NovelToon NovelToon

Cinta Datang Setelah Pergi

Bab 1

Di balik dinding-dinding megah rumah itu, di antara lampu kristal yang berkilauan dan perabotan mewah yang dipilih dengan cermat, Aruna berjalan dalam diam. Setiap langkahnya terbuat dari kesunyian yang menyesakkan, seolah setiap ruangan yang ia masuki semakin menenggelamkannya dalam keheningan. Pernikahan yang dulunya diharapkan bisa menjadi impian yang indah, kini justru menjadi penjara tanpa jeruji, tempat di mana ia terjebak dalam dunia yang tidak pernah ia pilih.

Revan, suaminya, duduk di ruang kerjanya, membenamkan diri dalam tumpukan dokumen yang tidak pernah ada habisnya. Pikirannya, meskipun seharian dihabiskan bersama Aruna, tetap tidak pernah benar-benar ada untuknya. Matanya yang tajam, selalu berkilau dengan ambisi dan pemikiran bisnis, tak pernah memandangnya lebih dari sekadar sosok yang terikat dalam janji pernikahan.

Aruna menghela napas panjang saat melintas di depan pintu ruang kerja Revan. Tidak ada kata sapaan yang terlontar, tidak ada perhatian yang diberikan. Seperti biasa, Revan terlalu sibuk dengan dunia luar, dunia yang ia pilih untuk tinggal, sementara ia Aruna terperangkap dalam dunia yang hanya berisi dirinya sendiri. Ada masa di mana ia berharap bisa mengingatkan suaminya akan hadirnya, berharap bisa menjadi bagian dari hidupnya, namun harapan itu semakin lama semakin pudar.

Pernikahannya dengan Revan adalah keputusan yang datang dengan banyak harapan. Awalnya, ia berpikir bahwa cinta bisa tumbuh seiring waktu, bahwa kasih sayang akan datang pada akhirnya, meskipun semuanya dimulai dengan rasa terpaksa. Revan, dengan segala kekayaannya, pria yang tampak sempurna di mata orang lain, akhirnya memilihnya. Namun, di balik wajah yang penuh senyum itu, Aruna merasakan adanya jarak yang tak terjembatani, sebuah dinding tak kasat mata yang selalu memisahkannya dari dunia suaminya.

Luka yang ia sembunyikan semakin dalam, dan ia tak tahu lagi bagaimana cara menghadapinya. Seperti seorang wanita yang terperangkap dalam lingkaran tak berujung, ia mencoba bertahan, meskipun hatinya telah lama mati.

Hari demi hari, ia menyaksikan Revan lebih sering mengingat masa lalu. Setiap kali mereka duduk bersama, topik pembicaraan yang ia bawa selalu teralihkan ke kenangan lama. Nama seorang wanita, seorang perempuan yang jelas sekali lebih memiliki ruang di hatinya sering terucap dengan penuh kerinduan. Dan Aruna, dengan segala kesabarannya, hanya bisa mendengarkan, meskipun hatinya perlahan terkoyak.

Pernikahannya dengan Revan adalah sesuatu yang ditandatangani atas dasar perjanjian keluarga sebuah janji yang mengikat mereka untuk bersama meskipun perasaan cinta tak pernah benar-benar tumbuh. Revan tidak pernah melihatnya lebih dari seorang istri yang harus dijaga nama baiknya, bukan seorang wanita yang memiliki perasaan. Cinta yang seharusnya ada di antara mereka, justru tidak pernah tumbuh. Dan Aruna, meskipun dia sudah berusaha, akhirnya sadar bahwa ia tidak bisa terus berada dalam hubungan yang membuatnya merasa hampa.

Bertahun-tahun pernikahan ini terasa seperti sebuah mimpi buruk yang tidak pernah berakhir. Setiap kali ia berusaha mendekatkan diri kepada Revan, suaminya itu hanya tersenyum dingin, seolah tidak menganggapnya lebih dari sekadar bayang-bayang. Hatinya yang dulu penuh dengan harapan kini hanya menyisakan kehampaan yang tak terobati.

Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, Aruna berdiri di depan cermin besar di kamar tidur mereka. Menatap bayangannya yang tercermin di sana, ia merasa semakin jauh dari dirinya sendiri. Wanita yang dulu penuh dengan semangat dan harapan kini hanya tampak seperti bayangan yang terus memudar. Ia sudah lelah berusaha.

Perasaan itu semakin jelas saat mereka duduk di meja makan malam. Revan, yang duduk di hadapannya, hanya fokus pada ponselnya, seolah-olah Aruna tak ada di sana. Ia mengangkat gelas anggurnya, menatap ke dalamnya sejenak, dan merasa tidak ada lagi yang bisa dipertahankan. Ini bukan kehidupan yang ia impikan, ini bukan cinta yang ia harapkan.

"Tolong, Revan," ucap Aruna dengan suara lirih, suara yang sudah lama hilang harapan. "Aku butuh kamu."

Revan hanya melirik sekilas, tanpa menjawab. Matanya kembali terpaku pada layar ponsel, dan Aruna tahu bahwa kata-kata itu hanyalah angin yang lewat.

Perlahan, Aruna merasa dirinya tenggelam lebih dalam. Ia sudah mencintai Revan dengan sepenuh hati, meskipun ia tahu itu sia-sia. Namun, hari demi hari, ia semakin merasa bahwa dirinya bukan bagian dari hidup Revan. Semuanya sudah terlambat. Cinta yang ia harapkan hanya ada dalam imajinasi, bukan dalam kenyataan.

Keputusan itu akhirnya datang. Aruna tidak bisa lagi bertahan dalam hubungan yang tidak pernah memberikan ruang untuknya. Ia sudah lelah dengan segala pengorbanan yang tidak dihargai. Ia tidak akan lagi menjadi bayang-bayang yang hanya ada ketika dibutuhkan. Ia harus pergi, untuk menyelamatkan sisa hatinya yang masih tersisa.

Malam itu, setelah Revan kembali larut dalam pekerjaannya, Aruna berdiri di hadapan pintu, mengemas barang-barangnya dengan cepat. Hatinya berdegup kencang, namun ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang harus ia ambil. Tanpa memberi tahu Revan, ia pergi, pergi untuk mencari dirinya sendiri, pergi untuk menemukan kebebasan yang selama ini ia dambakan.

Saat Aruna melangkah keluar dari rumah megah itu, tanpa sepengetahuan Revan, sebuah perasaan yang sulit dijelaskan muncul. Bukan hanya kesedihan, tetapi juga sedikit rasa lega. Akhirnya, ia bisa menghirup udara bebas, meskipun itu berarti melepaskan cinta yang tak pernah benar-benar ia miliki.

Keputusan untuk pergi bukanlah hal yang mudah bagi Aruna. Meninggalkan segala yang telah menjadi kenyamanan dan kebiasaan selama bertahun-tahun memang bukan pilihan yang bisa dianggap remeh. Rumah yang luas, perabotan mewah, dan nama besar yang melekat pada dirinya sebagai istri seorang CEO, semuanya telah menjadi bagian dari identitasnya. Namun, apa gunanya semua itu jika hatinya kosong dan jiwanya terluka?

Saat meninggalkan rumah itu, Aruna merasa seperti seorang wanita yang terlahir kembali, meskipun luka-luka lama masih membekas. Ia berjalan menuju takdir yang belum ia ketahui, meninggalkan segala yang telah ia bangun, berharap menemukan secercah harapan yang mungkin hilang.

Bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian, Aruna tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Ia selalu menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar istri Revan, seorang wanita yang terikat pada pria kaya dan terkenal. Tapi ia sendiri merasa hampa. Cinta yang ia dambakan tak pernah datang, dan kebahagiaan yang ia harapkan hanya menjadi bayangan yang semakin menjauh.

Selama beberapa hari setelah ia pergi, Aruna memutuskan untuk tinggal sementara di sebuah apartemen kecil yang sederhana. Sebuah tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupan mewah yang ia tinggalkan. Tempat itu tidak besar, namun cukup nyaman untuk memberi ruang bagi Aruna untuk berpikir, merasakan, dan mulai menyusun kembali bagian-bagian hidupnya yang telah tercerai-berai.

Setiap pagi, Aruna duduk di balkon apartemen itu, menatap kota yang sibuk. Orang-orang berlalu-lalang, sibuk dengan rutinitas mereka, sementara ia merasa seperti seorang asing di tengah-tengah mereka. Meski demikian, ada perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya perasaan lega. Meskipun ia masih merasakan kehilangan, ada juga sebuah kebebasan yang terasa asing namun menyegarkan.

Bab 2

Hidup di luar bayang-bayang Revan memberikan Aruna kesempatan untuk merenung. Ia menyadari bahwa selama ini, ia telah hidup untuk memenuhi harapan orang lain untuk menjadi istri yang sempurna, untuk menjaga citra yang telah dibangun oleh Revan dan keluarganya. Namun, ia lupa bahwa dirinya juga memiliki hak untuk hidup sesuai dengan keinginannya sendiri. Ia bukan hanya sebuah peran, ia adalah seorang wanita dengan impian, perasaan, dan kehidupan yang berhak untuk dihargai.

Aruna memutuskan untuk mulai memperbaiki hidupnya. Meskipun tidak ada lagi Revan di sisinya, ia bertekad untuk menemukan kebahagiaan yang selama ini ia cari. Ia kembali bekerja, meskipun hanya sebagai seorang freelancer di dunia desain grafis sebuah bidang yang selalu ia cintai. Melalui pekerjaan itu, ia bisa menyalurkan kreativitasnya, merasakan kepuasan yang tak bisa ia dapatkan selama bertahun-tahun di rumah. Perlahan, ia menemukan kembali dirinya yang hilang.

Namun, kehidupan baru ini tidaklah mudah. Aruna masih harus berhadapan dengan kenyataan bahwa ia adalah seorang wanita yang telah menikah dengan seorang CEO yang terkenal. Berita tentang perpisahannya dengan Revan dengan cepat menyebar ke media sosial dan ke seluruh kalangan bisnis. Banyak yang terkejut, beberapa bahkan menganggapnya sebagai keputusan yang nekat. Namun, Aruna tahu bahwa ini adalah langkah yang tepat meskipun dunia luar mungkin tidak mengerti.

Suatu pagi, saat Aruna sedang menyelesaikan proyek desain di apartemennya, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Nama yang tertera di layar ponsel membuat jantungnya berdegup kencang Revan. Ia belum pernah benar-benar memutuskan komunikasi dengan suaminya sejak ia pergi. Revan tidak pernah menghubunginya, dan Aruna merasa bahwa itu adalah keputusan yang lebih baik. Namun, pesan itu terasa berbeda.

“Aruna, bisa kita bicara?”

Aruna terdiam sejenak. Suasana di apartemen itu terasa begitu hening. Ia sudah lama tidak mendengar suara Revan, dan kali ini, meskipun ia merasa ragu, ada perasaan yang berbeda. Ia bisa merasakan bahwa ini bukan sekadar pesan biasa ini adalah sesuatu yang lebih serius.

Setelah beberapa saat berpikir, Aruna akhirnya membalas pesan itu. “Apa yang ingin kamu bicarakan, Revan?”

Beberapa detik kemudian, pesan balasan datang. “Aku ingin bertemu. Ada sesuatu yang penting yang harus kita bicarakan.”

Aruna menghela napas panjang. Pertemuan itu pasti tak terhindarkan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi satu hal yang pasti ia harus siap untuk apapun yang akan datang.

Pada sore harinya, mereka bertemu di sebuah kafe yang tidak terlalu ramai. Tempat itu nyaman, dengan suasana yang tenang. Revan sudah menunggu di meja pojok saat Aruna tiba. Wajahnya terlihat lelah, matanya tampak tidak seperti biasanya ada rasa kehilangan yang jelas tergambar di sana. Namun, Aruna tidak bisa lagi merasa kasihan padanya. Ia sudah melewati banyak hal untuk sampai di titik ini.

“Terima kasih sudah datang,” kata Revan, suaranya terdengar rendah.

Aruna duduk di hadapannya, tetap tenang meskipun hatinya bergejolak. “Apa yang ingin kamu bicarakan?”

Revan menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana. Selama ini, aku terlalu sibuk dengan hidupku dengan pekerjaan, dengan masa laluku. Aku tidak pernah memberi ruang untukmu. Aku tahu aku telah mengabaikanmu, Aruna. Tapi… aku merasa kehilangan.”

Aruna merasa terkejut mendengar kata-kata itu. Kehilangan? Setelah semua yang terjadi, Revan baru sekarang menyadari bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang berharga? Aruna menundukkan kepala, mencoba menenangkan pikirannya.

“Apa maksudmu, Revan?” tanyanya dengan suara yang perlahan, mencoba menyembunyikan luka yang masih membekas.

“Aku sadar sekarang bahwa aku terlalu lama terjebak dalam kenangan masa lalu. Aku merasa kesepian tanpa kamu, Aruna. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa mengabaikanmu begitu lama. Aku ingin memperbaiki semuanya, jika kamu memberiku kesempatan.”

Aruna terdiam. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi kata-kata itu seperti terjebak di tenggorokannya. Selama ini, ia hanya ingin didengar, ingin merasa dihargai. Namun, apakah Revan benar-benar bisa berubah? Akankah ia bisa memperbaiki semua yang telah hancur?

Pertanyaan itu menggelayuti pikirannya, namun Aruna tahu satu hal ia tidak bisa kembali ke masa lalu. Ia harus melangkah maju, apapun yang terjadi.

Aruna duduk di ruang tamu apartemennya, menatap secangkir teh yang perlahan mendingin di tangannya. Pikirannya masih berputar mengenai pertemuannya dengan Revan tadi sore. Kata-kata yang keluar dari mulut suaminya masih bergema di telinganya.

“Aku merasa kehilangan,” kata Revan, dengan nada yang penuh penyesalan. Aruna tahu, di balik kata-kata itu, ada sebuah upaya untuk mendapatkan kembali sesuatu yang telah lama hilang. Tetapi, apakah itu benar-benar untuk dirinya, atau hanya karena kesepian yang mulai menyergapnya?

Keputusan untuk bertemu dengan Revan bukanlah hal yang mudah. Setelah bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayangnya, Aruna akhirnya memutuskan untuk membuka pintu untuk mendengarkan apa yang ingin disampaikannya. Namun, setelah mendengar penyesalan itu, ia hanya merasa kosong. Tidak ada rasa bahagia, tidak ada kebanggaan atas perubahan yang mungkin terjadi. Ada kekosongan yang dalam, seperti segala sesuatu yang telah hilang, takkan pernah kembali.

Dalam perjalanan pulang dari kafe, Aruna berjalan tanpa tujuan jelas. Kakinya melangkah dengan sendirinya, seperti terarah oleh sebuah kekuatan yang lebih besar. Ia merasa bingung, terombang-ambing di antara perasaan yang tidak pasti. Apa yang sebenarnya ia inginkan dari pertemuan itu? Apa yang ia harapkan dari seorang pria yang sudah begitu lama mengabaikannya? Sebuah bagian dari dirinya ingin percaya, ingin menerima bahwa Revan mungkin benar-benar berubah, tetapi hatinya tak bisa membohongi diri sendiri. Terlalu banyak waktu yang telah terbuang, terlalu banyak luka yang tak terobati.

Kembali di apartemen kecilnya, Aruna melemparkan tasnya ke sofa. Ia duduk di jendela, menatap langit malam yang gelap. Kota ini terasa begitu jauh, tetapi tetap ada di hadapannya, dengan segala hiruk-pikuk dan kesibukannya. Namun, di tengah keramaian itu, ia merasa seperti seorang wanita yang terperangkap dalam dunia sendiri. Aruna tahu, meskipun ia memiliki kesempatan untuk memulai lagi, ada bagian dari dirinya yang masih terikat dengan masa lalu, dengan segala yang pernah ia impikan.

Revan pria yang pernah ia cintai sekarang menjadi sosok yang jauh. Dia datang dengan penyesalan, tetapi Aruna merasa tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mengembalikan waktu. Cinta yang dia harapkan tidak pernah terwujud. Meskipun Revan berusaha sekuat tenaga, hati Aruna sudah terlalu terluka. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa mereka telah lama kehilangan ikatan yang dulu mereka miliki.

Bab 3

Di sisi lain, Revan merasa terhimpit oleh rasa bersalah yang mendalam. Setiap kali ia memikirkan Aruna, hatinya dipenuhi penyesalan. Ia tahu, selama ini ia telah gagal menjadi seorang suami yang baik. Ketika pernikahan mereka dimulai, ia hanya berpikir tentang karir, tentang masa depan yang cerah, dan segala yang dapat ia capai.

Cinta tidak pernah menjadi prioritas, dan Aruna, meskipun ada di sisinya, selalu menjadi bayang-bayang. Kenangan akan wanita lain selalu menguasai pikirannya, dan ia tidak pernah memberi ruang untuk Aruna di dalam hatinya. Namun sekarang, setelah Aruna pergi, ia merasa hampa.

Revan kembali ke rumah besar yang kini terasa begitu sepi. Ruang tamu yang dulu sering diisi oleh tawa dan percakapan, kini hanya dipenuhi keheningan.

Aruna tidak ada di sana untuk menungguinya pulang, tidak ada di meja makan untuk menemaninya makan malam.

Semua terasa kosong. Ia berjalan perlahan ke ruang kerjanya, menatap deretan foto-foto keluarga yang terpajang di dinding.

Di antara foto itu, ada satu gambar Aruna dengan senyumnya yang hangat dan matanya yang penuh harapan. Itu adalah foto yang diambil beberapa bulan setelah pernikahan mereka.

Seperti segala yang terjadi dalam hidupnya, semuanya terasa begitu cepat berlalu, dan sekarang ia harus menghadapi kenyataan yang pahit. Aruna telah pergi, dan ia tidak tahu apakah ia bisa memperbaiki semuanya.

Hari demi hari, Revan mencoba menghubungi Aruna. Ia mengirim pesan, menelpon, bahkan datang ke apartemennya. Namun, Aruna selalu menghindar. Ia tahu bahwa ia harus memberi ruang bagi dirinya sendiri, waktu untuk merenung dan memutuskan apa yang benar-benar ia inginkan. Namun, setiap kali Revan datang, ia merasa gelisah. Apa yang sebenarnya ia harapkan? Apa yang bisa mereka lakukan sekarang setelah begitu banyak waktu yang terbuang?

Di tengah kebingungannya, Aruna berusaha menemukan kedamaian dalam dirinya. Ia mulai melibatkan diri lebih dalam dalam pekerjaannya, merancang desain-desain baru yang menarik. Perlahan, dunia yang semula terasa sempit dan sunyi mulai terasa sedikit lebih cerah.

Keputusan untuk melepaskan Revan dan segala yang berhubungan dengan pernikahan mereka, tidak pernah menjadi keputusan yang mudah. Namun, setiap langkah yang ia ambil untuk menyembuhkan dirinya membawa perasaan lega yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Suatu pagi, saat Aruna sedang bekerja di meja kerjanya, ponselnya berdering. Ada pesan dari seorang teman lama, Maya, yang sudah lama tidak ia hubungi.

"Aruna, aku dengar kamu baru saja pindah ke apartemen baru. Gimana kalau kita ketemu? Aku ingin mendengar ceritamu."

Aruna tersenyum kecil membaca pesan itu. Maya adalah teman yang mengenalnya sejak kecil, seseorang yang selalu ada untuknya, baik di saat-saat bahagia maupun sulit. Ia belum sempat menceritakan apapun tentang perceraiannya dengan Revan kepada Maya, tetapi ia tahu, Maya adalah orang yang akan mendengarkan tanpa menghakimi.

Setelah beberapa jam, mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang nyaman. Maya melihat Aruna dengan tatapan penuh perhatian.

“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya dengan lembut, tidak terburu-buru.

Aruna menghela napas panjang, menatap secangkir kopi yang ada di depannya. “Aku pikir aku sudah cukup kuat, Maya. Aku pikir aku bisa bertahan, bahwa aku bisa membuatnya berubah, tapi... itu semua tidak terjadi. Aku merasa seperti aku telah menghabiskan waktu bertahun-tahun hanya untuk menjadi sesuatu yang aku bukan. Aku tidak tahu lagi siapa diriku.”

Maya menatapnya dengan empati. “Kamu tidak harus menjadi siapa-siapa selain dirimu sendiri, Aruna. Tidak ada yang salah dengan mengambil langkah mundur untuk menemukan kebahagiaanmu. Terkadang, kita harus melepaskan apa yang tidak membawa kita pada kebahagiaan sejati.”

Aruna mengangguk, merasa sedikit lega setelah mendengar kata-kata Maya. Meskipun masih ada keraguan dalam dirinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Kehidupan baru menantinya, dan meskipun itu tidak mudah, ia harus berani melangkah ke depan.

Pada akhirnya, pertemuan dengan Maya memberikan sedikit ketenangan dalam hati Aruna. Ia tahu, apapun yang terjadi, hidupnya harus dilanjutkan dan kali ini, ia akan melakukannya untuk dirinya sendiri.

Aruna tidak tahu apakah ada yang bisa mengembalikan kebahagiaan yang telah hilang, namun satu hal yang pasti, ia mulai belajar untuk menerima kenyataan dan menjalani hidupnya dengan cara yang baru.

Selama beberapa minggu terakhir, perasaan hampa itu perlahan memudar, digantikan dengan perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya perasaan diberdayakan.

Ia menyadari bahwa meskipun hidupnya penuh dengan kekecewaan dan rasa sakit, ia masih memiliki kontrol penuh atas dirinya. Ia tidak lagi terikat pada keputusan atau harapan orang lain, terutama Revan.

Setelah berbicara dengan Maya, Aruna merasa seolah-olah dunia membuka sedikit pintu untuknya. Maya, yang selalu mendukungnya sejak dulu, menjadi tempat pelarian yang aman. Ia merasa bisa berbagi cerita tanpa rasa takut akan dihakimi. Melalui pertemuan mereka, Aruna menemukan kekuatan baru yang membantunya melangkah lebih jauh dari bayang-bayang masa lalunya.

Hari-hari Aruna di apartemennya yang sederhana kini dipenuhi dengan rutinitas baru. Pekerjaan desain grafis yang ia jalani kini menjadi pengalih perhatian yang menyenangkan.

Setiap kali ia selesai mengerjakan sebuah proyek, ia merasa seperti telah meraih sesuatu yang berharga sesuatu yang lebih dari sekadar materi. Namun meskipun begitu, ada satu hal yang tak bisa ia lepaskan begitu saja: Revan.

Keberadaan Revan dalam hidupnya selalu membayangi, meskipun ia berusaha untuk tidak lagi memikirkannya. Revan bukan hanya seorang suami yang telah mengabaikannya, tetapi juga seseorang yang pernah menjadi bagian dari dirinya, dari mimpinya.

Beberapa malam, Aruna terbangun dari tiduran dengan perasaan sesak yang tiba-tiba datang tanpa peringatan. Revan ada di sana, dalam bayangannya, dan ia tidak bisa menghapusnya begitu saja.

Meskipun ia terus mencoba mengabaikan perasaan itu, satu hal yang tak bisa ia pungkiri: ia masih mencintainya. Atau lebih tepatnya, ia masih terikat pada masa lalu, pada kenangan-kenangan indah yang kini telah rusak. Namun, Aruna juga tahu bahwa ia harus memutuskan hubungan itu bukan karena ia tidak mencintai Revan, tetapi karena cinta itu telah menjadi sesuatu yang beracun, sesuatu yang tak bisa lagi memberi kehidupan padanya.

Satu malam, saat hujan turun dengan derasnya, Aruna duduk di dekat jendela, memandangi tetesan air yang menetes di kaca. Pikirannya melayang kembali ke pertemuan terakhirnya dengan Revan.

Ia bisa melihat wajah suaminya yang penuh penyesalan, dan meskipun hatinya ingin percaya bahwa perubahan itu mungkin terjadi, ia tahu bahwa terlalu banyak waktu yang telah terbuang untuk bisa kembali.

Ia memutuskan untuk menulis, menyalurkan perasaannya lewat kata-kata, berharap itu bisa meredakan kegelisahannya. Tapi, meskipun ia berusaha untuk melanjutkan hidupnya, perasaan itu tidak bisa hilang begitu saja.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!