NovelToon NovelToon

IRONBOY Hero In The City

Bab 1: Kilau Besi di Tengah Sampah

Di pinggiran kota Neo-Terra, tempat langit berwarna kelabu dan gedung-gedung pencakar langit yang hanya tampak sebagai bayangan di kejauhan, terdapat pemukiman pinggiran yang dinamai distrik GEAR,

Ruby adalah anak remaja yang tinggal di pinggiran kota Neo-Terra, tak jauh dari Scrapzone 9, tempat pembuangan sampah mesin terbesar di sektor timur. Di distrik GEAR.

Ruby hidup sederhana. Setiap pagi, ia mengenakan sarung tangan robeknya dan berjalan ke tumpukan logam tua untuk mencari suku cadang yang masih bisa dijual.

Ibunya telah lama tiada, dan ayahnya—seorang mekanik—menghilang saat Ruby masih kecil, dalam misi perbaikan jaringan listrik bawah tanah yang katanya “berbahaya tapi bayarannya besar”.

Meski hidupnya keras, Ruby punya satu impian: membuat robotnya sendiri. Bukan sembarang robot, tapi unit tempur taktis seperti yang digunakan di Zona Perang saat dia kecil dulu. Ia menyimpan bagian-bagian robot yang ia temukan—sensor rusak, kabel putus, chip tua—di bawah lantai gubuknya. Teman-teman seumurnya sibuk jadi kurir drone atau pencuri data, tapi Ruby lebih suka tenggelam dalam dunia mesin dan logika.

Suatu sore yang mendung, ketika petir buatan menyambar langit Neo-Terra, Ruby menemukan sesuatu yang mengubah hidupnya.

Di balik tumpukan besi dan baja berkarat, ia melihat kilatan logam bersih, terlihat tak biasa di tempat seperti itu. Saat ia menyingkirkan puing-puing logam, matanya membelalak. Sebuah exosuit—armor tempur tipe lama, tapi masih utuh. Logo militer yang sudah terhapus sebagian terlihat di bahunya. Di dada armor, tertulis: IRON-X Mk.04.

“Ini… bukan sembarang rongsokan…” bisik Ruby, tangannya gemetar.

“ini... Armor tempur..” lanjut Ruby menelan ludah.

Dan dari dalam helm armor itu, suara lemah terdengar, seperti dengungan:

“Sistem kritis. Memulai… sinkronisasi ulang…”

****************

Ruby menatap armor itu, matanya tak berkedip. Debu tipis beterbangan tertiup angin dari turbin ventilasi raksasa yang berputar pelan di kejauhan. Di sekelilingnya, tumpukan besi dan plastik sintetis menciptakan bayangan aneh, seolah menyoroti armor yang setengah terkubur itu seperti peninggalan kuno dari peradaban masa lalu.

Ia berjongkok, tangannya menyentuh permukaan dingin exosuit itu. Logamnya mulus, jauh berbeda dari rongsokan biasa. Bahkan saat ia mengetuknya perlahan, suara “tang-tang”-nya terdengar padat dan kuat, bukan kosong atau rapuh.

Di sekelilingnya, beberapa drone pemulung melayang rendah, memindai tumpukan sampah, tapi tak ada satu pun yang tampaknya mendeteksi apa yang Ruby temukan. Entah karena sistem kamuflase armor itu, atau karena keberuntungan saja.

“IRON-X Mk.04… ini model kelas militer, armor tempur yang pernah kulihat 10 tahun lalu” gumam Ruby. Ia menelan ludah. “Kalo ini masih nyala… Armor ini bisa jadi cara untuk keluar dari tempat sialan ini.”

Neo-Terra adalah mimpi buruk bagi siapa pun yang lahir di bawah garis langitnya. Kota itu megah di bagian tengah—penuh cahaya neon, drone patroli, dan menara perusahaan raksasa. Tapi di pinggiran kotanya, tempat Ruby tinggal, hanya ada kegelapan, kebisingan mesin tua, dan udara penuh debu karbon.

Ia mencoba membuka helm armor, tapi terkunci. Lalu suara itu terdengar lagi, lebih jelas kali ini, meski masih serak dan berisik.

> “Sistem… daya utama gagal. Unit dalam mode darurat. Butuh… sinkronisasi biometrik…”

Ruby terpaku mendengar suara itu. Ia pernah membaca tentang armor ini di sebuah artikel—armor militer generasi keempat memiliki sistem pengenalan pengguna berbasis bio-jaringan.

Jika armor ini masih berfungsi dan bisa sinkron dengannya, ia mungkin bisa menghidupkannya. Tapi juga berisiko besar. Jika armor ini mengenali Ruby sebagai musuh, ia bisa terbakar oleh sistem pertahanan internal.

Namun, rasa penasaran Ruby lebih besar dari rasa takutnya.

Ia menyingsingkan lengan jaketnya yang sobek, memperlihatkan kulit yang penuh luka kecil akibat bertahun-tahun menggali rongsokan. Lalu, dengan hati-hati, ia melerakkan telapak tangan ke panel kecil di bagian dada armor. Panel itu berkedip pelan, lalu terdengar suara baru—lebih mekanis, lebih dalam.

> “Biometrik… terdeteksi. Sumber tidak dikenal. Mencocokkan dengan database…”

> “…Pencocokan gagal. Aktivasi darurat memerlukan konfirmasi manual.”

Tiba-tiba, dari bagian punggung armor, muncul alat kecil seperti jarum suntik yang menyala biru.

“Ah, sial… ini pengenal darah,” desis Ruby.

Ia menggigit bibir. “Yah, kalau ini adalah cara satu-satunya… Mau tak mau”

Dengan cepat ia menusukkan jarum itu ke ujung jarinya, dan darah menetes masuk ke lubang kecil di alat itu. Lampu indikator berganti hijau.

> “Konfirmasi manual diterima. Mode tamu diaktifkan. Memulai proses booting parsial…”

Armor itu mulai bergerak. Getaran kecil terasa di tanah saat kaki logamnya mengeluarkan bunyi klik dan desis halus. Lampu merah di helmnya menyala perlahan, membentuk pola lingkaran yang berdenyut.

Ruby mundur satu langkah, jantungnya berpacu. Namun armor itu tidak menyerang. Sebaliknya, ia hanya berdiri diam, seperti menunggu perintah.

> “Unit IRON-X siap dalam mode darurat. Energi terbatas. Tujuan operasional?”

Ruby hampir tidak percaya. Armor ini tidak hanya menyala—ia merespon.

“Tujuan?” gumamnya. “Aku cuma pengumpul rongsokan… Tapi kalau kamu benar-benar masih bisa jalan…”

Ia menatap sekeliling. Tak ada orang, hanya angin dan bau oli terbakar. Ia harus menyembunyikan armor ini—sebelum pihak berwenang menemukannya. Exosuit militer seperti ini pasti dicari. Bisa jadi milik perusahaan senjata yang kehilangan kontrol, atau malah proyek rahasia yang gagal.

Ruby menarik napas dalam-dalam. Ia menatap helm armor itu, lalu berkata, “Ikut aku. Kita harus pergi dari sini.”

Armor itu bergerak. Tidak cepat, tapi mantap. Langkah-langkahnya berat, tapi presisi, nyaris seperti manusia. Ruby memimpin jalan kembali ke gubuknya, hanya sekitar lima menit dari tumpukan sampah tempat ia menemukannya. Sepanjang perjalanan, pikirannya penuh dengan kemungkinan: jika armor ini benar-benar bisa diperbaiki, ia bisa menjadi kuat. Lebih dari sekadar pemulung. Ia bisa menjadi pahlawan.

---

Rumah kecil Ruby sempit dan berantakan, tapi memiliki satu kelebihan: ruang bawah tanah yang dulu dibangun ayahnya untuk menyimpan suku cadang. Ia membuka pintu rahasia di lantai kayu lapuk, dan memerintahkan armor untuk masuk. Armor itu menunduk dan mengikuti, dengan suara logam menggesek kayu di setiap langkah.

Begitu armor itu masuk, Ruby menutup lantai dan menyalakan beberapa lampu neon kecil yang tergantung dari kabel bekas. Di ruangan itu, ratusan bagian mesin tersusun rapi di rak buatan sendiri. Ada drone kecil setengah jadi, kaki robot yang sudah dicopot servo-nya, dan bahkan satu buah CPU militer versi lama.

“Selamat datang di markas kecilku,” kata Ruby sambil tersenyum.

Ia mulai memeriksa armor itu lebih teliti. Banyak bagian yang rusak—lapisan luar tergores parah, beberapa kabel tampak meleleh, dan modul daya utama terlihat nyaris habis. Tapi intinya masih utuh. Ia bahkan menemukan port akses di bagian punggung untuk masuk ke sistem firmware-nya.

> “Sistem mengalami kerusakan kritis. 34% fungsional. Modul pertempuran nonaktif. Butuh daya cadangan untuk pemulihan penuh.”

Ruby mengangguk. “Berarti aku perlu cari inti energi baru… atau setidaknya baterai militer kelas dua.”

Barang yang Ruby sebutkan Itu bukan hal yang mudah untuk di dapatkan apalagi hanya mencari di tumpukan sampah. Tapi ia tahu tempat: Black Alley Market, pasar gelap di bawah jalur trem tua. Di sana, semua yang ilegal bisa dibeli—asal punya cukup barang untuk ditukar. Ruby melihat ke arah rak di pojok. Ia punya beberapa barang langka—sensor termal generasi 5, chip AI bekas, bahkan panel surya mini yang masih 70% fungsional.

“Besok kita ke pasar,” katanya. “Tapi malam ini, aku mau tahu lebih banyak tentangmu.”

Ia menyambungkan kabel data ke port belakang armor dan menghubungkannya ke layar tab tua miliknya. Setelah beberapa detik, layar menampilkan logo lama: ARKHEON INDUSTRIES – IRON-X Series.

Dan kemudian muncul file log:

> MISI: Operasi Bersih – Zona Delta 4

STATUS: GAGAL – Intervensi musuh tak terduga

PILOT: Kapten D. Varen – status: HILANG

TERAKHIR DIPERINTAHKAN: Lari. Sembunyi. Jangan kembali.

Ruby terpaku menatap layar.

“Armor ini… punya masa lalu,” bisiknya.

Di luar, petir buatan menyambar lagi, menyoroti kota Neo-Terra dalam kilatan cahaya ungu. Di bawahnya, Ruby menggenggam kabel data erat-erat, hatinya berdebar.

Ia tahu. Hidupnya baru saja berubah selamanya.

...----------------...

bab: 2 . perbaikan

Matahari belum sepenuhnya muncul di atas cakrawala Neo-Terra ketika Ruby membuka pintu rumah nya. Kabut tipis masih menggantung di udara, bercampur aroma terbakar dari pabrik peleburan logam yang tak pernah tidur. Suara denting mesin dan desisan uap terdengar samar di kejauhan.

Ia memasukkan beberapa barang ke dalam ransel lusuh—komponen-komponen langka yang bisa ditukar di Black Alley Market. Di tangannya, ia membawa panel surya mini, chip pengolah grafis generasi lama, dan satu tabung energi kecil yang masih menyimpan sisa daya.

Saat hendak melangkah keluar, suara sepeda motor tua terdengar mendekat dari ujung gang.

Brak!

Motor itu berhenti mendadak, menimbulkan semburan debu.

"Hei Ruby, kau mau ke mana?" seru seorang remaja berambut acak dan berkacamata pelindung—Zack, sahabat Ruby sejak kecil.

Zack turun dari motornya sambil membawa sebuah kotak logam kecil. Ia tinggal beberapa blok dari Ruby, masih di distrik GEAR, distrik pemulung dan teknisi amatir, tempat anak-anak seperti mereka bertahan hidup dengan membongkar dan menyambung kembali masa depan.

Ruby tersenyum tipis. “Mau ke pasar. Ada barang yang harus kubeli.”

Zack menaikkan alis. “Pasar gelap pagi-pagi gini? Pencuri data belum bangun tidur, loh.”

“Yah, aku nggak beli data. Aku butuh… komponen,” jawab Ruby sambil cepat menutup pintu rumah nya.

Zack mendekat, lalu mengacungkan kotak logam yang dibawanya. “Ngomong-ngomong soal komponen, aku nemu ini kemarin. Beli dari seorang botak aneh di lorong 9. Katanya ini chip AI untuk gaming, tapi waktu kupasang ke komputermu yang dulu kau bantu rakit itu— ternyata nggak cocok sama sekali. Komputerku malah nge-freeze total. Mungkin kamu bisa pakai.”

Ruby menerima kotak itu, membuka tutupnya pelan. Matanya langsung membelalak.

“Zack… ini bukan chip gaming biasa. Ini… chipset AI Intel Orion-X Series. Ini bukan barang pasar gelap level bawah. Ini kelas militer.”

Zack melongo. “Serius?”

Ruby mengangguk pelan. “Chip ini dipakai buat pemrosesan taktis, drone tempur, bahkan otak sintetis di robot-robot elit. Kalau ada ini… aku bisa aktifkan sebagian besar subsistem armor itu.”

Zack mengerutkan dahi. “Armor apa?”

Ruby ragu sejenak, lalu menatap sekeliling. Jalanan sepi. Ia memberi isyarat cepat.

“Masuk dulu.”

...----------------...

Di dalam ruang bawah tanah, Zack melangkah dengan hati-hati di belakang Ruby. Ia sering ke sana, tapi pagi ini ada sesuatu yang berbeda. Suasana ruang itu terasa lebih… hidup. Dan ketika matanya menangkap siluet besar di pojok ruangan, ia berhenti seketika.

“Holy crap…”

Di sana, berdiri armor tempur dengan lampu mata merah menyala redup. Permukaannya penuh goresan, tapi tetap tampak tangguh. Sisa-sisa lumpur dan debu masih menempel di beberapa sendinya. Kabel-kabel tersambung dari punggung armor ke berbagai alat bantu di sekitar ruangan.

“Ruby… apa-apaan ini?” bisik Zack, nyaris tak percaya.

“Inilah kenapa aku butuh ke pasar gelap,” jawab Ruby sambil menepuk badan armor itu. “Kupanggil dia IRON-X. Model tempur generasi keempat. Aku nemu dia kemarin di tumpukan. Ini Masih hidup.”

Zack mendekat perlahan, memandangi armor itu dari atas ke bawah. “Kau bilang hidup?”

Seolah menjawab, armor itu bergerak sedikit, mengeluarkan desisan halus dan bunyi servo yang memutar sendi lehernya. Lampu matanya menyala lebih terang.

“Unit IRON-X mendeteksi kehadiran baru. Mode aman aktif. Tidak ada ancaman teridentifikasi.”

Zack melompat mundur. “Dia ngomong! Dia beneran hidup!”

Ruby tertawa kecil. “Tenang, dia udah sinkron sementara denganku. Tapi masih butuh banyak perbaikan. Chipset yang kamu bawa itu… bisa bantu aktifkan sistem AI taktis-nya.”

Zack duduk di kursi terdekat, masih tercengang. “Ruby… kau sadar nggak apa yang kau punya ini? Ini bukan cuma teknologi… ini bisa jadi alasan seseorang memburumu. Polisi. Militer. Geng cyber. Bahkan perusahaan besar kayak Arkheon bisa datang mencarimu kalau tahu armor ini masih aktif.”

Ruby menatap armor itu. “Aku tahu. Tapi ini kesempatanku, Zack. Aku bisa jadi lebih dari sekadar pemulung. Aku bisa…”

Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Aku bisa punya kekuatan untuk ubah hidupku.”

Zack memandangi temannya dengan campuran kekhawatiran dan kekaguman.

“Kalau begitu,” katanya sambil bangkit, “kau nggak bisa ke pasar sendirian. Aku ikut. Siapa tahu ada yang kenal chip ini, dan mulai curiga. Lagipula, kita belum pernah ke pasar gelap bareng sejak insiden 'drone meledak' dua tahun lalu.”

Ruby tersenyum. “Iya, yang bikin separuh alismu kebakar.”

Zack tertawa, lalu menepuk bahu Ruby. “Ayo, sobat. Dunia cyber tunggu kita.”

...----------------...

Di luar, kabut mulai menipis, dan jalanan Neo-Terra perlahan kembali bising. Tapi di dalam gubuk itu, dua remaja sedang bersiap memulai perjalanan yang akan mengubah nasib mereka selamanya—dengan armor tempur, chipset AI, dan tekad yang tak bisa dibeli dengan kredit digital.

Suasana pasar gelap Black Alley Market tak pernah berubah: sempit, penuh asap, dan selalu ada musik elektronik berdengung samar dari speaker tua yang menempel di dinding. Neon berkedip tak teratur, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di sepanjang lorong sempit. Di sinilah barang-barang ilegal, suku cadang langka, dan teknologi usang di jajakan.

Ruby dan Zack berjalan cepat menyusuri lorong 11B. Mereka sudah mendapatkan apa yang dibutuhkan: dua baterai daya militer kelas dua, beberapa kabel bio-konduktif, dan—yang paling penting—modul pendingin untuk chipset AI yang Zack bawa tadi pagi.

Mereka juga sempat membeli beberapa makanan: nasi instan dalam kotak logam, roti sintetis isi daging sintetik, dan minuman kaleng yang katanya bisa "menambah fokus 300%". Zack memborong dua kaleng.

“Gue yakin minuman ini bikin otak melek kayak AI. Rasanya kayak aki, tapi manjur,” ujar Zack sambil menenggak kaleng pertamanya.

“Yang penting jangan bikin lo nge-fuse,” balas Ruby sambil tertawa kecil.

Setelah menyelesaikan urusan di pasar, mereka berdua menaiki motor listrik modifikasi milik Zack. Bentuknya mirip motor klasik, tapi bagian bawahnya punya suspensi magnetik dan roda belakang bisa melipat menjadi mode "hover-jump" untuk melompati celah jalan. Knalpotnya mengeluarkan suara berdesis rendah, mirip suara uap, dan ada lampu LED biru di sisi sampingnya.

Perjalanan pulang melalui gang-gang distrik GEAR terasa seperti petualangan cyber kecil. Lantai jalan dari logam tua bergema tiap kali roda menghantam sambungan las yang longgar. Udara sore terasa sedikit lebih hangat dari biasanya, mungkin karena reaktor uap di sektor 9 yang bocor sejak dua minggu lalu.

...----------------...

Sesampainya di rumah Ruby, mereka langsung masuk ke ruang bawah tanah. IRON-X masih berdiri di tempat yang sama, diam dan menunggu.

“Waktunya operasi,” gumam Ruby.

Zack meletakkan tas perlengkapannya di meja kerja dan mulai mengeluarkan peralatan. Tangan-tangannya yang cekatan langsung menghubungkan kabel, membuka panel armor, dan memeriksa konektor chip lama.

“Chip yang lama udah gosong, nih,” kata Zack sambil menyorot senter kecil ke bagian otak elektronik IRON-X. “Mungkin kena EMP waktu pertempuran terakhirnya. Tapi secara struktur, slotnya masih bagus.”

Ruby menyerahkan chip AI Intel Orion-X yang mereka bawa sejak pagi. Zack memasangnya dengan hati-hati, lalu menghubungkannya ke modul pendingin baru yang disambungkan ke baterai militer yang baru mereka beli.

“Siap?” tanya Zack.

Ruby mengangguk. “Lakukan.”

Zack menekan tombol aktivasi.

Sekejap, sistem IRON-X hidup kembali. Lampu matanya menyala lebih terang. Seluruh tubuhnya bergetar halus, dan layar di dada armor menampilkan tulisan kuno:

> BOOTING SYSTEM

INTEL ORION-X ACTIVE

PROSESOR TACTICAL MODE: 87% ONLINE

MODUL MEMORI: TERESTORASI SEBAGIAN

IDENTIFIKASI PENGGUNA: TAMU / SINKRON MANUAL

Lalu terdengar suara yang lebih halus, lebih canggih, dan jauh lebih ‘hidup’.

> “Sistem AI Orion aktif. Memasuki mode pemulihan. Menghitung ulang prioritas misi… Tujuan baru diperlukan.”

Zack melongo. “Whoa… dia beneran AI mandiri. Bukan cuma interface tempur biasa.”

Ruby menatap armor itu dengan campuran rasa kagum dan tekad. “IRON-X… prioritas baru: bantu aku bertahan hidup, dan jangan biarkan siapa pun mencurimu.”

> “Prioritas diterima. Sinkronisasi semi-penuh diizinkan. Sistem siap digunakan.”

Zack menyalakan panel tambahan yang ia bawa—sebuah layar lipat yang terhubung langsung ke sistem armor.

“Aku bisa bantu bikin antarmuka kontrol buat kamu,” ujar Zack. “Nggak usah bergantung ke suara terus. Kita bisa pakai sensor saraf juga, biar kamu bisa gerakin dia kayak tubuh sendiri.”

Ruby mengangguk. “Kedengarannya gila. Tapi aku suka hal gila.”

Malam itu, ruang bawah tanah mereka dipenuhi percikan api las, cahaya dari monitor, dan suara desisan servo. Mereka memperbaiki sambungan, mengganti pelapis isolasi, dan mengatur ulang firmware armor. Makanan mereka sudah dingin, tapi semangat mereka tak pernah sehangat ini.

Dan ketika malam semakin larut, IRON-X akhirnya berdiri tegak penuh.

Bukan lagi tumpukan besi rusak—tapi mesin perang hidup yang menunggu perintah.

Dengan Ruby sebagai pilotnya.

Dan Zack sebagai otaknya di belakang layar.

---

bab : 3. uji coba

Udara pagi di distrik GEAR masih diselimuti bau besi tua dan oli terbakar. Kabut tipis menyelimuti udara di antara reruntuhan, menciptakan suasana yang seperti keluar dari mimpi buruk robotik. Di kejauhan, tumpukan besi bekas menggunung, menciptakan labirin raksasa dari bangkai mesin, robot rusak , plat plat berkarat, dan kendaraan militer yang sudah dilucuti kulitnya.

Di sinilah Ruby dan Zack berdiri—di tengah salah satu tempat paling liar dan tak terurus di Neo-Terra: Zona Pembuangan D-3, tempat sampah logam yang dijauhi bahkan oleh para pemulung veteran.

“Tempat ini luas, kosong, dan nggak ada yang peduli kalau tiba-tiba ada ledakan kecil,” kata Zack sambil memeriksa ulang kontrol tablet lipatnya.

Ruby mengenakan pakaian dalam pelindung dari fiber karbon, lalu berdiri di depan IRON-X, yang kini berdiri tegak dan tampak lebih hidup dari sebelumnya. Kabel sinkronisasi saraf telah disambungkan ke sarung tangan dan helm khusus yang terhubung langsung ke AI dalam armor.

“Oke Ruby, sekarang pakai armor itu. Kita akan mengujinya,” kata Zack sambil menyeringai.

Ruby menarik napas panjang. Dengan bantuan servo otomatis, bagian dada armor terbuka—menyisakan ruang dalam seperti kepompong baja. Ia melangkah masuk. Panel dada menutup perlahan, menyegel tubuhnya dengan desisan mekanis.

> “Sinkronisasi dimulai. Detak jantung stabil. Gelombang saraf cocok: 93%.”

Dalam helmnya, Ruby bisa melihat visual HUD (Head-Up Display) menyala penuh. Sensor mata, radar mini, dan grafik kekuatan armor tampil di depannya. Suara AI Orion-X terdengar halus di telinganya.

> “Selamat pagi, Ruby. Sistem IRON-X siap untuk uji coba.”

“Luar biasa…” gumam Ruby. Gerakannya kini terasa berat tapi seimbang. Langkah pertama terdengar seperti logam raksasa menghantam tanah. Tapi lama-lama, tubuhnya mulai menyesuaikan.

Zack memantau dari jarak aman, mengatur sistem dari tabletnya.

“Oke, kita mulai dari dasar: jalan cepat, lalu sprint, lalu lompat.”

Ruby mulai berjalan, lalu berlari. Armor mengikuti setiap gerakannya nyaris sempurna. Ketika ia sprint, tanah logam bergetar. Kemudian ia melompat—dan untuk pertama kalinya, ia merasa seperti bisa terbang.

“Gila! Sistem pendorong kaki aktif!” seru Ruby sambil mendarat keras di atas satu tumpukan besi. Debu dan karat berhamburan.

Zack mencatat semua data. “Stabilisasi masih kasar, tapi power output-nya brutal.”

“Lanjut ke sistem senjata?” tanya Ruby, mulai terbakar semangat.

“Belum. Coba fitur pertahanan dulu. Aktifkan perisai plasma di lengan kanan.”

Ruby menekan panel di tangannya, dan perisai energi biru berbentuk setengah lingkaran muncul, berdengung halus. Ia mencoba menahan serpihan logam besar yang dilempar Zack—dan perisai itu menangkisnya seperti selembar kertas.

“Ini… seperti mimpi,” gumam Ruby. “Gue beneran ngerasain jadi bagian dari armor ini.”

Zack tersenyum puas. “Sekarang, coba sistem tempur ringan. Aktifkan cannon lengan kiri—mode stun.”

Ruby menyesuaikan posisi. Bagian lengan kirinya berubah, dan laras senjata kecil muncul. Ia menargetkan drum kosong beberapa meter di depan.

ZzzZZT—BOOM!

Dentuman listrik keluar, dan drum itu terpental seperti ditendang raksasa.

Tapi tepat setelah tembakan pertama, HUD Ruby berkedip merah.

> PERINGATAN: Energi terdeteksi. Radar pasif menangkap gelombang pengintai.

Zack juga melihat sinyal asing muncul di tabletnya. “Ruby, ada drone pengintai di atas zona ini. Modelnya—shit, itu drone perusahaan Arkheon!”

Ruby langsung berjongkok dan bersembunyi di balik bangkai mesin besar.

“Dia ngelihat kita?” tanya Ruby cepat.

Zack menekan tombol pengacak sinyal, mencoba memutus koneksi drone. “Belum yakin, tapi kalau mereka ngelacak pancaran armor lo… kita bisa dalam masalah.”

Ruby mematikan sistem senjata dan mengaktifkan mode stealth. Lampu di matanya meredup, suara servo melembut.

“Harusnya kita belum terlalu mencolok. Tapi kita harus cabut dari sini sekarang.”

Zack menyalakan motornya dari jarak jauh. “Armor bisa lari cepat. Lo maju ke arah barat, gue bakal jemput di titik 07.”

Ruby mengangguk, lalu berdiri, tubuhnya setinggi dua meter lebih. Ia berlari menembus reruntuhan, melompat dari satu tumpukan besi ke yang lain.

Drone Arkheon melayang tinggi, tak bergerak, tapi matanya menyala merah. Dan di balik layar di menara perusahaan, seseorang sedang memantau mereka.

> “Target terdeteksi. Unit tempur model IRON-X… aktif kembali?”

Seseorang mengenakan jas hitam menyipitkan mata.

> “Kirim tim eksekusi. Bawa armor itu pulang—apapun caranya.”

...----------------...

Langit Neo-Terra sudah mulai menggelap saat Ruby dan Zack akhirnya tiba kembali di rumah Ruby. Napas mereka masih terengah, campuran antara kelelahan dan ketegangan setelah hampir tertangkap drone Arkheon. Motor Zack diparkir seadanya di samping bangunan tua, dan pintu geser yang sudah berkarat menutup dengan bunyi decit pelan.

Di ruang bawah tanah, Ruby berdiri di tengah lantai besi, lalu memerintahkan armor IRON-X untuk membuka. Panel dada terbuka, helm terbelah, dan tubuh armor bergeser perlahan, membebaskan Ruby yang masih berkeringat .

“Aku ngerasa kayak baru aja ngerasain mimpi ,” katanya sambil duduk di lantai dan menarik napas panjang.

Zack ikut duduk, tablet di tangannya masih memantau data dari armor. “Gue udah ngumpulin semua log-nya. Tapi ada satu hal aneh… Chipset AI yang lo pakai—Intel Orion-X itu—kayak lagi... ngelakuin hal di luar kendali kita.”

Ruby menatapnya. “Maksud lo?”

Zack menunjukkan layar. “Dia terhubung ke semacam jaringan satelit . Dikit-dikit, chip itu kayak... upgrade sendiri. Padahal kita nggak kasih izin apa pun.”

Tiba-tiba, dari pojok ruangan, armor IRON-X yang sudah dilepas mulai bergetar.

Lampu indikatornya menyala satu per satu, tapi warnanya bukan lagi biru—melainkan putih keperakan. Lalu panel-panel logam di tubuhnya mulai bergerak, berubah bentuk, seperti... berevolusi.

Ruby dan Zack berdiri dengan cepat, mundur beberapa langkah.

“Apa-apaan ini?!” Ruby berseru.

“Sistem AI Orion: Pembaruan selesai. Mode lama dinonaktifkan. Memulai Reformasi Integrasi Nano-Graphene™.”

Dalam sekejap, armor itu mulai meleleh dan merakit ulang dirinya sendiri—bukan seperti cair, tapi seperti jutaan partikel kecil yang menyatu kembali dalam bentuk baru. Itu dikarenakan chipset yang dipasang berbahan nano teknologi, dan nano teknologi itu langsung menyerap ke seluruh bagian komponen armor robot, jadi Prosesnya seperti jam tangan digital yang me-render ulang bentuknya secara real-time.

Panel armor lama luruh dan tergantikan oleh lapisan baru yang jauh lebih ramping, ringan, tapi juga lebih kuat secara visual. Warna hitam matte dengan pola garis tipis biru keperakan menyelimuti seluruh permukaan. Helmnya kini tidak ada lagi , melainkan menyatu secara mulus, elegan, dengan visor transparan cerdas yang bisa menyesuaikan bentuk wajah pengguna.

Yang paling mengejutkan, armor itu kini setinggi Ruby—tidak lagi setinggi dua meter lebih seperti sebelumnya.

“Dia... ngepas ke ukuran gue,” gumam Ruby, hampir tak percaya.

Zack melangkah mendekat perlahan, matanya masih terpaku pada punggung armor. “Ruby... ini bukan armor biasa. Ini udah bukan IRON-X lagi. Ini udah... jadi bagian dari lo.”

Ruby menyentuh permukaan armor baru itu. Lembut seperti sutra, tapi terasa sekuat baja. Dari dalam, armor menyalakan proyeksi hologram kecil.

“Versi 2.0 aktif. Sistem ‘NEURO-FLOW’ tersedia. Pemakain jangka panjang akan meningkatkan sinkronisasi saraf-mekanikal sebesar 300%.”

Zack membaca data di tab-nya, mulutnya sedikit terbuka karena takjub. “Armor ini sekarang terbuat dari... graphene-nanotech, Ruby. Bahan paling kuat, paling ringan, dan hampir mustahil dimusnahkan. Tapi... itu bukan bagian yang paling gila.”

Ruby menatapnya. “Apa yang lebih gila dari itu?”

Zack menatap Ruby, serius. “Armor ini sekarang punya sistem adaptif learning. Dia belajar dari lo—gerakan lo, pola berpikir lo, gaya bertarung lo. Semakin lama lo pakai, semakin cerdas dia.”

Ruby terdiam sejenak. Lalu menatap armor barunya—yang kini seperti cermin masa depan dirinya sendiri.

“Berarti ini bukan cuma alat. Ini partner,” katanya pelan.

Zack mengangguk. “Partner... dan juga senjata paling berbahaya di Neo-Terra kalau jatuh ke tangan yang salah.”

Mereka berdua saling pandang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!