Langit telah menghitam, padahal siangnya begitu cerah. Lift berbunyi lembut saat pintunya terbuka. Seorang pria berjas rapi melangkah keluar, diikuti dua orang di belakangnya. Siapa pun yang berpapasan dengannya segera menunduk hormat, tak satu pun berani menatap langsung ke matanya.
Ia melangkah keluar dari gedung tinggi di pusat kota. Langkahnya mantap, tatapannya lurus, dan wajahnya tenang. Kacamata berframe tipis menambah kesan dingin namun intelektual pada wajahnya.
Seseorang sudah berdiri di samping pintu mobil yang terbuka. Pria itu masuk tanpa bicara, dan mobil langsung melaju menembus hiruk pikuk jalanan ibu kota. Dua mobil lain mengikut dari belakang dalam formasi teratur.
Di dalam mobil yang sunyi, pria itu membuka kancing jas dan menyandarkan tubuh ke kursi kulit yang empuk. Matanya mengarah ke luar jendela, meski pikirannya jelas melayang entah ke mana. Sebuah suara terdengar dari kursi depan.
"Pertemuan diundur lusa, Tuan."
Viren hanya mengangguk pelan. Ia tak bicara, tapi pengemudi sudah terbiasa dengan bahasa diamnya. Ia tahu, jika tidak ada perintah tambahan, berarti cukup diam dan lanjutkan.
Refleksi dirinya tampak di kaca jendela. Bagi dunia, dia adalah CEO Kairotek Company—perusahaan teknologi yang telah menembus batas inovasi dalam lima tahun terakhir. Namun hanya segelintir orang yang tahu siapa dia sebenarnya: pemimpin Cinderline, jaringan bawah tanah yang lebih tua dari dirinya sendiri. Warisan ayahnya—Donny Antonio.
Donny adalah penguasa dunia bawah. Kekuasaan dibangun di atas darah dan teror. Tapi Viren berbeda. Ia percaya bahwa dominasi sejati harus lahir dari kendali dan logika. Bukan peluru.
Sejak usia lima belas, ia mulai tertarik pada komputer dan mulai menekuni hobinya itu hingga ia berhasil membangun Kairotek. Bukan untuk kekayaan, melainkan sebagai cara menaklukkan dunia—tanpa senjata.
Namun segalanya berubah lima tahun lalu.
Viren masih mengingat hari itu. Ayahnya ditemukan tewas di sebuah rumah kosong di perbatasan Osaka. Tidak ada darah, tidak ada saksi. Hanya tubuh yang membeku dan sebuah surat wasiat.
Isi suratnya hanya satu kalimat: Sekarang dunia ini milikmu.
Ia tidak menangis. Tidak pada hari itu, tidak saat pemakaman. Tapi sejak saat itu, ia tahu satu hal: Cinderline tak bisa dibiarkan jatuh ke tangan orang lain. Bukan untuk melanjutkan teror, tapi untuk mengendalikannya.
Diam-diam.
"Sebentar lagi kita sampai," ucap pria di kursi depan. Namanya Jake. Salah satu dari tiga orang yang selalu ada di sisi Viren sejak awal. Mereka bukan sekadar pengawal. Mereka adalah mata, telinga, dan tangan kanannya.
Viren mengangguk pelan. Ia membuka tablet kecil dari tas kerjanya. Di layar, tampak blueprint sistem keamanan digital yang belum rampung. Sistem itu, jika berhasil, akan memungkinkan pemindahan identitas dan aset secara global tanpa terdeteksi. Namun untuk menyempurnakannya, ia membutuhkan satu hal:
Teknologi yang hanya bisa dibuat oleh satu nama: Leo.
Pria itu adalah legenda. Dulu ia dijuluki arsitek dunia gelap—pionir enkripsi yang bahkan ditakuti oleh Donny Antonio sendiri. Tapi sekarang, Leo lenyap. Tak ada jejak, tak ada transaksi, seolah ia benar-benar menghilang dari dunia.
Mobil berhenti di sebuah jalan sempit. Deretan bangunan tua berdiri rapat, seolah saling menopang satu sama lain. Di ujung jalan, ada sebuah toko mungil dengan jendela besar dan aroma manis yang menyambut dari dalam. Sebuah Kafe kecil dengan tulisan Ollano di atasnya.
Viren turun dari mobil. Jasnya tetap rapi. Langkahnya tenang. Jake mengikutinya dari belakang, menjaga dari kejauhan.
Pintu toko terbuka dengan dentingan lonceng kecil. Di balik meja kasir berdiri seorang wanita muda. Usianya sekitar dua puluhan. Rambutnya di kuncir asal-asalan, wajahnya polos tanpa riasan, dan apron bergambar stroberi tergantung di lehernya.
"Selamat sore," sapanya riang.
Viren diam. Tatapannya mengamati dari ujung kepala hingga kaki.
Dan gadis itu… tidak tahu siapa pria yang berdiri di hadapannya.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Zia, sambil menyipitkan mata sedikit. Seakan menyadari bahwa pria ini bukan pelanggan biasa.
"Satu red velvet dan cappuccino," jawab Viren tenang. "Untuk dibawa pulang."
Zia mengangguk dan langsung menyiapkan pesanan. Tangannya cekatan. Aroma kue dan kopi menyebar perlahan dari balik etalase kaca. Viren tetap memerhatikan. Diam, mengamati tiap gerak-geriknya.
Jake berdiri di dekat pintu. Tangannya di saku jas, siaga.
"Ini pesanannya," kata Zia sambil meletakkan kotak kue dan kopi. "Totalnya dua belas ribu."
Viren membayar tanpa banyak bicara. Saat mengambil pesanan, ia menatap Zia dalam-dalam. Satu detik. Dua detik.
Cukup lama untuk membuat Zia merasa ada yang aneh.
"Ada sesuatu di wajah saya?" tanyanya, setengah gugup.
Viren menggeleng. "Tidak. Saya hanya penasaran… apakah Anda pemilik tempat ini?"
Zia tersenyum. "Iya. Tapi saya juga tukang bersih-bersih, kasir, dan koki. Serabutan, lah."
"Menarik." Viren mengangguk. "Namamu?"
"Zia, Zia Donatella."
"Sampai jumpa, Nona Zia."
Zia menatap punggung pria itu yang melangkah pergi. Alisnya terangkat sedikit. Pria aneh, pikirnya. Tapi… berkelas.
Lonceng berdenting lagi saat pintu tertutup. Jake menyusul, membukakan pintu mobil untuk Viren, dan mereka pun pergi.
Zia menatap keluar jendela sebentar, lalu menghela napas. Entah kenapa, hari ini terasa sedikit berbeda.
Setelah pelanggan terakhir itu pergi, Zia menutup kafe lebih cepat dari biasanya. Ia membungkus beberapa kue sisa, melepas apron, dan mengunci pintu sebelum berjalan pulang sambil bersenandung kecil.
Rumahnya tak terlalu jauh. Begitu tiba, ia menemukan keluarganya sudah duduk di meja makan.
"Akhirnya kau pulang," ujar Agatha, si bibi cerewet.
"Kau lambat seperti biasa," timpal Alin, kakaknya, sambil menyendok sup.
"Duduklah," kata Alex —ayahnya singkat.
Zia duduk, tapi menyadari suasana sedikit tegang.
"Ini kenapa, ya?" tanyanya pelan.
Alex menghela napas. "Minggu depan, Kakakmu, Alin akan menikah."
"Benarkah?" Zia menoleh cepat. "Selamat ya, Kak!"
"Terima kasih," jawab Alin dengan senyum simpul.
Setelah makan malam, Zia mengejar Alin ke kamar.
"Pria itu… seperti yang selalu kau ceritakan padaku?"
Alin menaikkan alis. "Yang tampan, tinggi, dan… kaya?"
Zia tertawa. "Iya! Yang begitu!"
Alin hanya mengangguk. "Dia… sempurna."
Zia tersenyum. "Aku tidak sabar lihat kalian di altar."
"Kau seperti anak kecil." Gerutu Alin.
"Aku memang anak kecil, aku baru berusia dua puluh." Ucap Zia menggulung bibirnya.
"Berisik, kau sudah lebih tiga tahun dari dua puluh, Zia" Ucap Alin.
Zia hanya tertawa. "Apa yang bisa aku bantu? apakah aku harus membuat kue yang besar? atau aku harus memilih gaun yang sangat bagus untukmu?" Seru Zia tak sabar. "Katakan.."
"Kau cukup diam dan lakukan pekerjaanmu seperti biasa."
Zia menyimpan tangannya di pinggir alis, memberi hormat. "Siap."
...----------------...
Beberapa hari telah berlalu, lusa adalah hari pernikahan Alin. Zia sangat bersemangat dan berkata bahwa ia senang kepada Ami—pekerja di kafenya.
Bel berbunyi ketika pintu kafe terbuka. Langkah kaki terdengar mendekat ke etalase yang sudah penuh berbagai jenis kue.
"Satu lemon cake dan Americano," ucap seorang wanita.
"Baik, mohon ditunggu—" Zia menoleh dan terkejut ketika matanya menangkap sosok wanita yang telah lama tak ia temui.
"Diana...?" ucapnya lirih, sebelum menghampiri dan memeluk wanita itu erat.
"Kau benar-benar sibuk sampai tak sempat membalas pesanku," balas Diana sambil tersenyum.
"Aku bahkan lupa di mana ponselku terakhir kali," jawab Zia cengengesan. "Ami, tolong buatkan pesanannya, ya."
Zia menggiring Diana untuk duduk di pojok kafe. Penampilan Diana tak banyak berubah, hanya rambutnya kini memutih.
"Kau terlihat lebih tua dariku dengan warna rambut itu," ledek Zia.
"Cih. Salon itu gagal paham. Aku minta warna abu, tapi malah diberi ini," gerutu Diana.
Zia tertawa. "Kapan kau kembali?"
"Kemarin," jawab Diana. "Dan aku akan menetap di sini. Studiku sudah selesai."
"Benarkah?"
Diana mengangguk. Zia bersorak kecil dan bertepuk tangan senang. Setelah empat tahun berpisah, akhirnya mereka kembali berada di satu negara.
Tak lama kemudian, Ami datang membawa nampan berisi lemon cake dan kopi Diana. "Silakan."
"Kau tau, lusa kak Alin akan menikah." Ucap Zia.
"Benarkah? Wah.. itu kabar gembira." Jawab Diana.
Zia mengangguk. Namun senyuman nya kembali sirna. "Sayangnya acara itu hanya dihadiri keluarga inti." Keluh Zia.
"Tidak apa, aku bisa memberikannya selamat melaluimu."
Diana mengangguk sambil tersenyum. Zia berpamitan sejenak karena pengunjung pagi itu mulai berdatangan.
.
.
.
.
.
Terimakasih atas kunjungan serta dukungan kalian semua Dunia 🥰
Zia kembali ke rumah setelah membereskan semua urusan di kafe. Langkahnya ringan saat membuka pintu, tapi langsung terasa ada yang aneh. Udara di dalam rumah lebih dingin dari biasanya. Lampu menyala redup, dan suara-suara gaduh datang dari ruang tengah.
Alex mondar-mandir dengan wajah tegang, seolah mencoba memecahkan teka-teki yang tak kunjung jelas. Agatha duduk di sofa, tangan menopang dagu, wajahnya pucat dan lesu.
“Aku pulang...” ucap Zia pelan.
Kedua orang itu langsung menoleh. Wajah Agatha berubah—mata lebarnya dipenuhi kekhawatiran.
“Zia... Apa Alin menelponmu?” tanyanya cepat, seperti menunggu kabar penting.
Zia menggeleng sambil menaruh tas. “Tidak... Memangnya kenapa?”
Agatha berdiri, mendekat. “Dia tidak ada di rumah. Kamarnya kosong. Koper, baju, semuanya hilang...”
Jantung Zia berdetak tak karuan. “Hah? Maksudnya... Kak Alin kabur?”
Alex menghentikan langkahnya. “Kami tidak tahu pasti. Tapi dia pergi tanpa bilang apa-apa. Bahkan... gaun pernikahannya masih tergantung di lemari.”
“Ya Tuhan...” bisik Zia, setengah tak percaya. “Kok bisa?”
Agatha menggeleng. “Kami juga bingung. Tidak ada catatan, tidak ada pesan. Seolah dia menghilang begitu saja.”
Alex menghembuskan napas berat. “Ini bisa jadi masalah besar. Hubungan keluarga kita dengan pihak calon mempelai bisa rusak total.”
Zia berdiri terpaku. Kepalanya penuh dengan kemungkinan. Tapi satu hal pasti—ini bukan sekadar kabur biasa. Ada sesuatu yang tidak beres.
Alex duduk di kursi ruang makan dengan wajah gelap. Telepon genggamnya tergenggam erat, seakan ingin diremukkan. Setelah menutup panggilan yang berlangsung hampir setengah jam, ia menunduk dalam.
Zia duduk di seberang, menggigit bibirnya, mencoba menebak apa yang terjadi.
"Bagaimana...?" tanya Agatha pelan.
Alex mengangkat wajah. “Aku sudah bicara dengan pihak keluarga calon mempelai.”
Hening sejenak. Lalu ia melanjutkan, “Mereka... bukan keluarga biasa, Agatha. Mereka tidak akan menerima pembatalan begitu saja. Terutama... pria itu.”
Zia mengerutkan kening. “Pria itu?”
Alex menatap Zia, lama, seakan menimbang-nimbang sesuatu. “Kau tidak pernah bertemu dengannya, bukan?”
Zia menggeleng. “Kak Alin bahkan tidak pernah menunjukkan fotonya.”
“Namanya Viren Kaeshiro,” ujar Alex perlahan. “Dia seorang pengusaha terkenal. Tapi di balik itu... dia bukan orang sembarangan.”
Zia mencibir pelan. “Apa maksudmu? Maksudnya... dia jahat?”
“Bukan jahat.” Alex bersandar ke kursi. “Dia punya pengaruh. Kekuatan. Dan kalau pernikahan ini batal... kita bukan cuma kehilangan reputasi. Kita bisa kehilangan banyak hal.”
Zia terdiam. Kata-kata itu bergema di kepalanya, tapi tak bisa ia cerna dengan baik. “Tapi... kita tidak bisa menemukan Kak Alin.”
“Kita tidak akan mencarinya,” potong Alex cepat. “Tapi kita juga tidak bisa membatalkan semuanya. Tidak semudah itu.”
Agatha menoleh, tajam. “Sayang... maksudmu apa?”
Alex mengalihkan pandangannya ke Zia. Wajahnya tegang, tapi suaranya mantap. “Zia... kau yang akan menggantikan Alin.”
Darah Zia seakan berhenti mengalir.
“A... Apa?” ia hampir tertawa karena mengira itu lelucon. Tapi tak satu pun wajah di ruangan itu terlihat bercanda.
“Tidak!” Zia berdiri spontan. “Itu gila! Aku—aku bahkan tidak mengenal pria itu!”
“Justru karena itu,” jawab Alex dingin. “Kau tidak punya prasangka. Tidak punya sejarah dengan dia. Kau bisa menjalani pernikahan ini seperti kontrak. Sementara kami... kami bisa menjaga nama baik keluarga.”
Zia melototkan mata. “Kalian... kalian menjual ku?!”
Agatha mencoba menenangkan. “Sayang, ini bukan soal menjualmu. Ini soal menyelamatkan semuanya. Menyelamatkan keluarga kita. Alin sudah membuat kekacauan besar. Kalau kita biarkan, reputasi kita hancur.”
Zia menggeleng cepat. “Aku tidak peduli soal reputasi! Aku bukan boneka pengganti!”
“Zia...” Alex bangkit berdiri. “Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Kau pikir aku tidak berat membuat keputusan ini? Tapi kita berurusan dengan orang yang... yang bahkan aku sendiri tak yakin bisa ku hadapi jika semuanya gagal.”
“Kenapa dia?” tanya Zia lirih. “Kenapa pria itu begitu penting?”
Alex menatap ke luar jendela, kemudian kembali menatap Zia.
“Karena Viren Kaeshiro bukan hanya orang kaya.Tapi juga punya pengaruh besar. Dan... dia sendiri yang bilang, 'Saya tidak peduli siapa pengantinnya, asal hari itu tetap berlangsung.'”
Zia terdiam. Dunia di sekelilingnya seakan mengecil. Pernikahan, bukan dengan pria yang ia cintai, bukan karena ia mau... tapi karena tidak ada pilihan lain.
Zia tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, membeku sesaat, sebelum akhirnya membalikkan badan dan berlari ke arah kamarnya. Langkah-langkahnya memburu menaiki anak tangga, napasnya tersengal, jantungnya seakan akan meledak. Ia membuka pintu kamarnya dengan kasar, lalu membantingnya kembali hingga terdengar suara keras.
“Tidak... Tidak mungkin...”
Ia mundur perlahan dan jatuh terduduk di lantai. Tangannya memegangi kepala. Kamar itu sunyi, hanya suara napasnya yang cepat dan berat, berpadu dengan degup jantung yang berirama kacau.
Zia mendongak. Pandangannya kosong menatap langit-langit kamarnya. Hatinya terasa seperti dililit sesuatu yang dingin dan berat. Seakan-akan realita hari ini adalah lelucon buruk yang terlalu kejam untuk ditertawakan.
Pernikahan.
Dengan pria yang bahkan tak ia kenal.
Karena kakaknya kabur.
Karena reputasi.
“Apa aku cuma alat ganti?” gumamnya pelan, suara yang nyaris terdengar seperti bisikan.
Air matanya mulai menggenang, tapi tak langsung jatuh. Ia masih mencoba menahannya, meski dadanya begitu sesak.
Kenapa harus dia?
Kenapa harus Zia yang dikorbankan?
Ia memeluk lututnya, menggenggam erat kaos yang dikenakannya, seolah berharap bisa menyembunyikan diri di sana. Rasanya seperti dilempar ke dalam dunia yang bukan miliknya. Dunia yang selama ini hanya ia lihat dari kejauhan: dunia orang-orang berjas rapi, bisnis megah, nama besar... dan kekuasaan.
Viren Kaeshiro.
Nama itu seperti bayangan gelap yang tak punya wajah, tapi meninggalkan ketakutan. Ia tiba-tiba teringat kembali pada pria di toko kue beberapa hari lalu. Pria dingin dengan kacamata tipis dan tatapan tajam yang membuatnya menggigil tanpa alasan jelas.
Jangan-jangan… itu dia?
Zia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kalau benar pria itu adalah Viren—dan kini ia harus menikah dengannya—maka hidupnya akan berubah selamanya. Bukan sebagai dirinya sendiri, tapi sebagai pengantin pengganti. Sebagai istri dari seseorang yang tidak ia pilih.
“Aku bahkan belum selesai menjalani hidupku sendiri...” bisiknya, seperti anak kecil yang kehilangan arah.
Ia bangkit perlahan, berjalan ke cermin, dan menatap wajahnya sendiri. Mata sembab, ekspresi hampa. Tak ada riasan. Tak ada senyum. Hanya seorang gadis biasa yang tiba-tiba diminta menggantikan kakaknya... untuk masuk ke dalam dunia yang asing dan gelap.
“Kak Alin... kenapa kamu pergi?” gumamnya lirih.
Zia memejamkan mata dan bersandar pada meja riasnya. Lalu akhirnya, air mata itu jatuh—pelan tapi terus menerus. Ia tidak menangis histeris. Ia hanya diam, membiarkan air matanya mengalir, sebagai satu-satunya cara untuk bertahan dalam kekacauan ini.
Dalam hatinya, ia tahu satu hal:
Jika semua ini benar-benar terjadi...ia harus memilih—menyerah dan lari, atau menghadapi badai yang tidak ia pahami sama sekali.
Suara ketukan terdengar pelan di balik pintu. Zia buru-buru menyeka air matanya dengan ujung baju, mencoba menyembunyikan bekas tangis sebaik mungkin.
Ia berdiri dan membuka pintu. Agatha berdiri di sana. Tak lagi dengan ekspresi tajam seperti biasanya. Wajahnya kali ini lebih tenang, bahkan nyaris... letih.
Perlahan, Agatha melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya.
“Aku tahu ini tidak mudah bagimu,” ucapnya pelan, berdiri di tengah kamar.
Zia tetap diam. Ia berdiri terpaku, matanya masih sembab, tapi ia berusaha tetap tegak.
“Kau mungkin baru di keluarga ini...” Agatha berhenti sejenak, menarik napas panjang. “Tapi aku mohon padamu, Zia.”
Nada suaranya lirih. Tak ada lagi nada galak, tak ada nada menyalahkan. Suara yang biasanya keras dan penuh instruksi kini terdengar seperti suara seorang wanita yang... lelah dan ketakutan.
Zia mengangkat pandangan, menatap Agatha untuk pertama kalinya malam itu. Ada sesuatu di sana—perasaan asing yang belum pernah ia lihat dari wanita itu: ketulusan.
Ia ingin berkata sesuatu. Ingin melawan. Ingin bilang bahwa semua ini tak adil. Tapi mulutnya seperti terkunci. Pikirannya bercabang ke mana-mana. Antara rasa tidak enak... dan rasa tidak rela.
Ia menggigit bibir bawahnya.
“Aku tahu kau bukan Alin,” lanjut Agatha. “Tapi keluarga ini butuh kau. Kami tidak punya pilihan lain... dan aku tahu, mungkin kau juga merasa tidak punya pilihan. Tapi... mungkin di antara ketidakpastian ini, akan ada sesuatu yang bisa diselamatkan.”
Zia menunduk. Hening menggantung di antara mereka. Lama. Begitu lama sampai hanya suara jam dinding yang terdengar.
“Aku hanya ingin hidup seperti biasa…” bisik Zia akhirnya. Suaranya pelan, nyaris seperti anak kecil yang tersesat.
Agatha berjalan mendekat, lalu meraih bahu Zia dan memeluknya. Bukan pelukan yang hangat, bukan pula pelukan ibu sejati—tapi pelukan seorang wanita yang menyadari bahwa ia telah banyak menuntut dari seseorang yang belum sempat mengenal arti rumah.
.
.
.
.
Terimakasih atas kunjungan serta dukungan kalian semua🤗Jangan lupa like nya😘 karena itu bikin author semangat 🤗
Malam pernikahan datang lebih cepat dari yang Zia bayangkan. Langit gelap bertabur bintang, seolah tak tahu bahwa malam ini bukan tentang cinta yang tulus, melainkan tentang perjanjian yang dibungkus kemewahan.
Ia duduk di depan cermin besar, mengenakan gaun putih gading dengan detail renda halus dan lengan transparan yang menggantung elegan di bahunya. Seorang penata rias membubuhkan sentuhan akhir pada pipinya, sementara seorang lainnya merapikan veil tipis yang menjuntai hingga pinggang.
“Sudah selesai,” bisik salah satu staf, lalu mundur perlahan, membiarkan Zia menatap dirinya sendiri.
Zia hampir tak mengenali sosok yang ada di cermin. Wajah itu miliknya, tapi tidak seperti biasanya. Terlalu sempurna, terlalu diam. Seperti boneka porselen. Hatinya tetap dingin. Gugup, bingung... tapi juga seperti kosong.
Pernikahan ini hanya dihadiri keluarga inti. Begitu permintaan pihak pria. Tak ada pesta besar, tak ada keramaian, tak ada musik yang memekakkan telinga. Hanya aula pribadi mewah di salah satu hotel tertutup milik keluarga pihak pria. Dijaga ketat. Dibatasi. Bahkan wartawan pun tak tahu peristiwa ini akan berlangsung.
Ketika ia keluar dari ruang rias, Alex sudah menunggunya di depan pintu.
“Siap?” tanyanya, tak berani menatap mata Zia lama-lama.
Zia tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan. Itu cukup. Langkahnya terasa berat saat berjalan menyusuri koridor menuju aula utama. Detik demi detik begitu nyata di telinganya, seolah waktu memperlambat diri.
Pintu besar terbuka.
Aula itu sangat indah. Lampu gantung kristal menggantung rendah, memantulkan cahaya lembut ke dinding-dinding marmer putih. Hiasan bunga putih dan ungu disusun simetris, memberi kesan sakral dan mewah sekaligus.
Hanya dua baris kursi yang terisi. Di kiri: keluarga Zia—Alex, Agatha, dan satu paman tua yang tak ia kenal. Di kanan: tiga pria dan seorang wanita berbalut hitam. Mereka tidak tersenyum. Tidak memperlihatkan emosi. Tapi kehadiran mereka menggetarkan.
Lalu di depan altar berdiri pria itu.
Viren Kaeshiro.
Berdiri tegak dalam setelan tuksedo hitam sempurna. Kacamata kotak tipis masih bertengger di wajahnya. Dingin. Tenang. Tatapannya mengikuti langkah Zia tanpa ekspresi. Tapi matanya seperti menembus kulit—membaca, menganalisis, menghitung detak jantungnya.
Zia menahan napas. Benar. Ini pria yang datang ke Kafenya tempo hari. Kenapa bisa kebetulan begini? Batinnya.
Pelan-pelan ia melangkah maju, menyusuri lorong, dengan Alex di sampingnya. Setiap langkah terasa seperti sebuah keputusan baru. Ia ingin kabur. Ingin berhenti. Tapi semuanya sudah terlalu dalam untuk dibatalkan.
Di altar, Viren mengulurkan tangan.
Zia ragu sesaat. Tapi ia tetap mengulurkan tangan, meletakkannya di genggaman pria itu. Dingin. Tegas. Tapi tidak kasar.
Orang didepan mereka mulai membacakan kalimat-kalimat sakral. Namun Zia nyaris tidak mendengarnya. Pikirannya kabur, jantungnya seperti berdetak di luar tubuh.
“Apakah Anda, Viren Kaeshiro, menerima Zia Donatella sebagai istri Anda...”
“Saya terima.”
Tanpa ragu. Tanpa jeda. Seolah ini semua hanyalah transaksi bisnis yang ia jalani setiap hari. Zia menoleh pelan ke arahnya. Tatapan pria itu tidak berubah.
Orang itu beralih padanya. “Apakah Anda, Zia Donatella, menerima Viren Kaeshiro sebagai suami Anda...”
Diam. Semua mata tertuju padanya.
Satu detik. Dua. Lima.
Zia memejamkan mata. Ia merasa tenggorokannya tercekat. Lalu pelan-pelan, ia menjawab.
“...Saya terima.”
Dan saat kalimat itu meluncur dari bibirnya, Zia tahu satu hal: Ia baru saja membuka pintu ke dunia yang tidak akan pernah bisa ia tinggalkan.
Semua selesai.
Notaris mengesahkan dokumen. Tidak ada ciuman. Tidak ada pelukan. Hanya pengesahan hukum yang mengikat dua orang tak saling mengenal dalam satu nama keluarga.
Zia mengangkat sedikit bagian bawah gaunnya dan berjalan pelan di belakang Viren. Usai prosesi pemasangan cincin, mereka tidak bergandengan, tidak saling menoleh. Mereka berjalan sendiri-sendiri—seolah pernikahan itu tak pernah terjadi.
Di dekat pintu keluar, seorang pria berambut pirang berdiri tegak, nyaris tanpa ekspresi. "Saya yang akan mengantar Anda," ucapnya dingin.
Zia mengangguk pelan. Tatapannya sekilas melayang ke arah Viren yang kini berbicara dengan Alex dan Agatha. Entah apa yang mereka bicarakan. Raut wajah Viren seperti dinding—tidak bisa dibaca, tidak bisa ditembus.
Pria pirang itu—Manuel—membukakan pintu mobil. Ia membantu Zia masuk dengan hati-hati, memastikan gaun panjangnya tidak tersangkut. Tak ada basa-basi, tak ada ucapan selamat atau sambutan ramah. Hanya keheningan yang kaku di antara mereka.
Mobil melaju. Mereka duduk berjauhan di kursi belakang, terpisah oleh ruang dan ketegangan. Beberapa menit berlalu sebelum Zia akhirnya bertanya, suaranya nyaris seperti bisikan.
"Kemana kita akan pergi?"
"Ke Calligo," jawab Manuel singkat.
Zia mengerutkan kening. "Calligo?" ulangnya pelan. "Apa itu?"
Manuel menatap Zia lewat cermin tengah. Matanya tajam, dingin, dan penuh kewaspadaan.
"Tempat tinggal Tuan Viren," jawabnya.
Mobil melaju menembus malam. Lampu-lampu kota perlahan berganti dengan bayangan pohon dan jalanan yang makin sepi. Zia bersandar, mencoba menenangkan pikirannya. Tapi semuanya terlalu cepat. Terlalu asing.
Gaun putih yang membalut tubuhnya terasa lebih seperti penjara daripada lambang bahagia. Ia melirik ke jendela, memandangi dunia luar yang berubah semakin gelap. Tak satu pun kata keluar dari mulut Manuel, dan Zia pun kehabisan pertanyaan yang ingin ia ajukan.
“Calligo....” gumamnya sendiri. Kata itu masih asing. Tapi cara Manuel mengucapkannya tadi… seolah tempat itu bukan sekadar rumah. Seolah ia akan dibawa ke sesuatu yang lebih dari sekadar tempat tinggal.
Setelah sekitar satu jam perjalanan, mobil akhirnya mulai melewati gerbang besi tinggi yang dijaga dua pria berseragam hitam. Mereka menunduk saat mobil lewat, tanpa berkata apa-apa. Zia memperhatikan setiap detail, merasa seperti memasuki benteng yang tersembunyi dari peta dunia.
Begitu memasuki area dalam, suasana berubah. Jalan yang mereka lewati diapit pohon-pohon tinggi dan terawat. Di kejauhan, tampak siluet bangunan besar dengan lampu-lampu temaram menghiasi sisi luar dindingnya.
Itulah Calligo.
Sebuah bangunan tua bergaya arsitektur Eropa klasik, berdiri kokoh seperti benteng keluarga bangsawan. Jendela-jendela tinggi, dinding batu berwarna gelap, dan atap lancip bersusun menciptakan kesan elegan sekaligus menyeramkan. Tak ada tanda-tanda kehidupan selain cahaya yang menyala dari beberapa sisi.
Mobil berhenti tepat di depan pintu utama. Manuel turun lebih dulu, kemudian membukakan pintu untuk Zia. Udara malam langsung menyergap kulitnya. Dingin. Senyap.
Tangga marmer membentang dari halaman ke pintu depan, diapit dua patung singa batu yang mengintai bisu dalam gelap.
Zia melangkah ke dalam rumah megah yang tak pernah ia bayangkan akan menjadi tempat tinggalnya. Setiap sudut ruangan tampak sempurna, terlalu sempurna. Tidak ada suara, hanya keheningan yang menggantung di udara. Langkahnya terhenti di tengah ruang tamu yang luas, menghadap ke tangga besar yang terbuat dari marmer putih yang berkilau, namun terasa dingin, seakan-akan tidak ada kehidupan yang pernah menghuni rumah itu.
Ia memeriksa gaun pengantin yang masih terpasang di tubuhnya. Riasan wajahnya mulai luntur, tapi senyumnya yang dipaksakan sejak tadi tetap bertahan. Zia tahu bahwa senyum itu hanya untuk menutupi kegelisahan di dalam hatinya, tetapi siapa yang bisa melihatnya?
“Selamat datang, Nona,” suara pengawal yang muncul dari balik pintu membuat Zia terkejut. Seorang pria tinggi mengenakan jas hitam berdiri di sana, wajahnya tidak menampakkan ekspresi sama sekali—Jake—. Dengan nada suara yang datar, ia mempersilakan Zia untuk melanjutkan langkahnya. Zia mengangguk tanpa berkata apa-apa, mencoba menahan perasaan cemas yang kian menggerogoti dirinya.
Ia melangkah lebih jauh, mengikuti pengawal itu ke arah tangga, yang mengarah ke lantai atas. Rumah ini begitu besar, hampir seperti labirin. Setiap ruangan terlalu sunyi, terlalu tertata, seolah-olah tuan rumahnya lebih memilih hening daripada kehangatan.
“Ini kamar Anda, Nona,” pengawal itu berhenti di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu gelap. Dengan gerakan cepat, ia membuka pintu dan Zia melangkah masuk ke kamar yang disiapkan untuknya—kamar tidur pengantin mereka. Mata Zia menyapu seluruh ruangan. Tempat tidur besar yang dihiasi dengan tirai tipis yang menjuntai lembut. Lampu kristal yang menggantung dari langit-langit. Semua tampak sempurna. Tapi ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang membuatnya merasa tercekik.
Zia memaksakan dirinya untuk tersenyum, meski perasaan di dalam hatinya seperti tumpukan batu. Ia menyentuh gaunnya dan merasa sedikit canggung dengan seluruh situasi ini. Namun, sebelum ia bisa mengumpulkan pikiran, suara langkah kaki terdengar dari luar pintu.
Pintu kamar terbuka dengan tenang, dan di sana dia berdiri—Viren Kaeshiro, suaminya.
Zia menatap pria itu dengan kebingungan yang tak terucapkan. Viren masih mengenakan jas hitam yang rapi, ekspresinya datar, tak ada perasaan yang bisa terbaca dari wajahnya. Mata gelapnya menatap Zia sekilas, tanpa menunjukkan sedikit pun kehangatan. Seperti biasa, wajahnya tampak tidak terganggu oleh apa pun. Suara langkah kakinya yang mantap semakin mendekat, dan Zia merasa seluruh tubuhnya kaku, seolah-olah waktu terhenti sesaat.
Viren melepaskan jasnya dan menggantungnya di belakang kursi, lalu duduk di sisi tempat tidur. Suasana semakin hening. Zia hanya berdiri di sana, mencoba untuk terlihat tenang, tetapi hatinya berdebar kencang. Entah kenapa, kehadiran Viren justru membuatnya merasa semakin jauh dari kenyamanan.
“Apakah kau tidak ingin berganti pakaian?” tanya Viren tanpa menoleh. Suaranya datar—lebih terdengar seperti perintah daripada pertanyaan.
Zia mengangguk pelan. “Iya…” ucapnya lirih, masih berusaha menyesuaikan diri dengan suasana yang dingin dan asing ini.
Ia berjalan pelan menuju lemari besar di sudut ruangan. Saat membuka pintunya, ia hanya menemukan deretan kemeja berwarna netral dan beberapa kaus yang tertata rapi. Tak ada satu pun miliknya di sana.
“Aku tidak membawa pakaian sendiri,” ujarnya sambil menoleh.
“Gunakan saja yang ada di depan matamu,” balas Viren datar.
Zia mengangguk. Ia mengambil sweater abu tua yang terlihat paling nyaman, lalu membawanya ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, ia keluar dalam balutan sweater kebesaran yang menjuntai hingga lutut. Lengan panjangnya terpaksa digulung agar tak menutupi tangannya.
Ia berdiri di ambang pintu kamar mandi, lalu memberanikan diri bertanya, suaranya pelan namun terdengar jelas di tengah keheningan.
“Kau yang waktu itu membeli red velvet, bukan?”
“Ya.”
Zia menunduk sejenak, menarik napas. “Kita… tidak seharusnya bersama.”
Viren tidak langsung menjawab. Ia tetap memandang ke depan, seolah pertanyaan itu tak cukup penting untuk membuatnya menoleh.
“Jangan khawatir,” katanya akhirnya, suaranya tetap tenang. “Kita akan menjalani pernikahan ini dengan cara yang… praktis.”
Zia mengernyit. “Praktis?”
Viren tersenyum kecil, tapi itu bukan senyum yang hangat—melainkan senyum dingin yang kosong makna. “Ini hanya formalitas. Kau dan aku… tidak perlu berbagi banyak. Tidak perlu terlibat terlalu dalam.”
Zia merasa ada sesuatu yang menusuk dadanya. Ia menunduk lalu mengangguk perlahan, tangannya mengepal di sisi tubuh, tersembunyi di balik lipatan kain. Ia tak ingin siapa pun melihat betapa keras usahanya menahan diri. Ia mengangkat wajah lagi, tatapannya tak goyah—tapi ada sesuatu di sana yang sempat berkedip: kecewa yang terlalu dalam untuk diucapkan.
“Baiklah. Itu terdengar lebih baik,” ucapnya akhirnya, dengan nada yang datar namun mantap.
“Aku terima perjanjian ini.”
Hening.
"Oke." Jawabnya singkat lalu pergi.
.
.
.
.
Terimakasih atas kunjungan serta dukungan kalian semua🤗Jangan lupa like nya😘 karena itu bikin author semangat 🤗
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!