Terlihat, seorang wanita memegangi testpack yang menunjukkan dua garis merah. Ia menutup mulutnya sembari air matanya mengalir menahan haru. Hatinya merasa sangat senang, seolah ada kupu-kupu yang menari di atas perutnya. Di karenakan, hal yang di nantinya telah tiba.
"Semoga dengan hadirnya anak ini, Delvin akan mencintaiku. Tepat satu tahun pernikahan kami, tak berakhir begitu saja. Bukankah kata orang anak itu pengikat cinta dalam pernikahan? Walaupun saat itu ia tak sengaja, tapi ... kehadiran anak ini tak mungkin ia tolak bukan?"
Jingga Livina Mahendra sangat menantikan cinta suaminya yang tak kunjung hadir untuknya. Berawal dari Jingga yang jatuh cinta pada Delvin Rodriguez, putra sahabat dekat orang tuanya. Meminta sang ayah yang seorang investor rumah sakit untuk menikahkannya dengan Delvin. Pernikahan sudah berlangsung satu tahun, tetapi Delvin sama sekali tak mencintai.
"Aku akan menyiapkan hadiahnya sekarang." Ucapnya dengan penuh tekad.
Jingga memasukkan benda persegi itu ke dalam kotak hadiah. Ia lalu memasangkannya pita dan menatapnya dengan penuh binar. Bertepatan malam ini, adalah malam pernikahan mereka. Hari, dimana puncak kebahagiaannya saat itu. Tak sabar, ia mencari tempat dimana dirinya bisa menempatkan kado tersebut.
"Kalau disini ... kayaknya bakal sulit ketemu deh. Atau, disini? Hais, Delvin jarang sekali membuka laci ini. Aaah!" Wanita cantik itu melirik ke arah sebuah lemari pakaian. Ia tersenyum lebar di sertai ide yang tertancap di otaknya.
"Bentar lagi kan Delvin akan mengganti pakaian, dia pasti membuka lemarinya! Tak masalah bukan aku membuka lemarinya? Dia pasti akan memaafkanku setelah tahu isi kado ini." Jingga membuka lemari itu dengan senyuman merekah, ia menggeser baju yang menumpuk guna meletakkan kado itu. Namun, dirinya justru menemukan selembar kertas aneh.
"Apa ini?" Jingga meraih kertas tersebut dan membacanya. Senyumannya yang semula tercetak dengan indah, kini sirna setelah membaca isi kertas tersebut.
Bagaikan di sambar petir, Jingga melihat namanya dan juga nama Delvin yang tercetak jelas dalam surat gugatan cerai. Tubuhnya mendadak lemas, air matanya luruh tanpa henti. Tak bisa berkata-kata, ia hanya mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang sembari menatap nanar kertas itu.
"Gugatan cerai? Delvin menggugatku? Kenapa?" Jingga membaca dengan seksama, ia masih denial dengan apa yang dirinya lihat.
"Enggak, ini enggak mungkin. Aku ... aku harus meminta penjelasan pada Delvin, pasti ini hanya sebuah kesalahpahaman." Gumamnya.
Jingga memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan mencari keberadaan suaminya. Ia ingat jelas tadi, ayah mertuanya datang dan mengobrol dengan suaminya di ruang kerja. Gegas, Jingga melangkah cepat menuju ruang kerja suaminya.
Langkah kakinya terhenti melihat pintu yang sedikit terbuka. Sejenak, ia menghentikan niatannya kala mendengar percakapan mereka yang membuat perasaannya semakin hancur lebur.
"Selva sudah sadar Pa! Aku harus menceraikan Jingga agar aku dapat menikah dengan Selva! Dari awal, Papa sudah berjanji padaku! Aku boleh menikah kembali asal Jingga enggak tahu kan? Aku tak akan menceraikannya, jika Papa bersedia menyembunyikan Jingga dari Selva dan begitu juga sebaliknya!"
"Itu dulu Delvin! Sekarang kondisinya berbeda! Pertahankan istrimu jika tidak mau kakekmu marah dan menyerahkan posisimu pada Om mu! Kamu dan Jingga sudah berhubungan bukan? Bagaimana jika dia hamil?"
"Aku sudah memintanya meminum obat pencegah, dia tak akan mungkin hamil! Dan Papa perlu ingat kembali, aku menikahinya karena Kakek dan hutang budi keluarga ini, bukan karena keinginanku! Kali ini, tolong pikirkan perasaanku Pa! Aku mencintai Selva bukan Jingga!"
"Jika pun Jingga hamil, aku akan memintanya untuk menggugurkan janin itu."
Seolah luka yang teriris pisau dan di siram kembali oleh air garam. Itu yang saat ini Jingga rasakan. Ia mundur perlahan, dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti. Bibirnya bergetar, kelu untuk mengatakan sesuatu. Dia tahu Delvin menikah dengannya karena keluarganya. Tapi, ia tak pernah menyangka jika Delvin bahkan berniat melenyapkan janin yang dirinya kandung.
"Dia tidak pernah mencintaiku, dia menikah denganku hanya karena hutang budinya dengan keluargaku. Seharusnya aku paham, seharusnya aku tahu dia tak akan mungkin mau menikah denganku tanpa tujuan. Dia membenciku bukan hanya karena belum mencintaiku, tapi karena dia mencintai orang lain. A-aku pikir dia belum mencintaiku karena pernikahan kami perjodohan, ternyata aku salah besar." Batin Jingga gemuruh, ia lekas berbalik masuk kembali ke dalam kamar dan membenahi pakaiannya.
Tak ingin terus berada di rumah penuh luka, Jingga memutuskan untuk pergi. Tak lupa, ia membawa hadiah yang akan dia berikan pada Delvin sebagai kado anivversary pernikahan mereka. Dia tak akan mau, Delvin mengetahii kehamilannya dan memintanya untuk menggugurkannya janinnya.
Sebelum pergi, Jingga menyempatkan diri menghampiri kakek Delvin. Tuan Yudha tertidur dengan nyenyak di ranjangnya tanpa menyadari kehadirannya. Walau bukan kakeknya, Jingga sangat menyayangi Tuan Yudha seperti kakeknya sendiri. Walau Delvin dingin padanya, tapi Tuan Yudha selalu baik padanya.
"Kakek, malam ini aku akan pergi. Kakek sehat-sehat disini, jangan terlalu banyak pikiran. Maaf, aku tak bisa menjadi cucu menantu kebanggaanmu lagi." Lirih Jingga sebelum beranjak pergi dari sana.
Kepergiannya, membuat satpam rumah terheran-heran. Apalagi, ia melihat istri majikannya pergi tanpa menggunakan mobil pribadi melainkan menggunakan taksi yang di pesan. Merasa ada yang janggal, satpam pun berlari masuk untuk menemui Delvin.
"Tuan!"
"Ada apa?" Kebetulan, Delvin dan ayahnya baru saja keluar dari ruang kerja.
"Nyonya keluar malam-malam seperti ini dengan taksi. Sambil bawa koper besar juga, apa anda mengetahuinya?"
Delvin tersentak kaget, ia menoleh ke arah kamarnya yang terbuka lebar. Matanya membulat sempurna melihat kondisi kamar yang sudah berantakan. Bahkan, pintu lemari pakaiannya terbuka lebar. Jantung Delvin terasa berhenti berdetak, pikirannya langsung kalut melihat keadaan yang terjadi saat ini.
"Si4l!" Delvin langsung berlari ke arah lemarinya, ia mencari dimana letak kertas yang ia simpan. Namun, dirinya jutsru melihat kertas itu terinjak di kakinya. Gegas, ia meraihnya dan membacanya dengan seksama. Ternyata, Jingga sudah menulis tanda tangannya sebagai pihak kedua dari isi gugatan cerai itu. Pertanda, ia menyetujui perceraian mereka.
"Bagaimana?! Istrimu benar-benar pergi?!" Seru Erwin dengan panik.
Delvin awalnya panik dan khawatir. Namun, senyumannya justru mengembang tanpa beban. "Biarlah, itu kemauannya sendiri yang ingin berpisah denganku bukan?"
PLAK!
"Benar-benar gil4 kamu Delvin!"
Delvin jutsru tersenyum sembari memegang pipinya. Ini adalah tamparan pertama sang papa dalam hidupnya karena wanita yang sangat dirinya benci kehadirannya. Delvin tak habis pikir, bagaimana bisa Erwin membela anak orang lain?
"Papa yang memaksaku menikahinya demi kemajuan perusahaan keluarga. Demi keuntungan Papa sendiri tanpa memikirkan perasaanku yang menunggu wanita yang ku cintai sadar dari koma nya. Papa memintaku menikah dengan wanita yang terobsesi padaku. Bukankah kita sama-sama gil4? Sama-sama mengorbankan perasaan orang lain demi mencapai tujuan?"
Erwin tak bisa berkata apapun lagi, ia hanya bisa menggelengkan kepalanya menatap putranya yang saat ini tertawa hambar.
"Setelah tahu putrinya kamu sakiti, Om Ferdi pasti akan memutuskan kerja sama kita dan meminta kembali semua yang sudah dia berikan! Semuanya jadi berantakan, akibat ulahmu!" Ucapnya sebelum berlalu pergi, meninggalkan Delvin yang mengusap pipinya dengan tatapan yang sulit di artikan.
.
.
.
Jingga turun dari taksi yang ia tumpangi, ia menarik kopernya sembari matanya menatap lekat pintu menjulang tinggi di hadapannya. Satu tahun yang lalu, dia menangis haru keluar dari rumah ini karena berpindah tinggal bersama pria yang sangat dia cintai. Namun, saat ini dia justru kembali dalam keadaan hati yang remuk.
Dia tak tahu, bagaimana respon keluarganya nanti melihatnya kembali. Keluarganya pasti mengira pernikahannya sangat bahagia karena dapat menikah dengan pria yang ia cintai. Nyatanya, semua itu hanyalah angan belaka.
Di saat melamun, tiba-tiba pintu terbuka lebar oleh seorang wanita paruh baya.
"Paaa, cepat kita harus ke rumah ... Jingga? Kamu pulang Nak?"
Air mata Jingga jatuh, menatap sang mama yang terkejut akan kehadirannya. Tatapannya beralih menatap seorang pria paruh baya yang berdiri di belakang istrinya. Keduanya menatap syok kehadiran Jingga di rumah mereka malam hari seperti ini
"Baru saja Mama dan Papa akan ke rumahmu. Kenapa tidak mengabari hm? Mana Delvin? Sejak tadi perasaan Mama tidak enak, makanya Mama ingin mengunjungimu. Eh, ternyata kamu sudah disini lebih dulu." Tania mengelus lengan putrinya dengan penuh kelembutan. Ia merangkul putrinya masuk ke dalam rumah dan membawanya duduk di ruang keluarga.
"Ma, aku dan Delvin memutuskan untuk bercerai." Ucap Jingga secara tiba-tiba.
"Apa?" Ferdi dan Tania syok, seolah ada batu yang meremukkan hati mereka mendengar apa yang menimpa putri mereka. Terutama Ferdi, ia sampai mengetatkan rahangnya menahan gejolak emosi.
"Dia yang menceraikanmu?! Apa dia berselingkuh?! Jawab Jingga!" Sentak Ferdi. Namun, Jingga diam dengan tubuh yang bergetar takut.
Tania memberikan segelas teh hangat pada Jingga agar sedikit menenangkan hatinya. Ferdi tak sabar ingin bertanya, matanya menatap putrinya dengan tatapan tajam.
"Apa yang Delvin lakukan padamu? Katakan, jangan kamu tutupi!" Sentak Ferdi.
Jingga mengangkat pandangannya, ia meremat jari-jemarinya dengan gelisah. Air matanya terus luruh, menahan sakit yang terus menghujam jantungnya.
"Delvin tak melakukan apapun padaku, aku yang terlalu memaksakan hal yang memang tidak bisa di paksakan. Cinta seorang diri itu sakit, aku lelah. Apalagi, ternyata ada wanita yang Delvin cintai."
"Apa? Benar apa kata Papa kan?! Kamu tak pernah mau mendengarkan omongan Papa! Kamu itu telah di butakan oleh cinta! Kamu mencintainya, kamu bilang akan bahagia dengannya makanya Papa memberikanmu padanya. Tapi apa? Kamu kembali dalam keadaan seperti ini. Tidak, ini tidak bisa di biarkan! Papa akan mengambil kembali apa yang sudah Papa berikan pada mereka!"
Ferdi bersiap akan menghubungi orang kepercayaannya. Ia tak terima putrinya di sakiti begitu saja oleh keluarga yang tekah ia bantu. Jika bukan karenanya, perusahaan Rodriguez pasti akan mengalami kebangkrutan. Ia menyuntikkan dana tersebut atas permintaan putrinya. Karena Jingga mencintai Delvin, Ferdi memutuskan menikahkan keduanya.
"Pa, jangan. Kakek Yudha sangat baik hiks ... ini bukan kesalahannya. Jika perusahaan yang dia bangun sudah payah hancur karena cucunya, dia pasti akan sangat terpuruk. Kakek sangat baik padaku, ini bukan salahnya. Aku, yang terlalu memaksakan cinta itu." Pinta Jingga dengan tatapan penuh harap.
Ferdi menghentikan kegiatannya, ia mengangkat pandangannya dan menatap lemah putrinya itu. "Jadi, kamu masih membela keluarga mereka setelah apa yang mereka lakukan padamu? Seharusnya Delvin sadar diri, bukannya malah menyakitimu! Mereka harus menerima ba ...,"
"Aku tak mau anakku membenciku karena menghancurkan keluarga ayahnya Pa!"
Degh!
Ferdi menghentikan kegiatannya, ia memandang kaget ke arah Jingga yang menatapnya dengan air mata yang mengalir. Begitu juga Tania, dia sampai menutup mulutnya dan turut menangis. Dadanya sangat merasa sesak mengetahui jika putrinya tengah berbadan dua.
"Kamu hamil?" Tanya Tania dengan pandangan turun menatap ke arah perut Jingga.
Jingga mengangguk lemah ia mengelus perutnya yang masih terlihat datar. Ferdi sudah tak bisa mengatakan apapun lagi. Dia hanya memegangi kepalanya yang terasa sakit mengetahui jika putrinya di ceraikan dalam keadaan hamil.
Hati ayah mana yang tak sakit saat putrinya di ceraikan dalam keadaan sedang mengandung? Bagaimana nasib cucunya nanti yang lahir di keluarga yang hancur? Ferdi benar-benar menyesal telah menyerahkan tanggung jawabnya pada Delvin.
"Dia tak seharusnya menceraikanmu dalam keadaan hamil, Jingga! Setidaknya sampai anak itu lahir." Ucap Ferdi dengan lemah.
Jingga menggeleng, "Dia tidak tahu, aku belum memberitahunya. Aku pergi setelah menandatangani surat cerai. Pa, aku ingin pergi jauh dari sini hiks ...."
Jingga menutup wajahnya, menangis histeris mengungkap rasa sakitnya lewat tangisan. Tania turut menangis sambil mengusap punggung putrinya berharap hal itu dapat menenangkannya.
Ferdi mengusap wajahnya, matanya memerah menahan tangis. Ia bingung harus bagaimana melihat putrinya saat ini.
"Ikut denganku."
Ketiganya tersentak kaget mendengar suara seorang pria yang sudah lama tak mereka dengar. Perlahan, Jingga mengangkat pandangannya. Menatap seorang pria berkaos hitam menatapnya dengan sorot mata yang tajam.
"Kakak." Lirih Jingga.
Pria itu adalah kakaknya, yang selama ini berada di Bali untuk mengurus pekerjaannya di sana. Satu-satunya orang, yang menolak pernikahannya dengan Delvin. Saat ini Kakaknya, Raffandra Mahendra baru kembali. Setelah setahun lamanya pria itu tak pernah mau sama sekali komunikasi dengannya setelah hari pernikahannya.
"Pergi dari pria itu dan ikut denganku. Kita pergi jauh dari sini dan menjauhkan anakmu darinya."
"Maafkan aku yang tidak mendengarkan Kakak hiks ...." Jingga memeluk Raffa, pelukannya di balas oleh pria itu dengan lembut.
"Kita sembuhkan lukamu oke? Ikut dengan Kakak, hm?" Jingga mengangguk dalam pelukan Raffa.
Suara bell rumah berbunyi, Ferdi dan istrinya keluar menemui tamu yang datang. Terlihat, seorang pria tua dan juga kedua pria berbeda usia di belakangnya. Ketiganya menatap Ferdi dan istrinya dengan pandangan berbeda. Tapi kedatangan mereka, tentu membuat emosi Ferdi meledak.
"Ngapain kalian kesini lagi?! Belum puas menghancurkan mental putriku hah?!" Sentak Ferdi dengan teriakan yang menggema.
"Ferdi, kami datang ingin menjemput kembali Jingga. Maafkan cucuku yang bodoh ini, dia benar-benar menyakiti putrimu. Kami benar-benar datang untuk memperbaiki semuanya." Ucap Tuan Yudha dengan tatapan penuh harap.
Jelas saja Ferdi menolak. Putranya sudah membawa Jingga pergi dari kota ini semalam. Dia tak akan mungkin kembali menyerahkan putrinya pada pria yang sudah menghancur leburkan perasaan putrinya itu. Tentunya, Ferdi akan menolak dengan tegas.
"Apa yang perlu di perbaiki? Delvin sudah menghina putriku! Dia menceraikannya dan bahkan tak mencintainya. Jika dia memiliki wanita lain, kenapa harus menerima putri kami? Kami menikahkan Jingga dengan pria ini agar putri kami bahagia, bukan tekanan batin."
"Iya, itu kesalahan kami. Untuk itu, kami....,"
Ferdi mengangkat tangannya, meminta Tuan Yudha berhenti berbicara. Lalu, tatapannya beralih menatap Delvin dengan tatapan tajam. Pria yang sudah menyakiti hati putrinya kini berdiri dengan tegar tanpa perasaan bersalah sedikit pun. Ferdi, membenci pria di hadapannya.
"Aku tak akan kembali menarik bantuan yang sudah aku berikan pada perusahaan kalian berdasarkan permintaan putriku. Tapi, hubungan keluarga kita berakhir. Tak ada lagi persahabatan dua keluarga!"
"A-apa? Ferdi, mendiang orang tuamu dan aku sudah bersahabat sejak lama. Mereka pasti tidak akan terima!" Seru Yudha. Ia merasa keputusan Ferdi sangat sepihak. Mendiang sahabatnya, pasti tak akan terima dengan perpecahan keluarga ini.
"Lalu apa mereka juga akan terima jika cucu mereka di sakiti oleh keluarga yang mereka anggap sebagai sahabat? Sudah cukup, pergilah! Keluarga kami, tak ada hubungan apa-apa lagi dengan kalian. Dan kamu ...." Ferdi menunjuk wajah Delvin dengan nafas memburu.
"Segera sah kan perceraianmu dengan putriku! Semoga kamu mendapatkan balasan semesta dari apa yang kamu lakukan padanya!"
Suara gemuruh pertanda hujan mengejutkan mereka. Ferdi langsung menutup pintu rumahnya, menolak kehadiran keluarga Rodriguez. Ia begitu emosi, ingin menghajar habis Delvin jika hal itu dapat menyenangkan hati putrinya.
"Jangan sampai, mereka mengambil cucu kita." Lirih Tania merasa khawatir akan masa depan nanti.
"Tidak mungkin. Mereka tidak akan pernah bisa mengambil cucu kita." Ferdi menghela nafas kasar. Ia berharap, dengan waktu putrinya dapat sembuh dan lebih dewasa dalam mengambil sebuah keputusan.
.
.
.
5 Tahun kemudian.
Terlihat, seorang wanita cantik baru saja bangun dari tidurnya. Rambutnya masih berantakan, sudah seperti singa yang akan siap mengaum. Ia menguap lebar sembari mengg4ruk kepalanya yang tak gatal. Matanya beralih menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi.
"Astaga! Jam sepuluh?!" Jingga langsung bangkit dari ranjang empuknya. Ia segera keluar kamar dan melihat kekacauan yang ada. Banyak mainan berserakan, bahkan kakinya tak sengaja menginjak sebuah balok. Jingga tahu, siapa yang telah membuat ulah itu.
"Bunda cayaaaang! Cudah telcadal dali bunga tiduuul beluuum?"
Lihatlah, si pengacau sudah tiba. Anak kembar laki-laki berjalan menghampirinya dengan paper bag di tangan mereka. Salah satunya tersenyum lebar mendekat ke arahnya. Berbeda dengan anak lainnya yang justru meletakkan paper bag itu di atas meja dan membereskan kekacauan yang ada.
Keduanya, adalah anak kembarnya yang lahir empat tahun yang lalu. Dimana, kini usia mereka sudah menginjak empat tahun delapan bulan. Arga Ziyan Allendra dan Artan Zehan Allandra. Keduanya hanya berjarak lima menit saja saat di lahirkan.
"Artan bukannya semalam Bunda bilang, bereskan mainanmu dulu baru tidur. Kenapa tidak kamu bereskan juga huh?" Omel Jingga pada putra keduanya yang saat ini menyengir lebar.
"Nda inget Altan, tadi Om Lapa culuh cali calapan, iya kan Abang?" Artan melirik ke arah kembarannya.
Arga hanya diam, dia membereskan mainan yang ada tanpa banyak bicara. Jingga menatap putranya dengan tatapan lembut. Kedua anak kembarnya memang memiliki pribadi yang berbanding terbalik. Arga yang memiliki sifat kalem dan tak banyak bicara, Artan yang sangat hiperaktif dan suka sekali berbicara. Entahlah, Jingga bingung dengan sikap keduanya.
"Jingga, ayo makan." Raffa datang dari luar, ia melepas jaketnya dan menyiapkan sarapan yang dirinya beli tadi bersama si kembar.
Jingga akan menjawab, tapi ia melihat putra pertamanya masuk ke dalam kamar. Hal itu, membuatnya memutuskan untuk menghampiri anak tersebut. Karena sejak kemarin, Arga benar-benar tak mau berbicara dengannya.
"Kak, makanlah dulu dengan Artan. Aku akan menghampiri Arga, sepertinya dia marah padaku." Pamit Jingga. Raffa mengangkat bahunya acuh, dia memilih melanjutkan kegiatannya yang tertunda.
"Bang,"
Jingga masuk ke dalam kamar, ia melihat Arga tengah menata mainannya di rak khusus. Wanita cantik itu duduk di tepi ranjang kecil putranya dan menatap dalam apa yang sedang anak menggemaskan di hadapannya itu lakukan.
"Abang marah sama Bunda?" Tanya Jingga dengan penuh kelembutan.
Arga hanya melirik sekilas sebelum melanjutkan kegiatannya. "Enggak." Lirihnya.
"Enggak tapi kenapa gak mau lihat Bunda? Kemarilah, dan katakan apa yang sudah Bunda perbuat hingga kamu merasa marah dengan Bunda?" Jingga berusaha mengajak putra pertamanya itu berbicara walau memang sulit mengobrol dengannya.
"Bang ...,"
"Abang ... jangan suka pendam sesuatu. Katakan, apa yang Abang inginkan? Abang marah sama Bunda?" Jingga tak menyerah, ia masih mencoba mengajak anak itu mengobrol.
Karena tak di hiraukan, Jingga mencoba meraih tangannya. Namun, Arga menolak hingga membanting mainannya.
Brak!
"Bang ...." Jingga syok melihat putranya yang pertama kali membanting barang di hadapannya. Ia menatap mainan itu sebelum menatap wajah putranya yang lini menatapnya tajam dengan nafas memburu.
"Kemarin aku menunggu Bunda pulang untuk bermain bersamaku! Tapi Bunda sibuk dan selalu dengan ponsel Bunda! Sekalinya Bunda ada waktu, Bunda selalu main sama Artan! Aku sudah siapkan mainan yang akan kita mainkan, tapi Bunda malah tidur! Aku juga ingin bermain bersama Bunda, bukan Artan saja!"
Degh!
Jingga tak akan mengira putranya akan mengatakan hal itu. Selama ini, Arga di kenal sebagai anak yang pendiam dan sangat dewasa. Selalu mengalah, dan pengertian. Jingga pikir, putranya memang memiliki pemikiran lebih dewasa dari anak seumurannya. Nyatanya, putranya tetaplah anak-anak yang menuntut kasih sayang. Jingga lupa akan hal itu, dia seakan lupa putranya masihlah membutuhkannya.
Mata Jingga menangkap sebuah rel kereta api yang sudah di susun rapih. Semalam, putranya mungkin akan mengajaknya bermain dan bercerita tentang kereta api. Tapi, ia justru melupakannya karena sibuk dengan pekerjannya.
"Abang, maafin Bunda yah ...." Jingga berniat meraih tangan putranya, tapi anak itu menepisnya.
Arga mengusap kasar air matanya, ia kembali membereskan mainannya yang berserakan. Dengan derai air mata dan isak tangis tertahan, anak tampan itu menata mainannya dengan rapih. Dadanya masih terasa sesak setelah mengungkap isi hatinya selama ini.
Jingga menangis, ia berlutut di hadapan putra kecilnya. Melihat sang bunda berlutut di hadapannya, Arga tak tega. Ia berbalik dan meminta wanita itu untuk berdiri.
"Bunda ngapain kayak gini, ayo bangun." Ucapnya dengan suara bergetar.
"Maafin Bunda yah, maafin Bunda yang gak peka sama perasaan Abang. Bunda minta maaf sayang, Bunda minta maaf hiks ... Bunda pikir selama ini Abang bisa main sendiri. Maafin bunda yah, hari ini main seharian sama bunda. Janji, Bunda gak sibuk untuk hari ini." Jingga mengusap lembut wajah putranya yang basah dengan jari-jemari lembutnya.
Arga mengangguk, ia pasrah saat Jingga menariknya dalam pelukannya. Tak adanya seorang ayah, membuat Arga merasa haus akan kasih sayang. Di tambah, Jingga selalu memperhatikan Artan yang membuatnya merasa iri. Namun, mengingat dirinya sebagai seorang Abang ia selalu mengalah.
"Ayo, kita sarapan dulu." Jingga meraih putranya dalam gendongannya. Biasanya Arga menolak ketika di gendong olehnya. Jingga baru sadar, putranya bukan menolak. Melainkan hanya berusaha menjadi anak mandiri di usianya yang masih sangat kecil.
"Abang, ayo makan! Ada tempe bakal oceng!" Seru Artan ketika melihat sang Abang yang di gendong oleh bundanya. Namun, senyumannya luntur melihat mata keduanya sembab.
"Bunda cama Abang nonton ikan telbang yah?! Kok nda ajak Altan?! Kok nda ajak?! Nda ajak nanti tidul di temenin nenek lombeng loh!" Protes Artan dengan mata membulat sempurna
Raffa yang melihat keponakannya protes, ia langsung memasukkan udang ke dalam mulut anak itu. Artan melirik tajam pada Raffa, ia kesal pada om nya yang selalu menghentikan protesannya. Namun, anak menggemaskan itu tetap melahap habis udang yang ia makan.
Jingga menyuapkan kedua anak kembarnya sarapan secara bergantian. Biasanya Arga menolak, tapi pagi ini tak ada penolakan sama sekali. Raffa juga menangkap keanehan itu. Namun, ia tetap melanjutkan acara sarapannya dan nanti akan bertanya.
"Sudah habis, kalian mandi dulu sana." Pinta Jingga pada kedua putranya.
Artan turun dari kursinya, ia akan bersiap masuk ke dalam kamarnya. Tapi sebelum itu, Arga menarik kerah belakang bajunya dan menyodorkan piring kotor di tangannya. Tentunya, Artan protes pada sang abang.
"Makcudnya apa ini bloo?"
"Cuciii! Jangan biarin Bunda yang cuci, udah besar juga!" Omel Arga.
Artan mengerutkan keningnya dalam, "Olang kebelet ju ... Abaaaang!" Tiba-tiba Arga menarik tangannya menuju wastafel dan memintanya mencuci piring itu.
"Nda mauuu! Abang aja yang cuci, olang Altan kebelet loh!"
"Alasan aja kamu, cuci gak! Kalau enggak ... Abang buang semua dino mu itu!" Ancam Arga. Jika tidak, adiknya tak pernah mau mencuci piring itu.
"Biar Bunda aja Bang." Seru Jingga. Biasanya ada orang yang membersihkan rumahnya setiap dua hari sekali di unit apartemennya. Tapi urusan cuci piring itu akan menjadi urusannya.
Arga melirik tajam adiknya, membuat Artan terpaksa harus mencuci piring itu walau sampai sambil mengoceh kesal. Padahal, ia sudah tak tahan ingin buang air besar saat ini juga.
"Iyaaa, ini cuciii! Kenapa halus pelelok begitu, nda copan kali matanya hiks ...."
Jingga dan Raffa sudah menggelengkan kepalanya melihat tingkah kedua anak itu yang tak ada hari tanpa keributan.
"Kak, sepertinya aku akan kembali ke Jakarta dan tinggal lagi dengan Papa dan Mama."
"Apa kamu yakin?" Tanya Raffa dengan ragu. Ia takut, adiknya tak siap kembali ke kota yang sama dengan mantan suaminya.
Jingga mengangguk yakin, "Ya, aku sudah memikirkannya matang-matang. Bahkan, aku sudah di terima menjadi model dari Asga Skincare. Pekerjaanku juga tak terlalu sibuk, dan si kembar punya banyak waktu bersamaku." Terangnya.
Raffa mengangguk kepalanya dengan helaan nafas berat, "Jaga dirimu baik-baik kalau begitu. Kakak, hanya bisa menemanimu sampai disini. Kalau kamu memang sudah merasa kuat untuk kembali, kakak hanya bisa mendukung. Asal, kamu bahagia." Ucap Raffa dengan senyuman tipis di bibirnya.
Jingga menatap penuh haru ke arah Raffa. Selama ini, pria itu yang menemaninya di Bali. Bahkan, Raffa mengesampingkan urusan percintaannya demi menemaninya. Tapi kini, Jingga ingin kakaknya menjalani kehidupan yang normal dengan mencari cinta sejati.
"Carilah istri kak, aku juga mau punya Kakak ipar. Sekretarismu cukup cantik, apa kamu tidak menyukainya?" Ledek Jingga sembari menahan tawa.
Terlihat Raffa mengulum senyumnya dengan pipi merah merona. "Kamu suka sekali meledek kakakmu ini yah. Sudahlah, aku kembali ke unitku."
"KAAAAAAN KECEPILIIIT HIKS ... DI BILANGNA KEBELET MALAH DI CULUH CUCI PILING DULUU HIKS ... TEGANYA TEGANYA TEGANYAAA HUAAA!"
Belum sampai Raffa berdiri, keributan kembali terjadi. Dia dan Jingga menatap kehebohan di dapur. Omelan dan tangisan Artan terdengar oleh mereka dan Arga hanya meringis menatap kembarannya itu.
"Mana Abang tahu kalau udah di ujung tanduk." cicitnya.
"Ekheee Bundaaa ... Kecepeliiit hiks .... teganya abang hiks ...."
Hari ini Jingga dan kedua putranya tiba di jakarta. Ketiganya memilih penerbangan malam agar keduanya dapat tidur di dalam pesawat tanpa rewel. Kedua orang tua Jingga pun sudah menunggu di ruang penjemputan.
"Cucu Omaaa!" Seru Tania memeluk kedua cucunya yang kelihatan mengantuk. Ferdi langsung meraih Artan ke dalam gendongannya. Tak lama, Artan kembali tertidur lelap. Berbeda dengan Arga yang memang tak mau lepas dari Jingga.
"Ayo, kita langsung ke mobil saja. Biar cepat sampai rumah dan si kembar dapat istirahat." Ajak Tania semangat. Ia begitu senang setelah mendapat kabar putrinya dan kedua cucunya akan kembali ke Jakarta dan tinggal bersamanya.
Selama perjalanan, Jingga menatap ke arah luar jendela. Tangannya tak berhenti mengelus punggung Arga yang tertidur di pangkuannya. Ternyata, banyak hal yang berubah dari kota kelahirannya. Sudah lama dirinya tak kembali, dan banyak hal yang ia lewati.
"Bagaimana keadaanmu sayang?" Tanya Tania lembut sembari mengelus tangan putrinya.
"Baik Ma,"
"Mama senang kamu sudah siap kembali ke kota ini."
Jingga mengangguk, "Aku sudah yakin ingin kembali. Si kembar juga sudah aku daftarkan ke sekolah TK. Tadinya aku ragu memasukkan mereka sekolah, tapi setelah di pikir mereka juga butuh berinteraksi dengan anak lainnya. Karena di Bali, keduanya sama sekali tidak memiliki teman." Jelasnya.
Tania paham, "Memang seharusnya seperti itu. Tak apa, mereka akan bersekolah sambil bermain."
Sesampainya di rumah, Jingga langsung membawa kedua anaknya tidur di kamarnya. Kamar, yang sudah lama tidak ia tenpati. Ternyata isi kamarnya tetap sama, yang tidak ada hanyalah foto pernikahannya. Kini, tempat foto itu sudah kosong. Seperti perasaannya saat ini.
Jingga duduk di tepi ranjang, menatap sejenak kedua putranya yang tertidur lelap. Tatapannya lalu beralih menatap lemari nakasnya. Ia membuka lemari itu dan mengambil sebuah buku diary yang sudah tampak lama.
Jingga membuka buku tersebut dan melihat berbagai macam coretan pena yang ia tulis dalam ungkapan cinta pada seorang pria yang tak pernah mencintainya.
"Apa kabarmu? Apa sekarang, kamu sudah bahagia dengan wanita yang kamu cintai?" Lirih Jingga dan melirik kedua putranya yang tertidur sambil berpelukan.
"Aku memilih mempertahankan mereka, tidak apa-apa bukan? Aku tidak akan menuntut tanggung jawabmu. Karena sedari awal, kehadiran mereka adalah boomerang bagimu." Jingga kembali menyimpan buku diarynya. Ia sama sekali tak merusaknya atau memusnahkannya.
Merasa mengantuk, Jingga pun memilih menyusul kedia putranya untuk tidur. Selang beberapa saat, Arga terbangun. Ia menatap lekat ke arah Jingga yang tidur sambil memeluknya. Wajah lelah itu tercetak jelas, membuatnya tertarik untuk mengelusnya dengan tangan mungilnya.
"Kalau Bunda kembali dengan Ayah, Bunda pasti gak akan capek ngurus kita." Gumamnya.
Arga tidak tahu apa yang terjadi antara orang tuanya. Jingga tak pernah menjelekkan tentang Delvin pada kedua anaknya. Ia tak ingin, kedua anaknya memiliki sifat pembenci apalagi pada ayah mereka. Juga, tak ingin merusak pemikiran keduanya. Jika di tanya oleh keduanya, kemana ayah mereka? Jingga akan menjawab, keduanya sudah tidak bisa bersama.
.
.
.
Hari ini si kembar mulai bersekolah, keduanya cukup merasa betah di rumah Ferdi. Banyak hal yang mereka dapatkan di rumah ini, dan tentunya tak akan merasakan sepi seperti saat di Bali.
Saat sampai di sekolah, Artan menatap takjub keadaan lingkungan sekolahnya yang penuh dengan mainan.
"Bunda hanya mengantar kalian sampai disini. Ketika waktunya pulang, Bunda akan kembali jemput kalian. Oke?"
"Telus Bunda mau cali cugal ayah?" Tanya Artan dengan tatapan polosnya yang mana membuat Arga melirik sinis padanya.
"Diam cadel, jangan pancing emosi orang pagi-pagi." Kesalnya, ia paling tak suka sang adik membahas hal itu.
"Apa cih Abang! Nda boleh cindil-cindil begituuu. Cudah macam caipul aja Abang ini." Gerutu Artan.
"Hais, sudah. Kalian jangan bertengkar lagi. Ayo, masuk ke kelas kalian." Jingga mengantar keduanya ke dalam kelas.
"Oke, Bunda tinggal dulu kalau gitu." Jingga bergegas kembali pulang. Meninggalkan si kembar yang menatap kepergiannya. Keduanya menangkap murid lainnya yng di antar oleh ayah mereka. Jelas saja, hal itu membuat kedua iri.
"Ayah kita nda pelnah datang yah Abang. Kata Om Lapa cibuk cali ictli balu." Gumam Artan. Arga diam, ia juga ingin merasakan kasih sayang seorang ayah seperti anak lainnya.
Jingga mendatangi kantor yang akan ia bintangi sebagai model. Sebelumnya ia sudah menjadi model beberapa produk, kali in ia ingin mencoba menjadi model produk skincare yang tengah naik daun itu.
"Permisi, apa anda model baru itu?" Tanya seorang pria yang tiba-tiba datang mendekat padanya.
"Iya, saya Jingga." Balas Jingga ramah.
"Baik, saya Riki asisten CEO Asga Skincare. Sebelum lanjut sesi foto, anda perlu bertemu dulu dengan CEO kami untuk penandatanganan kontrak."
"Kontrak? Sebelumnya saya sudah menandatangani kontrak, apa di perlukan lagi?" Tanya Jingga heran.
Riki mengangguk, "Benar, ikuti saya Nona." Ia melangkah pergi, di ikuti oleh Jingga walau dalam kebingungan.
Riki mengetuk sebuah pintu yang bertuliskan ruangan CEO. Ia membuka pintu itu dan mempersilahkan Jingga untuk masuk. Awalnya, Jingga masih tersenyum. Namun, melihat siapa CEO tempat perusahaannya bekerja sama, membuat Jingga kaget bukan main.
"Om Angkasa?!" Pekik Jingga.
Angkasa tersenyum, "Ternyata benar, itu kamu."
Angkasa Rodriguez, om dari mantan suaminya. Tak hanya kaget, Jingga rasanya ingin pingsan saat ini juga karena rasa kejut yang membuat jantungnya seolah berhenti berdetak.
Awalnya Angkasa juga kaget melihat nama mantan istri keponakannya lewat lamaran kerja yang ia terima dari asistennya. Tanpa pikir panjang, Angkasa langsung menyetujui lamaran kerja itu.
Jingga meremas jari jemarinya, ia menunduk takut. Antara pergi dan menetap, itu kebingungan yang Jingga rasakan saat ini. Bukan apa, dia baru terikat kontrak sementara dia akan bekerja dengan om dari mantannya. Bagaimana dia bisa tenang?!
"Duduklah." Titah Angkasa.
"Kita batalkan saja kontraknya." Putus Jingga, ia tak mau lagi terlibat dengan keluarga mantan suaminya.
Angkasa menarik satu sudut bibirnya, "Apa kamu tak membaca perjanjian kontrak? Jika kamu membatalkan kerja sama secara sepihak, maka kamu mu harus membayar dua puluh kali lipat dari gaji yang di tawarkan."
Jingga mengepalkan tangannya dengan kuat, "Gajiku tiga puluh juta, di kalikan dua puluh ... aku harus mengganti rugi ratusan juta. Sayang banget kalau kayak gitu." Batinnya.
Tapi tiba-tiba, ia mendapat telepon dari guru kedua putranya. Tanpa menunggu lama, ia langsung mengangkatnya. Ia lekas menjauh dan mengecilkan volume ponselnya. Berharap, Angkasa tak mengetahuinya. Tapi bertepatan dengan itu juga, Angkasa mendapat telepon dari seseorang.
"Ya Bu? Apa Arga dan Artan tidak apa-apa?" Tanya Jingga khawatir.
"Ibu bisa kesini? Artan bertengkar dengan temannya."
"Apa?" Jingga kaget bukan main mendengar Artan bertengkar dengan temannya. Ia buru-buru pergi mendatangi sekolah kedua putranya.
Angkasa tak dapat mencegah kepergian Jingga, ia juga memiliki urusan lain yang lebih mendesak.
"Ck, baik saya akan segera ke sana!" Ucap Angkasa pada seseorang yang di telepon. Ia mematikan sambungan itu dan lekas pergi dari kantornya.
Setibanya di sekolah, Jingga di arahkan masuk ke dalam ruangan kepala sekolah. Dia melihat Artan menangis sembari di peluk oleh Arga. Sementara di hadapan mereka ada seorang anak perempuan yang sama halnya seperti Artan yang juga sedang menangis.
"Ada apa ini sebenarnya?" Jingga mendudukkan dirinya di sebelah si kembar. Melihat kedatangan sang Bunda, Artan melepaskan dirinya dari pelukan Arga dan beralih memeluk bundanya.
"Maaf Bu, tadinya keduanya hanya mengobrol dan bercanda saja. Tapi tiba-tiba mereka berdebat dan bertengkar. Kami masih bertanya masalah keduanya, tapi mereka sama-sama tak mau menjelaskan." Terang guru itu.
Jingga menatap anak perempuan yang masih menangis terisak. Ia mencari keberadaan orang tua anak itu tapi ia tak mendapatkannya. Kemana orang tua anak tersebut? Kenapa tidak datang? Pastinya guru memanggil orang tua anak itu juga kan?
"Olang celewet itu bilang Altan nda punya Ayah hiks ... kalau nda ada ayah nda boleh duduk di depan halus di belakang hiks ...,"
"Kamu juga bilang poni Nala miling kalna nda di cicil Bunda!"
"Kan citu cendili yang bilang nda ada bundaaaa! Dacal cicil nenek lombeng!" Pekik Artan tak terima.
"Sudah, jangan seperti itu." Jingga memeluk putranya, ia tak ingin anak itu kembali berteriak kencang.
Setelah Artan tenang, Jingga kembali menatap anak perempuan tersebut. Ia baru tahu, nama anak itu adalah Nara Geisha dari name tag bajunya.
"Bu, apa orang tuanya tak datang?" Tanya Jingga, ia berharap orang tua Nara datang agar dapat berbicara dengannya. Baru hari pertama sekolah saja keduanya sudah bertengkar. Bagaimana jika besoknya?
"Maaf, saya terlambat."
"Ayah!"
Jingga terdiam, menatap Nara yang berlari ke arah pelukan seorang pria yang baru saja datang. Wanita cantik itu tertegun sejenak saat dirinya kembali bertemu dengan Angkasa. Dia tidak tahu, jika Nara adalah putri pria itu.
Sama halnya dengan Jingga, Angkasa juga kaget melihat mantan istri keponakannya ada di sekolah yang sama dengan putrinya. Tatapan matanya jatuh pada kedua anak kembar yang tengah di peluk oleh Jingga. Otaknya langsung mencerna, mencari jawaban atas apa yang dirinya lihat.
"Silahkan duduk Tuan Angkasa." Ucap kepala sekolah.
Angkasa mengangguk, ia meraih kursi di sebelah Jingga dan membawa putrinya duduk di sana. Keduanya sempat saling melirik, tapi kembali menatap kepala sekolah yang akan siap mengatakan sesuatu.
"Keduanya masih anak-anak, masih belum pintar mengendalikan emosi. Tapi Artan sudah bagus mengajak Nara mengobrol. Mungkin, ada pembahasan yang menyinggung keduanya. Bu Jingga, dan Pak Angkasa, kalian bisa memberi pengertian pada kedua anak ini. Apalagi, peran orang tua sangat penting untuk anak." Terang kepala sekolah.
"Iya Bu, maafkan anak kami. Kami ...,"
"Kami akan menyelesaikannya di luar sekolah. Sekali lagi, terima kasih Bu." Sela Angkasa yang mana membuat Jingga hendak protes.
Angkasa beranjak berdiri, ia menggendong putrinya dan membawanya keluar. Jingga mengikutinya dengan menggandeng tangan kedua putranya. Setelah berada di depan ruang kepala sekolah, Angkasa menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan menatap serius pada kedua anak itu.
"Mereka putramu dan Delvin atau ... suami baru mu?" Tanya Angkasa dengan alisnya yang terangkat satu.
"Bukan urusan Om!" Desis Jingga.
Angkasa menarik nafas dalam, ia menatap kedua putra Jingga yang terlihat lesu. Matanya pun menangkap sebuah toko es krim di depan sekolah. Dari sana, ia memiliki ide.
"Kita mengobrol sebentar di toko es krim itu bagaimana?" Ajak Angkasa.
"Enggak perlu, terimakasih." Ketus Jingga.
Artan yang melihat sebuah toko es krim jadi merengek memintanya. Apalagi, cuaca sedang panas seperti keadaan hatinya saat ini.
"Tapi Altan mau Bunda! Altan mauuu! Haledang kali hati Altan, belikan Altan yang cegel cegeeel!" Pinta anak itu dengan tatapan berbinar tetang.
Angkasa tersenyum, "Ayo, aku traktir."
"BUNDA CUKA TELAKTILAN!"
"Artan!" Jingga menatap putranya tajam. Altan hanya menutup mulutnya menahan rasa senang. Angkasa menangkap raut wajah malu dari wanita di hadapannya.
"Ayo," Angkasa jalan lebih dulu, terpaksa Jingga mengikutinya.
.
.
.
Ketiga anak sudah mendapat es krim masing-masing, dan mereka menikmatinya termasuk Arga. Jingga tersenyum tenang melihat ketiganya kembali akur. Padahal, tadi Artan dan Nara sempat bertengkar akibat kesalahpahaman kecil.
"Menjadi single parents tidak mudah bukan?"
"Ya, begitu lah. Lebih baik sulit dari pada harus jauh dari mereka." Lirih Jingga.
"Delvin tidak tahu jika dia memiliki anak kembar?" Tebak Angkasa.
Jingga menggeleng, "Om tahu sendiri bagaimana pernikahan kami, hancur. Aku tak sempat memberitahunya soal kehamilanku saat itu."
"Bagaimana bisa aku tahu?" Jingga menatap heran jawaban Angkasa padanya.
"Aku tidak tahu masalah yang terjadi dalam keluarga. Aku ini keturunan Rodriguez yang terasingkan."
Jingga merubah raut wajahnya, ia menegakkan tubuhnya dan menatap bersalah pada Angkasa. Namun, pria itu seolah mengatakannya tanpa beban dan justru tersenyum tipis. Jingga hanya tahu, Angkasa jarang berkumpul di keluarga Rodriguez karena kesibukannya bukan karena terasingkan. Bisa di hitung oleh jari, kapan keduanya pernah bertemu.
"Jangan mengasihaniku seperti itu. Kasihani saja dirimu yang merasakan cinta bertepuk sebelah tangan pada keponakanku."
Tidak jadi! Jingga tidak jadi kasihan padanya. Kesal, wanita cantik itu meraih buku menu di atas meja dan memukulkannya pada lengan Angkasa. Bukannya merasa sakit, Angkasa justru tertawa.
"Benar-benar yah! Om juga duda ngenes di tinggal istri nikah lagi kan?!" Desis Jingga kesal. Ketiga anak menggemaskan yang menonton adegan mereka tanpa mau ikut campur.
Jingga yang merasa kesal memilih untuk pergi sebentar ke toilet. Meninggalkan Angkasa yang tersenyum penuh arti menatap kepergiannya. Raut wajahnya saat itu, di tangkap oleh Arga.
"Om, kamu disini?" Angkasa sedikit terkejut melihat kedatangan keponakannya, Delvin. Entah mengapa ia bertemu dengan pria itu disini.
"Aku lihat tadi kamu bersama seorang wanita, apa dia pacarmu?" Delvin bertanya dengan nada meledek.
Angkasa mendengus kesal, "Bukan urusanmu."
"Ayolah, jangan main rahasia begitu dengan keponakanmu ini. Apa keduanya juga calon anak sambungmu hm?" Delvin melirik anak kembar yang sedang menatapnya.
"Ya." Angkasa menjawab sambil matanya menangkap ke arah Jingga yang berdiri mematung melihat kehadiran Delvin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!