganku di sini setelah sekian purnama. Mohon dukungannya dengan kasih like dan komen, dan wajib bintang 5 ya. Kalau mau kasih sesajen kembang sama kopi di kolom hadiah, aku akan rajin update 🤭
Cahaya matahari pagi menerobos celah tirai, menciptakan bayangan-bayangan samar di dalam kamar hotel. Nara terbangun dengan kepala yang terasa berat dan pandangan yang masih kabur. Ia mencoba menggerakkan tangan, tetapi tubuhnya terasa berat dan lemas.
Perlahan, kesadaran mulai kembali. Ia merasakan sesuatu yang tidak beres. Lalu, sebuah firasat buruk tiba-tiba menyergapnya.
“Aku kenapa?” gumamnya pelan.
Dengan susah payah, Nara membuka matanya. Pandangannya masih buram, tetapi rasa dingin dan sesuatu yang aneh membuat ia secara naluriah menarik selimut. Di bawah selimut, ia merasakan tubuh telan-jangnya dibalut hanya dengan sebuah handuk kimono tipis.
Dunia seakan terbalik. Cahaya pagi yang seharusnya membangkitkan rasa tenang, justru terasa seperti kilatan petir yang menyambar-nyambar.
“Ini di mana? Kenapa aku di sini?” Suaranya yang parau terdengar bergetar.
Ingatannya masih kabur, hanya fragmen-fragmen kejadian semalam yang muncul sesekali di pikirannya, membuatnya semakin panik dan bingung. Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tetapi karena perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Ia seperti korban yang terjebak dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.
Kemudian, Nara melihatnya. Bentuk tubuh seorang pria tengah tidur dengan nyenyak tepat di sampingnya.
Pria itu hanya mengenakan handuk kimono yang sama tipisnya, sama persis seperti yang dikenakannya. Tubuhnya yang tegap terlihat jelas di bawah kain tipis tersebut.
“Nggak … nggak mungkin!”
Nara terkesiap, merasakan hawa dingin yang semakin menusuk. Bukan hanya dinginnya AC, tetapi juga dinginnya ketakutan yang mencengkeram jiwanya. Ingatannya tentang semalam benar-benar hampa, kosong, hanya kegelapan yang mencekik.
Keheningan di kamar itu terasa sangat mencekam, hanya diselingi oleh napas teratur pria di samping Nara. Bukan keheningan yang menenangkan, melainkan keheningan yang mematikan.
Wajah Nara pucat pasi. Ia benar-benar tidak ingat apa yang terjadi semalam. Kejadian itu membuatnya merasa takut sekaligus bingung. Tubuhnya terasa membeku, seakan waktu berhenti saat itu juga.
Setiap detak jantungnya terasa sangat keras, menggelegar di telinga. Ia merasa terjebak, terperangkap dalam perangkap yang dibuatnya sendiri.
“Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan semalam?” gumam Nara, kemudian menggigit bibir dengan mata menyipit.
Pria itu mulai terusik dan perlahan membuka matanya. Wajahnya terlihat tampan, tetapi senyumnya yang ramah tidak bisa menghilangkan rasa takut yang mengguncang jiwa Nara.
“Selamat pagi,” sapa pria itu. Suaranya menenangkan seolah ingin menghilangkan semua ketakutan Nara dengan mudah, tetapi itu hanya semakin membuatnya merasa terancam.
“Si … siapa kamu?” tanya Nara, suaranya hampir tak terdengar, bergetar dengan hebat.
“Devan,” jawab pria itu. “Kita bertemu di Klub Heaven semalam.”
Kata-kata itu menciptakan getaran yang semakin memperkuat rasa takut Nara. Ia mengingatnya, pria yang minumannya ia rampas di klub malam. Pria yang kemudian menjadi begitu dekat dengannya.
Nara terdiam. Ingatannya masih samar-samar. Ia ingat saat mabuk, ia ingat saat melampiaskan amarah, tetapi sama sekali tidak ingat apa yang terjadi setelahnya.
Dari semua ingatan samar itu, Nara hanya menyadari satu hal, mereka berdua sekarang berada di bawah selimut yang sama, hanya dengan handuk kimono sebagai penutup tubuh.
Rasa malu, panik, dan kebingungan memenuhi benak Nara. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa terjebak dalam situasi yang sangat memalukan.
“Kita … kita nggak melakukan ….” Nara tergagap, kata-kata menumpuk di tenggorokannya, membuatnya semakin sulit bernapas.
Sementara itu, Devan mengangguk dengan senyum tipis. Tampilan ramahnya bertolak belakang dengan perasaan terancam yang menyergap Nara.
“Kita melakukannya,” jawab Devan terdengar begitu ringan.
Jawaban Devan membuat Nara menyadari bahwa ia telah membuat kesalahan yang sangat besar. Kesalahan yang akan mengubah hidupnya selamanya.
“Aku akan bertanggung jawab,” ujar Devan, senyum tipis mengembang di bibirnya.
Kata-kata itu terdengar begitu tenang, bahkan hampir acuh, berbeda dengan rasa gelisah yang masih membayangi Nara. Ingatan semalam masih samar, potongan-potongan kejadian yang membingungkan, meninggalkan rasa hampa dan sesal yang mendalam di hati Nara.
Nara memeluk erat selimutnya. Air mata diam-diam menetes. Dia merasakan beban berat di dada, sebuah rasa bersalah yang tak terperi.
Kejadian semalam … sebuah kekacauan yang tak mampu ia pahami sepenuhnya. Itu terasa seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan mengerikan, meninggalkan jejak pertanyaan yang mengganjal.
“Aku akan menikahimu secepatnya,” lanjut Devan, suaranya masih tenang, tanpa sedikit pun raut khawatir. “Aku tidak ingin kamu menanggung beban ini sendirian. Apa lagi … jika nanti … kita harus menghadapi konsekuensi lainnya. Seperti kehamilan.” Ia menatap Nara, tatapannya seakan-akan membaca pikiran Nara.
Nara terisak, kepalanya tertunduk. Kata-kata Devan bagai pukulan telak yang membuatnya semakin terpuruk. Ia menyesali kejadian semalam, menyesali kepercayaan dirinya yang rapuh hingga terjerumus dalam situasi ini.
Nara belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, tetapi ia merasakan sebuah kehampaan yang mencekam. Ketakutan akan masa depan yang tak pasti menguasai dirinya.
“Tapi ….” Nara masih terisak, suaranya hampir tak terdengar. “Bagaimana … bagaimana ini bisa terjadi?”
Devan meraih tangan Nara, sentuhannya terasa biasa saja, tidak mengandung emosi meyakinkan. “Semuanya sudah terjadi. Yang penting sekarang, kita akan menyelesaikan semuanya dengan baik. Pernikahan kita akan menutup semua ini,” jawab Devan. Nada suaranya tetap tenang, memberikan kesan bahwa ia sudah mempersiapkan semuanya dengan matang.
Nara masih terdiam, sembari mengingat dengan keras apa yang terjadi semalam. Air matanya terus mengalir. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Devan, sesuatu yang membuatnya semakin takut dan bingung.
Lalu, sekelebat bayangan mulai muncul. Sepertinya, semalam memang Nara yang memulai duluan.
‘Kamu … kamu nggak kalah tampan dari Endra. Menurutmu, aku cantik nggak?’
Dalam bayangan itu, Nara yang dikuasai oleh alkohol mulai membelai wajah Devan yang tampan. Dia seperti wanita perayu yang handal, padahal selama ini tidak pernah dia lakukan pada siapa pun.
Ingatan itu hanya muncul dengan samar, lalu kembali menghilang. Sampai akhirnya, suara Devan kembali terdengar.
“Nara, kamu akan mengizinkanku bertanggung jawab dengan cara menikahimu, ‘kan?”
Pernikahan? Apakah itu solusi yang tepat? Atau … apakah ini hanya cara Devan untuk menutupi sesuatu? Keraguan itu semakin menguat dalam hatinya.
***
Kalau kalian jadi Nara, kalian terima apa tolak aja gaess? Komen yak.. Jangan lupa kembang kopinya 💋💋
“Aku minta maaf atas kejadian semalam,” kata Devan kembali memecah keheningan. Suaranya terdengar lembut, tetapi tidak mengurangi rasa cemas Nara. “Bolehkah aku minta nomor teleponmu?”
Nara masih terpaku, menatap Devan dengan mata yang berkaca-kaca. Perlahan, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar hotel.
Di atas meja kecil dekat ranjang, Nara melihat tasnya. Dengan tangan gemetar, ia meraih tas itu untuk mencari ponselnya.
Saat menyalakan ponsel yang sengaja dimatikan itu, sebuah pesan masuk datang dari Anya. Lalu beberapa pesan lagi bermunculan, semua dari Anya, bertanya-tanya tentang keadaannya.
Rasa terkejut dan sekaligus amarah bercampur aduk dalam hati Nara. ‘Anya … dia meninggalkanku?’ Pikirannya melayang kembali pada pesta semalam.
Nara ingat, Anya dan teman-temannya yang memaksanya minum, tetapi tidak ingat bagaimana ia bisa sampai di kamar hotel ini. Atau bagaimana ia berada di ranjang yang sama dengan Devan.
Gadis itu menoleh ke arah Devan dengan tatapannya yang tajam. Ia tidak langsung memberikan nomor teleponnya. “Semalam … apakah aku sendiri?” tanya Nara lirih, suaranya masih bergetar.
Devan terlihat sedikit terkejut dengan pertanyaan Nara, tetapi ia segera menjawab. “Tidak,” jawabnya. “Semalam, temanmu, Anya, menitipkanmu padaku setelah aku memperkenalkan diri.” Devan melanjutkan ceritanya, “Kamu terus berteriak dan menolak pulang. Anya bilang kamu sudah mabuk berat dan dia tidak sanggup membawamu pulang. Dia memintaku untuk mengantarmu ke hotel karena menurutnya aku orang yang bisa dipercaya.”
Penjelasan Devan membuat kening Nara berkerut. “Kenapa Anya mempercayaimu?” tanya Nara, suaranya masih bergetar, tetapi nada suaranya sudah sedikit lebih tenang. “Aku tidak mengenalmu … kenapa dia bisa mempercayaimu?”
Devan tersenyum tipis, sedikit getir. “Mungkin karena Anya adalah salah satu anak buahku di kantor,” jawabnya.
Mendengar penjelasan itu, Nara terkesiap. Ia menatap Devan dengan tatapan yang sulit diartikan. Syok, kebingungan, dan sedikit ketidakpercayaan terpancar dari matanya.
‘Anya … anak buahnya Devan?!’
Setelah beberapa saat terdiam, Nara memberanikan diri untuk bertanya tentang hal yang paling membuatnya resah. Suaranya hampir tak terdengar, “Lalu … kenapa … kenapa kita … bisa berhubungan semalam?”
Pertanyaan itu keluar dengan terbata-bata. Jelas Nara merasa sangat malu menanyakannya, apalagi secuil ingatan itu masih menimbulkan keraguan. Benarkah dia seagresif seperti dalam ingatan samar itu?
Devan tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, “Kamu … kamu terpesona denganku,” jawab Devan, suaranya sedikit ragu. Wajahnya mulai memerah, tampak sedikit canggung. “Kamu mabuk berat. Kamu terus memuji ketampananku … berulang kali. Sejak kita berdua berdua di lounge sampai di sini. Kamu tidak ingat ya?”
Penjelasan Devan membuat Nara semakin malu. Ingatannya tentang semalam masih sangat kabur, hanya cuplikan-cuplikan kejadian yang tidak berurutan. Ia merasa seperti korban yang pikirannya dimanipulasi oleh pengaruh alkohol dan situasi.
Nara menggeleng pelan, tatapannya kosong, “Aku… aku tidak ingat,” jawabnya lirih, jelas dia merasa sangat malu. “Sama sekali tidak ingat.”
Devan menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sedikit rasa simpati, tetapi juga sesuatu yang menyerupai ketidakpastian. “Kamu sangat mabuk. Kamu terus mengulangi kata-kata yang sama tentang Endra dan Renata. Kamu juga terus memuji ketampananku … sampai kamu menciumku, membawaku ke kasur dan ….”
“Kenapa kamu tidak melawan?” potong Nara semakin merasa malu. “Harusnya kamu ….”
“Aku juga sedikit mabuk tadi malam. Tapi, ingatanku masih sangat bagus untuk merincikan semua yang terjadi,” balas Devan.
Nara masih terpaku sambil memeluk erat selimutnya, seperti mencari perlindungan dari kebingungan yang menyergapnya.
Devan menatapnya dengan tatapan yang penuh simpati. “Kita bisa mengecek CCTV di klub dan hotel semalam,” usulnya perlahan. “Mungkin itu bisa membantu menjernihkan ingatanmu.”
Namun, ia segera menambahkan, suaranya sedikit lebih rendah, “Tapi … apa pun hasilnya … pasti akan membuat kita berdua malu.”
Kata-kata Devan menghantam hati Nara dengan keras. Ia terdiam, merenungkan usul itu. Memang, mengecek CCTV mungkin bisa memberikan kejelasan, tetapi risikonya juga sangat besar. Bayangan malu dan rasa tidak percaya diri semakin menyergapnya.
Usulan untuk memeriksa CCTV bukanlah suatu jalan keluar yang mudah. Nara seperti dihadapkan pada dua pilihan yang sama sulitnya: terus hidup dalam kebingungan dan keraguan, atau menghadapi kenyataan yang mungkin akan lebih menyakitkan. Ia terjebak dalam dilema yang sangat berat.
Pikirannya kembali berputar pada masa lalu, pada hubungannya dengan Endra dan luka yang belum sempat sembuh. Kini, tercipta luka baru, luka yang lebih dalam dan lebih memilukan. Ia terbayang wajah Renata, adiknya, yang juga hamil diluar nikah.
“Pernikahan … bukanlah sesuatu yang bisa diputuskan dengan buru-buru,” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Namun, sebuah ketakutan baru muncul dalam benaknya. “Tapi, kalau … kalau sampai aku hamil karena kejadian semalam ….” Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang kian mengancam untuk jatuh. “Bukankah … bukankah tidak ada bedanya aku dan Renata?”
Bayangan masa depan yang gelap menghantui Nara. Ia takut akan masa depannya, takut akan penghakiman orang lain, dan takut akan pengulangan kisah yang menyakitkan di keluarganya. Ia merasa terjebak dalam lingkaran setan yang tampaknya tak akan pernah berakhir.
Devan diam sejenak, menatap wajah Nara yang dipenuhi kekhawatiran. Ia mengangguk pelan, membenarkan pernyataan Nara tentang kemiripan nasibnya dengan Renata. “Kamu benar,” katanya, suaranya lembut, tetapi menunjukkan kepekaan. “Makanya, aku tidak melarikan diri dan masih di sini untuk bertanggung jawab.”
Pria itu berdeham sebentar, lalu melanjutkan dengan nada yang sedikit lebih formal, menjelaskan tentang dirinya. “Namaku Daniel Devandra Salim. Aku bekerja sebagai CEO di perusahaan ayahku, DC Corporate. Aku lulusan Harvard Business School. Aku memiliki beberapa aset pribadi, termasuk apartemen di Jakarta dan villa di Bali.” Ia menjelaskan semuanya dengan singkat, tetapi cukup jelas untuk menunjukkan status sosial dan keuangannya yang tinggi.
Devan kemudian mengulurkan tangannya lagi, “Bolehkah aku mendapatkan nomor teleponmu?”
Kali ini, Nara memberikan nomor ponselnya tanpa ragu. Ia percaya pada instingnya bahwa Devan bukanlah orang yang berbahaya. Devan mengambil ponselnya kemudian memungut pakaian Nara yang tergeletak di sofa dekat sisinya, menyerahkan pakaian itu pada Nara dengan tatapan yang penuh perhatian.
“Aku akan berusaha sekeras mungkin untuk membuatmu bahagia,” ucap Devan berjanji, suaranya penuh keyakinan.
Namun, di tengah rasa lega yang mulai menyeruak di hatinya, sebuah pertanyaan yang sangat mendalam muncul di benak Nara. Ia menatap Devan dengan tatapan yang penuh kekhawatiran. “Kamu … kamu yakin … akan menikahiku? Bagaimana dengan keluargamu?”
***
Gimana, seru nggak gaess? Jangan lupa like komennya yak, oh iya kasih ulasan bintang 5 dong 😍😍😍
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!