...🍒🍒🍒...
Ara tengah duduk sendiri, beralaskan karpet piknik berwarna merah tua, di atas rerumputan di sebuah taman kota, di bawah pohon cherry yang tengah mekar berbunga.
Gadis bernama lengkap Shahara Konayuki itu kini menatap sendu ke depan sana, di mana teman-temannya sedang asyik berfoto tanpa dirinya.
Ara adalah siswi kelas 6SD, ia anak yang pintar itulah kenapa ia ditempatkan di kelas 6A yang merupakan kelas unggulan. Lantas mengapa ia seolah diacuhkan?
Seperti yang kalian ketahui Shahara Konayuki merupakan nama yang tidak biasa untuk orang Indonesia kebanyakan, hal itu karena Ara adalah seorang gadis berdarah campuran, Ayahnya orang jepang.
Memiliki seorang ayah yang berasal dari negeri sakura membuat temen sekelasnya tak mau berteman dengan Ara, maka dari itu sekarang Ara duduk sendirian saja, sedangkan teman-temannya berfoto bersama.
“Kita nggak mau main sama anaknya penjajah!”
Begitulah kata teman-temannya, entah mereka tahu istilah penjajah dari mana, yang pasti hal ini membuat Ara menjadi sosok yang pemalu dan tidak percaya diri.
Ara bahkan memanjangkan poni depan rambutnya agar tidak ada yang bisa melihat wajahnya yang terlihat sangat mirip dengan sang Ayah.
Padahal jika poni rambutnya tersingkap, kalian akan bisa melihat wajah manis dengan pipi bulat merah berseri, bibir kecil sewarna buah cherry, serta iris mata berwarna hitam keunguan yang berbinar, dengan bulu mata panjang nan lentik membuat wajahnya terlihat cantik.
Hari ini sekolah Ara tengah melakukan pembagian rapor kelas enam semester pertama, di sebuah taman kota, seperti acara piknik begitu konsepnya.
Hanya saja wali kelas Ara sedikit terlambat hadir, maka dari itu anak-anak kelas 6A berfoto bersama untuk menunggu kedatangan sang wali kelas.
Ara yang dilarang ikut berfoto lebih memilih memperhatikan dari jauh, sambil memeluk lututnya, ia sesekali meminum susu cherry yang ia bawa dari rumah sebagai bekal makan siangnya.
Sampai sebuah suara mengusik ketenangan Ara. “Permisi”.
Ara mengangkat kepala, untuk melihat siapa pemilik suara asing yang ia dengar barusan.
Mata Ara membulat, orang yang mengajaknya bicara itu adalah seorang anak laki-laki yang bukan teman sekelasnya, dan si anak laki-laki itu berjongkok dekat sekali dengan Ara, Ara spontan menunduk terkejut, mundur meberingsut.
Panik, anak lelaki itu kembali bersuara “Eh, jangan takut, aku cuma mau nanya”
“Nanya Apa?” Ara masih menundukkan kepala saat menjawab pertanyaan anak itu
“Lihat anak kelas 6C nggak? Tadi aku dari toilet, pas keluar udah nggak ada siapa-siapa, cuma ada kelas 6A lagi foto-foto disana.” Kata anak laki-laki itu cepat sambil menunjuk ke arah teman-teman sekelas Ara.
Shahara Konayuki terdiam sejenak, dan ia ingat ia sempat mencuri dengar jika anak-anak kelas sebelah sudah memutuskan untuk berfoto studio dengan wali kelas mereka,
“Ke studio foto.” jawab Ara masih dengan menunduk, ia tidak berani menatap anak laki-laki itu.
“Yah ditinggal dong aku,” raut wajah anak lelaki itu berubah lesu.
Tapi tak lama senyum lebar kembali menghiasi wajahnya seolah ia mendapat ide brilian di kepala “Pinjem hp dong hpku lowbatt, mati,” pintanya pada Ara.
“Aku nggak punya handphone,” jawab Ara cepat.
“Yah kok bisa nggak punya sih” sahut si anak lelaki, raut wajahnya kini berganti keheranan. Ara sedikit terkesan oleh betapa ekspresifnya anak lelaki di depannya itu.
Bocah lelaki berjaket kuning itu kemudian tampak sedang berpikir dalam-dalam, terlihat dari kedua alisnya yang hampir bertautan, lalu dengan tiba-tiba menoleh ke Ara, Ara yang masih diam-diam memperhatikan wajah si lawan bicara segera mengalihkan pandangannya.
Namun yang terjadi selanjutnya kedua bahu Ara digenggam, dipaksa melihat ke depan, kini mereka berdua bersimpuh saling berhadapan, sekitarnya sedikit terhalang bebatuan dan pohon Cherry,
“Pinjemin aku hp ke temen kamu please,” dengan mata memohonnya dan nada manja, lelaki itu merengek meminta Ara.
“Nggak mau.” Ara menoleh kesamping tak mau berhadapan langsung, jarak mereka teramat dekat.
“Please-”
“Pinjem aja sendiri!”
“Aku murid baru, nggak kenal temen-temenmu.”
“Tapi aku nggak mau!” Ara menggelengkan kepala, dengan pipi bulatnya yang menggembung lucu, angin sepoi kembali menerbangkan helaian rambut anak perempuan itu.
Bocah lelaki yang melihat poni halus itu beterbangan pelan sedikit terkagum, sebelumnya ia tidak begitu bisa melihat wajah Ara, tapi sekarang posisi mereka terlalu dekat hingga poni Ara tidak mampu lagi menyembunyikan wajahnya.
Kemudian seulas senyum jahil tercetak di wajah si anak laki-laki, “Pinjemin atau kucium nanti,” ancamnya dengan senyum yang masih terpatri.
Ara menatap lawan bicaranya gugup.
“Emang berani?” meskipun takut ia tetap menantang si bocah lelaki.
Hening, laki-laki itu tidak mengira kalau anak perempuan di depannya berani membalas ancamannya.
“Jangan nangis ya”
Maka setelah itu ia mulai mendekatkan wajahnya pada Ara, Ara yang kaget setengah mati refleks memejamkan mata, Ara merasakan hidung mereka bersentuhan, membuat jantungnya berdebar tak karuan.
Hembus hangat berbau cotton candy yang awalnya Ara rasa di depan bibirnya perlahan berpindah ke samping telinganya.
*Cup!
Pipi tembamnya dikecup pelan, tidak lebih dari 2 detik
Sang pemilik pipi membelalakkan mata, refleks memegang pipi kirinya, ia pikir si lelaki tidak akan senekat itu, mereka baru kelas 6 SD dan itu ciuman pertamanya.
Pikiran Ara sudah kemana-mana
‘Aduh nanti kalau aku hamil gimana?’
Namun ternyata belum berhenti sampai sana
*Cup!
Anak itu mencuri kecupan lagi di pipi kanan Ara.
“Ih iyaa, yaudah aku pinjemin” Ara akhirnya mengalah dengan mata yang agak berkaca-kaca.
Ara tidak mau si anak laki-laki melakukan hal yang lebih gila lagi kepadanya.
Namun seolah tidak mendengar perkataan Ara, dengan tatapan mata seolah terpana, anak itu malah mengelus pelan rambut Ara, menghapus air mata yang hendak mengalir di pipi kemerahan si perempuan, mendekatkan kepala, hendak mencuri kecupan lain, kali ini di bibir Ara.
Ara hanya mampu berpasrah diri, menerima apa yang akan terjadi, konsekuensi dari dia yang sok berani tadi.
Hidung mereka kembali bersentuhan, hembus napas berbau cotton candy itu kembali Ara rasakan, hatinya semakin tidak karuan, tangannya yang bebas berusaha mendorong bahu lelaki di depannya namun tenaganya entah hilang ke mana, tangannya malah menyandar di sana sambil Ara kepalkan, beberapa milimeter sebelum bibir mereka bersentuhan.
Sepertinya Ara akan kehilangan ciuman pertamanya hari ini, terlalu dini, tapi mau bagaimana lagi?
“Syam?!”
Namun tidak sampai terjadi, karena suara yang menginterupsi.
Seolah mendapatkan kembali tenaganya, Ara mendorong laki-laki di hadapannya, dan menoleh ke sumber suara.
Ia melihat wali kelas 6C berdiri di sana menatap mereka
“Kalian ngapain” tanya bu Ranti penuh selidik
“Tadi aku nanya sama dia bu, eh matanya kelilipan jadi aku tiup” anak lelaki itu menjawab setengah jujur setengah beralasan
Sang wali kelas menganggukan kepala lantas kembali berbicara.
“Yaudah, ayo Syam, udah ditungguin yang lain di depan dari tadi” katanya sambil kembali berjalan mendahului.
“Iya bu”
Anak itu menatap Ara sekilas, pipi Ara yang bulat masih terlihat bersemburat kemerahan, sewarna buah dari pohon cherry di atas kepala mereka.
Tanpa disangka Ara ikut membalas tatapannya, membuat wajah si bocah pria ikut memanas, gadis itu kelihatan semakin gemas.
Ara hendak bangkit untuk menjauh dari sana, namun lengannya digenggam oleh si bocah lelaki, dibawa kembali bersimpuh berhadapan.
*Cup!
Dikecupnya bibir Ara secara tiba-tiba.
“Rasa Cherry,” Katanya sambil terpesona pada bibir Ara, seolah bibir itu adalah sebuah permen jelly berperisa Cherry.
Ara masih terpaku di tempatnya, rona dipipinya semakin menjalar ke telinga
“Nggak ditinggal aku hehe, masih ditungguin ternyata, Makasih ya,” kata si bocah lelaki lagi, sambil bangkit berlari melambaikan tangan, menyusul bu Ranti wali kelas 6C yang sudah berjalan jauh di depan.
Ara menyentuh bibirnya sendiri, ciuman pertamanya telah dicuri, dan ia bahkan tidak tahu siapa nama si Pencuri, Ara hanya tahu kalau si lelaki dari kelas 6C dan dipanggil “Syam” oleh Bu Ranti.
“Mama gimana kalau aku hamil?” gumam Ara terisak.
Kelas 6SD belum sampai pada materi reproduksi, membuat Ara berpikir sentuhan fisik yang lebih dari sekedar berpegangan tangan akan menimbulkan efek seperti berhubungan badan.
... 🍒🍒🍒...
Dari semenjak dijemput Ibunya dari sekolah untuk pulang dan hingga tiba di rumahnya, Ara menangis tersedu-sedu, sampai membuat bingung sang Ibu.
“Ara kenapa nak?”
Hana khawatir, karena sang anak yang memang agak pendiam itu kerap kali dijauhi dan dirundung temannya. Hana tahu itu, tapi ia tidak bisa apa-apa, pihak sekolah pun tidak mendengar keluhannya.
Ara masih tertunduk dan menangis namun tanpa suara.
Hana ibunya Ara menaruh segelas susu rasa cherry kesukaan sang putri.
“Udah nangisnya, mama bawa susu cherry kesukaan Ara.”
Dan itu berhasil mengambil perhatian si gadis kecil, tangan mungilnya menghapus air mata dari pipinya dan mulai meneguk minuman asam manis favoritnya.
Setelah susu cherry tampak tandas tak bersisa, Hana kembali menanyai putri kesayangannya.
“Ara, kenapa sayang, cerita sama mama.”
“Ara hamil” dengan suara seraknya Ara menjawab demikian.
Hana kaget bukan main mendengar pengakuan putrinya, bagaimana mungkin anaknya hamil.
“Siapa yang bilang begitu sayang?” Tanya Hana sambil mengelus rambut Ara, berusaha selembut mungkin pada anaknya.
“Ara udah ciuman ma.” Timpal Ara, lalu kembali menangis
“Hah?” Hana bingung bukan main.
“Iya ma, cowo itu, cowo itu cium bibir Ara, pasti sekarang Ara Hamil.”
“Pffttt, hahahaha.” Hana menertawai keluguan sang anak
“Ih mama malah ketawa.” Kata Ara dengan hidung memerah dan mata berkaca-kaca
“Siapa cowonya, Ara kenal?”
“Nggak, dia anak kelas sebelah.”
“Cherry Milknya mama belum tahu ya, ciuman nggak bikin hamil.” Jelas Hana pelan.
Hana bingung karena s*x education itu penting, namun ia rasa anaknya masih terlalu dini untuk tahu hal itu.
“Ara sudah kelas 6, nanti deh di SMP Ara pasti diajarin soal proses kehamilan gimana, sekarang udahan ya nangisnya, Ara nggak hamil sayang.” Lanjut Hana pada akhirnya
“Jadi Ara nggak hamil?”
“Iyaa nggak, sayang.” Hana memeluk putri satu-satunya itu.
“Ada-ada saja kamu ini.” Hana tertawa, Ara tersenyum di pelukan mamanya.
Begitulah, Ara melanjutkan bangku sekolah dasarnya tanpa bertemu lagi dengan orang yang menciumnya, di Sekolah menengah pertama ia mempelajari materi reproduksi dan yup, ia merasa malu pada dirinya sendiri.
Waktu seolah berlari, hari berganti, namun memori itu tak kunjung pergi, Ara masih tetap mengingat dengan lekat wajah si pencuri ciuman, yang kelak mungkin akan ia mintai pertanggungjawaban.
...♡🍊🫐🍒♡...
...🍒🍒🍒...
Pukul 04.45 dini hari, Ara bersiap di depan cermin yang berukuran sedikit lebih tinggi dari dirinya, seragam SMP melekat di tubuhnya, dengan nametag dari kardus bertali rafia yang dikalungkan di leher hingga menjuntai di depan dada, tidak lupa origami kertas berbentuk mahkota yang ia pakai di atas kepala.
Hari ini hari pertama masa orientasi siswa (MOS) bagi Ara, dia telah lulus dari SMP dan naik ke SMA incarannya. Ia sudah lulus tes tulis, jalur undangan siswa berprestasi pula. Ara hanya tinggal mengikuti rangkaian masa orientasi siswa agar dinyatakan sah menjadi siswi dari sekolah barunya.
Ara yang sudah siap segera berlari turun dari kamarnya di lantai dua, “Otou-sama!" (Ayah!) panggilnya. “Ayo berangkat!” Ajak Ara sambil menghampiri sang Ayah.
“Aduh, sebentar Yukiko” (panggilan Ara dari ayahnya). Ayahnya kelihatan kesulitan dan berkali-kali mencoba menstarter motornya.
“Motor Ayah tiba-tiba mati, kita ke bengkel sebentar ya.” Pasrah sang Ayah pada akhirnya.
Ya nampaknya ini hari yang sial bagi Ara, masa orientasinya akan dimulai pukul lima, dan perbaikan motor sang ayah ternyata membutuhkan waktu lama, ia harus rela terlambat di hari pertamanya.
... 🍒🍒🍒...
Sesampainya di sekolah Ara segera berlari menuju gerbang yang tentu saja sudah dikunci.
“Jam berapa ini dek?” tegur kakak OSIS yang melihat Ara baru datang.
Ara diam saja, bingung saat kakak OSIS perempuan yang sedang menjaga gerbang itu bertanya.
“Dijawab dong!” bentak kakak OSIS itu lagi.
“Jam lima lewat tiga puluh kak” Jawab Ara pada akhirnya.
“Pinter” jawab si kakak OSIS sarkas
“Maaf kak, tadi motor ayah saya tiba-tiba mogok,” Ara berusaha menjelaskan alasan terlambatnya.
“Siapa?”
“Saya? Shahara Konnayuki kak.”
“Siapa yang nanya maksudnya! Alasan aja kamu ini!” Namun kakak kelas itu tampaknya tidak mau memberi toleransi
Ara telak malu, beginikah cara mendisiplinkan murid baru? Dengan membuatnya malu?
“Masuk! Sana baris di bagian yang telat!”
“Baik kak, terima kasih.”
...🍒🍒🍒...
Jarum jam menunjukkan pukul 10 Pagi, teman-teman sekelompok Ara sekarang sedang beristirahat, namun karena terlambat pagi tadi, Shahara sekarang harus menjalani hukuman.
Hukumannya yaitu untuk mendapat tanda tangan staff inti OSIS, dan di sinilah Ara sekarang, di tengah lapangan sambil berusaha menggombali kakak kelas demi mendapat tandatangannya, “Kakak tahu nggak apa bedanya aku sama kakak?” Tanya Ara pada salah satu staff inti OSIS yang berhasil ia temui, setelah mati-matian menepis semua rasa malunya.
“Apa?” Jawab si staff inti OSIS itu dengan ekspresi datar di wajahnya.
“Kalau aku tadi pagi kesiangan, kalau kakak kesayangan.” Menggelikan, Ara merinding sendiri mengatakan kalimat barusan, namun tetap harus ia lakukan demi terbebas dari hukuman.
Sang staff inti OSIS diam saja mempertahankan ekspresi datarnya, berbeda dengan para kakak kelas lain yang kebetulan berada di sana juga, mereka tidak bergabung dengan OSIS, akan tetapi mereka yang paling heboh.
“Cieee kiw.”
“Ahay.”
“Receh banget anjir gombalannya.”
Reaksi para kakak kelas yang beragam itu membuat nyali Ara semakin menciut.
“Kamu tahu nama saya?”
Akhirnya target gombalan Ara merespons, namun respons itu justru membuat Ara panik, ia telak terdiam karena ia tidak tahu, ‘Waduh, Aku lupa nanya.’ Sudut hatinya berbicara.
“Tahu nggak dek?” Desak sang staff inti OSIS
“Emm anu- “
“Kak Arya.” Bisik seseorang dibelakang Ara.
Ada 8 orang yang mengantre di belakang Ara, mereka sedang ikut mengantre meminta tanda tangan juga, karena yang terlambat tidak hanya Ara seorang saja.
Dalam hati Ara sangat berterimakasih pada siapapun orang di belakangnya saat ini. Dengan semangat Ara pun menjawab “Kak Arya.”
“Arya apa?” Tanya staff inti OSIS itu lagi, masih dengan ekspresi datar tapi mengintimidasi miliknya.
Ara kembali terdiam, beruntung suara orang di belakangnya kembali terdengar “Arya Lokatara,” bisik orang dibelakang Ara itu, terlampau pelan sampai tak bisa Ara dengar dengan jelas.
Namun Ara tetap menjawab dengan lantang “Siap! Kak Arya Lokakarya!”.
“Bwahahaha.” Pecahlah sudah tawa dari para kakak kelas yang masih berada di sana.
“Anjir lokakarya.”
“Karya wisata kali ah.”
“Sejak kapan Lo ganti nama Ya?”
Lagi-lagi para kakak kelas itu mempermalukan Ara, Ara semakin ingin menenggelamkan dirinya ke kolam ikan yang ia lihat tadi pagi di depan sekolah.
“Hadeuh!” terdengar orang dibelakang Ara mengaduh menepuk jidatnya sendiri
“Maaf,” cicit Ara, kecil
“Kamu yang dibelakang Shahara Konayuki, maju!” perintah si staff inti OSIS yang ternyata adalah Ketua OSIS itu tiba-tiba.
“Saya kak?” bingung orang di belakang Ara.
Ara sendiri tidak tau wajah orang di belakangnya seperti apa, yang jelas dari suaranya dia seorang laki-laki.
“Iya kamu.”
“kenapa ya kak?” Tanya lelaki itu.
“Kamu pikir saya tidak tahu kamu bisikin nama saya ke Shahara? Mau sok jagoan kamu?” Cecar sang ketua OSIS.
“Maaf kak.” Jawab laki-laki itu lantas maju dan ikut berbaris disamping Ara.
“Lalu, kalian semua, yang di belakang mereka!” Tujuh orang lainnya yang semula berbaris di belakang Ara itu lantas menegakkan badan mereka, kaget dipanggil tiba-tiba.
"Siapa nama saya?!” Tanya sang ketua OSIS lagi kepada tujuh orang yang terlambat itu, lantas mereka dengan kompak menjawab, “Siap, kak Arya Lokatara, kak.”
“Bagus, berikan buku wajib kalian pada saya, biar saya tandatangani satu-satu.”
“Terimakasih kak.” Seru mereka senang.
Lalu mereka mengumpulkan buku wajib mereka secara estafet, kemudian kembali beristirahat, sedangkan Ara dan laki-laki di sampingnya hanya bisa mengiri sambil memegangi buku wajib mereka sendiri.
“Untuk kalian berdua-“
Ara sempat melirik pada orang di sebelahnya, namun wajahnya tidak begitu kentara sebab orangnya sedang menunduk.
Ara merasa bersalah sebab gara-gara dia laki-laki itu harus ikut dimarahi.
“Kamu!” ketua OSIS itu kembali membentak Ara
“Kamu membaca buku wajibnya atau tidak sih? Kamu tidak lihat ada nama saya di sana? Nama ketua OSIS saja kamu tidak tahu bagaimana dengan nama Anggota OSIS lainnya?!”
“Maaf kak.” Jawab Ara, kaget tiba-tiba dibentak.
Ara akui ini salahnya, memang ia tidak sempat membaca buku wajib itu karena disuruh menyiapkan bermacam-macam hal untuk dibawa di mos hari pertamanya ini.
Si ketua OSIS mengalihkan pandangannya pada lelaki di sebelah Ara, “Lalu kamu, kamu mau sok jadi pahlawan? Membela orang yang salah, iya?!”
“Siap, tidak kak. Maaf.” Respons si lelaki.
“Galak banget dah Ya, ih ngeri, kak Arya Lokakarya lagi mayah-mayah.” Tiba-tiba seorang kakak kelas yang sedari tadi diam memperhatikan datang mendekat ke Arah si ketua OSIS. Ara tebak kakak kelas satu ini juga merupakan staff inti OSIS.
“Oh iya dek, kalau nama saya tahu nggak?” kata kakak kelas yang datang mendekat itu, sambil menatap Ara dengan senyuman menyebalkan.
Dugaan Ara benar kakak kelas ini juga OSIS, tapi Ara yang sama sekali tidak membaca buku wajibnya benar-benar tidak mengetahui siapa lelaki di sebelah sang ketua OSIS itu, dan apa jabatannya.
“Luan.” Namun lagi-lagi lelaki di sampingnya kembali membantu Ara menjawab pertanyaan.
“saya nggak nanya kamu lho Andhanu.” Jawab si kakak kelas.
“Tapi benar, nama Saya Luan, Luan Andhanu Frizqy, saya wakil ketua OSIS lho, lain Kali manggilnya pake Kak Luan ya Dek ya.” Katanya lagi
“Tcih, gila hormat."
Respons lelaki yang sejak tadi membantu Ara itu sangat berbeda, caranya berbicara ketika menjawab pertanyaan si ketua OSIS dan sang wakil ketua OSIS sangatlah bertolak belakang, orang itu terdengar lebih ketus menanggapi si Wakil ketua.
Ara sedikit mengerutkan keningnya, heran mendengar perbedaan itu, ia juga merasa aneh, si wakil ketua memanggil laki-laki di sampingnya dengan nama Andhanu, kemudian nama tengah si wakil ketua sendiri juga Andhanu.
Di tengah kebingungan Ara, Sang ketua osis tiba-tiba bersuara, “Luan,” panggilnya.
“Yes love.” Si Wakil Ketua yang sudah diketahui bernama Luan itu menjawab dengan lembut.
Arya si ketua OSIS memijat pangkal hidungnya, pusing dengan kelakuan wakilnya yang mungkin akan membuat orang lain salah paham.
“Luan, jangan ikut campur.” Tegur Arya. Bukannya menurut, Luan menaikkan sebelah alisnya “Lho, kenapa nggak boleh? Aku kan wakil kamu, gimana sih sayang?”
Si ketua OSIS terlihat menghela nafasnya lelah, ia pasrah menghadapi wakilnya yang tengil dan tidak membantu disaat seperti ini.
Ara semakin mengerutkan keningnya terlalu heran dengan apa yang terjadi. Tetapi di satu sisi jiwa fujoshinya mendadak meronta-ronta, senyum di wajahnya tidak mampu ia tahan pada akhirnya.
“Kenapa senyum-senyum? Ada yang lucu?!” Bentak Arya, si ketua OSIS yang ternyata masih memperhatikan Ara.
“Maaf Kak.” Sahut Ara
Luan sang Wakil hanya tersenyum melihat adegan itu, sedangkan laki-laki di samping Ara masih mempertahankan diamnya.
“Sepulang kegiatan kali ini kalian ke perpustakaan, bersihkan dan tata buku di sana sampai rapi, itu hukuman kalian.” Kata Arya sambil menjauh pergi.
“Baik kak.”
Luan mendekat, ia meminta Ara dan lelaki di sampingnya untuk memberikan buku wajib mereka, kemudian Luan membubuhkan tanda tangannya di buku itu, Luan adalah wakil ketua OSIS, yang berarti dia juga staff inti OSIS.
“Tolong dimaafin ya, Yaya Cuma ngejalanin tugas, dia aslinya baik kok.” Jelas Luan dengan lembut.
“Yaya?” tanya Ara bingung
“Ah, Arya maksud saya.” Kata Luan lagi sambil tertawa kecil.
“Silahkan kembali beristirahat di ruangan kelompok masing-masing.”
“Terimakasih kak.” Jawab Ara
Ara dan lelaki di sampingnya pun menjauh pergi, si lelaki segera berlari membalikkan diri, Ara tak sempat melihat wajahnya, membuat Ara ikut berlari mengejarnya, Ara ingin meminta maaf karena tidak enak hati, ia telah membuat orang yang berusaha menolongnya itu kesulitan.
“Tunggu!” Ara sedikit berteriak menghentikan langkah lelaki yang dihukum bersamanya tadi.
“Hmm?” Jawab laki-laki itu berhenti, tanpa menoleh.
“Maaf ya gara-gara aku, kamu jadi ikutan kena hukuman.” Ucap Ara tulus
“Hmm”
“Makasih udah bantuin aku.”
“Hmm”
“Kamu mendadak sariawan? Kok menggumam terus nggak ngomong?.”
“Merepotkan” kata laki-laki itu, sambil kemudian melanjutkan langkahnya.
“Ish, orang aneh! Dia baik tapi nggak sopan!” Kata Ara sebal.
Ara berbalik kembali ke ruangan kelompoknya di arah yang berbeda.
... 🍒🍒🍒...
Pukul 16.00, masa orientasi siswa hari pertamanya telah selesai, dan Ara tidak lupa ia masih harus membereskan buku di perpustakaan sebagai hukuman.
Ara yang sudah tau dimana letak perpustakaan segera melangkahkan kakinya ke sana, meski lelah ia tidak melupakan tanggung jawabnya. Ara melongokan kepalanya di depan pintu perpustakaan yang sedikit terbuka, sepertinya tidak ada orang di sana.
“Lo ngapain?”
Ara terkejut mendengar suara tiba-tiba di belakangnya, ia hampir terbentur pintu perpustakaan. Kemudian Ara berbalik hendak melihat siapa yang mengagetkan.
‘Blush’
Namun wajah Ara memerah setelah melihat wajah lelaki yang mengagetkannya, Ara terdiam, mendadak kepalanya memutar kembali memori tiga tahun yang lalu saat ia kelas 6 SD.
Lelaki ini, Ara yakin lelaki ini orangnya, ia sangat yakin bahwa lelaki ini adalah anak yang dulu mencuri first kissnya.
“Minggir!” Kata lelaki itu tanpa memikirkan keadaan Ara.
Ara sedikit menggeser tubuhnya membiarkan lelaki itu masuk.
‘Wajahnya tidak banyak berubah, hanya semakin lebih dewasa’ hati Ara berbicara
‘Kok ekspresinya dia biasa aja ya, apa dia lupa?’ lanjut sudut hatinya lagi.
Ara pun masuk mengikuti langkah pria itu, apa lelaki itu memutuskan untuk pura-pura tidak mengenali Ara? Atau memang mungkin Ara salah mengira? Namun Ara masih yakin dengan kemampuan otaknya dalam mengingat sesuatu.
...♡🍊🫐🍒♡...
...🍒🍒🍒...
“Kenapa kalian baru datang? Cepat berbaris!"
Adalah kalimat pertama yang Ara dengar saat memasuki ruang perpustakaan. Ternyata sudah ada si ketua OSIS di dalam sana. Mereka jadi bertiga, Ara berdiri bersisian dengan si lelaki yang ia temui di depan pintu tadi.
“Iya kak Arya Lokatara,” jawab Ara.
“Sudah mau pulang kamu baru bisa mengucapkan nama saya dengan benar, lamban sekali,” kata Arya dengan ketusnya.
‘Ketua OSIS ini hobi sekali memancing emosi,’ gerutu Ara dalam hati.
Arya menunjuk tumpukkan kotak di sudut ruangan, “Kalian lihat kardus-kardus itu? Isinya buku pegangan kurikulum baru, tugas kalian adalah menyusun buku itu di rak dan memasukkan buku lamanya ke kardus tadi.”
Mereka berdua melihat kardus yang ditunjuk si ketua OSIS dan ada sekitar 10 kardus besar di sana, tangan Ara rasanya melemas melihat sebanyak apa buku yang harus ia tata.
“Kenapa bengong? Ayo kerja!” bentak Arya lagi.
Ara mulai melihat kardus mana yang sedikit lebih kecil, itu yang akan dia kerjakan terlebih dahulu.
*Tap!
Namun ternyata orang yang dihukum bersama Ara juga hendak mengambil kardus yang sama, tangan mereka tak sengaja bersentuhan.
Ara refleks menoleh, sialnya itu membuat wajah Ara berdekatan sekali dengan wajah orang itu. Salah tingkah, Ara segera mundur dan menarik kembali tangannya.
“Gue mau ngerjain yang ini, lu cari yang lain.” Kata laki-laki itu santai seolah tak terjadi apa-apa, tak menunjukkan ekspresi berarti di wajahnya, semakin meyakinkan Ara kalau laki-laki itu lupa padanya.
Ara mengambil kardus lain dan segera mengerjakan bagiannya.
30 menit berkutat menyusun buku dari kotak, mereka berdua berhasil menyelesaikan 6 kardus buku.
“Kerja kalian lumayan cepat,” komentar Arya saat melihat hampir setengah dari semua buku telah ditata di tempatnya.
“Saya tinggal mengambil tinta cap sebentar, jangan coba-coba kabur,” lanjutnya lagi, lalu kemudian pergi meninggalkan Ara dan si laki-laki.
Suasana yang sebelumnya diisi oleh suara Arya yang sedang membubuhkan cap pada dokumen, kini berganti hening yang tidak nyaman, hanya ada suara buku yg ditaruh ke rak sesekali.
Mereka berdua mengisi satu rak yang sama namun di sisi yang berseberangan. Ara sesekali mencuri pandang pada laki-laki di sisi seberang sana, tinggi laki-laki itu tidak menguntungkan bagi Ara, karena yang terlihat oleh Ara darinya di antara buku-buku dan rak adalah bibir si lelaki yang kemerahan, membuat Ara semakin tidak karuan.
“Siapa nama Lo?” Bibir yang tengah Ara perhatikan itu tiba-tiba tergerak bertanya.
“Kamu bicara sama aku?” Ara memastikan.
“Nggak, sama cicak.”
“Oh cicak,” jawab Ara acuh.
“Ya sama Lo lah gila.” Suara lelaki itu terdengar sebal
“Oh? Aku Shahara Konayuki.”
Hening kembali, tidak ada suara lagi dari keduanya. Saat Ara hendak mengambil kardus ke 8 nya ia kembali mendengar lelaki itu berbicara.
“Lo nggak mau nanya nama Gue gitu?”
“Oh kamu mau ditanya?” kata Ara jahil
“Udahlah lupain,” potong laki-laki itu jengkel, sambil mengangkat kardus ke 9 untuk dirapikan.
“Nama kamu siapa?” Tanya Ara akhirnya
“Nggak penting.” Ketus laki-laki itu
“Oh nama kamu nggak penting, yaudah aku panggil tingting aja.”
“Apaan lo kira gue Ayu tingting.”
Ara tertawa kecil mendengarnya
“Ya terus siapa namanya?”
“Irsyam.”
‘Nama yang bagus’ ucap Ara dalam hatinya
“Irsyam Andhanu Rifqi.”
“Oh salam kenal ya Syamsyi.”
Jawab Ara sambil muncul dibalik rak yang membatasi mereka dan menyodorkan tangan kanannya.
“Hmm, iyaa salam kenal juga Kayu.”
Balas irsyam menyambut uluran tangan itu sekejap lalu melepasnya.
“Kok Kayu?”
“Lagian nama Lo susah, Lo juga manggil Syamsyi, orang nama gue Irsyam.”
“Okay fair enough, you can call me whatever you want.”
“Hmm”.
Ara kembali ke sisi raknya, menata buku terakhir di bagiannya. Tersisa satu kardus lagi yang harus ditata kardus paling besar dan bagian rak Ara sudah penuh, ia harus menatanya di sisi bagian Irsyam.
Ara mengangkat kardus itu dan berjalan ke sisi rak satunya, namun sialnya ia tidak melihat sebuah anak tangga kecil, membuatnya terhuyung hendak menjatuhkan sekardus buku baru milik sekolah barunya itu, namun bukannya terjatuh Ara merasa tangannya yang menggenggam sisi kanan dan kiri kardus ikut digenggam tangan lain. Irsyam membantu Ara.
“Hati-hati” Katanya.
Irsyam mengambil alih kardus buku dari tangan Ara.
“Lo udah kerjain 5 box kan, ini bagian Gue,” katanya lagi.
“Okay thank’s” jawab Ara.
Ara memilih duduk lesehan tak jauh dari Irsyam yang tengah menyusun buku-buku itu di Rak, kepalanya ia sandarkan pada meja, rasa lelah yang mendera membuat Ara ingin sejenak memejamkan mata, pandangannya mulai memburam, sambil masih memperhatikan gerak gerik laki-laki itu.
...🍒🍒🍒...
(Ara’s_Point_Of_View)
Irsyam yang telah selesai menyusun buku di kardus terakhir, menghampiriku dan duduk di sampingku, ia memperhatikan wajahku lekat-lekat, tangannya terangkat hendak mengelus rambutku namun dia urung melakukan itu.
Alih-alih sekarang dia menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajahku, menyelipkan ke belakang telinga helaian yang mengganggu itu. Lalu ia kembali menarik tangannya.
“Ternyata benar itu kamu.” Katanya sambil terus menatapku.
“Masih bulet kayak cherry.” Katanya lagi tanpa mengubah posisi.
Tatapan matanya yang semula memperhatikan wajahku, kini mulai terpaku pada sesuatu, bibirku. Ia menatap tajam, tangannya tidak tinggal diam, tangan itu dengan takut-takut dan pelan mulai menyentuh belahan bibirku, nafasku tercekat, tapi tak ada yang bisa kuperbuat, seolah seluruh bagian tubuhku memberat.
Ibu jarinya semakin gencar mengelus-elus bibir bagian bawah milikku, sedangkan jemari sisanya ia taruh di pipi kiriku, dejavu, suasana ini sama seperti saat itu, tiga tahun yang lalu.
Dan benar saja, Irsyam mendekatkan kepalanya, ini sama tapi berbeda. Jika dulu Aku tidak tahu nama lelaki itu sekarang kami sudah berkenalan, jika dulu kami bertemu disaat hendak perpisahan sekarang kita bersua di awal permulaan. Aku ingin menolak, namun lagi-lagi tubuhku tak mau bergerak.
Wajah itu semakin mendekat sampai aku dapat mencium hembusan nafasnya, jika dulu baunya manis seperti cotton candy, sekarang baunya lebih maskulin seperti campuran mint dan dark chocolate.
Hidungnya kembali menyentuh ujung hidungku, pipiku kembali ditangkup, aku merasa seperti tengah dilingkupi kelembutan yang familiar.
*Cup!
Jika dulu kecupan itu tak berlangsung lama kali ini berbeda, lelaki itu memberiku kecupan kedua, ketiga, dan ia bahkan mulai menggerakkan bibirnya, mengecap bibir bawah dan atas milikku bergantian. Pening, kepalaku tidak karuan, rasanya melayang layang, kecupnya manis dan lembut ingin ku sambut, namun,
“Ditinggal sebentar, udah zina aja kalian.”
Aku terkejut dan refleks membuka mataku. Yang kulihat pertama kali adalah Irsyam yang tengah menghadap kepadaku sambil memejamkan mata di atas meja berbantalkan lengannya. Sepertinya ia tengah tidur juga.
...🍒🍒🍒...
(Author’s_Point_Of_View)
“Ngapain kalian?”
Ara menoleh ke sumber suara, melihat si ketua OSIS yang menatapnya tidak suka, dan wakilnya yang juga ada di sana menatap Ara dengan tatapan jahilnya.
“Saya tanya kalian ngapain?!” Kata Arya lagi meninggikan suaranya.
Ara menoleh ke Irsyam yang masih terlelap di sana.
“Maaf kak sepertinya kami ketiduran, kami sudah selesai dari tadi tapi tidak enak jika pulang duluan, jadi kami menunggu kakak.” Jawab Ara akhirnya.
“Tuh Yaya, mereka nungguin kamu, jangan galak-galak kenapa.” Ujar si Wakil sambil mengacak rambut si ketua OSIS, gemas.
“Diam Luan!” Jawab Arya sambil menepis tangan Luan dari kepalanya.
“Kalian boleh pulang, bangunkan temanmu, perpustakaan akan saya kunci sebentar lagi.” Perintah Arya.
Arya kembali ke tempat duduknya, kembali mengecek dokumen yang harus ia bubuhi cap ditemani Luan.
“Baik kak.”
Ara mengguncang pelan tubuh Irsyam, berusaha membangunkannya.
“Syam bangun!”
Tidak berhasil ia menepuk-nepuk pipi si lelaki kali ini
“Syamsyi bangun!”
“Emmh.” Terdengar geraman parau dari yang tengah dibangunkan
“Ayo pulang.” Kata Ara
Irsyam mengerjapkan matanya
Luan yang memperhatikan ikut terkekeh pelan.
“Ayo pulang.”
“Nggak mau.” Irsyam malah kembali menenggelamkan kepalanya di atas lutut yang dipeluknya.
“Tinggalin aja dek, biar kekunci di perpus.” Kata Luan tiba-tiba.
Mendengar suara Luan Irsyam sontak mengangkat kepala.
“Iyaa ayo pulang.” Katanya beranjak pergi meninggalkan Ara sendiri.
Ara sempat terheran tak mengerti, namun ia dengan bergegas mengikuti, tak lupa ia berpamitan pada kakak kelasnya sebelum pergi.
“Kak, kami permisi.” Katanya membungkuk sedikit
“Iya.” Respon Arya.
“Hati-hati pulangnya.” Kata Luan sambil melambaikan tangannya.
Ara menutup pintu lalu mengejar partner hukumannya.
“Tunggu!” Teriaknya saat lelaki itu hendak menaiki mobil yang sepertinya mobil jemputan milik keluarganya.
Terlihat Irsyam menyuruh sopirnya menunggu sebentar dan menghampiri Ara.
“Kenapa?” tanyanya
“Tadi di perpus-,”
“Di perpus kenapa?” pertanyaan Ara dipotong begitu saja.
“Oh? Nggak kok, nggak papa, cuma mau bilang makasih karena nggak kabur dari hukuman.”
“Hmm, sama-sama.”
Hening menyambut mereka, Ara menundukkan kepalanya.
“Udah kan? Gue mau pulang.”
“Iya udah, hati-hati pulangnya.”
“Hmm.”
Irsyam membalikkan tubuhnya hendak pergi, melirik sekilas ke arloji di pergelangan tangan kiri yang menunjukkan waktu pukul 17.30 sore hari, membuat dirinya berbalik kembali.
“Lo pulang?” tanyanya cepat.
Sontak Ara bingung “Hah?” respons Ara.
“Ck, lo mau pulang juga?!” Tanya Irsyam lagi lebih jelas kali ini.
“Ya, iyaa?” Jawab Ara masih bingung. Bukankah sudah jelas ia pasti pulang? Kenapa ditanya lagi?
Irsyam menatap Ara lama, seolah ingin mengucapkan sesuatu namun ragu, “Bareng?” Akhirnya satu kata itu terucap dari bibirnya dengan teramat pelan.
Ara yang tidak dapat mendengar ucapan Irsyam kembali bertanya, “Gimana?”
“Mau itu nggak?” Jawab Irsyam
“Apa?.” Ara masih tidak mengerti.
Irsyam kelihatan kesal “Ck! Lo mau bar-,”
“Yukikooo, my baby cherry, maaf ayah terlambat jemput kamu.” Tiba-tiba ayah Ara datang dengan sepeda motornya.
Ara melihat ke Irsyam lagi, menunggu lelaki itu melanjutkan ucapannya.
“Nggak jadi.” Namun Irsyam yang pergi begitu saja, sebelum Ayah Ara mendekati mereka berdua.
“Itu siapa?” tanya sang Ayah
“Teman." Jawab Ara
Ara naik ke motor ayahnya, sepanjang perjalanan sang Ayah bercerita tentang pekerjaan barunya, Ara cuma mendengarkan dan merespons seadanya.
Sesungguhnya Pikiran Ara masih tertinggal di perpustakaan. “Jadi, ciuman yang tadi cuma mimpi?” Gumam Ara pelan sambil menyentuh bibirnya sendiri.
...♡🍊🫐🍒♡...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!