NovelToon NovelToon

Garis Darah Pemburu Iblis

Bab 1. Langit yang terbelah

"Lihatlah, Jade! Lubang hitam itu semakin lebar!" seru seorang wanita berambut perak panjang yang tergerai di balik zirah putih keperakannya.

Kate Velnaria, dengan mata sebiru langit yang kini memancarkan kekhawatiran, menunjuk ke arah retakan kelam di langit malam yang semakin melebar. Di sampingnya, seorang pria berwajah tegas dengan busur di tangan dan anak panah di punggung, Jade, mengangguk dengan rahang terkatup.

"Sudah kuduga. Tiga puluh tahun memang bukan waktu yang lama bagi Nether untuk mengumpulkan kekuatan."

Suara gemuruh rendah mulai terdengar, semakin lama semakin keras, seolah bumi itu sendiri sedang merintih kesakitan. Angin bertiup kencang, membawa serta bau belerang yang menyesakkan. Dari dalam celah di langit, bayangan-bayangan mengerikan mulai bermunculan. Makhluk-makhluk dengan bentuk yang tak terbayangkan, beberapa di antaranya jauh lebih besar dari yang pernah mereka hadapi sebelumnya, mulai merayap keluar menuju Overworld.

"Para Ksatria sudah bersiap di garis depan, Kate," ujar Jade, matanya tak lepas dari pergerakan entitas-entitas mengerikan itu. "Komandan Lyra sudah memberikan aba-aba."

Kate menghela napas panjang, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. "Aku tahu. Tapi melihatnya secara langsung, ini berbeda dari laporan yang kita terima."

"Kita tidak punya pilihan lain selain menghadapinya," jawab Jade, menggenggam erat tangan Kate. "Kita adalah Ksatria Cahaya tingkat Penyatuan Agung. Kita terpilih untuk momen seperti ini."

Dari kejauhan, terdengar pekikan pertempuran yang memekakkan telinga. Cahaya-cahaya magis beradu dengan kegelapan yang pekat. Para Ksatria Cahaya, dengan pedang dan perisai mereka, berusaha keras menahan gelombang pertama serangan makhluk Nether.

"Mereka membutuhkan bantuan kita," kata Kate, melepaskan genggaman tangan Jade dan menghunus pedangnya yang memancarkan cahaya suci. "Ayo pergi."

Mereka bergegas menuju garis depan pertempuran, di mana para Ksatria Cahaya lainnya bertempur mati-matian. Sesosok wanita dengan rambut merah menyala, Komandan Lyra, terlihat memberikan komando dengan suara lantang di tengah kekacauan.

"Tahan barisan! Jangan biarkan mereka menembus pertahanan!" teriak Lyra, menebaskan pedangnya yang berapi-api ke arah seekor makhluk berkaki enam dengan mata menyala.

Ketika Kate dan Jade tiba, situasi sudah sangat genting. Makhluk-makhluk Nether dengan berbagai bentuk dan ukuran yang mengerikan, menyerbu tanpa henti. Beberapa di antaranya memiliki cakar setajam silet, yang lain menyemburkan api neraka, dan yang lebih besar mengayunkan anggota tubuh mereka seperti palu godam.

"Kate! Jade! Bagus kalian sudah di sini!" seru Lyra, menyambut kedatangan mereka dengan lega. "Kita kewalahan. Makhluk-makhluk ini lebih kuat dari perkiraan."

"Apa rencananya, Komandan?" tanya Kate, sambil menangkis serangan dari makhluk kecil, tetapi sangat gesit dengan beberapa pasang mata.

"Kita harus fokus untuk menahan mereka di sini sementara tim inti mencoba mendekati gerbang," jawab Lyra, menunjuk ke arah celah berpijar di langit yang semakin membesar. "Kalian berdua akan menjadi bagian dari tim inti itu."

Jade mengerutkan kening. "Mendekati gerbang? Itu terlalu berbahaya, Lyra. Kita bahkan tidak tahu apa yang ada di sekitarnya."

"Kita tidak punya pilihan lain," balas Lyra dengan nada getir. "Jika gerbang ini terus membesar, seluruh Overworld akan tersedot ke dalam Nether. Kita harus mengambil risiko."

"Lalu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Kate, siap untuk menerima perintah apa pun.

"Kalian berdua, bersama Ksatria Elara dan Ksatria Bram, akan mencoba menembus garis pertahanan mereka dan mencapai area di bawah gerbang," jelas Lyra. "Di sana, kita akan mencoba menyalurkan energi suci untuk menstabilkannya, atau setidaknya memperlambat proses pembukaannya."

"Empat orang melawan seluruh pasukan Nether?" tanya Jade dengan nada tak percaya.

"Kita adalah Ksatria Cahaya terpilih, Jade," jawab Kate dengan tatapan mata yang penuh keyakinan. "Kita memiliki kekuatan yang tidak mereka miliki. Kita akan melakukannya."

Lyra mengangguk setuju. "Itu semangat yang kubutuhkan. Ingat, tujuan kita bukan untuk menghancurkan semua makhluk ini di sini, melainkan untuk menutup gerbang. Setiap detik sangat berharga. Berhati-hatilah di luar sana."

Kate dan Jade saling bertukar pandang. Mereka tahu betapa berbahayanya misi ini. Namun, di mata mereka terpancar tekad yang sama. Mereka adalah Ksatria Cahaya, pelindung Overworld. Mereka tidak akan mundur, tidak peduli seberapa besar pun kegelapan yang menghadang.

"Kita siap, Komandan," kata Kate, menggenggam erat pedangnya. "Mari kita tutup gerbang neraka ini bersama-sama."

Dengan anggukan mantap dari Komandan Lyra, Kate dan Jade segera bergerak maju, bergabung dengan Ksatria Elara yang lincah dengan dua pedang di tangannya, dan Ksatria Bram yang kekar dengan palu perang besarnya. Mereka berempat membentuk formasi berlian, berusaha menembus kerumunan makhluk Nether yang terus membanjiri area di bawah gerbang yang menganga.

"Fokus! Jangan terpencar!" seru Bram sambil mengayunkan palunya, menghantam beberapa iblis kecil hingga terpental.

Elara bergerak dengan gesit di antara mereka, menebas dengan cepat dan mematikan. Jade tak henti-hentinya melesatkan anak panah bercahaya, menargetkan titik-titik lemah para monster. Kate dengan pedang bercahaya di tangannya, menjadi titik fokus formasi, memancarkan energi suci yang membakar makhluk-makhluk yang berani mendekat.

"Kita hampir sampai!" seru Kate, melihat pusaran energi gelap di bawah gerbang semakin dekat.

Mereka bisa merasakan hawa panas yang menyesakkan dan energi jahat yang berdenyut kuat dari dalam celah itu. Tiba-tiba, di tengah hiruk pikuk pertempuran, sebuah kilatan energi hitam pekat meluncur dengan kecepatan tak terduga, menerjang tepat ke arah Kate.

Jade sempat berteriak, "Kate, awas!", namun sudah terlambat.

Energi gelap itu menghantam tubuh Kate, membungkusnya erat bagai rantai tak kasat mata. Kate merasakan dingin yang menusuk tulang dan kekuatan yang luar biasa menariknya dengan paksa. Ia mencengkeram pedangnya erat-erat, berusaha menahan diri, tetapi cengkeramannya terasa semakin lemah.

"Jade! Tolong!" seru Kate putus asa, matanya memandang kekasihnya yang berusaha menjangkau.

Jade, Elara, dan Bram berusaha sekuat tenaga untuk meraih Kate, sayangnya energi hitam itu terlalu kuat. Dalam sekejap mata, Kate tertarik semakin cepat menuju pusat pusaran hitam gerbang Nether. Cahaya pedangnya meredup saat ia tersedot sepenuhnya ke dalam kegelapan yang menganga.

"Kate!" raungan Jade menggema di tengah medan perang yang kacau.

Ia dan kedua ksatria lainnya terpaku, menyaksikan dengan ngeri saat sosok Kate menghilang ditelan gerbang. Mereka tak berdaya, terlambat untuk menyelamatkannya.

Di sisi lain gerbang, Kate merasakan sensasi jatuh yang tak berujung sebelum akhirnya terhempas kasar di atas permukaan batu yang dingin dan suram. Ia mengerang kesakitan, mencoba bangkit. Pandangannya kabur, tetapi perlahan ia bisa melihat sekelilingnya. Ia berada di sebuah pelataran istana yang gelap dan megah, dengan arsitektur gothic yang mengintimidasi dan langit merah yang berdenyut di atasnya.

Di ujung pelataran, di atas singgasana yang terbuat dari tulang dan obsidian, duduk seorang pria dengan aura kekuasaan yang dingin dan mata setajam silet. Pangeran Nether, Damian. Senyuman tipis dan angkuh terukir di wajahnya yang pucat.

"Selamat datang di negeriku, Ksatria Cahaya," sapa Damian dengan suara yang dingin sekaligus menggoda. "Kau memiliki kecantikan yang luar biasa. Sangat pantas untuk menjadi permaisuriku."

Kate yang masih berusaha memulihkan diri dari benturan, menatap Damian dengan tatapan penuh amarah dan jijik. "Aku tidak akan pernah menjadi permaisurimu, makhluk Nether!"

Mendengar penolakan itu, Damian tidak menunjukkan kemarahan. Ia hanya menghela napas pelan, seolah kecewa dengan kebodohan Kate. "Sayang sekali, kau akan menjadi hiasan yang menarik di sisiku."

Tiba-tiba, Damian mengulurkan tangannya. Sebuah energi hitam pekat berkumpul di telapak tangannya dan melesat ke arah Kate. Kate berusaha menghindar, tetapi energi itu terlalu cepat. Ia merasakan sengatan yang luar biasa di seluruh tubuhnya, seolah ada sesuatu yang dipaksa keluar dari dalam dirinya. Cahaya samar yang selalu menyelimutinya menghilang sepenuhnya. Ia merasa lemas, kemudian kosong.

"Apa yang kau lakukan padaku?!" raung Kate, merasakan kekuatan Arcane yang selama ini menjadi bagian dirinya lenyap tak berbekas. Ia kini hanyalah seorang manusia biasa, yang terperangkap di dunia neraka.

Dengan sisa amarahnya Kate mencoba menyerang Damian, berlari ke arah singgasananya dengan tinju terkepal. Namun Damian dengan santai, menahan pergelangan tangan Kate hanya dengan satu tangan.

"Semangatmu patut dipuji, Kate," kata Damian sambil tersenyum tipis. "Tapi kau harus belajar bahwa, di sini kau berada dalam kekuasaanku."

Dengan gerakan halus dan kuat Damian menarik Kate mendekat, lalu membawanya masuk melewati gerbang istana suram itu.

Kate menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan rasa takut yang perlahan menggerogoti hatinya. Ia bersumpah dalam hati, apapun yang terjadi, ia tidak akan pernah tunduk pada Pangeran Nether.

Sepanjang perjalanan, Kate berusaha melawan saat Damian menariknya melangkah ke dalam istana yang suram itu. Setiap langkah terasa berat, seolah seluruh bangunan ini mengisap kekuatan terakhir dari dalam dirinya. Begitu melewati ambang pintu utama, pemandangan di dalam membuat Kate terkejut sekaligus ngeri.

Di dalam aula istana yang luas, lilin-lilin hitam menyala di sepanjang dinding, menerangi ruangan dengan cahaya keperakan yang aneh. Musik yang merayap dan menyeramkan memenuhi udara. Para makhluk Nether yang berbentuk tinggi, bersayap, bertanduk, dan bermata merah, berdiri berbaris di kedua sisi lorong tengah, mengenakan pakaian formal seolah-olah mereka adalah tamu undangan sebuah pesta agung.

Di ujung lorong sebuah altar hitam telah disiapkan, dihiasi bunga-bunga berwarna gelap yang tampak seperti hidup dan berbisik.

Kate mengerutkan kening, mundur setengah langkah. "Apa ini?" desisnya.

Damian menoleh ke arahnya, senyum tipis di bibirnya. "Pernikahan kita."

Seketika itu juga, Kate merasa tubuhnya kaku. Ia mencoba mengangkat tangan, berbalik, dan melawan. Namun tubuhnya tidak patuh. Seolah ada kekuatan tak kasat mata yang mengikatnya, menggerakkan tubuhnya sesuai keinginan orang lain.

"Berhenti! Hentikan ini!" Kate berteriak dalam hatinya, tapi suaranya hanya terdengar seperti bisikan lirih.

Dan dalam sekejap, keajaiban gelap pun terjadi. Pakaian perang Ksatria Cahaya yang selama ini menjadi identitas kebanggaannya mulai lenyap, berganti menjadi sebuah gaun pengantin berwarna putih keperakan yang berkilau aneh. Gaun itu panjang, berlapis, dan berhiaskan motif yang menyerupai akar-akar hitam menjalar dari kakinya.

Kate menatap dirinya sendiri dengan ketidak percayaan. "Tidak, Ini bukan kehendakku!"

Namun tubuhnya, dikendalikan oleh kekuatan asing, mulai berjalan perlahan menuju altar, langkahnya gemulai seolah ia benar-benar seorang mempelai yang bahagia.

Damian, dengan angkuh, berjalan berdampingan dengannya, mengenakan jubah resmi berwarna hitam berhias emas. Wajahnya tampak puas, seolah-olah seluruh dunia kini berada dalam genggamannya.

Sampai akhirnya mereka tiba di altar. Seorang imam Nether berupa makhluk tinggi dengan kulit seputih tulang, membacakan janji dalam bahasa kuno Nether yang bergema di seluruh aula.

Kate berusaha melawan kendali itu, matanya memancarkan kemarahan bercampur ketakutan. Tapi tak ada satu otot pun dalam tubuhnya yang mau bergerak mengikuti kehendaknya sendiri.

Damian kemudian mengangkat sebuah cincin merah gelap, terbuat dari logam yang tampak berdenyut dengan energi kelam. Ia mengangkat tangan Kate dan dengan perlahan memasangkan cincin tersebut di jari manisnya.

Saat cincin itu melingkar sempurna di jarinya, sebuah gelombang energi hitam menyelimuti tubuh Kate, mengukuhkan ikatan sihir yang tidak dapat dipatahkan.

"Aku mengikatmu sebagai permaisuriku," bisik Damian lembut di telinga Kate, suaranya penuh dengan kekuasaan dan kemenangan.

Seketika itu juga, seluruh ruangan meledak dalam sorakan makhluk-makhluk Nether yang bergema menyeramkan. Bunga-bunga hitam mekar di sekeliling altar, dan udara dipenuhi dengan aroma manis yang membuat kepala Kate berputar.

Ia kini, secara resmi, telah menjadi pengantin Pangeran Nether. Tetapi jauh di dalam hatinya, kobaran semangat Kate belum padam. Di balik tatapan kosong itu, sebuah sumpah baru terukir kuat di benaknya.

Aku bersumpah... aku akan menemukan jalan keluar dari neraka ini. Dan aku akan menghancurkanmu, Damian.

Bab 2. Hadiah dari Nether

Pesta pernikahan di istana Nether berlangsung dengan gemuruh yang menggetarkan tanah. Makhluk-makhluk penghuni Nether, dari yang bertubuh mungil hingga raksasa bersayap, memenuhi aula megah dengan sorak-sorai yang menggema ke seluruh penjuru.

Mereka bernyanyi dalam bahasa kuno, menari liar di bawah cahaya lilin hitam yang berkedip-kedip. Musik seruling aneh dan genderang keras membentuk irama yang tidak manusiawi, membuat udara terasa berat dan mencekam.

Di atas singgasana utama, Damian duduk dengan angkuh, mengenakan mahkota gelap yang bersinar redup. Di sisinya, Kate duduk diam, tak berdaya. Tubuhnya masih dikendalikan oleh kekuatan gelap, dan bahkan sekadar membuka bibir untuk berteriak pun ia tak mampu.

Kate hanya bisa menatap kosong ke depan, menahan amarah yang membara dalam dirinya. Kemeriahan pesta itu, sama sekali tidak membuat dirinya terpikat.

Para tamu makhluk Nether terus mengangkat gelas berisi cairan pekat berwarna ungu tua, bersulang untuk sang Pangeran dan mempelai barunya. Mereka semua tampak bersuka cita menikmati pesta.

"Untuk kejayaan Nether!" seru seorang makhluk bertanduk panjang.

"Untuk Pangeran Damian dan Putri Kegelapan kita!" sahut yang lain dengan sorakan keras.

Damian melirik ke arah Kate, mata merahnya berkilat penuh kepuasan. Ia membungkuk sedikit mendekat dan berbisik di telinga Kate, "Kau sangat cantik malam ini, sayangku."

Kate menggertakkan giginya dalam diam, tubuhnya menegang. Ia ingin memukul, menendang, berteriak, apa saja. Namun tubuhnya tetap membeku, seolah hanya boneka hiasan di sana.

Lalu Damian mengangkat satu tangan, dan suasana pesta langsung mereda, semua perhatian kini tertuju padanya.

"Sebagai tanda kebahagiaan atas pernikahan kami," ucap Damian lantang, "aku perintahkan pelepasan hadiah kecil ke Overworld."

Tubuh Kate menegang mendengar ucapan Damian, kecurigaan muncul menyeruak tak terkendali di dalam hatinya

Damian melanjutkan, "Lepaskan Cerberus ke Overworld."

Seketika itu juga dari balik gerbang sisi ruangan, terdengar suara gemuruh berat dan geraman buas. Seekor makhluk raksasa, berkepala tiga, dengan tubuh besar berbalut api hitam, berjalan perlahan, diikuti oleh pasukan kecil makhluk bersayap gelap. Makhluk itu perlahan berjalan ke gerbang antara Nether dan Overworld, kemudian menghilang.

Kate berusaha berteriak, tetapi bibirnya tetap terkunci rapat seolah dibungkam oleh kekuatan tak kasat mata. Matanya membelalak, tubuhnya gemetar menahan keputus asaan. Ia hanya bisa menatap dengan tajam saat Damian mengayunkan tangannya ke depan.

Di udara muncul gumpalan awan hitam besar, membentuk sebuah cermin kabut. Di dalam cermin itu, Kate dapat melihat pemandangan Overworld. Rumah-rumah terbakar, tanah hancur, dan Cerberus yang mengamuk, membantai apa saja yang ada di jalannya. Penduduk yang tak bersalah berlarian ketakutan, ksatria-ksatria Overworld berusaha melawan, tetapi tampak sia-sia melawan kekuatan buas makhluk neraka itu.

Kate menahan napas, hatinya hancur melihat semua itu. Sedangkan Damian dengan santai meraih pinggang Kate, menariknya hingga duduk di pangkuannya. Tangannya yang dingin namun kuat membelit tubuh Kate agar tidak bisa beringsut sedikit pun.

Dengan suara pelan, seolah membisikkan rayuan, Damian berkata di telinganya, "Lihatlah, istriku. Ini adalah hadiah pesta pernikahan kita. Sebuah dunia yang terbakar hanya untukmu."

Kate menutup matanya, berusaha menahan air mata yang menggenang. Bukan karena takut, tetapi karena rasa bersalah yang menyesakkan dada.

“Aku harus keluar dari sini. Aku harus menghentikannya. Apapun caranya,” batin Kate putus asa.

Namun untuk saat ini, ia hanya bisa duduk di singgasana kegelapan itu. Ia benar-benar merasa tak berdaya, dan hanya bisa menjadi saksi kehancuran yang dihadiahkan atas namanya.

***

Pesta panjang yang membius, penuh sorak sorai dan kekejian, akhirnya usai. Kate merasa tubuhnya remuk, tidak hanya oleh kelelahan fisik, tetapi lebih dari itu. Jiwanya tercekik dalam penderitaan.

Di bawah tatapan tamu-tamu Nether yang penuh kemenangan, Damian bangkit dari singgasananya. Ia menarik tangan Kate dengan lembut, membawa pengantinnya melintasi lorong panjang yang diterangi obor-obor hitam menuju sebuah pintu besar berukir lambang kerajaan Nether.

Pintu itu terbuka dengan sendirinya, memperlihatkan sebuah kamar pengantin yang telah dihias. Langit-langitnya tinggi, berhiaskan tirai-tirai hitam dan merah tua, dengan ranjang besar berlapis kain sutra gelap di tengah ruangan. Aroma mawar hitam memenuhi udara, pekat dan menyesakkan.

Sesaat setelah pintu menutup di belakang mereka, kekuatan yang mengendalikan tubuh Kate perlahan menghilang. Ia terhuyung, jatuh berlutut, Kate langsung mengambil napas dalam-dalam. Akhirnya untuk pertama kalinya sejak ia terseret ke Nether, ia kembali menguasai tubuhnya. Namun tubuh itu terasa kosong, lemah dan terluka.

Kate mencoba bangkit, tetapi lututnya bergetar hebat. Ia menoleh, menatap Damian dengan mata membara penuh kebencian.

"Jangan sentuh aku," desis Kate dengan suara serak.

Damian hanya tersenyum, langkahnya tenang saat ia mendekati Kate. "Kau bebas bergerak sekarang, Kate. Namun jangan salah sangka, kau tetap tidak bisa melarikan diri."

Kate mencoba mundur, tetapi punggungnya sudah menyentuh tiang ranjang. Semua kekuatan Arcane yang dahulu melindunginya, kini telah lenyap. Ia hanyalah manusia biasa di hadapan pangeran Nether. Mereka tampak seperti seekor serigala mengincar domba yang terluka.

Damian berlutut di hadapannya, tangan dinginnya mengangkat dagu Kate dengan lembut namun memaksa. "Malam ini, kau menjadi milikku sepenuhnya," bisiknya.

Dengan mudah Damian mengangkat tubuh Kate dan membawanya ke atas ranjang pengantin mereka, meski Kate tidak berhenti memberontak. Gadis itu ia rebahkan dengan lembut, layaknya barang yang sangat berharga untuknya.

“Aku sudah menunggu ini selama ratusan tahun,” ucap Damian membelai lembut pipi Kate.

“Hentikan! Jangan sentuh aku!” Kate berusaha mendorong tubuh Damian, tetapi sia-sia karena tenaganya sama sekali tidak sebanding dengan pria itu.

“Bagaimana caranya aku menahan diri lagi Kate, setelah ratusan tahun menunggu. Dan sekarang kau ada di dalam pelukanku lagi. Aku tidak bisa… Mulai malam ini kau akan menjadi milikku seutuhnya.”

Damian menundukkan wajahnya, berniat mencium Kate. Namun gadis itu menghindarinya, sehingga bibirnya hanya menyentuh pipi Kate. Damian sama sekali tidak terpengaruh dengan penolakan Kate, pria itu justru menyusuri pipi Kate dengan bibirnya yang hangat dan turun ke leher gadis itu yang terekspose.

Damian bisa merasakan tubuh Kate menggelinjang kecil saat ia mencecap lehernya dan meninggalkan tanda bekas kepemilikan di sana. Perlahan, di tengah penolakan yang terus dilakukan Kate. Damian melepaskan semua penghalang di antara mereka. Sudah saatnya ia bersatu kembali dengan kekasihnya, dan ia tidak ingin menunggu lebih lama lagi.

Di bawah Damian yang mengukungnya. Kate mengepalkan tangannya kuat-kuat, berusaha menahan hinaan yang membakar seluruh dirinya. Ia tahu bahwa melawan akan sia-sia. Ia tidak memiliki tenaga, tidak memiliki kekuatan.

Dengan hati yang remuk dan kehormatan yang dipaksakan terkoyak, Kate akhirnya menyerah pada takdir kelam malam itu. Menyerahkan tubuhnya kepada Damian, meski jiwanya tetap berteriak dalam diam.

Namun bagi Damian sendiri, malam ini bukan semata hanya bagian dari prosesi pernikahan. Saat ia mendekap Kate, ada sesuatu yang lain yang menggelora di antara mereka, sesuatu yang tersembunyi jauh di dalam tubuh gadis itu. Damian menutup matanya, merasakan denyut samar itu.

"Bangunlah," gumam Damian nyaris tak terdengar. "Aku tahu kau ada di sana."

Ia tersenyum tipis, penuh kesabaran dan keyakinan. Apa yang selama ini disegel oleh para Ksatria Cahaya tingkat Alam Abadi, kini mulai merespons kehadirannya. Sebuah kekuatan kuno yang gelap, buas, dan indah, bergetar samar dalam darah Kate.

Damian tidak tergesa-gesa. Ia tahu, malam ini hanyalah awal dari semuanya. Malam ini, ia bukan hanya mengukuhkan Kate sebagai istrinya. Malam ini, ia membangkitkan sesuatu yang selama ini disembunyikan oleh dunia.

***

Dalam keheningan kamar pengantin itu, Kate perlahan merasakan sesuatu yang aneh merayap di dalam tubuhnya. Awalnya hanya sekilas sebuah aliran denyutan samar di balik dada, seolah ada sesuatu yang berusaha terjaga dari tidur panjangnya. Rasa panas menjalari pembuluh darahnya, bukan seperti kehangatan alami, melainkan energi liar yang tak dikenalnya, membisikkan janji kekuatan dan kehancuran.

Kate mengerutkan kening, menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa asing yang menguar dari dalam dirinya. Ia ingin menepisnya, ingin melawan, tetapi tubuhnya sudah terlalu lelah, pikirannya terlalu kabur.

Damian yang masih memeluk tubuh Kate, merasakan perubahan itu dengan jelas.

Senyum puas perlahan merekah di wajahnya.

"Bagus," bisik Damian, suara itu hampir seperti gumaman di telinga kekasihnya.

Kate mencoba mengangkat tangannya, antara ingin mendorong Damian atau sekadar mencari pegangan. Namun kekuatan di tubuhnya telah habis. Semuanya terasa berputar, matanya berat, dan dalam sekejap ia jatuh tak sadarkan diri ke dalam pelukan Damian.

Damian merengkuh tubuh Kate dengan penuh kepemilikan, seolah ia baru saja memenangkan sesuatu yang lebih berharga dibandingkan seluruh kerajaan Nether sekalipun.

Ia menatap wajah Kate yang tak sadarkan diri dengan ekspresi campuran antara kekaguman dan hasrat yang membara. Rambut perak Kate berantakan di atas bantal sutra hitam, kontras dengan kulit pucatnya yang bersinar redup di bawah cahaya lilin.

"Belum sepenuhnya," gumam Damian, menatap dalam-dalam ke dalam jiwa yang tersembunyi di balik ketidak berdayaan itu. "Tapi kau mulai merasakannya, bukan?"

Ia tahu kekuatan sejati yang tersegel di dalam diri Kate, kekuatan yang bahkan para Ksatria Cahaya tingkat Alam Abadi takutkan, tidak bisa dipaksa bangkit. Jika ia terburu-buru, segel itu bisa mengamuk dan menghancurkan gadis itu sendiri.

Jadi Damian memilih jalan yang lebih halus, lebih sabar. Ia harus membuat Kate terbiasa dengannya. Membiarkan kehadirannya meresap perlahan ke dalam lapisan terdalam jiwa gadis itu, sampai kekuatan itu, tanpa sadar, akan menerima dirinya sebagai bagian dari eksistensinya.

Hingga pada akhirnya, Kate akan membangkitkan kekuatannya sendiri. Bukan untuk melawannya, tetapi untuk bersatu dengannya.

Damian menggeser tubuhnya ke samping Kate, tanpa melepaskan pelukannya pada gadis itu. Ia menatap wajah istrinya yang tertidur, jari-jarinya mengusap ringan pipi Kate yang dingin.

"Beristirahatlah, Kate," bisik Damian dengan nada penuh kepemilikan. "Perjalanan kita baru saja dimulai."

Di luar jendela besar kamar itu, badai hitam berputar-putar di langit Nether, seolah menyanyikan lagu selamat datang untuk ratu baru yang tengah tertidur. Ratu yang suatu hari nanti, akan menjadi pusat kekuasaan baru di seluruh alam semesta ini.

***

Pagi itu Kate terbangun dalam rasa pusing dan tubuh yang berat. Untuk sesaat, ia bahkan lupa di mana dirinya berada. Namun saat matanya menangkap ruangan berlangit tinggi dengan tirai hitam mengalir dari langit-langit, ingatannya menyerbu masuk seperti badai.

Dengan napas terengah-engah, Kate bangkit dari ranjang meraih pakaian untuk menutupi tubuhnya yang telanjang. Kemudian kakinya yang telanjang berlari melintasi lantai dingin, langsung menuju pintu besar kamar. Ia menarik gagangnya kuat-kuat. Mengguncangnya, membenturkannya, tetapi sia-sia. Pintu itu terkunci rapat, seperti jeruji tak kasat mata yang memenjarakannya.

Tawa ringan terdengar dari sudut ruangan. Kate berbalik cepat, matanya menemukan sosok Damian bersandar santai di tiang ranjang, tangan terlipat di dada, senyum geli menghiasi wajahnya.

"Apakah kau kira akan semudah itu melarikan diri dariku, istriku?" ucap Damian tenang.

Kate mencengkeram gaun pengantinnya, wajahnya merah padam karena marah. Dalam keputus asaan, pandangannya menangkap keranjang buah yang tergeletak di meja samping. Tanpa ragu, ia menyambar pisau kecil di sana. Dengan gemetar, ia menodongkannya ke arah Damian.

"Jangan mendekat!" teriak Kate.

Damian hanya mendengus pelan, melangkah perlahan mendekatinya seakan ancaman itu tak berarti apa-apa baginya. Namun langkahnya terhenti ketika Kate, dengan tangan gemetar, mengalihkan arah pisaunya ke lehernya sendiri.

"Jangan paksa aku," bisik Kate, suaranya nyaris patah.

Senyum di wajah Damian memudar sedikit, berganti dengan ekspresi lebih serius. Ia mengangkat tangannya, menunjukkan bahwa ia tidak berniat menyerang.

"Tenanglah, Kate," ujar Damian dengan nada mendamaikan, berjalan pelan mendekatinya. "Tidak perlu berakhir seperti ini."

Kate mundur, langkahnya terhuyung ke arah balkon yang terbuka lebar. Angin dari luar membawa aroma asin dan lembab. Di bawah sana, lautan kelam tanpa dasar membentang sejauh mata memandang, beriak perlahan seolah memanggil-manggil.

Langkah Kate terhenti di ambang batas. Ia melirik ke belakangnya, ke dalam kehampaan itu. Di depannya, Damian masih berusaha membujuk meski ucapannya hanya terdengar samar bagi Kate.

“Lebih baik mati dibandingkan hidup dalam penawanan ini,” batin Kate.

Setelah menatap Damian sekali lagi. Akhirnya tanpa keraguan lagi, Kate melepaskan genggamannya pada dunia ini. Dengan satu gerakan cepat, ia menjatuhkan dirinya ke dalam laut hitam pekat itu.

"Kate!"

Damian bergerak cepat ke tepi balkon, tetapi ia tidak melompat mengejar. Ia hanya berdiri diam memandangi tubuh mungil itu jatuh, meluncur menembus kabut tebal yang menggantung di atas air.

Matanya, yang biasanya penuh arogansi dan kelam, kini dipenuhi emosi yang sulit diartikan. Antara kemarahan, frustrasi, dan sesuatu yang lebih dalam yang bahkan dirinya enggan akui. Ia mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, napasnya berat.

"Bodoh," gumam Damian lirih. "Kau kira laut Nether akan membiarkanmu mati dengan mudah?"

Ia menatap lebih lama ke dalam lautan itu sebelum akhirnya berbalik, jubah hitamnya berkibar di udara. Permainan antara mereka baru saja dimulai.

Bab 3. Kehidupan Baru

Suara gemuruh roda kereta yang beradu dengan rel, terdengar berirama monoton di telinga Kate. Di balik kaca jendela, dunia berwarna abu-abu membentang, tampak buram oleh kabut musim dingin. Namun pikiran Kate justru terjebak di tempat lain, jauh di masa lalu lima tahun silam.

Dalam mimpinya, Kate kembali melihat dirinya sendiri melompat dari balkon istana yang suram itu. Tubuhnya jatuh menembus kabut, menuju lautan hitam yang bukan berisi air, melainkan kumpulan wajah-wajah mengerikan. Lautan itu dipenuhi makhluk-makhluk Nether yang meratap, menangis, dan mengutuk.

Setiap gerakan di dalam air itu adalah siksaan. Setiap sentuhan dari penghuni lautan membawa rasa sakit membakar kulitnya, dan merobek jiwanya. Ia mencoba berenang, dan berteriak, tetapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Segalanya seolah abadi dalam kegelapan itu.

Sampai akhirnya dalam kelam yang pekat itu, ia menemukan celah. Sebuah arus samar yang menariknya keluar, membawanya ke dunia atas, hingga akhirnya ia bebas. Namun kebebasan itu tidak datang tanpa luka.

Suara peluit kereta yang nyaring menembus alam mimpinya. Kate terkejut, terjaga dengan napas memburu dan keringat dingin membasahi pelipisnya.

"Stasiun Ceaseton. Penumpang harap bersiap-siap."

Kate mengusap wajahnya pelan, berusaha menenangkan debar jantungnya. Ia menarik koper kecilnya, mengenakan mantel tipis berwarna kelabu, dan melangkah keluar dari gerbong.

Udara di Ceaseton membawa aroma asin laut yang lembut. Kota ini terasa jauh lebih damai dibandingkan tempat-tempat yang pernah ia lalui. Di antara kerumunan penumpang yang turun dari kereta, Kate melihat seorang pria berdiri sambil melambaikan tangan ke arahnya. Pria itu bertubuh tinggi, berambut cokelat gelap, dan memiliki mata yang memancarkan kehangatan.

"Kate!" serunya sambil tersenyum.

Kate langsung mengenali pria itu. Leon cucu dari mendiang gurunya, Master Veln.

Leon berlari kecil menghampirinya dan tanpa ragu menepuk kepala Kate dengan gerakan akrab, seperti seorang kakak yang menyambut adik yang lama tak bertemu.

"Selamat datang di Ceaseton," kata Leon, suaranya dalam dan ramah. "Sudah lama kami menantikan kedatanganmu."

Kate tersenyum kecil, meski lelah masih terlihat menggantung di matanya. "Terima kasih, Leon," balasnya pelan.

Tanpa banyak kata, Leon mengambil koper dari tangan Kate dan mengajaknya berjalan keluar dari stasiun. Mereka menaiki sebuah kendaraan kecil bergaya kuno dan melaju melewati jalan-jalan kota yang tenang.

Sepanjang perjalanan, Leon bercerita ringan tentang kota Ceaseton. Tentang bagaimana tempat itu yang salah satu markas kecil para Ksatria Cahaya, yang bertugas menjaga garis pesisir dunia Overworld dari ancaman kegelapan.

Akhirnya kendaraan mereka berhenti di tepi pantai. Di sana berdiri sebuah kastil batu berwarna putih pudar, kokoh menghadapi deburan ombak yang tiada henti.

"Tempat ini akan menjadi rumah barumu," kata Leon sambil tersenyum.

Kate turun dari kendaraan, memandang kastil itu dengan campuran perasaan asing dan lega. Mungkin di tempat ini, ia bisa benar-benar memulai hidup baru. Mungkin di tempat ini, mimpi buruk itu akhirnya bisa berhenti mengejarnya. Angin laut berhembus lembut, membawa harapan samar yang belum berani ia genggam sepenuhnya.

Derit pelan terdengar saat pintu besar kastil itu didorong terbuka oleh Leon. Udara di dalam bangunan terasa hangat, dipenuhi aroma kayu tua dan lilin harum yang menyala di sepanjang koridor.

Kate melangkah masuk, matanya menelusuri interior kastil yang sederhana namun kokoh. Dinding-dinding batu putih berlapiskan lambang Ksatria Cahaya, sebuah ordo yang menjadi harapan baru umat manusia di tengah ancaman Nether.

Di sepanjang koridor utama, beberapa orang berlalu-lalang, mengenakan seragam khas berwarna biru tua dengan emblem matahari emas di dada. Kate mengamati mereka dengan saksama.

Ia bisa merasakan energi mereka. Mayoritas dari para ksatria itu berada di tahap Cahaya Jiwa, sebuah tingkatan kelima dalam hierarki Ksatria Cahaya. Sementara itu, dirinya…

Kate menundukkan kepala sedikit. Dalam lima tahun perjuangannya, ia hanya mampu memulihkan Arcane-nya hingga ke tingkat Bunga Kehidupan, dua tingkat di bawah Cahaya Jiwa.

Tidak sama seperti dulu di mana ia adalah seorang Ksatria Cahaya tingkat Penyatuan Agung, hampir mendekati puncak kekuatan seorang ksatria. Kini secara hierarki, ia hanyalah bagian dari seorang pemula di mata mereka.

Senyum getir melintas di sudut bibirnya, senyum yang sarat luka yang belum pulih. Namun sebelum lamunan kelam itu bisa berakar lebih dalam, Leon yang berjalan di depannya menoleh sambil tersenyum lebar.

"Ayo, aku akan mengantarkanmu ke kamarmu," kata Leon ringan, seolah mencoba mengalihkan suasana.

Kate mengangguk dan mengikuti langkahnya. Mereka melewati beberapa lorong bercabang, hingga akhirnya tiba di sebuah pintu kayu dengan ukiran lambang kecil berbentuk bunga yang sedang mekar.

Leon membuka pintu itu. "Ini kamarmu, Kate. Tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman," ujarnya sambil masuk lebih dulu.

Kate melangkah masuk. Ruangan itu sederhana, hanya diisi satu tempat tidur kayu dengan selimut bersih, sebuah meja kecil di bawah jendela yang menghadap ke pantai, dan sebuah lemari kayu tua di sudut ruangan. Dari jendelanya, Kate bisa melihat lautan yang berkilau diterpa cahaya matahari sore. Pemandangan itu membuat dadanya terasa sedikit lebih ringan.

"Jika ada yang kau butuhkan, jangan ragu untuk memanggilku," kata Leon sambil meletakkan koper Kate di dekat tempat tidur. "Besok pagi akan ada pertemuan untuk memperkenalkanmu kepada anggota lainnya."

Kate mengangguk pelan. "Terima kasih, Leon," katanya tulus, meski suaranya masih lemah.

Leon tersenyum, menepuk bahunya dengan penuh kehangatan. "Lupakan masa lalu, Kate. Di sini, kau bisa memulai lagi. Kita semua memulainya dari bawah, bukan?" katanya sebelum pergi meninggalkan kamar itu.

Saat pintu menutup, Kate berdiri diam di tengah ruangan. Ia menatap jari-jarinya yang menggenggam erat mantelnya sendiri, lalu menghela napas panjang.

"Memulai dari bawah, ya..." pikir Kate.

Meski hatinya masih penuh keraguan, setidaknya kini ia memiliki tempat untuk berpijak lagi.

Sambil melepaskan mantelnya dan meletakkannya di kursi. Kate berjanji dalam hati, meski harus jatuh lebih dalam dari sebelumnya, ia akan bangkit. Bagaimanapun caranya, ia akan merebut kembali kekuatannya. Karena ia tahu... suatu saat, masa lalunya akan datang mencarinya. Dan saat itu tiba, ia harus siap.

***

Setelah membereskan barang-barang sederhana miliknya, sebuah koper usang, beberapa pakaian, dan sebuah kotak kecil berisi kenangan masa lalu. Kate akhirnya memutuskan untuk beristirahat.

Udara sore yang lembut menyapu wajahnya saat ia membuka pintu balkon. Ia melangkah ke luar, membiarkan pandangannya terhampar pada lautan luas yang berkilau keperakan di bawah sinar matahari yang mulai merendah.

Angin pesisir membawa aroma asin dan suara ombak yang pecah lembut di karang. Kate duduk di kursi kayu kecil yang tersedia di sana, memeluk lututnya sendiri, membiarkan pikirannya melayang. Dan seperti sudah menjadi kebiasaan lamanya, kenangan itu kembali menghantam.

Lima tahun lalu, setelah menceburkan diri dari balkon istana kegelapan Damian, Kate tidak ingat banyak hal. Yang ia ingat hanyalah rasa sakit, dingin, dan jeritan-jeritan tanpa suara dari dasar laut kelam itu.

Ia berjuang, dan berjuang, hingga akhirnya sebuah cahaya samar muncul. Tangan-tangan manusia yang terasa kasar, kuat, dan nyata, menarik tubuhnya yang tak sadarkan diri ke atas perahu kayu kecil.

Para nelayan, wajah mereka dilapisi kekhawatiran dan ketakutan, membawanya ke daratan. Ia ditemukan di sebuah desa kecil di pesisir timur Overworld, jauh dari medan perang.

Ketika akhirnya Kate membuka matanya, dunia yang dikenalnya telah berubah. Perang telah berakhir sebulan sebelumnya. Dan Overworld kalah.

Cerberus, makhluk neraka yang dilepas oleh Damian pada hari pernikahan terkutuk itu, telah menghancurkan sebagian besar daratan di sekitar medan perang. Kota-kota kecil dan desa-desa yang paling dekat dengan garis depan rata menjadi puing. Luka itu masih menganga di dunia ini, dan lebih parah lagi, di hati para penyintas.

Berita yang lebih memilukan segera menyusul. Jade kekasihnya, yang selalu bertarung di sisinya telah gugur. Kate tidak pernah sempat mengucapkan selamat tinggal. Yang tersisa hanyalah kenangan tentang senyum lembut Jade, tawa kecilnya, dan janji-janji yang kini terkubur bersama tubuhnya di medan perang.

Sebagai pukulan terakhir gurunya, Master Veln, pria yang membesarkannya sejak ia masih kanak-kanak juga terluka parah dalam pertempuran itu. Para tabib telah berjuang selama berbulan-bulan untuk menyelamatkan hidupnya, namun akhirnya luka-luka yang terlalu dalam. Membuat Master Veln menyerah dalam tidurnya, pergi dengan damai dan meninggalkan kekosongan yang mustahil diisi.

Kate kehilangan segalanya, cinta pertamanya, figur ayahnya, dan tempatnya di dunia. Semua itu karena Damian.

Karena keangkuhan pangeran Nether itu, yang memperlakukannya seolah-olah ia adalah hadiah untuk dimiliki, bukan manusia yang memiliki kehendaknya sendiri. Amarah dan kebencian membara dalam dada Kate, menjadi bara yang terus menyala di bawah permukaan wajah tenangnya.

Suara ombak membuyarkan pikirannya. Kate menghela napas berat. Matanya menatap kosong ke arah cakrawala, di mana langit dan laut berpelukan dalam garis tipis yang nyaris tak terlihat. Angin membawa bisikan masa lalu, suara-suara mereka yang telah pergi.

Dengan gerakan perlahan, Kate menggenggam liontin kecil di lehernya. Satu-satunya benda peninggalan Jade yang berhasil ia selamatkan. Liontin itu berisi setetes kecil Arcane murni, hadiah yang pernah diberikan Jade di hari jadi mereka sebagai pasangan.

"Aku akan menjadi cahaya dalam kegelapanmu, Kate," kata Jade waktu itu, dengan senyum percaya diri yang kini hanya hidup dalam ingatannya.

Kate memejamkan mata, membiarkan satu butir air mata jatuh di pipinya. Bukan karena kelemahan, melainkan sebagai penghormatan bagi mereka yang telah pergi. Saat ia membuka mata kembali, sesuatu dalam dirinya telah berubah. Lautan itu, yang tadi terasa seperti jurang kesedihan, kini menjadi medan janji.

Ia bersumpah dalam diam, ia akan menjadi lebih kuat. Ia akan membangun dirinya kembali. Dan suatu hari, ia akan menghadapi Damian. Tidak untuk sekadar membalas dendam, tapi untuk menghentikan keangkuhan dan kegelapan yang pria itu bawa ke dunia ini.

Kate menghela napas panjang, menghapus jejak air matanya, dan bangkit dari kursi balkon itu. Malam mulai turun di Ceaseton, membawa hawa dingin yang menusuk. Namun api dalam hatinya, nyala kecil itu baru saja dinyalakan kembali.

Malam kian larut. Udara dingin dari laut membawa desiran halus yang menggigilkan kulit, tetapi Kate tetap berdiri tegak di balkon kamarnya. Kate membuka laci kecil di sisi tempat tidurnya, mengeluarkan sebuah benda berharga. Sebuah seruling emas, berukirkan pola-pola kuno yang hanya dikenali oleh sedikit orang.

Seruling itu bukan sekadar alat musik, benda itu adalah warisan, hadiah terakhir dari gurunya. Kate mendekap seruling itu sejenak di dada, menutup matanya untuk menenangkan detak jantungnya yang tak menentu. Lalu dengan gerakan perlahan, ia mengangkat seruling ke bibirnya.

Nada pertama yang ia tiupkan melayang lembut ke udara, bagaikan bisikan roh-roh lama. Alunan sendu itu bergulir, memenuhi balkon, menembus keheningan malam dan membawa Kate perlahan-lahan memasuki dunia lain.

Tubuhnya tetap di dunia nyata, memegang seruling dengan jemari lentik yang bergerak perlahan. Bagi mata yang tidak terlatih, ia hanya seorang gadis yang tengah bermain musik di malam hari. Namun kenyataannya, jiwanya telah terbang jauh.

Dalam sekejap, Kate melangkah ke dalam Alam Jiwa. Sebuah dunia tersembunyi yang hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki kemampuan tertentu. Kabut keperakan membentang sejauh mata memandang. Tanah di bawah kakinya berpendar lembut, dan di langit, bintang-bintang tampak lebih dekat seolah bisa dijangkau dengan tangan.

Di sinilah Kate berlatih. Di sinilah, ia menyembunyikan tekad dan perjuangannya yang tidak diketahui siapa pun. Hanya Master Veln, Leon, dan beberapa orang kepercayaan gurunya yang pernah tahu rahasia ini. Sebuah anugerah langka yang merupakan kemampuan untuk membangun dan melatih Arcane dalam dimensi pribadinya sendiri, tanpa gangguan dunia luar.

Kate berdiri tegak. Matanya memancarkan tekad yang membara. Gaun malam yang tadi ia kenakan berubah, berganti menjadi pakaian tempur sederhana berwarna putih dan emas.

Di hadapannya, muncul bayangan-bayangan kabur yang mengambil wujud musuh-musuh yang pernah dihadapinya. Bayangan itu menyerang tanpa belas kasihan. Kate menarik napas dalam-dalam. Tangannya bergerak membentuk formasi sihir sederhana, memanggil Arcane murni yang tersisa dalam dirinya.

Serangan demi serangan dilontarkan. Serangan yang dilakukan Kate itu tidak sempurna. Gerakannya belum secepat dan sekuat dulu. Arcane miliknya kadang tersendat, membuatnya terhuyung di tengah serangan balik bayangan-bayangan itu. Namun ia tidak menyerah.

Tubuhnya bergerak dalam irama perang yang penuh luka, melatih kekuatan fisik, ketangkasan, dan energi Arcane dalam satu tarikan napas yang berat. Setiap pukulan yang ia layangkan, setiap pertahanan yang ia bangun, adalah bagian dari janji kepada dirinya sendiri.

"Damian," bisik Kate di antara helaan napas. "Aku akan mengakhiri semuanya."

Pelatihan itu berlangsung lama, seakan waktu di Alam Jiwa bergerak dengan kecepatan yang berbeda. Setiap kesalahan menjadi pelajaran bagi Kate. Setiap ia jatuh akan menjadi kekuatan baru.

Di sisi lain, di dunia nyata. Leon sempat lewat di depan kamar Kate. Ia berhenti sejenak, mendengar lantunan seruling yang mengalun lembut. Senyum tipis mengembang di wajah pria itu.

"Dia masih melakukannya, ya?" pikir Leon dalam hati.

Meski tanpa kata-kata, ia tahu bahwa Kate tengah bertarung. Bukan melawan musuh di luar sana, melainkan melawan dirinya sendiri. Leon memutuskan untuk tidak mengetuk pintu, agar tidak mengganggu konsentrasi Kate. Ia akhirnya berjalan pergi, membiarkan Kate berjuang dengan caranya sendiri. Karena Leon tahu, kelak ketika saatnya tiba Kate akan kembali berdiri. Bukan sebagai gadis yang terluka. Tapi sebagai Ksatria Cahaya yang pantas untuk mengguncang dunia.

Kembali pada Kate. Ia menutup sesi latihannya di Alam Jiwa dengan mengalunkan nada akhir di seruling emasnya. Nada itu bergetar di udara, menghapus bayangan-bayangan musuh dari hadapannya.

Saat ia membuka matanya kembali, malam masih menyelimuti kota Ceaseton. Tangannya yang memegang seruling sedikit gemetar, keringat dingin membasahi pelipisnya. Namun bibirnya tersenyum tipis.

Satu langkah kecil lebih maju telah ia ambil malam ini. Satu langkah lebih dekat menuju kebebasannya. Dan pada akhirnya, menuju keadilan yang telah lama ditunggu-tunggu.

Besok, ia akan menghadapi dunia baru ini. Bahkan jika seluruh dunia menganggapnya hanya seorang pemula lemah, Kate akan tetap meyakini bahwa kekuatannya belum sepenuhnya padam. Dan pada saatnya tiba nanti, ia akan menunjukkan kepada mereka siapa Kate Velnaria sebenarnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!