Di pagi yang cerah di Bali, sinar matahari perlahan menerobos celah-celah daun kelapa, menciptakan pola cahaya yang menari di tanah berpasir pantai.
Langit biru tanpa awan melukis latar yang sempurna bagi pemandangan tropis tersebut.
Di kejauhan, ombak menggulung dengan lembut, menghantarkan semilir angin laut yang membawa aroma asin yang segar.
Para wisatawan mancanegara berkelompok di tepi pantai, beberapa mengambil foto dengan latar belakang laut yang luas, sementara yang lain terlihat berbincang sambil menikmati kelapa muda.
Kamera-kamera mengklik di setiap sudut, menangkap keindahan alam dan keceriaan yang tercipta di antara mereka. Di sini, di Bali, setiap momen terasa seperti sebuah perayaan kehidupan, dikelilingi oleh keindahan alam yang mempesona dan kehangatan sinar matahari pagi.
Pagi ini, seorang gadis bernama Arfira tengah berjalan-jalan menikmati keindahan alam itu. Arfira menghidu aroma segar alam yang menyegarkan paru-parunya.
Gadis berhijab merah itu tersenyum sambil merentangkan kedua tangannya, matanya memejam dengan hembusan angin yang tertiup di sana. Bahkan kerudungnya bergerak perlahan seirama dengan angin yang berhembus. Dirinya benar-benar menikmati pemandangan yang ada di sana. Dirinya benar-benar terlena akan keindahan dunia yang fana itu.
"Kesini! Jangan jauh-jauh."
"Astaghfirullah, Kamal, jangan di situ. Di sini dekatan sikit lagi. View-nya bagus banget"
"Di sini udah cantik Barbara..."
"Sekali lagi elo panggil gue Barbara, gue tonjok hidung lo" wanita berhijab maroon itu menatap nyalang ke arah pria yang sedang memegang kamera DSLR-nya.
Arfira membuka kedua matanya, matanya menyipit saat melihat kedua orang temannya yang sedang berdebat.
Itu Kamal dan Birani. Teman Arfira yang di ajak olehnya ke kota Bali ini juga. Keduanya merupakan karyawan di butik milik Arfira...
"Astaghfirullah, jelek banget Komal.... nggak ada astesik-nya." Keluh Birani sambil menatap hasil potret Kamal.
"Astetik goblok! Bukan astesik," Kamal menjitak kepala Birani membuat gadis itu mengaduh.
"Elo ya!!"
"Elo yang salah kenapa gue yang di salahkan, lagian ini bagus, mata elo aja yang rabun."
Birani mencibir. "Bagus dari mana? Masa' gue gambarnya ngeblur gitu. Mana gak nampak mata gue sebelah. Komal!!!" Teriak Birani kesal karena hijabnya sudah di tarik oleh Kamal.
Keduanya memang suka bertengkar, dan itu membuat suasana menjadi ramai.
Arfira terkekeh melihat itu, dirinya tak mempermasalahkan karena kehadiran keduanya mampu membuat dirinya terhibur.
"Komal!! Gue tendang pantat lo!" Teriak Birani cempreng, bahkan beberapa pengunjung di sana mengalihkan atensinya pada keduanya yang asik kejar-kejaran.
"Ampun!!! Gue tobat Bir."
"Awas kalau elo rese' lagi"
"Nggak akan, gue–"
Buuuuk
Semuanya tersentak saat melihat Kamal malah terjatuh karena menabrak seseorang. Lucunya Kamal seorang pria yang di tabrak juga seorang pria, namun bisa-bisanya Kamal yang terpental.
Pria di depannya menggeram. "Punya mata?" Desisnya tajam.
Kamal meneguk ludahnya susah payah, sedangkan Birani langsung menganga lebar saat melihat cowok tampan yang habis di tubruk oleh Kamal.
"Ya ampun, ganteng banget." Namun, setelahnya kekaguman itu berakhir, tergantikan dengan ringisan saat pria tampan itu menginjak tangan Kamal dengan tidak manusiawinya.
"Aaaa" teriak Kamal. "Maaf, maaf, saya minta maaf, mas." Kata Kamal, namun di abaikan oleh pria itu.
Pria tampan berahang tegas itu menatap tajam ke arah pria yang ada di bawahnya. Pria yang telah berani-beraninya mengusik dirinya.
"Aaaa, ampun-ampun."
Bahkan Birani tidak berani menolong temannya itu, dirinya takut, dirinya seorang wanita yang pastinya tenaganya akan kalah.
"Mas, ampun!!!" Kamal masih menjerit kesakitan saat tangannya kembali di injak dengan tidak manusiawi oleh pria itu.
Bugh
Semuanya tersentak, saat dengan tiba-tiba seseorang datang dan langsung menendang kaki pri itu, sampai tendangan itu membuat kaki pria itu lepas menginjak tangan Kamal.
Birani langsung berlari dan menghampiri Kamal, gadis itu meniup-niup tangan Kamal yang sudah memerah.
"Elo nggak apa-apa?"
"Sakit Birani." Sahut Kamal sambil meringis,
Sedangkan pria itu menatap tajam gadis yang sudah berani itu. "Kamu!!!"
"Kenapa?" Arfira mengangkat dagunya tinggi, matanya menatap tajam ke arah pria itu.
Pria itu terkekeh, dan tersenyum sinis. "Berani mengganggu kesenangan saya, hemm?"
"Saya tidak menggangu. Anda yang gila karena sudah mengganggu teman saya. Bahkan anda sudah menyakiti dia." Sahut Arfira tak ada takut-takutnya sama sekali.
Pria itu terkekeh, tapi di mata mereka yang melihatnya kekehan itu sangat menyeramkan.
"Dia yang sudah mengusik saya duluan" desis pria itu, tangannya menunjuk ke arah Kamal.
Kamal ketakutan, langsung meringsut ke tubuh Birani.
"Tapi dia sudah minta maaf, apa anda tidak mendengarnya?"
Pria itu berdecih. "Tidak ada kata maaf di dalam kamus hidup saya! Dia salah, dan dia pantas di hukum"
Perkataan pria itu membuat Arfira kontan mendelik, pria modelan apa yang di temui olehnya ini?
"Gila!" Desis Arfira.
"Ya, saya memang gila. Dan saatnya anda yang akan menanggung akibatnya karena sudah berani melindungi teman anda itu." Kata pria itu dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke atas, membuat semua orang yang melihat itu terbelalak. Tapi, mereka sama sekali tidak berani ikut campur.
Mata Arfira melotot, tidak percaya pria itu berani menyakiti seorang perempuan, namun bisa jadi, kan? Banyak pria yang seperti itu, walaupun tidak semuanya.
Tangan besar itu sudah bersiap ingin mendarat di pipi putih Arfira, namun terhenti saat pria itu dengan tiba-tiba di tarik oleh seseorang dan langsung di ajak pergi dari sana.
Arfira memandang aneh pria itu.
*
"Fir, jangan pergi. Tempatnya juga nggak bagus buat kamu. Aku takut bakalan terjadi sesuatu sama kamu." Birani menahan lengan Arfira saat gadis berhijab biru itu ingin pergi ke pesta salah satu teman desainernya.
"Aku pergi. Cika udah undang, aku nggak mau kalau dia anggap aku pengecut karena nggak berani datang ke acaranya."
Birani menghela nafasnya kasar. "Tapi dia itu licik, dan kamu juga tau berapa kali dia dulu ngerusak gaun milik kamu saat ada acara pensi?" Arfira bukannya tak ingat, dirinya ingat kejadian itu, dan membuat Arfira menaruh sedikit dendam kepada gadis yang bernama Cika. Dan karena hal itu juga, membuat Arfira bertekad untuk yang menjadi unggul dari Cika.
"Aku nggak mau kamu sampai kenapa-kenapa. Kamu juga tau segimana gilanya Cika itu." Kata Birani lagi.
Arfira menghela nafasnya kasar, tangannya terulur menepuk pundak temannya itu.
"Aku nggak apa-apa. Aku bisa jaga diri kok."
Birani berdecak, Arfira ini memang keras kepala sekali, sulit sekali di beritahu. Padahal tempat acara pesta yang di maksud oleh Cika itu bukan tempat yang bagus. Birani hanya khawatir terjadi sesuatu pada Arfira, terlebih gadis itu belum sama sekali pergi ke sana.
"Aku ikut temenin kamu, ya"
"Jangan. Kamal demam kan? Kasihan dia kalau kamu tinggal."
Ya, Kamal memang demam, cowok itu memang sedikit lemah, di injak tangannya saja langsung sakit.
"Aku pergi, Bi. Kamu di sini aja jaga Kamal."
"Tapi, Fir–" perasaan Birani memang tidak enak,
"Gapapa... Aku bisa jaga diri aku sendiri. Assalamualaikum"
"Waalaikum salam"
*
Pada malam yang ramai itu, club di Bali itu berdenyut dengan energi. Cahaya neon berkelap-kelip menari di dinding dan langit-langit, menciptakan suasana yang serba cepat dan euforia. Musik bass yang keras bergema, menghentak setiap sudut ruangan, membuat tubuh-tubuh yang bergerak di lantai dansa seakan-akan tidak bisa berhenti. Di bar, bartender mengocok koktail dengan lincah, gelas-gelas bertabrakan menghasilkan suara yang mengisi celah antara irama musik. Di sudut-sudut gelap, sofa empuk ditempati oleh para pengunjung yang ingin beristirahat sejenak, sambil menikmati sorotan lampu yang meredup dan remang. Udara di dalam club itu terasa hangat dan menyengat, dipenuhi dengan aroma alkohol dan parfum yang bercampur menjadi satu.
Arfira menutup mulutnya saat melihat tempat yang belum sama sekali di datangi olehnya itu. Rasanya Arfira ingin mual saja melihat penampakan di sana.
Kakinya sudah gemetar lemas, bahkan jantungnya langsung berdebar menyepat, andai bukan karena sebuah pengakuan dirinya tidak akan mau datang ke tempat ini.
Ya pengakuan, Cika dan Arfira lebih tepatnya saling bersaing, keduanya kerap kali menunjukkan keunggulan masing-masing, Arfira bahkan tak mau kalah dengan Cika.
Obses? Jelas, Arfira ingin terlihat lebih unggul dari siapapun itu. Tidak peduli bagaimana caranya. Bahkan ummi dan Abi selalu menasehati, namun Arfira sama sekali tidak memperdulikannya.
Sampai Cika mengundang dirinya ke sebuah acara, dan acara itu di sebuah club' yang ada di kota Bali, Arfira terpaksa mengiyakannya, karena tidak mau di olok-olok tidak berani ke tempat seperti itu, hanya karena dirinya seorang anak kyai.
"Woi Fir" seru seseorang, membuat Arfira langsung menoleh ke arah sumber suara itu.
Gadis dengan dandanan menor serta makeup tebal itu menghampiri Arfira, gadis itu merangkul pundak Arfira layaknya sudah akrab.
"Kirain gue elo nggak bakalan datang. Ck, taunya datang juga. Nggak bakalan di marah sama Abi atau Abang elo?" Tanya gadis yang bernama Cika itu, nadanya bertanya namun terkesan meledek.
Arfira berdecak, lalu menyingkirkan tangan Cika. "Gue nggak bakalan di marah." Membuat Cika memutar bola matanya jengah.
"Oh ya? Pasti elo nggak minta ijin kan? Kalau minta ijin gue jamin elo nggak bakalan sampai sini."
"Udahlah, kenapa permasalahin perkara gue yang di kasih ijin apa nggak. Sekarang ayo, katanya elo ulang tahun,"
Cika tersenyum miring. "Acaranya ada di ruangan khusus." Kata Cika.
Kening Arfira berkerut samar, ingin bertanya lagi urung saat tangannya sudah di tarik terlebih dahulu oleh Cika.
"Udah santai aja, elo cuman perlu nikmati pesta yaNg udah gue buat. Apalagi elo udah effort banget, datang jauh-jauh dari Jakarta."
Cika membawa Arfira menuju ke sebuah ruangan yang memang sudah di sewa oleh Cika.
Sepanjang perjalanan menuju ruangan yang di maksud oleh Cika, Arfira menahan nafas, berbagai macam hal dirinya lihat, sampai Arfira harus memejamkan matanya.
Cika tersenyum melihat itu, dan sampai di sebuah ruangan yang di maksud ol
Eh Cika, Cika langsung mengajak Arfira masuk dan di sana telah ramai orang-orang.
Arfira masuk dengan canggung, beberapa teman Cika langsung berbisik-bisik menatap Arfira,
"Cik, bawa ustadzah elo?" Celetuk salah satu temannya sambil menatap Arfira dari ujung bawah sampai atas.
Cika tertawa renyah. "Bukan urusan elo." Lalu Cika mengambil sebuah minuman yang ada di atas meja sana dan memberikannya pada Arfira.
"Minum, Fir."
"Ini nggak ada–"
"Nggak lah. Ini jus apel. Gue emang pesen satu, karena tau elo nggak mungkin mabuk." Sela Cika cepat.
Arfira mengangguk, dirinya juga haus. Tanpa pikir panjang Arfira menenggak minuman itu, hingga tandas.
Dan Cika tersenyum miring melihat itu...
*
"Ahh" tubuh Arfira tiba-tiba terasa panas, dirinya bahkan bergerak gelisah.
"Elo kenapa Fir?" Cika datang menghampiri.
Arfira menoleh, wajahnya bahkan sudah memerah. "Gue nggak tau. Tapi kayaknya gue mau pulang aja."
"Oh yaudah, tapi hafalkan jalannya?"
"Hafal."
Tanpa mengatakan apapun lagi Arfira berjalan sempoyongan keluar dari ruangan itu. Di perjalanan, beberapa pria menggodanya, sampai ada seorang pria berperut buncit menghadang jalannya.
"Hei, ukhti, malam sama saya yuk."
Bahkan dengan kurang ajar tangan pria itu menyentuh tangan Arfira. Namun Arfira mencoba menepisnya, tapi entah mengapa respon tubuhnya malah aneh.
"Jangan sentuh saya, a-h."
Pria itu tersenyum miring. "Udah men-de-sah aja, ayo dong"
"Lepas!"
"Tolong"
Pria berperut buncit itu tertawa, "tidak akan ada yang menolong kamu, kamu milik saya malam ini"
Arfira menggelengkan kepalanya, meronta-ronta, dirinya mencoba menyadarkan dirinya, namun tenaga pria itu kalah, dan di sana tidak ada yang mau menolongnya.
Sampai sebuah keajaiban datang, dengan tiba-tiba pria berperut buncit itu jatuh tersungkur ke lantai sana akibat bogeman mentah seseorang.
Arfira dengan nafas yang terengah-engah berlari ke arah seorang pria yang habis memukul pria itu.
Pria berperut buncit itu tampak takut, dan langsung pergi.
Sedangkan pria tampan yang telah menolongnya itu mengerutkan keningnya saat sebuah tangan kecil melingkar di tubuh tegapnya.
"Lepas! Kamu–"
"Tolong saya, tuan... Jika tuan menolong saya, saya akan memberikan tuan uang..."
Pria di depannya mengangkat alisnya tenang. "Kamu –" bibirnya tak melanjutkan kata-kata lagi, saat dengan tiba-tiba wanita berhijab itu ada di hadapannya dan langsung menarik wajahnya, dan mencium dirinya dengan brutal.
Ciuman itu tidak beraturan, tidak seperti wanita-wanita lain yang pernah menciumnya.
"Ssshhh" pria itu menggeram dengan mata yang memejam, rasa manis bibir itu membuatnya terbuai untuk beberapa saat.
Bibir pink itu benar-benar manis, membuat dirinya menginginkan lagi, namun tidak berapa lama, gadis itu malah menyudahinya, gadis berhijab itu menatap sayu ke arahnya.
Sama, dengan pria itu pun matanya sudah berkabut menatap sosok gadis cantik yang telah berani memantik api di dalam dirinya.
"Saya mau cium lagi, saya... A-h, nggak kuat." Ucap gadis itu sambil men-desah.
Pria itu mengangkat alisnya tinggi, agaknya tau apa yang telah terjadi pada gadis itu. Tanpa mengucapkan kata apapun, dirinya langsung menarik tubuh mungil itu, dan membawanya pergi dari tempat itu.
Pria itu memasukkan Arfira ke dalam mobil miliknya, Arfira bahkan sudah bergerak gelisah, hijabnya bahkan sudah di lepasnya secara asal, dan sudah menampilkan rambut panjangnya yang di ikat itu, tapi fokus pria itu kepada leher jenjang nan putih milik gadis itu.
Glek
Pria itu menelan salivanya susah payah, meraup wajahnya dengan kasar, dirinya harus menahan dirinya, jangan sampai menyerang gadis itu sebelum sampai di hotel.
Ya dirinya berniat membawa gadis itu ke hotel. Dan akan melakukannya? Jelas, siapa suruh gadis itu memantik dirinya terlebih dahulu.
"A-h panas" Arfira bahkan sudah ingin membuka kancing gamisnya, namun pria di sampingnya langsung menahannya.
"Jangan di sini!" Pekik pria itu.
"To-tolong, saya." Suara Arfira terdengar parau, karena merasakan sesuatu yang tidak biasanya.
"Saya akan menolong kamu, tapi tidak di sini."
Tak memperdulikan Arfira lagi, pria tampan berahang tegas itu langsung melajukan mobilnya menuju ke sebuah hotel yang ada di kota Bali itu.
Tidak membutuhkan waktu lama, dirinya langsung turun setelah memarkirkan mobilnya di besmen hotel, dirinya menggendong gadis itu yang sedari tadi mendesis kesakitan.
"Saya pesan satu kamar hotel." Ucap pria tampan dengan nada dingin itu, lalu menunjukkan sebuah kartu yang memang selalu di bawa olehnya kemana-mana.
Sang resepsionis langsung mengambil sebuah kartu untuk membuka kamar VVIP hotel itu. Bahkan salah satunya langsung mengantarkan pria itu dengan seorang gadis yang ada di dalam gendongannya.
Arfira, masih saja terus bertingkah aneh, bahkan Arfira dengan tidak tau malunya, menarik wajah pria itu sampai dirinya langsung mencium bibir hitam kecoklatan itu.
Shit
Pria tampan berahang tegas itu mengumpat kasar, bahkan sesuatu yang ada di dalam dirinya sudah timbul saat gadis itu terus memantiknya.
"Tuan muda, biarkan saya bantu membuka pintu kamar VVIP-nya." Ucap seorang pria dengan sopan, bahkan memalingkan wajahnya saat pria itu berciuman dengan wanita yang mungkin adalah kekasihnya.
"Tidak perlu! Saya bisa urus sendiri. Saya hanya buntu bantuan anda sedikit, saya minta anda letakkan baju ganti saya di depan kamar."
"Baik tuan muda."
Ting
Lift berdenting dan pria yang tengah menggendong tubuh Arfira itu langsung keluar dan menuju ke salah satu kamar hotel VVIP yang ada di sana.
Dirinya langsung menempelkan kartu itu, walaupun agak kesusahan karena dirinya harus menahan gadis yang sedari tadi terus ingin menciumnya.
Ceklek
Pria itu langsung masuk, dan tidak lupa menutup pintu itu, dirinya langsung berjalan menuju ranjang sana.
Brugh
Tubuh Arfira langsung di hempaskan di atas ranjang sana.
Arfira merasakan tubuhnya tenggelam dalam kelembutan ranjang yang dihiasi dengan sprei sutera halus berwarna krem. Kasur tersebut terasa begitu empuk, seolah-olah memeluk setiap kontur tubuhnya. Di sekelilingnya, dinding kamar terlapisi dengan wallpaper elegan yang menampilkan motif bunga klasik dengan sentuhan warna emas dan krem, memberikan kesan hangat dan mewah. Lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit memancarkan cahaya lembut, menciptakan bayangan-bayangan lembut di seluruh ruangan.
Di sudut kamar, sebuah kursi empuk dengan bantal dekoratif menambah keanggunan ruangan, sementara tirai beludru tebal yang menutupi jendela besar menambah privasi sekaligus keindahan. Udara di dalam kamar terasa segar, dengan semburat aroma parfum lembut yang tercium dari diffuser otomatis yang terletak di atas meja rias.
"Saya mohon... Sssshhh sakit..." Arfira menggeram dengan desisan tertahan, rasanya sungguh sakit di sekujur tubuhnya sana. Sesuatu aneh timbul di dalam dirinya. Arfira tidak pernah mengalami, baru kali ini dirinya mengalami hal seperti ini.
"Tolong saya" ucap Arfira dengan suara paraunya, tangannya mencoba menggapai tangan seorang pria yang sedari tadi memandangnya dengan intens itu.
Pria itu tersenyum tipis. "Saya akan membantu kamu, tapi kita harus membuat sebuah kesepakatan, bagaimana?" Bisik pria itu di samping telinga gadis itu..
Arfira yang sudah tidak tahan dengan rasa aneh yang ada di dalam tubuhnya itu langsung menganggukkan kepalanya, dirinya benar-benar tidak paham dengan apa yang telah terjadi pada dirinya, sehingga dirinya mengiyakan dan ingin rasa sakit itu cepat berakhir.
"Good."
"Saya mau, kamu jangan menyesal. Karena saya akan bermain kasar sama kamu. Dan setelah kejadian ini, jangan pernah cari saya."
Arfira mengangguk, lalu kembali menarik tubuh pria itu membuat pria itu terjatuh dan langsung mengukung tubuh mungil Arfira.
"Wow, santai baby, kamu terlalu agresif. " Kata pria itu sambil terkekeh.
Arfira tidak memperdulikan itu, akal sehatnya benar-benar sudah hilang, bahkan dirinya merasakan nikmat saat berdekatan dengan pria itu tanpa jarak..
Tidak membuang waktu lagi, pria itu langsung melakukan apa yang mesti di lakukannya.
*
Plak
Plak
Plak
"Bodoh! Bodoh!" Pekik Cika, matanya menatap nyalang pria berperut buncit yang di bayar olehnya itu untuk membuat Arfira malu. Bahkan, Cika sudah menyewa salah satu kamar di hotel untuk melancarkan aksinya. Dirinya juga telah memasang kamera di setiap sudut kamar hotel itu. Namun, malah berakhir sia-sia. Arfira malah lepas dari genggamannya.
"Ampun bos, dia... Dia di selamatin sama tuan muda–"
Plak
"Omong kosong! Dasar tidak berguna! Saya bahkan sudah membayar mahal kamu, tapi pekerjaan kamu tidak becus sama sekali!" Pekik Cika murka, matanya melotot ke arah pria itu.
Pria itu meringis, walaupun di dalam hatinya sana sudah geram dengan tingkah wanita yang selalu bertindak semena-mena ini. Andaikan dirinya punya segalanya, mungkin dirinya akan membalas rasa sakit hatinya yang selalu di hina.
"Karena kamu sudah gagal, saya mau uang saya di kembalikan."
Perkataan itu membuat pria berperut buncit itu murka. "Enak saja! Itu uang sudah di tangan saya, dan itu sudah menjadi milik saya."
Cika mendelik. "Nggak! Balikin"
"Saya nggak mau"
"Oh, kamu ya, berani dengan saya–"
Brukkk
"Awwww"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!