Langit itu begitu cerah, awan berarak rapi mengikuti hembusan angin. Hangat mentari mulai terasa kala semua penumpang kini sudah keluar dari pesawat yang baru saja beberapa saat lalu berhasil mendarat.
Penerbangan internasional, Los Angeles-Indonesia.
"Come on, El. Apa yang kau tunggu di sana?”
Wanita yang mengenakan kemeja putih dengan blazer hitam itu berbalik, kembali menatap ke belakang, ke arah pesawat yang baru saja menghantarkan mereka kembali ke tanah air.
Putranya masih tak beranjak setelah turun dari sana.
"Aku hanya ingin merasakan hangatnya sinar matahari ini, Mom. Semakin tahun, rasanya posisinya semakin turun," jawabnya seraya memasang kaca mata hitam, memperhatikan sinar matahari dan menyugar rambutnya yang berwarna keperakan.
Wanita yang dipanggil dengan sebutan Mom itu hanya menggeleng. Ia berbalik kembali berjalan, mengabaikan sang putra.
"Wait Mom! Jangan tinggalkan aku. Bagaimana jika putra tampan Mommy ini diculik seseorang?" tanyanya dengan nada ketakutan. Berusaha mempengaruhi sang ibu.
Akan tetapi, wanita cantik dengan rambut panjang tergerai diterpa angin itu nampak tak perduli. Langkahnya dengan sang putra yang memiliki tinggi 118 cm itu tidaklah terlalu jauh.
Melihat ibunya yang abai, membuat bocah berusia enam tahun itu mendengus halus. Ia terpaksa berlari, langsung meraih tangan ibunya dan mulai melangkah sejajar bersama, masuk ke dalam area bangunan bandara.
Mereka berdua kembali ke tanah air kali ini bukan untuk liburan atau pulang sesaat. Akan tetapi untuk menetap. Sang ibu memutuskan pulang setelah hampir delapan tahun tinggal di luar negeri.
Keduanya terlebih dahulu menyelesaikan proses setelah penerbangan, mereka menuju bagian imigrasi dan barulah setelahnya menuju ke pengambilan bagasi.
Beberapa koper yang berisi barang pribadi milik mereka sudah tersusun rapi di dalam troli, dengan bantuan salah satu petugas bandara, troli koper itu didorong menuju bagian transportasi.
Bocah kecil itu terus melangkah beriringan bersama sang ibu. Genggaman tangan mereka terlepas saat sang ibu berhenti dan terlihat menghubungi seseorang. Mereka menunggu seseorang yang sudah berjanji akan datang untuk menjemput mereka di bandara.
"Kakek terjebak macet," ucap wanita itu pada sang putra. "Kita tunggu Kakek di sini."
Bocah tampan itu hanya mengangguk. Ia tetap berdiri tenang di samping sang ibu yang masih fokus mengutak-ngatik ponselnya. Namun, mata bocah berwajah tampan itu liar mengawasi sekitar bandara yang padat.
Orang-orang berlalu lalang, baik yang keluar dari bandara maupun yang masuk untuk melakukan penerbangan tak luput dari perhatiannya.
Ia adalah pengamat ulung. Kepandaian dan keingin tahunya begitu tinggi, hingga memperhatikan sesuatu dengan begitu detail adalah kebiasaannya.
Merasa cukup lama menunggu sang kakek yang belum juga tiba. Bocah itu naik ke atas tumpukkan koper lalu duduk di sana. Kini netranya tak lagi bisa mengawasi sekitar bandara dengan penuh, hanya satu sisi yang bisa ia perhatikan, punggung kecilnya membelakangi sang ibu.
"Pa? Papa di mana?" Bocah itu bisa mendengar suara sang ibu yang menghubungi kakeknya di balik punggungnya. "Kami baru saja tiba, kami menunggu di terminal 08."
Setelah itu tak ada lagi suara yang terdengar, ibunya sudah mengakhiri panggilan.
"Kakekmu sebentar lagi akan datang."
Bocah itu tak memberikan respon ketika sang ibu memberi tahu bahwa kakeknya akan segera tiba untuk menjemput mereka.
Tangan mungil itu bergerak membuka kaca mata hitam. Ia fokus memperhatikan beberapa orang pria yang kini melangkah teratur. Baru saja keluar dari area kedatangan internasional.
Netra polosnya mengunci tajam.
Bukan untuk semua para pria berpenampilan eksekutif itu, tapi hanya untuk pria yang melangkah paling depan di antara lainnya.
Setelan formal lengkap, mengenakan jam tangan mewah. Dan bocah kecil yang duduk di atas tumpukkan koper itu sudah memindai lebih dulu tujuan langkah pria berwajah tampan yang ia amati.
Bagai menarik cahaya laser, netranya sudah membidik mobil mewah dengan beberapa mobil lain yang berjejer di belakangnya.
Bocah itu tersenyum kecil.
Ia terus memperhatikan pria itu yang berjalan dengan beberapa orangnya. Ya. Bocah itu yakin, jika mereka yang mengikuti langkah pria itu pastilah anak buahnya. Aura pria berkuasa begitu terasa.
Bocah itu tersenyum samar.
Tak melepaskan pengamatannya sampai pria tampan itu benar menuju mobil mewah sesuai dugaannya.
Bocah itu kembali tersenyum saat menangkap pria dewasa itu yang ternyata juga menyugar rambut keperakannya sebelum menghilang masuk ke dalam mobil mewah.
"Ayo, El. Itu kakekmu," ucap sang ibu ketika melihat mobil ayahnya mendekat.
Bocah bernama Elvano Abraham itu belum beranjak turun dari tumpukkan koper. Netranya masih terikat kuat dengan mobil mewah yang kini mulai mendekat dan akan berlalu melewati mereka.
Elvano memiringkan kepala, ia tersenyum lebar dengan satu mata yang mengedip singkat, ketika kendaraan mewah itu lewat dan tatapannya bertemu dengan pria yang duduk di kursi penumpang bagian belakang.
"Sempurna," ucap Elvano.
"Apanya yang sempurna?" Anggita Abraham memicing pada bocah tampannya.
"Hahaha..." tawa Elvano geli. Secepat mungkin ia mengembalikan ekspresi tenangnya. Menyingkirkan beberapa rencana aneh yang sempat terlintas di dalam otak kecilnya tadi. "Mommy adalah wanita sempurna. Sudah cantik, sukses dan sangat sayang padaku." Ini bukan peres. Itu adalah kata-kata tulus dari hati Elvano untuk Anggita-sang ibu.
Anggita memutar bola mata. "Cepat turun dan segera hampiri kakekmu!"
Elvano menurut. Dengan sekali melompat ia sudah mendarat di lantai bandara. Elvano segera berlari menuju pria paruh baya yang keluar dari mobil dan sudah merentangkan tangan untuk menyambut kedatangannya.
"Kenapa berhenti?" tanya Galang heran ketika Elvano tak masuk ke dalam pelukannya. Tangan pria itu sudah bersiap menyambut sang cucu dengan pelukan.
"Aku tidak yakin, Kakek akan kuat menangkap ku."
Astaga!
Netra tua Galang melotot. Apa cucunya pikir ia sudah selemah itu.
"Haha...aku hanya bercanda, Kek." Elvano sudah berlari lagi dengan kencang dan langsung melompat masuk ke dalam pelukan Galang. Untung Galang dengan cekatan menangkap tubuh bocah nakal itu. "Aku dan Mommy sangat merindukanmu, juga Nenek."
Galang memeluk erat tubuh kecil Elvano.
Anggita yang melihat itu tersenyum menggeleng. Ia berlalu untuk masuk ke dalam mobil terlebih dahulu dan sedikit berteriak ketika ayahnya dan putra kecilnya masih saja asyik berpelukan.
Sampai semuanya sudah masuk ke dalam mobil, kendaraan itu segera melaju meninggalkan bandara menuju kediaman mewah keluarga Galang Abraham.
Tiba di kediaman mewah keluarga Abraham. Kedatangan Anggita dan putranya-Elvano sudah dinanti-nanti oleh Sekar. Wanita paruh baya itu berdiri di depan teras pintu utama, ia langsung tersenyum saat matanya sudah mampu melihat mobil sang suami masuk ke dalam pekarangan kediaman mewah mereka.
"Nenek!!"
"Cucuku yang tampan!!"
Elvano langsung melompat keluar setelah membuka pintu mobil, ia berlari memeluk tubuh wanita paruh baya yang ia panggil dengan sebutan nenek.
Mereka berpelukan erat, membuat Anggita dan Galang yang baru saja menyusul keluar dari mobil menggeleng.
"Awas pinggang Mama," ucap Anggita memperingatkan, karena melihat ibunya yang memaksakan diri untuk menggendong Elvano.
"Turunkan aku, Nek. Aku terlalu berat. Jangan memaksakan dirimu seperti Kakek."
"El!!" suara Galang terlihat geram sekaligus gemas melihat cucunya yang sempat meragukan kekuatannya tadi.
"Benar, Cucu Nenek yang sangat tampan ini semakin tinggi. Empat tahun tidak bertemu, Nenek sungguh rindu." Mata Sekar sudah berkaca-kaca. Tergambar jelas perasaan haru saat kini ia sudah bisa dengan nyata menatap putri, juga cucunya. "Kalian benar-benar tidak mau ditemui," tambah Sekar dengan nada dongkolnya.
"Ma..." Anggita mendekat pada ibunya. Suara wanita itu cukup dalam. Ia memeluk Sekar sesaat dan kembali berkata, "Mama tahu alasannya apa. Dan yang terpenting kami sudah ada di sini sekarang."
Apa yang Anggita katakan tak terdengar oleh siapa pun kecuali Sekar. Sekar melirik Elvano yang mata polosnya kini memperhatikan mereka.
Sekar mengangguk. Ia segera mengusap wajahnya dan langsung tersenyum menatap Elvano.
"Ayo masuk! Nenek sudah masak banyak makanan untuk menyambut kedatangan kalian."
Bocah kecil yang dari tadi berusaha menyimak itu segera menyambut uluran tangan Sekar. Mereka sama-sama masuk ke dalam hunian mewah itu.
"Ayo!" Galang merangkul bahu putrinya. Membawa Anggita masuk, mengikuti langkah Sekar yang sudah lebih dulu bergandengan tangan bersama Elvano.
Sekar dan Galang sungguh bahagia dengan kembalinya Anggita bersama putranya-Elvano dari luar negeri dan memutuskan untuk menetap di negara ini.
Sekar terlihat bersemangat dan semua itu ia ekspresikan dalam banyaknya sajian makanan yang kini terhidang di atas meja. Sekar sendiri lah yang memasaknya.
Setelah menyiapkan makanan untuk suaminya-Galang, kini Sekar mulai menyajikan berbagai makanan ke dalam piring sang cucu.
Sangking bersemangatnya Sekar, ia tampak tidak sadar jika piring Elvano sudah sangat penuh. Entah mampu atau tidak bocah kecil berusia enam tahun itu menghabiskannya.
"Ini terlalu banyak, Nek. Bagaimana aku menghabiskannya?"
Gerakan Sekar yang masih ingin menambahkan makanan ke dalam piring Elvano terhenti. Netra tuanya sendiri terlihat kaget, ia baru sadar.
Namun, selanjutnya ia tertawa dan tanpa rasa bersalah kembali meletakkan makanan itu ke dalam piring Elvano.
"Cucu tampan Nenek harus makan yang banyak. Biar semakin tinggi dan kuat."
Netra polos Elvano membulat. Menatap makanan di dalam piringnya, lalu beralih pandang pada sang ibu.
"Mom...?" terdengar seperti rengekan untuk meminta bantuan.
"Apa?" Tanpa menoleh Anggita menanggapi panggilan sang putra. Ia tetap makan dengan tatapan yang tak mengarah pada putranya itu.
Melihat sang ibu yang tak ingin menatapnya, Elvano berwajah masam. Ia kemudian melirik Sekar. Wajah tua yang begitu ceria menyambut kedatangannya, dan Elvano merasa terharu. Ia tidak tega, tapi juga tidak sanggup jika harus menghabiskan semua makanan yang Sekar berikan.
Netra polos bocah tampan itu tiba-tiba bergerak menangkap tatapan sang kakek. Secepat kilat ia memasang ekspresi memelas. Seakan berkata 'Selamatkan aku dari Nenek, Kek'
Galang terkekeh. Ia meletakkan sendok makannya dan menyentuh lembut lengan sang istri.
"Sudah, Sayang. El tidak akan bisa menghabiskan semuanya. Dia bukan Tsania yang akan menghabiskan semua masakanmu. Biarkan El makan dengan tenang."
Sekar menurut dengan perkataan Galang. Ia tersenyum dan juga segera mulai makan. Meski sesekali ia tetap menambah makanan ke dalam piring Elvano.
Setelah beberapa saat, acara makan bersama itu pun selesai. Mereka kini lanjut duduk di sofa yang ada di ruang keluarga.
Anggita terlibat pembicaraan serius dengan kedua orang tuanya. Tak jauh dari sana, Elvano duduk di atas karpet berbulu tebal, membuka ransel kecil yang dipenuhi oleh mainan hasil rakitan bocah itu sendiri.
Robot, mobil dan helikopter mainan yang semuanya berbentuk mini. Elvano meletakkan mobil kecilnya dan mulai melepas untuk mengitari ruang keluarga. Bocah itu tengah mengukur seberapa jauh kemampuan mobil remot yang ia rakit sendiri.
"Jadi kau hanya sementara di sini? Tapi kenapa? Mama sangat merindukan mu, Anggi. Juga El." Suara Sekar terdengar serak. Elvano yang terlihat fokus mengutak-ngatik remot kontrol itu sebenarnya masih mampu menangkap pembicaraan orang dewasa yang ada di sofa.
"Ayolah, Ma. Aku dan El sudah ada di negara ini. Aku hanya akan pindah tempat tinggal. Aku akan mencari apartemen sendiri. Aku ingin mandiri." Anggita berusaha meyakinkan sang ibu.
"Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Papa percaya padamu." Galang menatap Anggita.
"Mas, bagaimana jika pria berbahaya itu menemukan Anggi?" Sekar tetap tidak terima.
"Itu tidak akan terjadi, Ma," suara Anggita pelan. Ia melirik sekilas pada putranya yang masih terlihat fokus pada mainan.
Sedangkan Sekar hanya bisa menghela napas lemah. Bagaimana bisa putrinya hidup di luar sana seorang diri dengan anak sekecil-Elvano. Sekar tak bisa menutupi perasaan khawatirnya. Apalagi mengingat kehidupan Anggita yang tak berjalan mulus setelah ia bebas dari penjara, hingga memutuskan untuk tinggal di luar negeri.
Kini putrinya sudah kembali, Sekar ingin mereka hidup bersama, berdekatan. Dan ia bisa menghabiskan banyak waktu bersama putrinya-Anggita dan juga cucunya-Elvano.
"Kita harus percaya pada putri kita sendiri. Anggita itu kuat," ucap Galang menggenggam tangan Sekar. Ia kembali menatap pada Anggita. "Papa juga sudah mencarikan sekolah terbaik untuk El dan Papa sudah menyerahkan semua datanya sesuai permintaanmu."
"El, kemarilah!" pinta Galang pada Elvano.
Bocah tampan itu segera beranjak untuk mendekat, ia duduk di antara kakek dan neneknya.
"Kakek sudah mendaftarkanmu di sekolah terbaik. Kau sudah bisa bersekolah mulai besok."
"Sekolah?" ulang Elvano. Tak hanya pada Galang, Elvano langsung memberikan tatapan heran pada ibunya.
Ia tak menyukai sekolah. Tepatnya lingkungan sekolah.
"Iya, sekolah. Kakek mendaftarkanmu di sekolah internasional terbaik di kota ini. Kau pasti akan sangat senang di sana."
Elvano tak menanggapi ucapan sang kakek. Netra polos itu terus menatap sang ibu. Seakan menunggu apa yang akan ibunya katakan.
"Kenapa harus sekolah resmi, Mom? Tidak homeschooling?" tanya Elvano akhirnya.
Sekar dan Galang saling pandang mendengar pertanyaan Elvano.
"Kenapa harus homeschooling, El? Kau tidak akan punya teman jika belajar di rumah. Kakek mendaftarkanmu di tempat terbaik, kau akan memiliki teman yang banyak di sana." Panjang lebar Sekar memberikan pengertian pada sang cucu. Ia mengusap sayang rambut sang cucu yang berwarna keperakkan itu. Semakin menambah daya tarik dari wajah yang sudah terlahir menawan.
"Kakek sudah mendaftarkannya. Dan besok kau mulai sekolah." Akhirnya Anggita bersuara. Kalimatnya terdengar tenang, namun jelas ada ketegasan di sana. Dan Elvano tahu, ia tidak bisa membantah ucapan sang ibu.
Sekolah?
Entah kenapa kata itu selalu tak terdengar ramah di telinga Elvano.
Teman?
Rasanya malas untuk Elvano.
Tetapi kini ibunya sudah berkata demikian, mau tak mau Elvano akan menurutinya. Ia akan masuk ke sekolah internasional terbaik di kota ini.
Pagi hari, Elvano ternyata benar-benar harus berangkat ke sekolah barunya. Mengenakan setelan biasa, karena belum memiliki seragam, Elvano pergi dengan Anggita langsung yang mengantarkannya.
Selesai sarapan pagi tadi, Galang-sang kakek sempat menawarkan diri untuk ikut mengantar sang cucu. Galang tahu, jika hari ini Anggita juga akan mengurus kepindahan galeri lukisnya. Beberapa lukisan karya wanita itu yang berada di negara sebelumnya sudah tiba hari ini melalui penerbangan cargo. Anggita pasti akan sangat sibuk dan tidak akan bisa menunggu Elvano hingga jam sekolah selesai.
"Mommy akan mengantarmu dan bertemu dengan pihak guru sebentar. Mengambil seragam untukmu dan setelahnya Mommy harus memeriksa lokasi galeri."
Anggita berkata seraya menyetir, ia melirik pada Elvano yang tengah duduk diam mengamati gedung-gedung pencakar langit yang mereka lewati.
"Kau mendengarnya, El?"
"Yes, Mom. Aku mengerti."
Itu artinya Elvano akan sendirian di sekolah barunya.
"Atau Mommy perlu meminta Kakek untuk menunggumu di sekolah?"
Bocah tampan itu langsung menoleh pada sang ibu yang kini tengah mengangkat alis padanya. Sedang menggoda sang putra.
Elvano mendengus halus. "Aku bukan bocah kecil yang akan menangis di sekolah, Mom. Aku bisa menjaga diriku jika ada yang mengganggu!"
"Bagaimana dengan sebaliknya?"
"Sebaliknya?" ulang Elvano menatap pada sang ibu.
Anggita tersenyum kecil, ia memutar kemudi untuk bisa masuk dalam kawasan sekolah internasional sang putra. Wanita itu menghentikan kendaraan di parkiran.
"Come on, El. Ini adalah sekolah baru mu," ucap Anggita meminta anaknya segera turun dari mobil tanpa ingin melanjutkan pembahasan mereka yang sempat terputus tadi.
Dengan setengah hati, Elvano turun dari mobil. Bocah itu tak melompat. Tidak terlihat antusias menyambut kepindahannya ke sekolah elit ini. Ia berjalan santai di samping sang ibu yang mulai masuk ke dalam bangunan sekolah dan segera bertanya di mana ruangan guru pada petugas jaga.
Memasang wajah dingin, El mengikuti langkah Anggita masuk ke dalam ruangan guru. Bocah itu duduk dengan tenang, membiarkan Anggita bicara dengan guru wanita yang menyambut ramah kedatangan mereka.
Hingga setelah beberapa saat berlalu, Anggita tampak berdiri dengan memegang sebuah paper bag. Ia sudah menerima seragam sekolah sang putra.
"El," panggil Anggita yang berdiri dengan seorang guru wanita. Elvano segera mendekat pada mommynya. "Mommy harus pergi sekarang. Seragam mu sudah ada, tapi kata Miss Salsa tidak masalah jika hari ini kamu mengenakan pakaian biasa," ucap Anggita dan menoleh pada guru Elvano yang mengangguk tersenyum lembut, bernama Miss Salsa.
"Saya titip Elvano, ya Miss. Anda bisa menghubungi nomor yang saya berikan tadi jika ada sesuatu yang penting."
"Baik, Nyonya Anggita."
Anggita sekali lagi menatap wajah tampan sang putra. "Mommy pergi dulu. Nikmati hari mu, Baby. Dan jangan nakal!" Anggita mengacak rambut perak anaknya. Membuat Elvano mendengus, namun bocah itu tetap memeluk dan mencium kedua pipi sang ibu dengan sayang sebelum Anggita pergi meninggalkan sekolah.
"Ayo, Elvano! Kita masuk ke dalam kelas," ajak Miss Salsa dan Elvano menurut.
Ia mengikuti langkah Miss Salsa dalam diam. Wajah datarnya tak terusik ketika melihat beberapa pelajar kini berdiri di balik jendela kelas yang ia lalui. Terlihat heboh karena memperhatikan kedatangannya.
Mengenakan setelan casual, dan tambahan jaket bomber, penampilan Elvano memang mencuri perhatian. Selain wajahnya yang tampan, aura bocah itu terlihat berkelas. Belum lagi rambutnya yang berwarna perak, sedikit menggelitik, namun anehnya begitu serasi dengan wajah dan netranya yang indah. Semakin menambah daya tarik dari bocah tersebut.
Miss Salsa membawa Elvano masuk keruang kelas yang di atas pintunya tergantung plakat bertuliskan-Kelas 1D.
Bangunan sekolah berbasis internasional ini begitu luas, terdiri dari jenjang taman kanak-kanak hingga SMA. Masing-masing area dipisahkan dengan sedemikian rupa hingga tak bercampur dan terorganisir dengan baik, sekalipun masih dalam satu area bangunan yang begitu besar dan di bawah naungan nama yang sama-Build International School (BIS).
Elvano memulai kelasnya dengan memperkenalkan diri terlebih dahulu di hadapan semua teman-teman sebaya.
"Elvano Abraham..." ucap Elvano tenang dengan berdiri di depan kelas. Netra polosnya menelisik keseluruhan penghuni ruangan, seakan memindai tipe semua makhluk yang akan ia hadapi pada hari-hari berikutnya. "Senang berada di sini," tambahnya lagi.
Anak-anak yang hampir semua berusia sama dengan Elvano itu terlihat antusias menyambut kedatangan teman baru mereka. Beberapa pertanyaan terlontar begitu saja, wujud dari ekspresi mereka yang ingin mengenal Elvano lebih dari hanya sekedar nama yang bocah itu sebutkan.
"Apakah kau murid pindahan dari luar negeri, El?" terdengar suara dari salah satu murid di sana.
Elvano mengangguk singkat sebagai bentuk jawaban dari pertanyaan itu.
Membuat yang lain langsung berseru heboh.
"Mungkin orang tuanya pindah tugas ke negara ini."
"Mungkin orang tuanya seorang Diplomat."
"Bisa jadi."
"Atau pengusaha luar negeri yang akan membuka usaha di negara ini."
Tanpa menghilangkan kehebohan mereka, berbagai anggapan keluar begitu saja dari semua teman-teman Elvano dengan spontan atas kepindahan Elvano ke negara ini.
"Apa tepatnya pekerjaan daddymu, El?" Pertanyaan yang lebih spesifik itu terlontar.
Di sekolah elit, hal seperti ini umum terjadi. Latar belakang seperti; bibit bobot begitu mempengaruhi.
Elvano menutup rapat mulutnya, wajah bocah itu seketika berubah dingin. Sampai beberapa saat berlalu, tak ada jawaban yang Elvano berikan. Ia hanya diam.
Miss Salsa segera menyudahi sesi perkenalan singkat itu. Ia meminta Elvano untuk duduk di kursinya dan memulai kegiatan belajar mengajar.
"William." Bocah laki-laki itu menghampiri tempat duduk Elvano tepat ketika Miss Salsa sudah menutup sesi belajar dan meninggalkan ruang kelas. William ingin mengajak Elvano berkenalan.
Anak-anak yang lain juga terlihat sudah keluar dari kelas demi menikmati jam istirahat mereka. Hanya ada William dan Elvano serta dua anak perempuan yang berdiri di belakang tubuh William saat ini.
Satu di antara bocah perempuan itu terus tersenyum memperhatikan Elvano, ia juga tidak sabar ingin berkenalan dan berteman dengan murid baru pindahan yang menurutnya begitu tampan itu.
"Aku Olivia," ucapnya bersemangat, ikut mengulurkan tangan seperti William, meski Olivia bisa melihat jika Elvano bahkan belum menyambut uluran tangan teman mereka. "Dan ini, Rania." Olivia menarik bocah perempuan lainnya. Ia juga meraih tangan Rania agar terulur ke hadapan Elvano, hingga kini ada tiga tangan di sana yang menantikan sambutan Elvano.
"Elvano..." Setelah cukup lama, satu persatu Elvano membalas perkenalan mereka.
Olivia yang paling terlihat girang, bocah cantik itu bahkan bersorak dengan meloncat kecil di hadapan Elvano.
"Kau tampan sekali, El. Dari dekat kau bahkan lebih tampan." Olivia tertawa sembari menutup wajahnya dan mengintip lagi di sela-sela jarinya yang mungil.
William dan Rania menoleh pada Olivia. Sedangkan Elvano hanya tersenyum samar. Ia sudah terlalu sering menerima perlakuan seperti ini, bahkan neneknya saja pun begitu mengagumi kelebihan pesonanya.
Mulai saat itu pula lah, Elvano menghabiskan waktunya di sekolah bersama William, Olivia dan juga Rania. Tiga teman baru yang berhasil membuat Elvano sedikit bisa menepikan perasaan tidak nyamannya saat mendapat pertanyaan yang berhubungan dengan orangtua, terutama tentang sang Daddy.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!