Seorang gadis manis dengan mata berbinar dan senyum yang tak pernah lelah, turun dari bus terakhir sore itu. Di tangannya hanya ada satu koper tua dan satu map berisi berkas penting. Namanya Maura Antika, dua puluh tahun, ceria, lugu, dan penuh mimpi besar.
Kota baginya adalah dunia yang asing, bising, tapi juga menjanjikan. Ia datang bukan dengan harta, bukan dengan kenalan berpengaruh—melainkan dengan beasiswa dari kampus ternama yang membuat matanya berkaca-kaca saat surat pengumuman itu tiba di rumah kecilnya di desa.
Maura meninggalkan kampung halamannya, orangtua yang sederhana, dan adik-adik yang memeluknya erat saat perpisahan. Semua demi satu tujuan: mengubah hidup, meraih mimpi, dan membuktikan bahwa gadis desa pun bisa bersinar di kota besar.
Ia menginap malam itu di rumah kos yang sudah dipesan jauh-jauh hari. Kos kecil di pinggir kota, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat berpijak pertama dalam petualangan panjangnya.
Pagi ini menjadi hari pertama Maura masuk kuliah. Seragam almamaternya masih tampak baru, wajahnya cerah walau sempat kurang tidur karena gugup. Ia duduk di halte bus, menunggu transportasi yang akan membawanya ke kampus barunya. Tangannya memeluk map berisi jadwal kuliah, sementara matanya memperhatikan orang-orang berlalu-lalang.
Suasana kota terasa asing, tapi Maura tak merasa takut. Ini kota impiannya. Tempat di mana ia ingin mengukir masa depan.
Namun ketenangan pagi itu mendadak pecah.
Seorang wanita tua di seberang halte tiba-tiba berteriak, “jambret! Tas saya!”
Maura reflek menoleh. Seorang pria bertudung dan bermasker tengah berlari cepat sambil membawa tas milik wanita tua itu. Orang-orang hanya menatap, beberapa terpaku, beberapa menghindar. Tapi tidak Maura.
Tanpa berpikir panjang, ia langsung berdiri dan berlari sekencang-kencangnya mengejar si penjambret.
“Berhenti! Jangan lari!” teriak Maura lantang, napasnya memburu namun langkahnya mantap. Tubuhnya yang gesit dan ringan membawanya semakin dekat dengan pelaku.
Saat jarak mereka hanya beberapa langkah, Maura meloncat dan menarik ujung baju pria itu dengan sekuat tenaga, hingga penjambret itu terhuyung dan hampir jatuh.
Orang-orang mulai menyadari apa yang terjadi dan ikut mendekat. Pria itu panik, melempar tas dan berusaha kabur, tapi ada pemuda di dekat sama berhasil meringkusnya dari sisi lain.
Maura terdiam sesaat, napasnya tersengal, jantungnya berdetak cepat.dan berhasil mendapatkan tas yang dirampas tadi . Ia bahkan tak sadar kakinya sedikit tergores akibat gesekan di trotoar.
Maura masih terengah ketika sang penjambret akhirnya berhasil diamankan oleh warga dan seorang pemuda yang tak dikenalnya. Nenek yang menjadi korban mendekat, wajahnya penuh haru.
Setelah mendapatkan tas ia menghampiri sang nenek. Wanita tua berdiri dengan mata berkaca-kaca. Ia khawatir dengan gadis yang menolongnya itu.
“Terima kasih, Nak… kamu sangat pemberani,” ucap sang nenek dengan suara bergetar.
Maura tersenyum canggung, masih menyeka keringat di dahinya. “Saya cuma nggak tahan lihat orang jahat kabur begitu saja, nek …”
Sang nenek menggenggam tangan Maura erat. “Namaku Margaret. Nenek Margaret. Nenek nggak akan lupa wajahmu, Nak…”
Sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya, Nenek Margaret menyelipkan sebuah kartu nama kecil ke telapak tangan Maura.
“Kalau kamu butuh bantuan… atau sekadar ingin minum teh bersama orang tua di kota ini, hubungi nenek, ya.”
Maura mengangguk sambil memandangi kartu itu—kertas putih elegan dengan tulisan nama Margaret S. Darmawan dan alamat rumah di sebuah kawasan elit kota.
Namun sebelum sempat berkata lebih banyak, Maura melirik jam tangannya.
“Ya ampun! Bus-nya!” serunya panik.
Ia segera membungkuk sopan. “Maaf, Nek! Saya harus pergi sekarang. Terima kasih, ya!”
“Pergilah, Nak. Hati-hati di jalan!” seru Nenek Margaret sambil melambaikan tangan.
Dengan langkah cepat, Maura berlari kecil mengejar bus yang hampir meninggalkan halte. Ia berhasil naik di detik terakhir, lalu duduk sambil terengah, menggenggam kartu nama itu erat-erat.
Bus yang ditumpangi Maura perlahan melaju meninggalkan halte. Dari kejauhan, Nenek Margaret masih berdiri, matanya mengarah pada bayangan bus yang makin mengecil di kejauhan. Wajahnya penuh rasa kagum dan senyum tulus yang sulit disembunyikan.
Tak lama, seorang pria berseragam hitam rapi berlari kecil menghampirinya. Wajahnya terlihat panik.
“Nyonya Margaret! Maaf saya terlambat… Apakah nyonya baik-baik saja? Apakah terluka?”
Nenek Margaret menggeleng pelan. “Aku baik-baik saja, Johan. Hanya sedikit terkejut.”
Ia lalu menunjuk ke arah bus yang telah pergi. “Tadi ada gadis muda yang luar biasa. Dia yang mengejar dan menghadang penjambret itu. Cantik… dan sangat pemberani.”
Johan menatap kosong ke arah jalan yang sudah kosong. “Gadis …?”
Margaret mengangguk sambil tersenyum lembut. “Kalau semua orang seperti dia aku percaya akan banyak hal baik yang akan datang.”
Sopir itu membungkuk ringan. “Kalau begitu, izinkan saya mengantar nyonya pulang sekarang.”
Margaret melirik sebentar ke sekeliling, lalu melangkah masuk ke dalam mobil hitam mewah yang terparkir tak jauh dari halte.
Mobil itu perlahan melaju, meninggalkan tempat kejadian. Di dalam, Nenek Margaret masih memandangi kartu nama cadangan yang ada di dompetnya, lalu tersenyum kecil.
“Gadis itu… aku harap kita bertemu lagi.”
Bus berhenti tepat di depan gerbang utama kampus. Maura turun dengan nafas memburu, matanya langsung mencari gedung utama yang disebutkan dalam surat pengumuman kampus.
“Syukurlah belum terlalu terlambat…” gumamnya lega sambil berjalan cepat melewati trotoar bersih dan pepohonan rindang.
Saat memasuki kawasan kampus, Maura terdiam sejenak. Matanya membelalak melihat bangunan megah yang berdiri kokoh di hadapannya. Dinding marmer, taman tertata rapi, dan lalu-lalang mahasiswa dengan pakaian modern dan penuh percaya diri.
“Ini… kampus impianku,” bisiknya, senyum mengembang di wajahnya.
Namun kekaguman itu tak berlangsung lama. Ia segera bergabung dengan sekelompok mahasiswa baru yang tampak sedang mengumpulkan berkas. Dengan map lusuh di tangan, ia maju dan menyerahkan dokumen beasiswanya ke panitia.
“Nama?” tanya seorang panitia berseragam.
“Maura Antika, jalur beasiswa.”
Petugas mengecek berkasnya lalu mengangguk. “Kamu hampir terlambat, tapi hari ini ada pengecualian untuk mahasiswa baru. Ayo masuk ke aula orientasi, kami akan mulai sebentar lagi.”
Maura mengangguk, lalu mencari tempat duduk di antara kerumunan mahasiswa baru. Di sana, ia bertemu dengan beberapa teman seangkatannya. Ada yang ramah, menyapa lebih dulu, ada juga yang hanya menatap tanpa senyum.
Namun tak semua bersikap hangat.
Beberapa siswi berdandan modis, duduk tak jauh dari tempat Maura, mulai berbisik-bisik dan tertawa kecil sambil melirik ke arah Maura.
“Lihat tuh bajunya… kayak dari kampung banget…”
“Haha, sepatu lusuh begitu dipakai ke hari pertama kuliah?”
Namun Maura pura-pura tak mendengar. Ia menegakkan punggungnya dan tetap menatap ke depan dengan mata berbinar.
Ia tak datang ke sini untuk pamer penampilan. Ia datang untuk mengubah nasib.
Setelah acara orientasi selesai , Maura memilih duduk sendiri di sebuah taman kecil di sudut kampus. Tempat itu cukup tenang, jauh dari keramaian dan bisik-bisik tak menyenangkan yang sempat menyapanya tadi.
Ia membuka bekal kecil yang dibawanya dari kosan: roti isi dan sebotol air mineral. Sederhana, tapi cukup mengisi perut yang belum sempat sarapan.
Tiba-tiba, suara lembut terdengar di sampingnya.
“Boleh duduk di sini?”
Maura menoleh. Seorang gadis berkacamata tebal berdiri di hadapannya. Rambutnya lurus dengan poni yang nyaris menutupi alis, penampilannya sederhana namun rapi.
“Tentu, silahkan.”
Gadis itu duduk dan tersenyum kecil. “Aku Laila. Laila Prameswari.”
“Maura. Maura Antika,” jawab Maura sambil membalas senyum.
“Aku lihat kamu sendirian tadi. Jadi… kupikir, kenapa nggak kenalan aja. Aku juga enggak punya banyak teman di sini,” kata Laila sambil mengangkat bahu.
Maura tertawa kecil. “Sama. Aku juga baru di kota ini.”
Laila mengangguk cepat. “Aku asli sini sih, tapi tetap aja susah akrab sama mereka. Aku nggak terlalu suka nongkrong atau ikut-ikutan gaya. Kadang aku kayak alien di kampus ini.”
“Gitu juga ya?” Maura menatapnya penuh pengertian. “Aku tadi juga sempat digosipin karena penampilan. Tapi aku nggak peduli.”
“Bagus! Kamu keren banget,” Laila tersenyum lebar. “Aku suka kamu!”
Maura tertawa. “Aku juga suka kamu, Laila.”
Dari sanalah, awal pertemanan mereka dimulai—dua gadis berbeda latar belakang, tapi saling menguatkan di tengah dunia kampus yang keras dan penuh persaingan.
Maura dan Laila memutuskan berjalan-jalan menyusuri lorong kampus. Gedung-gedung tinggi dan rindangnya pepohonan membuat kampus itu terasa seperti dunia baru bagi Maura.
“Aku penasaran sama perpustakaan kampus, katanya megah banget,” ucap Maura.
“Aku antar,” jawab Laila sambil tersenyum. Mereka pun berjalan bersama menuju arah gedung perpustakaan.
Saat melewati tikungan lorong, tiba-tiba seseorang dari arah berlawanan melangkah cepat sambil menenteng beberapa berkas. Mereka tidak sempat saling menghindar.
Bruk!
Berkas-berkas itu terjatuh, dan tubuh Maura sedikit terdorong ke belakang. Untungnya, ia masih bisa menjaga keseimbangannya.
“Maaf, aku nggak lihat ada orang di depan.” ucap pria itu dengan suara tegas namun sopan.
Maura buru-buru membantu memunguti berkas yang jatuh. Saat mendongak, matanya bertemu dengan pria tinggi berkulit bersih, mengenakan kemeja putih rapi dan celana gelap. Sorot matanya tajam, penuh wibawa. Sekilas, senyumnya terlihat dingin namun berkelas.
“Enggak apa-apa,” jawab Maura gugup.
“Kamu mahasiswa baru?” tanya pria itu.
Maura mengangguk. “Iya…”
“Sambutan hangat dari ketua BM, nih,” katanya Laila sambil mengedipkan mata ,menggoda Maura.
“Aku Alex. Ketua Badan Mahasiswa di kampus ini.”
Maura menjabat tangannya perlahan, terkesan dengan pembawaannya yang dewasa dan tenang.
Laila yang sedari tadi berdiri di samping Maura segera berbisik pelan, “Itu Alex Mahesa… populer banget di kampus ini. Tapi… katanya sih, dia belum punya pacar tapi banyak yang naksir.”
Maura hanya tersenyum kecil,
Setelah pertemuan tak terduga di lorong kampus, Alex mengajak Maura dan Laila berjalan ke perpustakaan. Maura dengan sigap menawarkan bantuan untuk membawa sebagian buku yang sedang dibawa Alex.
“Boleh aku bantu?” tawarnya.
Alex menoleh dan tersenyum tipis. “Boleh. Terima kasih, Maura.”
Perjalanan ke perpustakaan mereka isi dengan obrolan ringan. Alex terlihat tenang dan sopan, sangat berbeda dengan kesan dingin yang sempat Maura tangkap di awal.
“Aku dengar kamu mahasiswa beasiswa?” tanya Alex.
Maura mengangguk. “Iya, aku dari desa. Dapat beasiswa full, makanya berani merantau.”
“Hebat,” ucap Alex singkat sambil menyusun buku-buku di meja peminjaman. “Berarti kamu nggak cuma pintar, tapi juga pemberani.”
Setelah urusan di perpustakaan selesai, mereka berjalan menuju arah parkiran. Maura bersiap pulang, sementara Laila pamit lebih dulu karena dijemput sopir keluarganya.
“Eh, ngomong-ngomong…” Alex menoleh ke arah Maura , penasaran.
“Tadi pagi, aku lihat ada seorang cewek bantu nenek yang hampir dijambret. Itu...kamu kan?”
Maira menatapnya, lalu mengangguk. “kok kamu tau Alex ?”
alex mengangguk semangat. “kamu ngak sadar nya aku juga ada di sana . Membantu meringkus penjambret itu,bersama warga.”
Maur tertawa kecil. “Berarti kita satu tim, dong?”
alex tersenyum geli. “Mungkin saja. Tapi aku nggak nyangka kamu mahasiswi di kampus ini.”
Maur menaikkan satu alis, “ kebetulan saja aku dapat beasiswa Alex, kalau mandiri akubngak bakalan sanggup kuliah sini alex?”
“Ya... Tidak masalah yang penting prestasinya Maura ,jangan merasa kecil karena jalur beasiwa.” jawab Alex jujur.
Mereka sama-sama tertawa. Namun kehangatan itu tak berlangsung lama. Beberapa siswi yang sedang lewat di sekitar parkiran melirik mereka sambil berbisik-bisik.
“Siapa sih tuh cewek baru?”
“Sok deket banget sama Alex.”
Maura pura-pura tak mendengar. Ia sudah terbiasa dianggap sebelah mata karena penampilannya yang sederhana. Tapi satu hal yang membuatnya bimbang , seperti yang ia dengar dari beberapa rumor sebelumnya. Kalau Alex adalah play boy kampus atau Itu hanya gosip kampus belaka. Maura tak mau memikirkan hal itu ,itu bukan urusan dia .
Alex menoleh padanya sebelum mereka berpisah di gerbang.
“Maura, jangan terlalu ambil hati omongan orang. Jalanmu masih panjang. Fokus aja sama tujuanmu.”
Maura mengangguk pelan. “Terima kasih, Alex.”
Dan hari itu, ia pulang dengan perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Hangat. Membingungkan. Tapi juga menyenangkan.
Maura melangkah ringan meninggalkan gerbang kampus. Tas ranselnya tersampir di punggung, dan wajahnya sedikit lelah, tapi semangatnya belum padam. Hari pertama kuliah yang melelahkan itu cukup berkesan, apalagi dengan kejadian-kejadian tak terduga—dari aksi mengejar jambret, hingga obrolan ringan bersama Alex, Ketua BM kampus yang terkenal dengan kesan dingin dan arogan.
Langkahnya menyusuri trotoar kota yang mulai diselimuti senja. Angin sore membelai rambutnya, dan mata Maura menangkap papan kecil bertuliskan "Swalayan Kecil - Serba Ada".
“Pas banget, aku butuh sabun mandi dan air mineral,” gumamnya.
Ia pun masuk ke dalam swalayan dengan langkah ringan. Rak-rak berjejer rapi, suasananya tenang, tidak terlalu ramai. Maura memilih beberapa kebutuhan pribadinya—sabun, cemilan ringan, dan sebotol air mineral.
Setelah membayar di kasir, ia kembali melanjutkan perjalanan ke halte bus. Jalanan mulai lengang, hanya ada beberapa kendaraan melintas. Ia menyusuri trotoar perlahan, menikmati suasana kota yang asing namun terasa menyenangkan di hatinya.
Setibanya di halte, Maura duduk sambil memeluk tas belanjanya. Hatinya tenang, pandangannya lurus ke depan menatap jalanan. Sesekali, ia menghela napas, mengingat kejadian hari ini.
“Entah kenapa… kota ini nggak seburuk yang aku bayangkan,” ucapnya pelan sambil tersenyum kecil.
Maura masih duduk di halte itu, menatap kosong ke arah jalan yang mulai lengang. Tangannya memeluk kantong belanja kecil yang tadi ia ambil dari minimarket. Angin sore mengelus pelan pipinya. Ia mulai memejamkan mata sebentar, mencoba menikmati sunyi.
Tiba-tiba, suara langkah cepat mendekat—berat dan tergesa. Sebelum sempat bereaksi, sosok tinggi dengan setelan jas rapi langsung duduk di sampingnya. Nafas pria itu memburu. Wajahnya tegang. Matanya menatap lurus ke depan, seperti sedang dikejar waktu atau sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Dan dalam satu tarikan nafas, tanpa memberi Maura kesempatan bertanya, pria itu meraih wajahnya dan menahannya dengan kedua tangannya yang dingin tapi kuat.
“Apa—”
Bibir mereka bertemu.
Hangat. Mendadak. Dalam.
Maura membeku. Matanya melebar, tubuhnya menegang. Tapi genggaman pria itu begitu kokoh, begitu terkontrol. Bibirnya menekan bibir Maura—tidak kasar, tapi penuh ketegangan. Seperti seseorang yang sedang putus asa, seperti pria yang menjadikan ciuman itu pelarian dari rasa takut, marah, dan amarah dunia.
Maura tak tahu harus bagaimana. Ia tidak membalas, tapi ia juga tidak menolak. Bibirnya dibiarkan tertahan dalam kecanggungan yang luar biasa.
Nafas pria itu hangat di wajahnya. Ia memejamkan mata, meresapi ciuman itu seolah menaruh seluruh jiwanya di sana. Dan dalam detik-detik panjang yang membuat dunia seakan berhenti berputar, Maura bisa merasakan, ini bukan sekadar ciuman… ini seperti permintaan tolong dalam diam. Lama kelamaan Maura dan pria itu sama sama tenggelam menikmati ciuman mereka.
Barang belanjaan yang ia pegang terjatuh berhamburan di sekitar mereka.
Saat akhirnya pria itu melepaskan ciumannya perlahan, ia menatap Maura lekat-lekat, seolah ingin mengingat wajahnya selamanya. Tapi ia tak berkata sepatah pun. Ia hanya menghela nafas, lalu berdiri, melangkah cepat meninggalkan Maura yang masih duduk kaku, wajahnya memerah, jantungnya berdebar tak karuan.
Bibirnya masih hangat. Tangan gemetar. Tubuhnya lemas.
"Apa barusan aku… dicium?" bisik Maura lirih, tak percaya dengan apa yang baru terjadi.
Maura berdiri terpaku beberapa saat setelah pria itu pergi, masih merasakan bekas ciuman yang entah mengapa terasa nyata dan meninggalkan jejak panas di pipinya.
Namun, ketika kesadarannya kembali pulih sepenuhnya, wajah Maura memerah—bukan karena malu, tapi karena marah!
“A..a……Apa-apaan barusan tadi ?! Kurang ajar…..!” serunya keras, melupakan sejenak bahwa ia sedang berada di tempat umum.
“Gila! Aku bahkan gak kenal siapa dia!” lanjutnya sambil menghentakkan kakinya. “Seenaknya nyium orang—udah gitu kabur lagi! Kurang ajar!”
Ia meracau sambil memegang kepalanya sendiri, mondar-mandir kecil di depan halte. “Apa aku kelihatan seperti cewek gampang, hah?!”
Beberapa kendaraan melintas di jalan depan halte, tapi Maura terlalu emosi untuk peduli.
Namun saat terdengar langkah kaki mendekat, Maura spontan terdiam. Seseorang—seorang bapak tua dengan kantong belanjaan—melirik ke arahnya dengan tatapan heran.
Maura buru-buru menegakkan diri, mencoba terlihat tenang. Ia mengatur napas, lalu dengan canggung menunduk dan mulai memunguti barang belanjaannya yang masih berserakan.
“Tenang, Maura... tarik napas. Nggak usah bikin drama,” bisiknya sendiri.
Setelah semua barang masuk ke kantong, ia melangkah ke kursi halte dengan wajah masih merah padam, tapi kali ini karena rasa malu. Ia mendesah berat, bersandar dan memandang langit yang mulai temaram.
" tolong jangan aneh-aneh lagi ya, dunia..." gumamnya lirih
Begitu bus kota yang ditunggunya berhenti di depan halte, Maura segera naik. Ia duduk di kursi dekat jendela, memeluk kantong belanjaannya dengan erat. Wajahnya lelah, tapi pikirannya masih sibuk memutar ulang kejadian tadi.
"Kenapa harus aku, sih?" gumamnya lirih, menatap keluar jendela yang dihiasi cahaya kota senja.
Perjalanan ke kos terasa lebih panjang dari biasanya. Sepanjang jalan, ia hanya terdiam, mencoba menenangkan gejolak hatinya. Namun, bayangan wajah pria itu—dingin, misterius, dan... entahlah….
Sesampainya di kos sederhana yang ia sewa tak jauh dari kampus, Maura langsung membuka pintu kamarnya yang sempit namun nyaman. Ia meletakkan belanjaan di meja kecil, melepas sepatunya, dan merebahkan diri di kasur tipis yang menjadi tempat satu-satunya untuk benar-benar beristirahat.
Perutnya sebenarnya lapar. Tapi rasa letih sudah lebih dulu menguasai tubuhnya.
“Besok aja deh makannya...” ucapnya lirih, matanya mulai terpejam.
Satu tarikan nafas panjang kemudian, Maura pun tertidur—masih dengan baju kampus yang belum sempat ia ganti, dan dengan pikiran yang perlahan dibawa masuk ke dunia mimpi... yang mungkin, akan mempertemukannya kembali dengan pria misterius itu.
*
*
*
Di salah satu gedung pencakar langit paling mewah di jantung kota, suasana sebuah ruangan di lantai tertinggi mendadak mencekam. Suara kaca meja yang hampir retak akibat benturan keras tangan menghentak ruangan itu.
Shaka Prawira berdiri dengan rahang mengeras dan mata tajam menatap layar monitor di hadapannya. Setelan jas hitamnya tampak begitu sempurna membalut tubuh proporsionalnya. Gaya bicaranya biasanya tenang dan berwibawa, tapi kali ini—sangat jauh dari itu.
“Berani-beraninya dia...” gumamnya dingin. “Menginjak wilayah Darmawan Group seolah tanpa konsekuensi.”
Shaka adalah pewaris tunggal Kerajaan Bisnis Darmawan—imperium multinasional yang menguasai sektor properti, tambang, dan teknologi. Di dunia bisnis, nama Shaka dikenal bukan hanya karena kekayaan dan kekuasaannya, tapi karena reputasinya yang tak kenal kompromi. Ia adalah milyader muda yang disegani dan ditakuti sekaligus.
Lelaki itu berjalan menuju jendela besar yang menghadap kota, menatap lampu-lampu gedung yang mulai menyala, seolah sedang menyusun strategi balasan di benaknya.
“Kalau dia pikir aku akan diam saja setelah pengkhianatan itu... dia tidak tahu siapa aku.”
Seorang pria berkacamata masuk dengan gugup, membawa dokumen. “Tuan Shaka, kami sudah dapatkan data lengkap transfer ilegal dari Akara Corp.”
Shaka tak menoleh. Suaranya datar namun mengandung ancaman, “Kunci semua akses mereka malam ini. Mulai besok, mereka bukan siapa-siapa.”
“Baik, Tuan.”
Dio segera keluar dari ruangan bosnya dengan cepat menuju ruangan nya,ia memberikan perintah kepada anak buah nya untuk segera bertindak . dokumen di tangan kirinya sementara telinga kanannya masih terhubung ke earphone kecil berisi instruksi terbaru dari tim keamanan internal. Nafasnya sedikit berat, tapi wajahnya tetap tenang. Sebagai sekretaris pribadi Shaka Prawira, ia terbiasa berada di tengah badai.
Masuk ke ruang kerja utama sang bos , Dio menunduk sedikit. “Tuan Shaka, akses ke seluruh akun perusahaan Akara Corp telah dibekukan. Beberapa mitra yang terlibat sudah mulai menarik diri.”
Shaka mengangguk tanpa menoleh. Masih berdiri di depan jendela, matanya seperti menembus malam yang mulai turun.
“Bagus. Pastikan tidak ada satupun yang lolos. Termasuk partner bayangan mereka,” ucapnya dingin.
Dio menatap tuannya dengan waspada. Ia tahu, ini bukan sekadar soal bisnis. Shaka baru saja lolos dari skandal besar—jebakan yang hampir saja menyingkirkannya dari kursi pewaris utama Darmawan Group. Untungnya, dengan kecerdasan dan keberanian yang terkenal kejam, Shaka berhasil membalikkan keadaan.
Namun kali ini, ancaman itu datang lebih terorganisir, lebih brutal.
Dio menarik napas dalam. Ia tahu, satu kesalahan saja, bisa membuatnya berada di posisi yang tak diinginkan.
“Saya akan hubungi kepala pengamanan pribadi Tuan. Kita perlu pastikan jalur-jalur akses pribadi Tuan tetap aman.”
Shaka menoleh perlahan, menatap Dio tajam. “Lakukan semuanya diam-diam. Aku tidak ingin media mencium satu hal pun sebelum aku menjatuhkan mereka.”
Dio mengangguk mantap. “Baik, Tuan. Akan saya pastikan semuanya terkendali.”
Saat Dio keluar dari ruangan, ia tahu malam ini akan panjang. Tapi satu hal pasti—selama ia berdiri di sisi Shaka Prawira, ia akan terus setia. Karena ia tahu, pengkhianatan... hanya berakhir dengan kehancuran.
Setelah semua urusan hari ini berakhir seperti yang ia rencanakan, Shaka akhirnya bisa menarik napas lega. Mobil yang membawanya kembali ke apartemen melaju mulus menyusuri jalanan kota. Malam menjelang larut, lampu-lampu menyala di setiap jalan kota, menciptakan pantulan temaram di jendela mobilnya yang gelap.
Sesampainya di apartemen mewahnya, ia langsung melemparkan jas ke sofa dan melangkah ke kamar mandi. Air hangat menyentuh kulitnya, membawa rasa tenang setelah hari yang panjang. Tapi pikirannya tidak tenang.
Wajah itu...
Gadis itu...
Bibir itu...
Setelah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian ,Shaka mengambil minuman dingin dari kulkas—air soda favoritnya. Ia duduk di sofa, meneguk perlahan sambil membiarkan pikirannya terbang. Matanya menatap kosong ke arah televisi yang tak dinyalakan. Hanya keheningan malam dan denting halus jam dinding yang terdengar.
Entah kenapa, ia masih bisa merasakan manisnya bibir gadis itu. Ciuman yang seharusnya hanyalah kamuflase pelariannya. Tapi nyatanya, meninggalkan bekas. Dalam.
“Siapa dia...?” gumamnya pelan, jari-jarinya mengusap bibirnya sendiri, seakan mencoba menghapus jejak rasa yang tertinggal.
Ia sudah berkali-kali mencium wanita—baik untuk urusan pribadi maupun permainan bisnis. Tapi yang satu ini… berbeda.
Ada rasa yang menempel.
Ada detak yang berubah.
Ada sesuatu dari gadis itu—kesederhanaan, sorot matanya, kekagetan yang tulus—yang membuat hatinya yang dingin sedikit bergetar.
“Kenapa aku merasa... ini salah, tapi tidak bisa aku lupakan?” gumamnya lagi, nyaris seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Shaka menyandarkan tubuhnya ke sofa, menatap langit-langit apartemen. Ia menyesap minumannya perlahan, namun rasa soda pun tak mampu menghapus rasa penasaran di lidah dan hatinya.
Malam ini, untuk pertama kalinya dalam hidupnya yang penuh strategi dan pengendalian, ada satu hal yang tidak bisa dikendalikan, rasa penasaran terhadap seorang gadis asing yang bibirnya tak sengaja ia sentuh… tapi hatinya seakan ikut terbawa.
Baru saja Shaka hendak meneguk sisa minumannya, suara bel apartemen berbunyi, memecah keheningan. Dengan alis sedikit mengernyit, ia bangkit dan berjalan menuju pintu.
Begitu pintu dibuka, berdirilah seorang wanita yang selalu tampil memukau. Talitha — tunangannya. Rambut panjang terurai, gaun feminim ketat dengan potongan rapi yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Wajahnya dihiasi senyum menggoda.
“Sayang...,” ucap Talitha lembut seraya segera melingkarkan tangannya ke dada bidang Shaka, mengendus aroma tubuh pria itu yang masih segar sehabis mandi.
Shaka diam sesaat, tak langsung membalas pelukannya. Tapi kemudian, dengan tatapan tenang, ia mempersilahkannya masuk.
Pintu tertutup perlahan. Talitha berjalan dengan percaya diri menuju sofa, lalu duduk manja dan menyilangkan kakinya anggun.
Shaka kembali ke tempat duduknya, kali ini tak di samping Talitha, tapi agak menyudut.
“Aku rindu,” ucap Talitha, menatap Shaka sambil mengedipkan mata. “Kamu makin susah diajak ketemu. Sibuk terus.”
Shaka hanya menatapnya sejenak. Wajahnya tenang, tapi pikirannya tidak. Masih ada bayang gadis asing yang tanpa sengaja ia cium sore tadi. Dan entah mengapa, kehadiran Talitha malam ini terasa berbeda. Hambar.
“Maaf, banyak urusan di kantor,” jawabnya singkat.
Talitha tertawa kecil, lalu meraih tangan Shaka dan meletakkannya di pahanya yang terbuka sedikit oleh belahan gaunnya. “Kamu butuh relaksasi, kan?”
Shaka menatapnya sekilas. Lalu tiba-tiba berdiri dan berjalan menuju kulkas, mengambil satu botol air mineral. Ia minum, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan.
“Talitha,” ujarnya kemudian, tanpa menatap langsung, “kenapa kamu kesini malam-malam begini?”
Talitha terdiam sejenak, lalu tersenyum manja. “Karena aku calon istrimu, sayang. Bukankah wajar aku datang tanpa harus diundang?”
Shaka hanya tersenyum kecil, lalu kembali duduk. Tapi pikirannya jauh. Talitha ada di hadapannya, wanita yang cantik, cerdas, dan selama ini selalu mendampinginya di publik.
Talitha berdiri mendekati Shaka. mengenakan gaun tipis berwarna peach yang membalut lekuk tubuhnya sempurna. Wajahnya dihias senyum menggoda, matanya berbinar saat bertemu dengan tatapan Shaka.
“Sayang, kamu kelihatan lelah…” ucapnya lembut, lalu duduk di pangkuan Shaka.
Tanpa ragu, ia menyandarkan diri di dada Shaka. Hembusan nafasnya menghangatkan kulit pria itu, menyalakan bara kecil yang tertahan sejak pertemuan singkat dengan gadis asing tadi siang.
Talitha mendongak, menyentuh rahang Shaka, dan menatapnya dalam. “Malam ini… cuma milik kita, kan?” bisiknya nyaris seperti mantra. Ciumannya mendarat perlahan di bibir Shaka, lembut… lalu menuntut.
Shaka membalas, awalnya ragu, namun gairah Talitha menuntunnya. Kedua tangan Talitha menyusuri dada kekar tunangannya, lalu ke belakang leher, merengkuh penuh hasrat. Shaka mengangkat tubuhnya dan membawanya ke kamar. Gaun tipis itu melorot perlahan saat tubuh mereka saling menyatu, kulit menyentuh kulit, desah berbaur dengan detak jantung yang semakin cepat.
Udara di ruangan menjadi panas. Talitha menciumi lehernya, bisikan lembut terdengar di sela napas mereka. Suasana larut dalam cengkeraman gairah, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Namun saat Talitha tertidur di pelukannya, Shaka hanya menatap langit-langit ruangan itu. Jiwanya belum benar-benar utuh. Ia baru merasakan kehampaan rasa pada hubungan nya dengan Thalita.
Pagi menyapa, Maura dengan sinar matahari yang menyelinap masuk dari celah jendela kecil kamarnya. Ia membuka mata perlahan, tubuhnya masih terasa letih. Aktivitas seharian kemarin, ditambah kejadian mengejutkan di halte, benar-benar menguras tenaga dan emosinya.
Namun ia tahu, hidup harus terus berjalan. Ia bangkit dari tempat tidur sempitnya, melangkah ke kamar mandi untuk menyegarkan diri. Guyuran air dingin pagi itu membantunya mengusir kantuk dan menata semangat baru.
Usai mandi, Maura berdiri di depan kaca, menatap pantulan dirinya. Meski sederhana, ia tetap tersenyum. “Aku bisa,” bisiknya pada diri sendiri.
Sambil mengenakan seragam kuliahnya, ia merapikan map berisi berkas-berkas lamaran kerja. Ia sudah bertekad—selepas kuliah hari ini, ia akan langsung mencari pekerjaan sambilan. Ia sadar, beasiswa saja tak cukup. Hidup di kota besar membutuhkan lebih dari sekadar mimpi.
Dengan langkah pasti dan harapan yang kembali tumbuh, Maura bersiap meninggalkan kosan, menuju kampus.
Maura langsung menuju kelas jurusannya ketika sampai di kampus. Di dalam ruangan, ia melihat Laila sudah duduk di pojok dekat jendela, tempat favorit mereka. Maura menghampiri dan duduk di sampingnya. Sapaan hangat dari Laila membuat lelah Maura seolah menguap. Mereka pun mengikuti mata kuliah dengan tenang.
Usai kelas, mereka memutuskan istirahat di kantin kampus. Sambil menikmati jus dan camilan ringan, Maura mulai bercerita pada Laila tentang rencananya mencari pekerjaan sambilan.
“Aku harus mulai mandiri, Lai. Beasiswa ini memang bantu banyak, tapi kebutuhan makin hari makin banyak juga,” ujar Maura sambil tersenyum.
Laila mengangguk penuh pengertian. “Kalau kamu butuh info kerja part time, aku bisa tanya ke sepupuku. Dia kerja di café tak jauh dari kampus.”
Belum sempat Maura menjawab, suasana kantin tiba-tiba berubah. Sekelompok gadis dengan dandanan modis dan gaya penuh percaya diri masuk dan menjadi pusat perhatian. Mereka adalah geng populer kampus—selalu tampil mencolok dan menjadi pusat perhatian.
Salah satunya, Megan, si primadona kampus yang dikenal karena kecantikannya, menatap tajam ke arah Maura. Dengan suara yang sengaja dikeraskan agar semua orang mendengar, ia berkata dengan nada sinis, “Gadis jelek kayak kamu nggak usah mimpi deketin Alex. Jangan keganjenan, ya? Alex itu milik gue.”
Suasana mendadak hening. Beberapa mahasiswa mulai berbisik-bisik, menatap ke arah Maura. Tapi gadis itu tetap tenang. Ia menatap Megan tanpa gentar, meski dalam hatinya bergemuruh.
Laila menggenggam tangan Maura pelan. “Abaikan, dia cuma iri,” bisiknya.
Maura menarik napas panjang, menahan emosinya. Ia tahu, hidup di kota bukan hanya tentang mengejar mimpi.
Maura mencoba tenang mendengar ejekan Megan. Ia menunduk, memutar sedotan dalam gelasnya sambil menarik napas dalam. Tapi ketika tawa sinis Megan dan teman-temannya terus berlanjut, melewati batas kesabaran, Maura akhirnya berdiri.
“Cukup!” ucapnya lantang, hingga semua mata di kantin langsung menoleh.
Megan mengangkat alis, menatap Maura dengan tatapan menantang. “Oh? Berani juga kamu.”
Maura menatapnya lurus tanpa ragu. “Aku datang ke sini buat belajar, bukan buat cari masalah. Tapi kalau kamu terus hina aku hanya karena aku ngobrol sama Alex, itu artinya kamu yang insecure.”
Beberapa mahasiswa menahan napas, terkejut mendengar keberanian Maura.
“Kamu pikir siapa dirimu sampai bisa nentuin siapa yang pantas dekat sama siapa?” lanjut Maura dengan suara tenang tapi tajam. “Kalau kamu emang sehebat itu, kenapa kamu takut banget sama cewek kayak aku?”
Wajah Megan memerah, antara marah dan malu. Ia melipat tangan di dada, mencoba menjaga wibawa di depan teman-temannya.
“Ayo, Lai.” Maura menoleh pada Laila. “Tempat ini udah terlalu penuh drama.”
Maura yang ingin berjalan keluar dari kantin bersama Laila. saat baru mau melangkah dari tempat mereka ,Megan bersama Astrid dan Rena menghadang mereka. Wajah Megan tampak memerah karena emosi yang tak tertahan.
“Kamu pikir bisa sok berani di kampus ini tanpa akibat?” desis Megan sambil melipat tangan, wajahnya mendekat ke Maura.
Maura baru akan menjawab, tapi tiba-tiba Megan menarik rambutnya dengan kasar.
“Berani-beraninya kamu ngomong begitu di depan umum!” teriak Megan.
“Astaga, Megan!” Laila menjerit panik, berusaha memisahkan mereka, namun Astrid dan Rena langsung menahan Laila.
“Aduh, lepasin!” Maura mengerang, tapi bukan karena takut. Perlahan ia pegang tangan Megan yang masih mencengkram rambutnya, lalu dengan cepat, ia tepis kasar dan mundur beberapa langkah.
Matanya menatap tajam, wajahnya dingin. “Aku udah kasih kamu kesempatan buat berhenti, Megan.”
“Dan aku gak butuh dikasih kesempatan sama cewek kampung kayak kamu!” balas Megan dengan tawa menghina.
Namun belum sempat Megan melangkah lagi, sebuah suara dingin menggema dari arah koridor.
“Ada apa ini?”
Semua orang langsung diam. Alex berdiri tak jauh dari mereka, mengenakan kemeja putih dan celana jins. dengan tatapan tajam yang mengintimidasi. Suasana mendadak hening. Mahasiswa lain mulai berkerumun, menyaksikan keributan kecil yang kini jadi sorotan.
“Aku tanya, ada apa ini?” ulang Alex, kali ini lebih dingin.
Maura menatapnya sejenak, lalu dengan tenang membetulkan rambutnya yang sempat acak-acakan. “Tidak ada apa-apa. Hanya beberapa orang yang tak tahu sopan santun.”
Alex melangkah mendekat ke arah Megan dan teman-temannya. “Megan, aku gak peduli seberapa populernya kamu, tapi kalau kamu sentuh siapapun di kampus ini dengan cara seperti itu lagi, kamu yang akan aku minta keluar.”
Megan terdiam. Astrid dan Rena mulai mundur pelan, tak berani melawan tatapan tajam Alex.
“ Bukan aku yang mulai Alex, cewek kampung ini yang mulai duluan…iya kan teman teman?”. Megan dengan nada kelem mencari pembelaan.
Maura yang melihat aksi Megan hanya tersenyum geli. Laila segera menghampiri Maura, memegang tangannya. Maura tau maksut Laila ,hanya mengangguk pelan sebagai ucapan terima kasih pada Alex, lalu menarik Laila pergi dari kerumunan.
Alex menatap punggung Maura yang menjauh, entah kenapa ada rasa tak biasa yang muncul di dadanya.
Setelah insiden panas di kantin, Maura dan Laila memilih pergi ke perpustakaan. Mereka duduk di sudut yang sepi, mencoba menenangkan diri. Maura membuka buku, namun pikirannya masih berkecamuk.
Tak lama, notifikasi dari grup kelas muncul di ponsel Laila. Ia membaca cepat lalu menoleh ke Maura.
“Dosennya nggak masuk. Katanya kita bisa pulang,” ujar Laila dengan senyum lega.
Maura menghela nafas panjang. “Syukurlah… aku bisa cepat-cepat cari kerjaan.”
Laila tampak ragu sejenak sebelum akhirnya membuka suara. “Aku sebenernya ada info kerja, tapi… ya, nggak tahu kamu mau atau nggak.”
Maura menatapnya penasaran. “Kerja apa?”
“Temenku bilang tempat dia membutuhkan pelayan. Tapi tempatnya kayak semacam klub malam gitu,” jawab Laila hati-hati. “Cuma nganterin minuman ke pelanggan. Nggak lebih dari itu.”
Maura terdiam sejenak, mencerna informasi itu. “Klub malam?” ulangnya pelan.
Laila buru-buru menambahkan, “Iya, tapi bukan yang aneh-aneh. Tempatnya aman kok. Dan bayaran lumayan. Kalau kamu bilang aku yang rekomendasiin, pasti langsung diterima.”
Maura menatap sahabatnya itu. Ia memang butuh uang, dan jika tugasnya hanya sekadar mengantarkan minuman, mungkin tidak terlalu buruk.
“Baiklah,” akhirnya ia mengangguk. “Kasih aku alamatnya ya.”
Laila tersenyum senang, lalu membuka ponselnya dan menuliskan alamat di kertas kecil, menyerahkannya pada Maura.
“Ini, nanti malam kamu datang aja. Pake baju rapi ya, yang sopan tapi agak modis dikit.”
Maura menerima kertas itu dan tersenyum kecil. “Makasih, Laila. Serius deh, kamu penyelamat aku hari ini.”
Mereka beranjak dari perpustakaan, dan di wajah Maura, terselip rasa penasaran—dan sedikit gugup—tentang dunia baru yang akan ia masuki malam nanti.
Mereka berpisah di depan kampus. Laila dijemput oleh supir keluarganya, sementara Maura melangkah menuju halte bus. Tapi ia tak langsung pulang ke kos. Masih ada hal yang harus ia lakukan: mencari baju yang pantas untuk bekerja malam nanti.
Ia turun di dekat pasar swalayan dan berjalan masuk ke deretan toko baju. Maura menelusuri rak demi rak, menyentuh beberapa dress simpel dan atasan modis. Tapi begitu melihat label harganya, hatinya langsung ciut.
“Mahal banget…” gumamnya pelan.
Ia melangkah ke toko lain, berharap ada diskon, namun tetap saja harganya terlalu tinggi untuk dompetnya yang belum terisi gaji.
“Aku belum kerja, nggak bisa boros sekarang…” desahnya pelan.
Saat ia hendak berbalik keluar dari toko, tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Refleks, Maura menoleh. Di hadapannya berdiri seorang wanita tua dengan rambut keperakan yang disanggul rapi, mengenakan mantel hangat berwarna abu.
Maura membelalak. “Nenek Margaret?”
Wajah wanita tua itu menyunggingkan senyum hangat. “Kau ingat nenek, ya? Nenek yang kamu tolong waktu dijambret itu, sayang.”
Maura tersenyum kaget. “Iya, tentu saja! Waktu itu nenek hampir jatuh setelah tasnya ditarik jambret... Saya cuma refleks ngejar pelakunya.”
“Nenek nggak akan lupa kebaikanmu, Nak,” ucap nenek itu dengan mata berkaca. “Kalau bukan karena kamu, mungkin tas dan semua surat penting nenek hilang.”
Maura mengangguk, tersipu. “Saya cuma kebetulan lewat, Nek.”
“Nenek lihat kamu sedang bingung, ada yang bisa nenek bantu?”
Maura sempat ragu, lalu mengangguk pelan. “Saya lagi cari baju buat kerja sambilan, Nek… Tapi harganya pada mahal, saya belum kerja, jadi belum bisa beli.”
Nenek Margaret tersenyum. “Kalau begitu, ikut nenek. Nenek tahu tempat bagus, dan kamu nggak perlu keluar uang sepeserpun. Dan kalau kamu mau kerja kamu bisa kerja di tempat nenek. Kamu ada ponsel nenek minta dong no kamu supaya nenek bisa menghubungi kamu ..boleh ?”.
Maura segera memberikan no ponsel kepada Margaret.dan segera menyimpan nya.
Maura belum sempat membuka suara ketika tangan hangat Nenek Margaret menggenggam pergelangan tangannya dan menariknya lembut masuk ke dalam salah satu butik elegan yang ada di deretan toko itu.
“Nenek… ini serius?” tanya Maura gugup, matanya melirik interior butik yang begitu mewah.
“Diam dan ikut saja. Nenek nggak suka banyak debat,” ucap nenek Margaret tegas tapi dengan senyum ramah.
Begitu mereka masuk, semua penjaga toko langsung membungkuk hormat. Seorang wanita muda berseragam segera menghampiri.
“Selamat datang, Nyonya Margaret. Ada yang bisa kami bantu?”
“Siapkan baju terbaik untuk nona ini,” kata nenek Margaret tanpa basa-basi. “Model yang kekinian, tapi tetap sopan dan pantas. Jangan yang terlalu terbuka, dia bukan untuk dijual.”
“Siap, Nyonya!”
Dengan sigap, para penjaga toko mulai bergerak cepat. Rak-rak dibuka, gantungan baju dipenuhi berbagai pilihan. Dress elegan, blus cantik, rok semi formal, hingga celana panjang berpotongan modis—semuanya dikeluarkan dan disodorkan untuk Maura coba.
Maura berdiri kaku, menatap satu per satu baju yang disodorkan padanya. Matanya membesar. “Aku… bingung… Ini semua bagus banget…”
Nenek Margaret mengambil beberapa baju, memeriksanya dengan teliti, lalu menggeleng dan meletakkannya kembali ke rak.
“Ini terlalu pucat untuk kulitmu. Ini terlalu ketat. Nah, ini...,” katanya sambil mengangkat blus berwarna hijau tua dan rok selutut dengan potongan simpel tapi elegan, “ini cocok. Kamu cantik, sayang. Tapi jangan biarkan pakaian murahan membuat orang salah menilaimu.”
Maura terdiam, terharu.
“Nek… ini terlalu mewah. Aku nggak bisa menerimanya…”
“Nenek tahu kamu butuh. Anggap ini balasan kecil dari apa yang kamu lakukan buat nenek waktu itu. Kamu tolong nenek tanpa pamrih, sekarang giliran nenek bantu kamu.”
Maura hanya bisa terdiam saat penjaga toko mulai membungkus semua pilihan yang sudah ditentukan oleh Nenek Margaret—dari baju-baju trendy, sepasang sepatu kulit elegan, hingga tas tangan yang tampak mahal dan berkelas.
“Semua ini… untukku?” tanya Maura pelan, nyaris tak percaya.
“Ya, untukmu. Jangan banyak tanya. Nenek nggak suka orang yang nolak rezeki,” jawab Nenek Margaret sambil tersenyum, tapi sorot matanya tegas.
Maura melotot tak percaya saat melihat kasir menyebut total belanjaan mereka. Jumlah yang tertera di layar membuatnya nyaris kehilangan napas.
“Ne-nek! Itu… itu mahal banget! Aku nggak bisa… nggak mungkin menerima semua ini. Nenek udah terlalu baik!”
Nenek Margaret menghela napas sambil menatap Maura dengan lembut. “Sayang, kamu pernah menolong nenek waktu orang lain cuma nonton. Kamu mungkin lupa, tapi nenek nggak. Dan sekarang, nenek mau kamu melangkah percaya diri. Dunia ini keras, kamu harus terlihat kuat. Penampilan bisa bantu itu.”
“ Reno ….tolong bantu bawa barang belanjaan ke mobil , kita akan mengantar maura kerumah nya”. Margaret memerintahkan sopir nya .
Maura menggigit bibirnya. Air matanya nyaris jatuh, tapi ia tahan.
Akhirnya, dengan berat hati, Maura mengangguk dan menerima semua pemberian itu.
“Terima kasih, Nek… Aku janji akan memakainya dengan bijak.”
Nenek Margaret tersenyum puas dan menggandeng Maura keluar dari butik. Ia bahkan memaksa mengantar gadis itu pulang ke kosannya dengan mobil pribadi.
Sepanjang jalan, Maura hanya diam, sesekali mencuri pandang pada Nenek Margaret yang sedang sibuk memainkan cincin di jarinya. Saat mobil berhenti di depan kosannya, Maura menatap nenek itu.
“Nek…suatu saat aku akan membalas, kebaikan nenek , ya…”
Nenek Margaret menoleh, menepuk pelan tangan Maura. “Kamu cukup balas dengan jadi wanita kuat dan bijak. Itu saja.”
Maura tersenyum. Dan mencium tangan nenek Margaret serta berterimakasih.ia segera turun dari mobil masuk kedalam kos . maura merasa capek dan segera beristirahat.
begitu Maura membuka mata dengan tubuh yang terasa lebih segar setelah beristirahat. Ia melirik jam dinding di kamar kosnya, jarum jam menunjukkan pukul empat sore. Waktu yang cukup untuk bersiap-siap.
Dengan semangat yang masih dibalut sedikit kegugupan, Maura mengenakan pakaian rapi yang baru—hadiah tak terduga dari Nenek Margaret. Setelah memeriksa kembali berkas-berkas yang diperlukan, ia pun berangkat lebih awal menuju alamat yang diberikan Laila.
Perjalanan menuju tempat itu terasa panjang. Maura menatap bangunan bergaya modern dengan lampu-lampu yang mulai menyala di senja hari. Di bagian depan tertulis nama klub malam tersebut, elegan dan tidak mencolok. Ia menarik nafas panjang sebelum masuk.
Begitu melangkah ke dalam, suasana yang mewah dan tertata rapi menyambutnya. Seorang wanita berpenampilan tegas menyambutnya di meja depan. Ia adalah manajer tempat itu.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.
"Saya... Maura. Saya datang untuk melamar kerja, atas rekomendasi dari Laila," jawabnya sambil menyerahkan berkas.
Wanita itu membuka dan membaca cepat CV Maura, lalu memandang gadis itu dari ujung kepala hingga kaki. Dengan senyum singkat, ia berkata, "Kamu mulai malam ini."
Maura terpana. "Malam ini?"
"Ya. Kami butuh tambahan tenaga, dan kamu cukup memenuhi syarat. Kerjamu hanya mengantar pesanan, jangan khawatir. Ambil seragammu di ruang staf."
Maura menunduk sopan. “Terima kasih banyak.”
Keluar dari ruang manajer, senyum kecil tersungging di bibirnya. Meski pekerjaan ini bukan impiannya, tapi untuk pertama kalinya, ada harapan kecil bahwa semuanya akan mulai membaik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!