Suara hentakan kaki terdengar jelas, menggema di seluruh ruangan. Keringat menetes deras, jatuh membasahi lantai, terasa hangat dan nyata. Deru napas yang semakin cepat membuat dada terasa sesak, seolah paru-paru memohon jeda.
Ruangan itu cukup luas, dengan cermin besar di salah satu sisinya yang memantulkan bayangan tubuhnya yang tengah menari—liar, lepas, dan penuh emosi.
Beberapa hentakan terakhir diiringi gerakan yang semakin lambat, hingga akhirnya ia jatuh duduk di lantai, napas terengah, dada naik turun mencari irama yang tenang.
Dia adalah Arayana Aqeela. Menari adalah salah satu hobinya, lebih dari itu, menari adalah pelariannya. Saat stres melanda, saat emosi menumpuk, Club Dance menjadi tempat tujuannya. Di sana, ia bisa bergerak sebebasnya, melampiaskan kekesalan dan amarah yang tak bisa ia ucapkan dengan kata-kata.
“Jangan pernah memanggilku, Ibu! Aku tidak sudi!”
“Sebaiknya kamu pergi dari sini! Menjauhlah!”
Arayana perlahan berdiri dari duduknya. Kakinya melangkah pelan menuju kaca besar yang mendominasi sisi ruangan. Tatapannya terpaku pada pantulan dirinya sendiri—wajah yang terlihat lelah, kacau, dan nyaris tak ia kenali.
Tangannya terangkat pelan, menyentuh permukaan cermin seakan ingin menyentuh wajahnya sendiri, mencoba meyakinkan bahwa itu benar dirinya—gadis yang sedang rapuh.
Bibirnya sedikit terbuka, seperti hendak mengucapkan sesuatu, namun tak ada suara yang keluar. Hanya keheningan yang menggantung di antara detak jantungnya yang belum sepenuhnya tenang.
Salah satu tangannya terangkat, menyibakkan rambut panjangnya ke belakang dengan gerakan lembut. Ia menatap dirinya sekali lagi—mencoba mencari kekuatan dalam pantulan yang retak.
“Araya!”
Segera Araya berbalik.
“Naya?” ucapnya sedikit terkejut.
Araya mulai melangkah ke arah pintu di mana Naya berdiri dengan senyum yang sudah mengembang ke arahnya.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
Bukannya menjawab Naya malah berhambur dalam pelukan Araya yang hanya diam dalam kebingungan sesaat.
“Naya apa yang kamu lakukan, lepas!” ucap Araya, terdengar datar. Karena begitulah cara gadis itu berbicara.
Naya semakin mengeratkan pelukannya saat mendengar ucapan Araya.
“Aku tau kamu pasti butuh dekapan.” Naya perlahan melepas pelukannya. Ia menatap Araya lekat. “Jangan sok kuat Nayara,” ucapnya kemudian kembali memeluk Araya yang hanya diam.
(╥﹏╥)
Setelah berpelukan selama beberapa menit, Araya dan Naya akhirnya turun ke bawah, bersiap untuk pulang bersama. Meski begitu, Araya masih diliputi kebingungan—ia sendiri belum tahu harus pulang ke mana.
“Araya, kamu boleh tinggal di rumah aku untuk sementara waktu. Aku tahu pasti kamu sedang mencari tempat tinggal, kan?” ucap Naya dengan suara lembut.
Araya menoleh ke arah Naya. Keningnya berkerut penuh tanya.
“Bagaimana kamu bisa tahu?” tanyanya heran.
Setahunya, ia belum pernah menceritakan apa pun soal masalah yang terjadi antara dirinya dan ibunya. Lalu, bagaimana bisa Naya seolah begitu mengerti keadaannya?
Langkah mereka terhenti. Kini, kedua gadis itu saling berhadapan, dalam diam yang dipenuhi oleh rasa peduli dan kehangatan.
Naya mencoba tersenyum, meskipun sedikit canggung.
“Araya, aku sahabat kamu. Wajar kan, kalau aku tahu saat kamu lagi nggak baik-baik aja?”
“Iya. Tapi aku bertanya-tanya bagaimana kamu tau kalau aku sedang mencari tempat tinggal?”
Naya tersenyum, menarik kedua tangan Araya dengan penuh hati-hati. “Araya, kamu percaya kan sama aku?”
“Devan?” ucap Araya begitu saja.
Devan adalah kekasih Araya, mereka berpacaran belum cukup lima bulan. Bukan hal biasa lagi bagi Araya jika Naya tau segala tentangnya. Karena Devan pasti akan menceritakannya pada Naya, semuanya tanpa terkecuali.
Naya mengangguk namun dengan cepat ia berkata, “Araya, jangan salah paham. Aku sama Devan tidak ada hubungan apa-apa. Dia menceritakan semuanya padaku agar aku bisa menenangkanmu,” ucapnya tanpa jeda hingga kesulitan menarik napas.
Araya menghela napas.
“Naya, untuk apa menjelaskannya. Aku sama sekali tidak salah paham,” ucap Araya tenang.
Mendengar hal itu Naya merasa lega.
“Syukurlah.”
Keduanya pun kembali melangkah. Namun, bslum cukup beberapa langkah Naya kembali membuka suara.
“Aku iri deh sama kamu.” Araya menoleh sejenak ke arah Naya.
“Bisa dapetin pacar kayak Devan. Pengertian dan juga sayang sama kamu, aku kapan, yah?” lanjutnya.
Araya tersenyum tipis. “Aku yakin kamu pasti bakal dapat,” ucapnya.
Naya terkekeh ringan. “Yah, kalau ada,” ucapnya sedikit menyenggol bahu Araya.
(ᗒᗩᗕ)
Setelah berpikir panjang, akhirnya Araya memutuskan untuk tinggal sementara di rumah Naya. Kebetulan, Naya memang tinggal sendirian—kedua orang tuanya sedang berada di luar negeri untuk mengurus bisnis keluarga.
“Araya, pakailah piyamaku,” ucap Naya sambil menyerahkan sepasang piyama bersih.
Araya menerimanya dengan anggukan kecil. “Makasih,” ujarnya pelan, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk berganti pakaian.
Beberapa menit kemudian, setelah Araya keluar dengan pakaian bersih, Naya pun masuk ke kamar mandi untuk berganti.
Sementara menunggu, Araya duduk di tepi ranjang. Ia meraih ponselnya yang terletak di atas meja kecil di samping tempat tidur milik Naya. Jari-jarinya dengan ragu membuka aplikasi chat.
Send to Devan.
Kenapa kamu menceritakannya pada, Naya, Devan?
Bukankah sudah kukatakan jangan memberitahunya?
Usai mengirim pesan pada Devan, Araya mematikan ponselnya. Ia menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang milik Naya.
Ceklek.
“Oh, ya, Araya. Di kelas kita bakal ada siswa baru loh,” ucap Naya sambil berjalan ke arah meja rias.
Araya tidak menjawab, dia hanya diam. Jujur saja Araya bingung harus menjawab apa. Itulah kelemahannya, susah mengutarakan sesuatu untuk dikatakan pada orang lain.
Selesai mengeringkan rambutnya Naya berjalan ke arah Araya yang hanya diam. “Katanya dia pindahan dari SMA BANGSA JAYA, sekolah populer diantara sekolah lainnya,” ucapnya kemudian duduk di tepi ranjang.
“Aku bertanya-tanya untuk apa dia pindah ke sekolah kita. Padahal sekolah dia adalah sekolah incaran,” lanjutnya.
“Mungkin saja dia melanggar peraturan,” jawab Araya.
Naya mengangguk, ada benarnya juga. Kebanyakan sih seperti itu. Apalagi murid barunya seorang siswa, tidak ada keraguan untuk berpikir bahwa pemuda itu pasti telah melanggar.
“Benar juga. Tapi kita nga boleh berpikir ke sana dulu. Besok kita lihat seperti apa tampangnya,” ucap Naya dengan semangat.
(╥﹏╥)
Keesokan harinya, Araya dan Naya sudah berdiri di depan pagar sekolah, menunggu kedatangan Devan.
“Araya, kok Devan belum datang juga, ya? Udah beberapa menit ini,” ujar Naya sambil celingak-celinguk ke arah jalan.
Araya mengecek ponselnya. Ia menghela napas pelan karena satupun pesannya belum dibaca maupun dibalas.
“Aku nggak tahu. Chat-ku—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Naya sudah memotong.
“Oh, Devan udah mau sampai. Katanya tadi mampir sebentar ke toko donat,” ucap Naya santai sambil menoleh ke Araya. Ia lalu mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku seragamnya.
“Oh,” sahut Araya, terdengar berat.
Beberapa menit kemudian, Devan datang menghampiri mereka. Tanpa banyak bicara, ia langsung menyodorkan sekotak donat ke arah Naya. Gadis itu menerimanya dengan senyum lebar.
“Makasih, Dev. Nggak nyangka kamu beliin donat yang aku minta,” ucap Naya riang.
“Sama-sama,” jawab Devan singkat.
Naya menoleh ke arah Araya, yang berdiri kaku di sampingnya. Dengan cepat gadis itu membuka suara agar sahabatnya itu tidak salah paham.
“Araya, jangan salah paham. Aku hanya bercanda meminta donat pada Devan, tidak tahunya dia—”
“Sudahlah. Lagipula hanya sekotak donat.” Potong Devan.
“Tapi, Devan. Aku ngga enak, lagipula kenapa kamu belinya hanya satu sih!” ucap Naya kesal.
“Karena kamu yang minta. Bagaimana caranya aku membeli untuk Araya kalau dia saja tidak meminta apa-apa?” ucap Devan santai.
Araya mengangguk pelan. “Ngga papa, Naya. Itu bukan masalah,” jawab Araya.
Devan berjalan ke arah Araya kemudian menggenggam tangan gadis itu. “Aku suka saat kamu berpikir dewasa,” ucap Devan senyum pada Araya.
Kemudian pemuda itu memeluk Araya. “Pasti beratkan? Maafkan aku yang tidak bisa datang untuk menghiburmu,” ucap Devan lembut.
Araya membalas pelukan kekasihnya. “Tidak apa-apa, Dev. Lagipula Naya datang kok.”
“Benarkah?” Devan melirik ke arah Naya.
Araya mengangguk, ada sedikit rasa terharu dalam dirinya mendapatkan perhatian sang kekasih.
“Tetap kuat, yah? Aku akan membantumu untuk mencari tempat tinggal,” ucap Devan semakin mengeratkan pelukannya.
Di dalam kelas, seorang guru telah memberikan perhatian bahwa ada murid baru yang akan menambahkan isi kelas.
Araya menoleh sejenak ke arah Devan, ingin memberi syarat untuk duduk di bangku kosong—sebelahnya. Namun, helaan napas terdengar, Araya kembali menatap ke depan. Devan tengah mengobrol dan bercanda ria bersama Naya, tidak mungkin dia mengganggu.
Suara langkah kaki terdengar berjalan memasuki kelas. Seorang pemuda, tinggi, dan juga rapi berdiri di depan, membuat bisik-bisikan terdengar jelas.
Bukan berbisik tentang keburukan anak baru, tapi berbisik tentang bagaimana tampannya dia.
"Oke, sekarang perkenalkan dirimu."
Pemuda itu menatap keseluruhan murid yang duduk menatapnya, ada juga yang tengah berbisik-bisik, dan ada juga yang tengah tertidur—mengabaikan hal yang tidak penting opininya.
"Rifan Filipo, itu nama lengkapku," ucapnya datar, tanpa kelanjutan lagi.
Guru yang ada di sebelah Rifan tersenyum sedikit canggung, wanita itu pikir akan ada lanjutan dari perkenalan Rifan ternyata tidak ada.
"Oke, Rifan, sekarang duduklah di bangku kosong."
Rifan mengangguk datar, kemudian melangkah ke kedepan, lurus tanpa adanya ekspresi. Sampainya di bangku kosong, Rifan meletakkan tasnya kemudian duduk. Araya hanya bisa berdehem dan fokus tanpa menoleh ke teman bangkunya sama sekali.
Dari jarak tidak terlalu jauh, Naya melirik Devan. "Devan, kamu harusnya duduk di sebelah Araya. Biarkan Rifan di sini," ucapnya sedikit berbisik.
Devan menatap Naya dengan tatapan tidak suka. "Kenapa? Sudah tidak mau duduk denganku lagi?" tanyanya.
Naya menggeleng dengan cepat, menyentuh tangan Devan dengan lembut kemudian tersenyum. "Aku tidak enak pada Araya, Dev."
"Aih, abaikan dia."
"Bagaimana kalau dia cemburu?" Terlihat Naya merasa tidak nyaman disituasi yang tengah terjadi.
"Aku sahabatnya, Dev," lanjutnya.
Devan menghela napas. "Untuk apa dia cemburu, sungguh kekanakan," ucap pemuda itu kesal.
"Naya, Devan, apa yang sedang kalian lakukan!" Sebelum menjawab ucapan Devan, Naya dikagetkan dengan teriakan keras dari Guru.
Segera gadis itu berdiri, dan dengan cepat Araya menoleh ke arah mereka. Gadis itu menggigit bibir bawahnya namun ekspresinya tetap datar.
"Maaf, Bu!" ucap Naya merasa menyesal.
"Kalian berdua keluar!"
Saat ingin kembali menyela, Devan dengan cepat meraih tangan Naya dan berjalan keluar kelas tanpa sepatah katapun. Melihat aksi tersebut tanpa sadar Araya berdiri.
"Araya, apa ada yang salah?" tanya guru.
Araya menoleh kemudian menggeleng. Gadis itu kembali duduk, dengan perasaan cemas Sulut ubtuk dicegah.
(╥﹏╥)
Saat bel istirahat berbunyi Araya cepat-cepat membereskan buku-bukunya. Setelah itu ia berdiri ingin segera mencari keberadaan Devan dan Naya.
Namun, niat gadis itu terhentikan karena guru tersebut tiba-tiba menyuruhnya untuk mengantar Rifan—murid baru untuk berkeliling sekolah. Sebagai ketua kelas itulah gunanya dia.
Sepanjang perjalanan Araya hanya menghela napas, matanya terus melirik ke sana dan ke sini. Rifan ikut menghela napas—karena sama sekali dia belum tau tempat apa yang sudah mereka kunjungi.
"Di mana mereka," gumamnya.
"Kalau enggan untuk berkeliling, kenapa tidak menolak saja. Membuatku lelah saja," ucap Rifan, berlalu pergi meninggalkan yang diam mematung tanpa ada niatan hntuk mengejarnya.
Masa bodoh, Araya kembali melanjutkan langkahnya. Namun, saat melangkah ia terhenti. Kini matanya sudah menemukan kedua orang yang dia cari. Dengan langkah cepat gadis itu melangkah menuju ke arah Devan dan Naya yang tengah berjalan berdua.
"Devan, Naya," panggilnya.
Devan dan Naya menoleh ke arah Araya tiba. Saat Araya tiba dengan langkah sigap Naya berdiri disebelah gadis itu.
"Sayang, kenapa, hm?" tanya Devan dengan lembut, disertai senyum.
Araya melirik sekilas ke arah Naya yang sudah berdiri di sebalahnya. "Kalian ke mana?"
"Sejak kapan kamu penasaran dengan urusan orang?" Araya berubah menjadi tegang, dia diam, matanya melirik ke mana-mana. Rasa bingung tiba-tiba saja menyerangnya.
Naya merangkul tangan Araya. "Kami hanya jalan-jalan, Ra. Lagipula, kami diusir dari kelas," jelas Naya.
Araya tersenyum kemudian mengangguk. "Pasti. Bagaimana kalau kita ke kantin?"
"Ayo."
(╥﹏╥)
Di kantin.
Semua makanan telah tiba, lagi dan lagi Araya merasa diasingkan di meja tersebut. Gadis itu hanya lahap memakan pesanannya, sedangkan Devan dan Araya asik berbincang.
"Kamu ada ada saja, Dev. Rasanya aku ingin menjambakmu!" ucap Naya geram.
"Jambak aja nih," balas Devan dengan kekehan.
Keduanya tertawa lepas, sedangkan Araya hanya bisa tersenyum tipis melihat aksi di depannya.
Dari jarak kejauhan. Seorang pemuda melangkah menuju meja yang Araya, Devan, dan Naya tempati. Berdiri dengan wajah datarnya, kemudian meletakkan senampan makanan pesanan miliknya.
Ketiganya mendongak, menatap Rifan yang tiba-tiba saja ikut bergabung, duduk dan memakanan makanannya tanpa sepatah katapun.
"Kamu ngapain sih, hey?" ucap Devan jengkel, dahi pemuda itu mengerut.
Rifan melirik sejenak ke arah pemuda itu, lalu kembali melahap makanannya. "Ketua kelas bertugas untuk berkeliling dengan anak baru. Tapi, satupun tempat yang mereka kunjungi tidak ada yang diketahui anak baru itu," ucapnya menatap Araya yang abai akan hal itu.
Naya melirik ke arah Araya yang tidak peduli, dengan senyum canggung dia menyapa Rifan. "Rifan, lain kali kamu berkeliling saja denganku. Lagipula ketua kelas kami sibuk," ucap Naya.
"Terimakasih," jawab Rifan singkat.
Naya tersenyum manis ke arah Rifan dan hal itu membuat Devan mengerutkan keningnya. "Naya, itu tugas ketua kelas untuk apa kamu berbaik hati dengan anak baru?" ucap Devan, kesal.
"Apa salahnya sih, Devan. Cuman bantuin anak baru yang butuh arah," ucap Naya dengan lembut.
Devan menghela napas, kemudian melanjutkan makannya.
Rifan melirik ke arah Araya yang sama sekali tidak mengeluarkan suara. Menurutnya Araya sungguh gadis yang aneh.
"Ketua kelas, kamu tidak merasa bersalah sama sekali dengan anak baru?" tanya Rifan, suaranya dingin begitupun dengan wajah datarnya.
Araya sedikit mendongak, menatap Rifan yang juga menatapnya. Sebelum membuka suara gadis itu memasukkan udara ke dalam tubuhnya kemudian dia hembuskan.
"Maaf," ucapnya setelah itu kembali pada aktivitas awal.
Rifan menatap Araya beberapa dekit kemudian kembali fokus pada sarapannya.
(╥﹏╥)
"Rifan, bagaimana? Mau lihat-lihat keliling sekolah sekarang?" tanya Naya, ramah.
Rifan berpikir sebentar kemudian tanpa ragu mengangguk. "Iya."
Naya berdiri, dengan senyum manis penimbul lesung pipi di wajahnya muncul. "Devan, Araya, kami duluan, yah."
"Ayo, Rif."
Naya dan Rifan pun mulai melangkah ke luar kantin. Terlihat Naya sungguh senang berbincang dengan anak baru itu, ia tertawa seakan-akan mereka sudah sangat dekat.
Devan yang melihat hal itu kenggeram kesal.
Araya menoleh sejanak ke arah Devan. "Kita ke kelas?" tanya Araya.
Tanpa menoleh Devan berdiri dan melangkah pergi meninggalkan Araya yang nampak kebingungan. Tanpa basa basi pun gadis itu mengikuti langkah ke aman Devan pergi.
Araya meraih tangan Devan.
"Devan, kenapa harus mengikuti Naya?" tanyanya, serius.
Devan menghela napas. "Dia adalah sahabatmu Araya. Seharusnya kamu tidak merepotkannya. Itu adalah tugasmu," ucap Devan, kesal.
"Tapi Devan, Naya sendiri yang mengajukan diri," jelas Araya.
Devan mengusap rambutnya ke belakang, wajahnya tampak jengkel. "Bersikaplah tanggungjawab pada tugasmu, Araya." Setelah mengatakan itu Devan berlalu pergi meninggal Araya.
Araya menyipitkan matanya, perlahan gadis itu menyentuh dadanya yang terasa nyeri. "Ada apa denganmu, Araya," lirihnya merasa kecewa.
(╥﹏╥)
Sedangkan di sisi lain Naya menikmati berkeliling dengan Rifan. Dia banyak menceritakan tentang sekolahnya, dan juga menceritakan seperti apa dirinya.
"Rifan, apa kamu suka, Ballet?" tanya Naya.
Rifan tidak menjawab, pemuda itu terus berjalan tanpa berniat menjawab semua pertanyaan yang menurutnya tidak penting. Begitulah Rifan, manusia yang bodoh amat pada sekitarnya.
Naya-pun hanya tertawa kecil setiap Rifan tidak menjawab. "Diam berarti suka," ucap gadis itu kemudian.
"Ballet itu seru, saat kamu menikmatinya kamu akan merasa tenang." Naya menoleh, tersenyum ke arah Rifan.
"Saat aku mengalami stres aku akan ke ruang latihan untuk meluapkan setiap rasa kesal pada diriku. Sesekali kamu harus mencobanya," jelas gadis itu sungguh terpesona.
"Jadi ... kalau kamu merasa stres karena sebuah masalah, datanglah ke ruang latihan. Luapkanlah bersamaku," lanjutnya.
Hening!
kaki keduanya melangkah dengan serentak, namun karena terlalu serius Naya tidak sengaja menginjak batu yang membuat langkahnya tidak seimbang. Badannya yang ramping terhuyung, wajahnya pun berubah khawatir.
Dengan cepat Rifan menangkap lengan Naya, gadis itu tak jadi jatuh karena tahanan Rifan pada dengannya yang kuat.
Merasa terselamatkan, Naya menutup matanya kemudian mengatur napas dengan teratur. Menoleh ke arah Rifan dengan pandangan mata yang berbinar.
"M-makasih, seandainya ngga ada kamu aku akan jatuh dan terluka... memungkinkan aku tidak bisa latihan Minggu ini," ucapnya pelan.
Rifan melepaskan genggaman tangannya. "Apa kamu, okey?"
Naya menatapnya dengan mata butuh belas kasih, gdis itu menggeleng dengan pelan. "Kaki ku sedikit keseleo," ucapnya.
"Di mana UKS-nya, aku akan mengantarmu ke sana?"
"Aku akan menunjukkan jalannya," ucap Naya.
Rifan kembali memegang lengan tangan Naya, membantu gadis itu berjalan.
Dari jarak kejauhan, Devan yang melihat Rifan menggenggam lengan Naya menggeram kesal. Dengan langkah cepat penuh amarah ia mendekat, mendorong Rifan dan menganbil alih.
Devan memeluk Naya dari samping, menyentuh pinggang gadis itu dengan penuh perhatian.
"Jangan coba-coba menyentuh-nya," ucap Devan dengan dahi berkerut keras, hingga urat dahinya terlihat.
Rifan menghela napas, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. "Untuk kamu datang, antarlah ke UKS," ucap Rifan berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.
Devan melirik ke arah Naya. "Kamu ngga papa kan?" tanya Devan.
Naya menggeleng. "Gandong, kaki aku sakit."
Devan tersenyum kemudian mulai menggendong Naya ala bridal style.
(╥﹏╥)
Di dalam kelas.
Araya terus-menerus menghela napas, sudah berapa kali ia menoleh ke arah bangku Devan dan Naya. Namun, keduanya belum juga tiba di dalam kelas.
Lagi-lagi ia menghela napas, raut wajahnya berubah murung walaupun terlihat tetap datar. "Kira-kira mereka ke mana, yah? Aku ingin meminta maaf karena sudah merepotkan," batinnya.
Dari setiap helaan itu ada pemuda yang tengah fokus pada bukunya merasa terganggu, saat Araya kembali menghembuskan napas kasar Rifan meletakkan bolpoin dengan keras hingga meninbulkan suara yang menggema.
Semua murid yang tengah belajar ikut terkejut begiupun dengan Araya—menatap Rifan yang menatapnya tajam.
"Selain tidak bertanggung-jawab kau juga suka mengganggu konsentrasi orang," ucapnya.
Seakan tuli Araya malah menoleh ke arah bangku Devan dan Naya. Rifan ikut menoleh, pemuda itu menghela napas.
"Apa kau suka pada kekasih temanmu sendiri?" Araya reflek saja menatap Rifan tajam.
Dengan masa bodoh gadis itu kembali fokus pada bukunya—tanpa sepatah kata untuk Rifan.
Rifan pun kembali menatap bukunya.
"Kau tahu hal apa yang paling kejam di dunia ini?" tanya-nya tanpa menoleh, tapi yang jelas pertanyaan itu ubtuk Araya.
"Seorang teman yang menghianati temannya sendiri," lanjut pemuda itu.
Dengan cepat Araya menatap Rifan yang menatap lekat bukunya. Entah, Araya tidak paham dengan apa yang Rifan katakan. Tidak ada salahnya kan mengkhawatirkan pasangan sendiri?
(╥﹏╥)
Bel pulang sekolah pun berbunyi, dengan cepat para murid menggendong tas mereka masing-masing dan berjalan pulang.
Sekarang Araya berada di depan pagar, melihat handphone dan juga arloji terus menerus. Sudah dua jam dia menunggu tapi Devan dan juga Naya belum terlihat.
Dengan rasa gelisah, Araya kembali membuka layar ponselnya. Menekan nomor Devan kemudian—memanggil.
Berdering, namun sama sekali tidak dijawab, setelah menelpon Devan, Araya juga menelpon Naya yang jawabannya sama saja. —berdering namun tidak terjawab.
"Sebenarnya kalian ke mana," batinnya.
Tidak ada pilihan lain—Araya memilih untuk pulang ke-rumah jalan kaki.
Selama berjalan perasaan Araya tidak karuan, ia terus merasa khawatir dan takut jika dia sampai di rumah. Gadis itu menggigit bibir bawahnya hingga berdarah, perdebatan anatara ia dan ibunya benar-benar mengkhawatirkan.
"Apa aku ke ruang latihan saja? Atau... sebaiknya aku tinggal di sana," batinnya pada diri sendiri.
Araya menggeleng dengan pelan. "Itu bukanlah pilihan yang tepat, aku harus berpikir secara dewasa tapi bagaimana caranya?"
Gadis itu terus membatin dan melayangkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak kunjung memiliki jawaban/solusi.
Langkah gadis itu berhenti, ia perlahan duduk di pembatan jembatan (seperti pagar, biasa jembatan ada bangunan di sampingnya, nah seperti itu. Araya duduk di atasnya).
Entahlah Araya bingung, air mata gadis itu tiba-tiba saja jatuh tanpa diminta dengan cepat ia menghapusnya seperti anak kecil yang berantakan.
"Itu tidak dewasa Araya," ucapnya dengan suara bergetar.
Namun, air matanya terus mengalir serta dadanya yang terasa sesak. Semakin berantakan, Araya berusaha memberhentikan air matanya yang terus berjatuhan dengan deras.
"Kumohon."
"Jangan seperti ini."
"Ini tidak cocok."
Ia terus menerus menegur dirinya sendiri agar tidak menangis, karena itu bukanlah sikap dewasa.
///
Araya menangis sebisa-bisanya, dengan erat Devan memeluk gadis itu.
"Araya, aku tidak suka dengan sikap cengengmu ini. Mama-mu benar adanya, berhentilah memasuki latihan dance, ikutilah katanya," ucap Devan.
Araya menggeleng dengan air mata yang terus mengalir. "Aku tidak bisa, Devan."
"Terserah kau saja, aku muak melihatmu menangis terus menerus. Kita putus saja," ucap pemuda itu tanpa peduli.
Araya menggeleng. "Tidak, Devan. Baiklah aku tidak akan menangis, aku akan menjadi dewasa seperti apa yang kamu minta."
\
Walaupun Araya terus menerus memendam semuanya selama ini, tapi entah mengapa ia menjadi cengeng saat bersama Devan.
Ia terus ingin di manja dan disayangi seperti seorang ayah yang memanjakan anaknya. Namun, hal itu membuat Devan marah.
Devan tidak suka dengan gadis yang sikapnya seperti Araya.
Dan pada saat itu Araya mulai belajar sikap dewasa seperti apa yang Devan katakan padanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!