Di Sore hari, langit tampak terlihat cerah, udara sore pun terasa begitu tenang dan terlalu sunyi untuk sebuah rumah sebesar itu.
Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan bangunan megah yang bergaya modern klasik.
Pintu mobil depan terbuka dengan cepat, kemudian seorang pria paruh baya berseragam hitam segera menyambutnya dengan sopan.
“Nona, Anda sudah kembali,” ucap Paman Jack sedikit membungkuk dengan hormat.
Mia tidak menjawabnya, hanya mengangguk pelan sebelum ia menyerahkan kunci mobil padanya. Kemudian ia melangkah masuk ke dalam rumah, lalu tubuhnya berhenti sejenak di ambang pintu utama. Pandangan matanya menelusuri setiap sudut dalam rumah dengan tatapan yang sulit ditebak.
“Apakah dia sudah pulang?” tanyanya dengan suara pelan.
Paman Jack menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Iya, Tuan Chris kembali menjelang sore tadi. Sekarang beliau sedang beristirahat di ruang kerjanya.”
Tanpa membuang waktu lama, Mia langsung menaiki anak tangga menuju ke lantai dua. Langkah kakinya sangat terburu-buru.
‘Sudah seminggu lamanya... tanpa satupun pesan darinya…’ gumamnya dalam hati.
Setelah sampai, ia berdiri diam di depan pintu ruang kerja. Mia menarik nafas dalam untuk mengambil keberaniannya, lalu beberapa saat kemudian, akhirnya ia mengetuk pintu itu dengan pelan.
“Kak Chris… Kak, apakah aku boleh masuk?”
Tidak ada suara dari dalam kamar itu. Mia menunggu beberapa detik sebelum akhirnya ia memutar kenop pintu dan mendorongnya perlahan.
Hening menyambutnya.
Di dalam ruangan, Christopher tertidur di sofa berukuran panjang, ia masih mengenakan kemeja kerja yang sedikit kusut. Lengan bajunya tergulung sembarangan dan dasinya melonggar. Wajahnya tampak terlihat lelah.
Mia melangkah mendekatinya, lalu berjongkok tepat di hadapannya. Ia menatap wajah suaminya itu dengan perasaan campur aduk.
“Kenapa kau tidak pernah mengabariku selama ini… Bahkan hanya untuk mengatakan bahwa kau baik-baik saja…” bisiknya.
Ada kelembutan dalam nada suaranya, namun juga ada luka di dalamnya.
“Apa aku sungguh tidak berarti apa-apa untukmu?” lirihnya lagi.
Angin sore yang berubah menjadi malam masuk dari jendela yang masih terbuka, anginnya membawa hawa dingin ke dalam ruangan itu. Mia berdiri perlahan dan menutup jendela itu. Ia berusaha agar tidak menimbulkan suara apapun untuk membangunkan Christopher.
“Kau pasti kedinginan kalau begini terus…”
Ia kembali ke tengah ruangan, kali ini tangannya sibuk membereskan dokumen-dokumen yang berserakan di lantai dan meja. Tiba-tiba gerakan tangannya terhenti saat matanya terpaku pada sebuah bingkai foto kecil di atas meja kerja itu.
“Ini…” bisiknya lirih.
Sebuah rasa yang sudah lama terpendam tiba-tiba kembali muncul ke permukaan. Luka lama yang belum sempat sembuh kini kembali berdarah, tepat saat ia melihat sosok perempuan yang ada di dalam bingkai itu, tersenyum bersama Christopher.
Mia berdiri terpaku di depan meja kerja milik suaminya. Tangannya perlahan terulur meraih sebuah bingkai foto yang menarik perhatiannya. Jemarinya terasa bergetar saat menyentuh bingkai itu.
Di dalam bingkai itu terdapat dua remaja yang duduk berdampingan di depan sebuah piano tua. Senyum keduanya begitu hangat dan begitu tulus, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua.
“Kau… ternyata masih menyimpannya,” bisik Mia dengan tatapan tidak percaya.
Suaranya begitu lirih, hatinya sangat terluka. Jemarinya menggenggam bingkai itu lebih erat..
“Lusy, ya?” gumamnya. “Kau masih mencintainya…”
Ia masih berdiri di sana, namun sorot matanya meredup kemudian perlahan berubah menjadi getir.
“Lalu aku ini apa, Kak?” suaranya nyaris patah. “Penggantinya? Atau hanya seseorang yang kebetulan datang di saat dia tidak bisa lagi bersamamu?”
Kepalanya menunduk. Bahunya sedikit bergetar saat dia menarik napas dalam-dalam, Mia berusaha menahan air matanya yang mendesak ingin keluar.
“Aku ingin berhenti berharap… Tetapi hatiku tidak bisa,” ucapnya lirih.
Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan riuh dalam dadanya. Foto itu masih tergenggam erat di tangannya.
Tiba-tiba, sebuah suara dingin memecah keheningan ruangan itu.
“Siapa yang mengizinkanmu masuk?”
Mia tersentak.
Refleks, tangannya melemah dan bingkai foto itu terjatuh dari genggamannya.
PYARR!
Suara kaca pecah membentur lantai dan mengejutkan keduanya.
“A-Aku… maaf!” ucap Mia dengan panik. “Aku tidak sengaja… Aku tidak bermaksud untuk menyentuhnya!”
Mia buru-buru berlutut hendak memungut pecahan bingkai itu. Namun belum sempat tangannya menyentuh lantai, Christopher sudah melangkah cepat dan mendorong tubuhnya ke samping. Mia jatuh terduduk dan terkejut.
Christopher mengangkat bingkai foto yang sudah pecah itu lalu memeriksanya dengan saksama.
“Untung saja fotonya tidak rusak,” gumamnya dengan nada dingin.
Mia menundukkan kepala, memandangi lantai dengan pandangan kosong. Tangannya mengepal di atas roknya yang berdebu.
Jemarinya bergetar saat ia kembali berusaha mengumpulkan pecahan bingkai foto yang berserakan dilantai. Tiba-tiba, semburat merah muncul dari telapak tangan kirinya.
Namun, sebelum ia sempat menyadari rasa perih yang mulai menyengat pada jarinya.
Tiba-tiba...
Plak!
Tamparan itu mendarat telak di pipinya.
“A-Akh…!”
Mia terhuyung ke samping, lalu memegang pipinya yang kini memerah. Ia mendongak perlahan, menatap pria yang ada di hadapannya dengan tatapan tidak percaya.
Christopher berdiri dengan napas memburu, wajahnya memerah karena amarah.
"Apa hak yang kau miliki untuk masuk ke ruangan ini?!" bentaknya. "Siapa yang memberimu izin untuk menyentuh barang-barangku?!"
Tanpa memberi waktu bagi Mia untuk menjawab, ia meraih kerah baju gadis itu dan menariknya kasar hingga Mia terangkat sedikit dari lantai.
"Meskipun jejaknya di rumah ini telah menghilang…" Christopher mencibir dengan tatapan matanya yang menusuk. "Sedikit pun, kau tidak akan pernah bisa menggantikannya!"
Hati Mia terguncang. Hatinya seolah diremukkan dalam genggaman pria itu.
"Kak Chris… aku tidak.. aku sungguh tidak berniat apa-apa…" jawabnya dengan pelan.
"Munafik," desis Christopher dengan tajam. "Karenamu, aku harus berpisah dengan orang yang paling kucintai!"
Tubuh Mia mulai melemas. Luka di tangannya kini berdarah lebih deras, namun rasa sakitnya tidak sebanding dengan tusukan kata-kata pria itu.
"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya ingin menjadi bagian dari hidupmu," bisiknya dengan tulus.
Christopher tertawa pendek seolah menghinanya.
"Bagian?" ulangnya. "Jika bukan karena Ibu yang memaksaku untuk pulang, kau pikir aku akan sudi tinggal satu rumah denganmu?"
Mata Christopher melebar, menatap Mia dengan penuh tatapan kebencian.
"Aku rasanya ingin muntah setiap kali melihat wajah syallanmu!"
Dengan satu dorongan keras, Christopher melepaskan kerah baju Mia. Seketika tubuh gadis itu terhempas ke lantai. Mia terjatuh, hingga lututnya menghantam permukaan marmer yang dingin. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, tetapi bukan itu yang membuatnya menangis.
Yang membuat dadanya nyeri adalah kenyataan bahwa cinta yang ia berikan tidak pernah sekalipun dihargai oleh pria itu.
Akhirnya, air matanya jatuh perlahan dari sudut matanya, tetapi senyuman lembut masih menghiasi wajahnya yang mulai memucat. Meski pipinya terasa perih dan telapak tangannya berdarah, ia tetap menatap Christopher dengan pandangan yang tulus.
"Aku hanya ingin melihatmu…" katanya dengan lirih. "Kita tidak pernah bertemu selama seminggu. Aku sangat merindukanmu, Kak…"
Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Mia, Christopher mengerang marah.
"Tutup mulut syaalanmu itu dan KELUAR dari sini!"
Tanpa ampun, Chris mendorong tubuh mungil Mia ke luar ruangan hingga tubuh gadis itu terhempas dan hampir jatuh tersungkur di koridor luar. Setelah itu, pintu ruang belajar dibanting dengan keras di belakangnya.
BRAKK!
Sunyi menyelimuti lorong panjang rumah itu. Hanya ada suara napas Mia yang terengah yang terdengar samar, berpadu dengan suara detak jantungnya yang menggema di dalam dadanya. Mia terduduk di lantai marmer, kedua lututnya tertekuk, dan telapak tangannya yang berdarah mulai gemetar.
"Kenapa rasanya selalu sesakit ini?" bisiknya lirih kepada dirinya sendiri.
Tanpa bisa ditahan lagi, tangisanya pecah dari bibirnya. Ia memeluk tubuhnya sendiri, berusaha menciptakan kehangatan dari kepedihan yang kini mendera disetiap inci hatinya.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki mendekat dengan perlahan. Dari balik bayangan, muncullah sesosok tua yang sudah seperti keluarga baginya.
Paman Jack.
Paman Jack menatap Mia dengan wajah cemas. Ia melihat darah mengalir dari tangan gadis itu, kemudian ia membungkuk perlahan.
"Nona… Anda terluka. Izinkan saya untuk membantu mengobati luka di tangan Anda."
Namun Mia buru-buru menghindar.
"Jangan mendekat! Tolong jangan datang! Aku akan kembali tenang. Beri aku waktu sebentar saja."
Paman Jack terdiam. Sorot matanya penuh dengan kekhawatiran, namun ia menghormati permintaan itu. Matanya tak lepas dari tubuh mungil Mia yang masih gemetar dan berusaha menahan tangisannya.
"Tapi, Nona…"
Mia perlahan mengangkat wajahnya. Ia tersenyum lemah, namun ia tetap berusaha terlihat kuat.
"Aku akan mengurusnya sendiri, Paman…" ucapnya lirih. "Tolong… sampaikan pada Bibi Im agar menyiapkan makan malam. Aku ingin beristirahat sebentar."
Paman Jack menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan.
"…Baik, Nona."
Dengan langkah goyah, Mia bangkit berdiri. Ia berjalan perlahan menuju ke kamarnya sambil menahan rasa perih di tangan dan luka di hatinya. Sesampainya di dalam, ia langsung menyalakan semua lampu.
Cahaya terang menyinari setiap sudut kamar itu, namun cahaya itu tidak bisa menyinari sudut hati Mia yang kini terasa gelap dan hampa. Ia berdiri dalam waktu yang lama di tengah ruangan sambil memandangi lampu yang menyala seolah mencari jawaban, mengapa cinta yang ia miliki selalu berujung terluka?
Dan dalam diamnya, hanya satu kalimat yang mengendap didalam benaknya:
'Sampai kapan aku harus terus bertahan hanya untuk dicintai oleh seseorang yang tidak pernah menginginkanku?'
.
.
.
.
.
.
.
-TBC-
Mia sedang duduk di tepi ranjang, tubuhnyapun sedikit gemetar. Tangannya yang berdharah ia balut dengan sehelai kain tipis, namun rasa sakit fisik itu tak sebanding dengan rasa sesak di dadanya yang menghimpitnya sejak tadi.
"Aku masih hidup…" bisiknya pelan, matanya menatap kosong ke arah dinding. "Aku baik-baik saja. Tidak ada kegelapan di sini…"
Namun ia tahu, kalimat itu hanyalah kebohongan yang ia katakan pada dirinya sendiri. Kegelapan tidak selalu hadir dalam bentuk bayangan saja. Terkadang, ia seakan hidup di dalam luka yang tidak terlihat.
Tangannya bergerak pelan menyentuh dadanya yang terasa nyeri. Napasnya begitu berat, seolah udara di ruangan itu tak cukup untuk menghidupinya. Kemudian kilasan masa lalu tiba-tiba muncul, mengoyak kesadarannya seperti duri yang telah mencabiknya secara perlahan.
"Sudah empat tahun…" gumamnya lirih. "Aku mempertahankan pernikahan ini. Menahan setiap hinaan dan perlakuan kejamnya…"
Ia memejamkan mata, dan dalam gelap itu, sebuah kenangan muncul dengan tajam, saat dimalam pernikahan mereka.
Di tengah cahaya lampu kristal yang berkilauan, tamu-tamu berdiri dengan pandangan terpana. Christopher, suaminya, berdiri dengan wajah dingin dan ditangannya menggenggam segelas anggur merah.
Tiba-tiba, tanpa sepatah kata, Christopher menuangkan isinya ke atas kepala Mia.
Setelah itu, terdengar gelak tawa dan bisikan tajam langsung menggema di sekeliling mereka.
"Apa kau lihat itu? Dia menuangkan anggur merah kepada istrinya sendiri…"
"Mungkin dia hanya mabuk. Tapi, siapa sih Mia itu sebenarnya?"
"Katanya dia menikah hanya karena demi kekayaan keluarga Lee…"
Mia membuka matanya. Tanpa sadar air matanya telah membasahi pipinya, namun tidak disertai dengan isakan tangis. Dalam keheningan itu, ia menunduk dan menatap pada lantai, seolah di sanalah tempat terkubur seluruh harga dirinya.
"Mereka tidak tahu…" bisiknya nyaris tak terdengar. "Tidak ada yang tahu… Bahwa aku… sangat mencintainya…"
Tangan mungilnya menggenggam erat seprai putih, seakan ia sedang berusaha mencari pegangan di tengah pusaran luka yang kian mendalam. Jantungnya terasa sangat berat, dan hatinya kembali retak oleh kenyataan pahit yang selalu saja menamparnya: ia bukanlah Lusy.
Ia tidak akan pernah bisa menjadi Lusy.
"Christopher…" suaranya lirih. "Sampai kapan aku harus terus membayar semua ini hanya karena aku bukan dirinya?"
Keheningan menyelimuti kamar itu. Hanya suara detik jarum jam yang terdengar, menandai bahwa waktu terus berjalan, sementara hati Mia masih terperangkap di masa lalu yang belum juga sembuh.
***
Lampu diruang makan menyala dengan hangat, dan menciptakan suasana rumah itu tampak terlihat baik-baik saja. Di meja makan sudah tertata rapi hidangan yang lengkap, namun disana hanya satu kursi saja yang terisi. Christopher duduk sendirian, matanya menatap piringnya tanpa minat.
Langkah pelan terdengar menuruni tangga, lalu berhenti di ambang pintu.
"Nona…" panggil Bibi Im dengan suara ragu.
"Iya, Bibi," jawab Mia pelan, ia tersenyum lemah sambil melangkah masuk.
Mia menarik kursi di sebelah Christopher kemudian duduk perlahan. Suasana di ruangan itu mendadak sunyi. Tidak ada percakapan apapun. Hanya bunyi sendok garpu yang bertemu dengan piring, terdengar seperti dentingan waktu yang terlalu tajam di malam itu.
Kemudian aroma samar dari o-bat luka mulai tercium di udara. Christopher melirik ke arahnya, kemudian raut wajahnya langsung berubah menjadi jijik. Ia mengerutkan kening, menatap Mia dari ujung kepala hingga tangan yang dibalut dengan perban.
"Bau o-batmu sangat men-usuk hidungku," ucapnya dingin. "Melihat wajahmu yang bengkak saja membuatku mual. Apa kau ini tidak sadar, sejelek apa penampilanmu sekarang?"
Mia menundukkan kepala. Jemarinya mencengkeram sendok di tangannya, seakan jika dia tidak menggenggamnya dengan erat, maka hatinya yang rapuh akan jatuh berkeping-keping di lantai sekarang juga. Ia menahan napas sejenak sebelum menjawabnya.
"Aku sudah meminum o-bat. Nanti akan aku kompres dengan es. Aku akan pastikan… bekasnya tidak akan terlihat lagi."
Christopher tidak menanggapinya. Tatapannya lurus ke depan, begitu dingin dan tidak peduli.
"Aku akan kembali ke rumah Ibu selama beberapa hari," katanya kemudian. "Pastikan tidak ada satu pun bekas luka yang terlihat saat aku kembali nanti. Kalau sampai Ibu melihatnya… kau tahu aku tidak akan diam saja."
Mia hanya mengangguk pelan. Tidak ada keberanian yang tersisa untuk menatap wajah suaminya.
Beberapa saat kemudian, Christopher menatap layar ponselnya. Alisnya berkerut tajam, beberapa detik kemudian ekspresinya berubah muram. Sepertinya ada sesuatu yang membuatnya marah, tapi Mia belum sempat menanyakannya, ketika suara meja terbalik menggelegar memecah keheningan.
BRAKK!
Piring dan gelas jatuh berserakan, sebagian pecah menghan-tam lantai marmer. Mia sontak terkejut, ia refleks menunduk dan menutupi kepalanya dengan kedua tangannya.
Tanpa sepatah kata pun, Christopher berjalan cepat keluar dari rumah. Tidak lama kemudian, suara mobilnya terdengar meninggalkan halaman dengan kecepatan tinggi.
Mia masih terpaku di kursinya. Napasnya memburu, sementara matanya menatap semua kekacauan di lantai. Sisa-sisa makan malam kini bercampur dengan pecahan kaca. Dan rasa ketakutannya sudah terlalu akrab di rumah itu.
Dalam sunyi yang terasa menyesakkan, ia berbisik kepada dirinya sendiri.
'Sampai kapan aku harus menanggung semua ini sendirian…?'
-🐣-
Ruangan kerja Christopher tenggelam dalam keheningan yang begitu menegangkan. Hanya suara detik jarum jam dinding yang terdengar samar. Lampu gantung di atas meja memberikan cahaya temaram yang memantulkan bayangan lelah di wajah pria yang kini duduk dengan punggung tegak di balik meja besar dari kayu mahoni itu.
Christopher memandangi berkas tebal di tangannya. Semakin ia membaca berkas itu, raut wajahnya perlahan berubah.
"Apakah informasi ini sangat akurat?" tanyanya pelan, namun nadanya terdengar tajam.
Brian, sekretaris pribadinya yang berdiri tegak di hadapannya, tidak menunjukkan keraguan sedikit pun. "Sangat akurat, Tuan," jawabnya dengan tegas. "Alasan mengapa kami dulu kesulitan melacak keberadaan Ahn Lusy… itu dikarenakan ada seseorang yang dengan sengaja menghapus seluruh jejaknya. Tetapi kali ini, kami menemukan petunjuk yang sangat kuat. Saya sangat yakin, keberadaannya akan segera terungkap dengan secepatnya."
Christopher mengernyit. Jari-jarinya mengepal perlahan di atas berkas yang kini nyaris diremasnya. Matanya menajam menatap Brian dengan tatapan dingin.
"Katakan dengan jelas," suaranya pelan tapi men-usuk, "apa hubungannya ini dengan Mia?"
Brian tampak ragu sejenak, sebelum akhirnya ia menarik napas dan menjawabnya dengan hati-hati. "Menurut kesaksian salah satu saksi yang kami temukan… sebelum Ahn Lusy menghilang, dia sempat bertemu dengan Nona Mia. Dan saat itu, Nona Mia diketahui sempat memu-kulnya."
Sejenak, ruang kerja itu terasa hening.
Christopher menunduk perlahan, matanya menatap kosong ke arah dokumen yang ada di tangannya, kata-kata barusan telah merobek sesuatu dalam pikirannya. Ia tidak mengatakan apa-apa. Tetapi diamnya jauh lebih menakutkan daripada amarahnya.
Lampu gantung yang remang itu menyoroti wajahnya yang kini diliputi oleh bayangan gelap. Ia memandangi meja kosong di depannya, seolah sedang mencari jawaban di antara serpihan kenangannya dimasa lalu.
"Mata Lusy… saat itu merah dan bengkak," gumamnya pelan, namun suaranya berat.
"Dia datang kepadaku, sambil menangis… lalu meminta putus," lanjutnya. Pandangannya menerawang jauh. "Aku pikir… itu karena ibuku. Aku pikir dia tidak kuat dengan tekanan keluargaku."
Tangannya mengepal di atas meja, sendi-sendi jarinya memutih karena kekuatan genggaman itu.
"Tapi ternyata..." bisiknya lirih.
Sejurus kemudian, nadanya berubah menjadi dingin dan datar.
"Keluar."
Brian langsung menunduk sopan. "Baik, Tuan." Tanpa membantah, ia meninggalkan ruangan dengan langkah cepat.
***
Hujan turun saat mobil hitam mewah melaju melewati jalanan kota yang sepi. Cahaya lampu jalan memantul di permukaan jendela yang dibasahi oleh hujan gerimis. Di kursi kemudi, Christopher duduk diam, tubuhnya bersandar namun matanya terbuka lebar, ia menatap kosong ke luar jendela.
Kilasan kenangan datang tanpa diundang.
"Kita… aku mau kita putus saja, Chris,"
suara Lusy bergetar, wajahnya penuh dengan air mata.
"Aku… aku tidak bisa lagi denganmu…"
Waktu itu, Christopher tidak pernah benar-benar mengerti. Ia hanya merasa marah, dikhianati, dan tersesat oleh keputusan mendadak dari wanita yang paling ia cintai.
Kini, potongan-potongan puzzle yang selama ini ia abaikan mulai membentuk gambaran yang begitu menyakitkan.
"Jadi, itu sebabnya kau menghilang dariku…" bisik Christopher dalam hati, matanya menyipit. "Karena dia?"
Tangannya mengepal di atas pahanya, menampakkan urat-uratnya yang menegang. Amarah dan kesakitan pun bercampur menjadi satu, menyelimuti dadanya dengan kabut yang sangat pekat.
***
Diruang tengah rumah itu tampak hangat dan begitu terasa nyaman. Lampu kuning yang temaram menambah kesan tenang pada malam yang sudah mulai larut. Di atas sofa, Mia duduk sambil memeluk bantal kecil, matanya menatap ke layar televisi yang sedang menampilkan acara ringan. Namun, pikirannya tidak benar-benar tertuju ke sana.
Sesekali, matanya melirik ke arah jam dinding. Jarumnya sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam, tetapi sosok yang ia tunggu belum juga pulang.
Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar mendekat dari dapur.
"Nona Mia…" suara lembut Bibi Im memecah kesunyian malam itu, ditangannya membawa segelas susu hangat. "Jangan menunggu Tuan Chris lagi, ya. Minumlah ini, lalu tidurlah lebih awal. Wajah Nona sudah terlihat sangat lelah."
Mia tersenyum kecil, ia mencoba menyembunyikan kekecewaan yang diam-diam menyusup di hatinya. "Baiklah, Bibi. Terima kasih."
Ia menerima gelas itu dan meminumnya perlahan. Kehangatan susu itu sedikit menenangkan perasaannya yang terus diliputi rasa gelisah.
Setelah mengucapkan selamat malam, Mia berdiri dan menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas. Namun, belum sempat ia sampai di pertengahan anak tangga, suara mobil terdengar dari halaman depan.
Bunyi mesin yang sudah dikenalnya sangat baik.
"Kak Chris pulang..." bisiknya dengan senyum lega yang langsung merekah di wajahnya.
Tanpa berpikir panjang, Mia membalikkan badan dan berlari menuruni anak tangga. Langkahnya ringan, dan hatinya dipenuhi harapan bahwa malam ini mereka bisa berbicara dengan tenang, mungkin bahkan bisa tertawa bersama, walaupun hanya sebentar.
"Kak!" serunya ceria begitu pintu sudah terbuka.
Tapi sambutan yang ia dapat bukanlah pelukan atau sapaan hangat seperti yang ia harapkan.
Christopher masuk dengan langkah tergesa, mimik wajahnya tampak begitu gelap, dan matanya menyala penuh dengan amarah.
"Lee Mia…" desisnya dengan tajam, penuh akan dendam.
"Syallan. Kau… binatang kepa-rat!"
Seketika, wajah Mia membeku. Senyum di bibirnya lenyap dalam sekejap. Kedua matanya membelalak dan tubuhnya seketika gemetar. Ia secara refleks mundur dua langkah, matanya mencari-cari penjelasan dalam sorot tajam pria itu.
"K-Kak?" suaranya pelan, nyaris tak terdengar. Setitik rasa takut mulai merayap masuk kedalam hatinya, menghancurkan harapan yang baru saja tumbuh beberapa detik lalu.
Di hadapannya, Christopher tampak seperti orang asing, bukan seperti Christopher yang dia kenal.
.
.
.
.
.
.
.
-TBC-
Christopher berdiri di ambang pintu dengan wajah muram, rahangnya mengeras, dan sorot matanya menggelap.
"Lee Mia..." desisnya pelan, tapi mengandung amarah yang mendidih.
"Sya-lan. Kau… binatang kepa-rat!"
Mia terdiam di tangga. Langkahnya terhenti, dan tubuhnya menegang seketika. Mata lebarnya membelalak, tidak percaya pada kata-kata yang keluar dari mulut lelaki yang selama ini ia cintai.
"K-Kak?" bisiknya nyaris tak terdengar, lebih sebagai seruan kebingungan daripada sapaan.
Namun Christopher tidak memberinya waktu untuk memahami kondisinya. Dalam sekejap, ia maju dan menarik lengan Mia dengan kasar, membuat tubuh wanita itu terhuyung ke depan dan hampir terjatuh.
"Aku tanya!" raungnya, suaranya menggema di seluruh ruang tamu. "Apa Lusy tiba-tiba memutuskan untuk meninggalkanku karena ulahmu?!"
Mia terdiam. Matanya membulat dalam keterkejutan, lalu perlahan-lahan kepalanya menunduk.
"Jika aku mengatakan tidak..." katanya pelan. "Apakah kau akan percaya?"
Christopher menatapnya dengan penuh kebencian. Nafasnya memburu, dan tatapannya tajam seperti belati yang siap menan-cap orang didepannya.
"Kau ingin aku percaya pada orang sepertimu?!" gertaknya.
"Kau jabingan licik, Mia! Kau pikir aku tidak tahu bagaimana caramu bisa menikah denganku?! Itu pasti karena trik kotormu! Kau… dengan berani memisahkanku dari Lusy!"
Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang bisa Mia bayangkan. Ia memejamkan mata, menahan rasa perih yang menggenangi dadanya.
"Aku tidak melakukannya, Kak..." bisiknya lirih. "Aku tidak pernah berniat untuk memisahkan hubungan kalian. Tidak sekalipun..."
Namun kemarahan Christopher terlalu besar untuk dijinakkan oleh kebenaran. Tangannya mengepal erat, dan seakan hendak melampiaskan amarahnya lagi, sebelum tiba-tiba ponselnya berdering. Ia menoleh, menatap layar dengan sorot mata yang seketika berubah menjadi panik.
Dalam hening yang mencekam, ia berkata dengan suara penuh tekanan.
"Jika benar kau yang telah menyakiti Lusy..." katanya dengan tajam, "Aku bersumpah... aku akan membalasmu sepuluh kali lipat… jauh lebih parah darinya."
Tanpa memberi waktu Mia untuk menjawab, Christopher berbalik dan berjalan keluar dari rumah. Pintu tertutup dengan keras di belakangnya, lalu suara mobil yang melaju meninggalkan halaman terdengar mengiris pada malam itu.
Mia masih berdiri di tempatnya dengan kaku. Napasnya tersendat, dan tubuhnya perlahan bergetar. Di dalam rumah yang kini kembali sunyi, yang tersisa hanyalah luka yang menggantung di udara.
-🐣-
Sudah satu bulan berlalu sejak Christopher pergi dan tidak pernah kembali ke rumah. Kesunyian menyelimuti kediaman keluarga Lee seperti kabut yang menolak sirna, menciptakan lubang kehampaan dalam setiap sudut rumah itu, terutama di hati Mia.
Di dalam kamar, Mia berdiri diam di depan kalender dinding. Jarinya menyentuh angka merah di tanggal hari esok, menelusuri lingkaran kecil yang ia tandai sendiri sejak beberapa minggu lalu.
"Besok… empat tahun sejak kami menikah," bisiknya pelan, seakan takut suaranya sendiri akan menghancurkan kenyataan pahit yang sudah lama ia pendam.
Ia menarik napas panjang. Bibirnya bergetar saat senyuman tipis terbit dari bibirnya.
"Tapi... dia tidak pernah sekalipun menganggap pernikahan ini penting dan berharga," lanjutnya. "Jadi, tidak mungkin dia akan mengingatnya..."
Namun, belum sempat ia melanjutkan lamunannya, dentingan telepon rumah tiba-tiba berdering dari lantai bawah membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Mia segera bergegas keluar dari kamar dengan langkahnya yang tergesa-gesa.
Sementara itu, Paman Jack yang sedang membersihkan meja di ruang makan dengan tenang mengangkat gagang telepon itu.
"Halo, di kediaman keluarga Lee," sapanya dengan sopan. "...Ya, Tuan? Di ruang belajar? Baiklah. Saya akan segera mengirimkan dokumennya sekarang."
Namun baru saja ia hendak menutup pembicaraan itu, Mia telah sampai di ruang bawah dan merebut gagang telepon dari tangan Paman Jack dengan panik.
"Kak!" serunya nyaris putus asa. "Kapan kamu pulang? Besok itu… hari jadi kita yang ke—"
Tuut...
Panggilan terputus.
Gagang telepon itu tetap Mia genggam dengan erat. Ia menatap kosong ke depan dengan tatapan tak percaya.
"Dia menutupnya..." bisik Mia pelan, matanya memerah, tapi air matanya masih bertahan.
Paman Jack menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan rasa iba yang membuncah didalam hatinya.
"Nona ..." katanya lembut. "Tuan Christopher meminta saya untuk mengirimkan dokumen penting untuk rapat besok. Apakah Anda tahu dokumennya yang mana?"
Mia mengalihkan pandangannya dengan cepat. Suaranya terdengar tenang, tapi tidak ada yang bisa menyembunyikan luka di balik nada bicaranya itu.
"Aku yang akan mengirimnya ke sana," katanya tegas. "Biar aku saja."
Paman Jack ragu sejenak, ia ingin membantah tapi mengurungkan niatnya saat melihat keteguhan di mata Mia.
"Baik, Nona... Hati-hati di jalan, ya."
Mia mengangguk pelan, lalu bergegas mencari dokumen yang dimaksud. Setelah mendapatkan dokumen itu, ia menggenggam dokumen itu dengan erat seakan itulah satu-satunya tali yang menghubungkannya dengan pria yang masih ia sebut suami.
***
Mobil Mia perlahan berhenti di sebuah halaman depan kantor milik keluarga Lee. Dengan gerakan pelan, ia melepaskan sabuk pengamannya, ia berniat mengambil map dokumen di kursi penumpang. Namun, sebelum dirinya sempat turun dari mobil, sebuah mobil berwarna hitam mengikilap berhenti tepat di sebelah kanan mobilnya.
Kening Mia berkerut saat matanya mengenali mobil itu.
"Itu... mobil Christopher?" gumamnya pelan dengan heran.
Pintu mobil itu terbuka. Christopher keluar dengan langkah tegas dan elegan, seperti biasanya.
Mia sontak ingin membuka pintu, berniat ingin menyapanya, tapi tubuhnya tiba-tiba terhenti saat melihat arah langkah sang suami. Bukan ke kantor, bukan juga ke arah pintu lobi, melainkan ke sisi lain mobil.
Christopher sedikit membungkuk untuk membuka pintu penumpang, lalu terlihat dia mengulurkan tangannya dengan gerakan penuh kelembutan, kemudian terlihat senyum samar yang terukir di wajahnya.
Mia menahan napasnya.
"Dia tidak sendiri?" bisiknya, jantungnya mulai berdebar tak karuan.
Seseorang di dalam mobil mulai bergerak. Sosok perempuan itu membuka mata perlahan, lalu menyandarkan pipinya ke telapak tangan Christopher.
Seketika mata Mia membelalak.
"Tidak… mungkin…" suaranya tercekat.
Wajah itu. Senyum itu. Sikap lembut yang hanya pernah Mia lihat ditujukan pada satu orang. Tak mungkin ia salah mengenalinya.
"Ahn Lusy…?"
Tubuh Mia menegang di balik kemudi. Tenggorokannya terce-kat, seperti dichekik oleh kenyataan yang datang terlalu tiba-tiba.
Christopher membantu Lusy keluar dari mobil. Dengan gerakan refleks, ia melingkarkan lengan di pinggang wanita itu.
Hati Mia terasa seperti diremukkan perlahan.
"Jadi… selama ini…" bisiknya, air matanya menggenang di pelupuk matanya. "Kak Chris bersamanya?"
Lusy menoleh ke arah Mia. Pandangan mereka pun bertemu. Hanya sesaat. Tetapi cukup lama untuk menghancurkan sisa kekuatan yang Mia miliki.
Senyum itu. Senyuman yang penuh dengan kepuasan. Senyuman yang berkata, "Aku menang."
Mia menunduk perlahan, bahunya mulai bergetar. Ia menggenggam map dokumen di pangkuannya begitu erat.
"Apakah… aku masih memiliki kesempatan?" bisik hatinya lirih.
Christopher dan Lusy berjalan masuk ke lobi kantor tanpa menoleh ke belakang. Seolah tidak ada yang perlu disapa.
Mia tetap duduk di dalam mobil. Pandangan matanya menatap kosong ke depan.
"Aku... hanyalah bayangan," katanya dalam hati.
"Selalu begitu sejak awal..."
Hening. Dunia seolah berhenti bergerak bersama detak jantungnya yang kini mulai kehilangan irama.
Namun, waktu terus bergulir. Dua jam berlalu tanpa keberanian yang cukup untuk sekadar membuka pintu mobilnya.
“Kenapa aku masih di sini…” gumam Mia pelan, matanya menatap kosong ke arah lobi kantor yang terlihat dari balik kaca mobilnya. Jemarinya gemetar, menggenggam map cokelat berisi dokumen penting milik suaminya. “Buduh. Serahkan saja dokumennya, lalu cepat pergi dari sini…”
Akhirnya, dengan tarikan napas panjang yang nyaris putus asa, Mia mendorong pintu mobil dan melangkah keluar. Angin sore menyambutnya terasa dingin. Langkahnya begitu berat, tetapi ia terus memaksa kakinya untuk bergerak masuk ke dalam gedung perusahaan.
Setiap dinding kantor ini masih menyimpan jejak kebersamaan mereka dulu, saat Chris masih pulang kerumah, saat senyumnya masih menjadi milik Mia seorang.
Lift mengantarkannya menuju ke lantai tertinggi, ke tempat ruangan Direktur berada. Disaat pintu lift terbuka, beberapa karyawan yang berpapasan dengannya langsung menunduk sopan kepadanya.
“Selamat siang, Nona Mia.”
“Senang melihat Anda datang ke sini lagi.”
Mia hanya menjawab dengan anggukan kecil.
Langkahnya pelan menyusuri lorong yang terasa sunyi. Hatinya terasa semakin sesak saat ia tiba di meja sekretaris. Brian, sekretaris pribadi Christopher, sontak bangkit dari duduknya begitu melihat Mia.
“Nona Mia? Kenapa Anda ada di sini?” tanyanya terkejut.
“Aku mengantarkan dokumen rapat. Di mana Direkturmu?” suara Mia terdengar datar tanpa emosi.
“Direktur ada di ruangannya. Serahkan saja kepada saya, biar saya sampaikan kepada beliau.”
Brian mengulurkan tangannya bersikap profesional. Namun, tiba-tiba Mia mundur satu langkah. Matanya membelalak sesaat, seperti diserang trauma mendadak. Ia buru-buru menarik napas dan memaksakan senyumannya.
“Maaf… Aku… aku akan mengantarkannya sendiri saja.”
Tanpa menunggu persetujuan, Mia melangkah ke depan pintu besar yang bertuliskan Director’s Office. Ia mengangkat tangannya, bersiap untuk mengetuk pintunya, tetapi gerakannya terhenti saat suara dari balik pintu itu terdengar jelas di telinganya.
Ia mendengar tawa Christopher. Begitu hangat. Begitu lepas. Bukan seperti pria yang tengah tenggelam dalam pekerjaan.
“Kau selalu saja membuatku tertawa, Lusy,” ucap Chris, diiringi dengan tawa kecil.
“Yah~ karena hanya aku yang bisa membuatmu tertawa seperti itu, kan?” balas suara manja dari Lusy.
Darah di wajah Mia seperti mengalir turun ke kaki. Tangannya yang tadinya terangkat hendak mengetuk pintu perlahan-lahan jatuh dengan lemas. Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai terbentuk.
“Aku tidak ingin merusak suasana mereka…” bisiknya lirih.
Matanya menyapu ruangan di sekitarnya. Ia menemukan rak kecil di samping pintu itu. Dengan hati-hati, Mia meletakkan map dokumen di atasnya.
Ia melangkah kakinya mundur, lalu menoleh ke arah Brian.
“Berikan dokumen itu nanti kepada Christopher. Dan… jangan bilang kalau aku yang membawanya ke sini.”
“Nona, tunggu! Apa Anda tidak ingin—”
Tapi Mia tidak menoleh lagi. Ia segera berbalik dan melangkah cepat ke arah lift. Setiap langkahnya seperti menghapus sisa-sisa harapan yang pernah ia genggam. Dan dalam hitungan detik, pintu lift tertutup, menelan bayangannya… seolah ia tidak pernah datang disana sama sekali.
.
.
.
.
.
.
.
- TBC-
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!