NovelToon NovelToon

Larasati Untuk Arjuna

1. Pertemuan

"Hari Sabtu kamu sudah ada acara belum, Ras?"

"Sepertinya belum deh mas, ada apa,?" ucap Rasti yang duduk di meja kerjanya, dengan secangkir kopi hitam di tangannya dengan mata fokus pada layar laptop yang ada di mejanya.

"Kamu bisa gantiin aku gak, jadi fotografer di balai Kartini?"

"Acara apa? Pernikahan?" tanya Rast, tanpa mengalihkan pandangannya dari laptopnya.

"Iya, anak pak Mentri menikah dengan perwira tentara, jadi ada prosesi upacara pedang pora juga!" Jelas Agus, seorang fotografer di wedding organizer tempat Rasti bekerja hampir 5 bulan ini.

"Gak ada,sih. Cuma tadinya aku mau pulang ke Bogor, mau mengunjungi makam bunda dan adikku." ucapnya, sambil mematikan laptop.

"Gantiin aku bisa, ya? Sabtu anakku ulang tahun yang ke 5 tahun, aku lupa. Baru ingat semalam waktu istriku mengingatkanku, jika kamu bersedia aku akan segera bilang sama Ayu, untuk tidak mengubah jadwal ulang tahun anakku?"

Ayu adalah ketua tim yang bertugas menangani acara tersebut. Sedangkan Larasati anak bawang yang bisa menjadi cadangan di setiap bagian, tapi hasil kerja Rasti tidak kalah dengan para karyawan lama.

Rasti terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengagukkan kepalanya. Membuat Agus tersenyum lebar, "aku akan bilang Ayu sekarang. Thanks ya, Ras. Jika suatu saat kamu butuh bantuan, bilang saja padaku! Aku doakan juga, semoga kamu ketemu jodohmu di sana." Ucap Agus sambil berjalan pergi, meninggalkan Laras untuk mencari Ayu. 

"Aku melakukan ini demi senyum anakmu ya mas, bukan demi kamu," gumam Laras, sambil melihat punggung Agus yang mulai tidak kelihatan.

Rasti bisa menjadi apa, saja di fotografer, makeup artist ataupun yang lainnya. Karena kemauan untuk belajar hal baru, membuatnya mampu menguasai itu semuanya.

**

"Kamu jadi komandan pasukan pedang pora ya, di pernikahan anak pak Mentri hari Sabtu, Jun?" Tanya Haidar pada, anak lelakinya yang baru keluar dari kamar.

"Iya, pa."

"Mau gak, nanti di sana papa kenalkan dengan anak teman papa?"

"Papa jadi tamu undangan juga?" Tanya Juna sambil berjalan mendekat, dan duduk di samping Haidar.

"Iya, bagaimana mau. Pangkat sudah Letnan, tapi masih jomblo saja."

"Jomblo itu pilihanku pa, bukan karena aku tidak laku. Jika sudah ada yang cocok, sekali aku kedip juga langsung pada mendekatiku jika aku mau." sombongnya. 

"Siapa yang mendekatimu?" Tanya Haidar sambil terkekeh memotong ucapan Juna, membuat Juna mendengus. "Perempuan bukan itu, Jun?" candanya. 

"Bukan perempuan, tapi lalat yang selalu mengerubungi aku dimana pun berada?"

Mendengar ucapan ucapan Juna, membuat Haidar tertawa ngakak." Lagian ya, pa. Dari pada papa sibuk mencarikan aku pasangan, lebih baik papa cari istri biar tidak kesepian dan ada yang selalu menemani kemana-mana papa pergi." ledek Juna. 

"Kalau ada papa ingin cari yang seperti Bunda mu, cariin dong, Jun!"

"Tidak ada yang seperti bunda. Bunda hanya ada satu, dan itu sudah punya Ayah, lagian salah sendiri dulu menyia-nyiakan bunda." Ucap ketus Juna, tidak membuat Haidar tersinggung tapi malah membuatnya terkekeh. Bener kata anaknya, semua adalah salahnya di masa lalu, nasi sudah menjadi bubur hanya tinggal penyesalan yang tersisa buat Haidar saat ini. 

"Itu ada Tante Cindy, kalau papa mau rujuk," canda Juna. Cindy istri kedua Haidar setelah cerai dengan Alya, perceraian Alya dan Haidar juga karena Cindy (baca. Alya).

"Mending papa tunggu jandanya bundamu, Jun." jawan Haidar, membuat Juna melotot mendengarnya. 

"Amit-amit jangan sampai, cukup bundaku sakit hati sama papa. Sekarang waktunya bundaku bahagia," ucap Juna tidak suka dengan ucapan Haidar tadi. 

"Maaf papa hanya becanda, papa tahu Bundamu memang cocok dengan ayahmu."

"Lagian jadi laki-laki itu harus tegas, jangan plin-plan. Syukuri meranakan sekarang, jadinya."

"Bagaimana mau papa kenalin, papa punya banyak kenalan yang hadir di pesta nanti, dari mentri, pengusaha, atau pejabat?"

"Kalau papa terus memaksaku untuk berkenalan dengan perempuan pilihan papa. Lain kali kalau lepas dinas, lebih baik aku tidur di barak saja. Aku tidak mau mengunjungi papa lagi." kesal Juna. 

"Oke, oke, sorry boy, " ucap Haidar sambil merangkul pundak Juna, selayaknya seorang teman.

Juna pindah dinas di Jakarta, setelah sebelumnya berdinas di Ternate pasca lulus dari Akmil. 

Meski Juna kecil pernah ingin melihat kedua orang tuanya rujuk, tapi Juna sadar papanya (Haidar) terlalu banyak bikin kecewa bundanya. Berbeda dengan ayahnya, yang selalu meratukan bundanya. Buat Juna kebahagiaan bunda adalah nomor satu, dan yang paling utama. 

**

Hari ini Larasati menghadiri acara gladi resik upacara pedang pora, yang akan di selenggarakan seminggu lagi.

Larasati hari ini mengenakan kaos casual warna putih, dan celana kargo dengan warna khaki, serta rambut di kuncir kuda tinggi. Sibuk berkomunikasi dengan headset yang terpasang di telinga dengan temannya, hingga Ayu memberi kode supaya menghentikannya.

"Mereka sudah datang," ucap Ayu, sambil melirik pasangan yang masuk ke dalam balai kartini dan di ikutin belasan pemuda berbadan tegap, yang menggunakan kaos loreng.

"Sore mbak Ria, mas Bagas!" sapa ramah, Ayu.

"Sore, mbak Ayu. Ada apa ya, mbak?" tanya Ria.

"Begini mbak Ria, sebelumnya kami mintai maaf, fotografer buat hari H pernikahan nanti berbeda dengan yang mengambil gambar saat prewedding kemarin." Ucap Ayu, lembut.

"Kenapa kok, mendadak? Harusnya beritahu dari jauh hari dong, supaya kami bisa mencari penggantinya. Sungguh tidak profesional," kesal Ria.

"Acaranya kan masih minggu depan mbak Ria, makanya saya menemui mbak Ria sekarang, dengan mengajak fotografer yang akan menggantikannya." jawab Ayu, masih dengan lembut dan sopan.

"Ya jika mas nya yang kemarin tidak bisa dari awal, tidak mungkin pihak WO menawarkan untuk kita pakai. Pasti karena urusan mendadak, sudahlah yang penting di carikan penggantinya." Ucap Bagus, sambil mengusap punggung calon istrinya sayang. Sungguh terlihat pasangan yang romantis dan saling menyayangi, tapi tidak dengan Rasti yang melihat pasangan itu secara datar.

Buat Rasti semua pria pandai merayu, dengan segala sikap dan ucapan manisnya yang membuat perempuan mudah luluh dan terperdaya.

"Bener mbak Ria, ini di luar kendali kami. Mbak Ria tenang saja, penggantinya ini salah satu fotografer terbaik wedding organization kami." Ucap Ayu, dengan tersenyum manis dan menepuk bahu Rasti yang berdiri di sampingnya.

"Maksud Kalian perempuan muda ini yang jadi fotografernya? Bisa tidak, dia mengambil gambar dengan angle yang bagus?" Ucap Ria, dengan memandang Rasti dengan sorot mata meremehkan.

"Bagaimana jika mbak mencari sendiri fotografer yang bisa menggantikan rekan saya?" Ucap Rasti, membuat Ayy menyenggol lengan Rasti. Sungguh tidak sopan menurut Ayu, ucapan Rasti kepada klien mereka.

"Kalau di berikan waktu jauh-jauh hari aku pasti bisa. Ini beberapa hari lagi pernikahan kami, mana bisa membuat janji secara mendadak." ujar Ria.

" Sudah gak apa-apa yang, kita pakai rekomendasi dari mbak Ayu saja. Percayalah mbak Ayu tidak mungkin, mempertaruhkan nama baik Wedding organizer nya. Pasti mbak ini juga punya, kemampuan mengambil gambar seperti mas Agus kemarin." bujuk Bagas.

"Bener mbak Ria, saya jamin hasil pengambilan gambar Rasti tidak kalah dari Agus."

"Kalau begitu saat gladi resik untuk upacara pedang pora, aku mau kamu mengambil foto kami 5 yang terbaik. Jika memuaskan, aku bersedia memakai dia!" kata Ria meremehkan.

" Tidak masalah, asalkan jelas hitungannya. Apakah Anda bersedia?"

"Rasti," cicit Ayu.

"Oke, buatku uang tidak masalah. Berapa yang kamu minta untuk 5 gambar terbaik yang kamu ambil?"

"500 ribu."

"Hahaha, cuma segitu? Oke, ayo sekarang ikut masuk bersama kami!" ucap Ria, sambil berlalu dengan menggandeng lengan Bagas, menyusul teman-temannya Bagas yang sudah mengatur posisi.

Rasti berjalan beriringan dengan Ayu, di belakang Bagas dan Ria.

"Aku tunggu sambil duduk di sana ya, Ras?" ucap Ayu yang sudah tahu kemampuan Rasti.

"Hmmm. Aku siapkan kameraku dulu," jawab Rasti.

Rasti berjalan mendekat kearah segerombolan tentara yang sudah siap melakukan gladi resik dengan menenteng kamera kesayangannya, hadiah dari cinta pertamanya sebagai anak perempuan, dan orang yang sekarang menjadi orang yang di hindari nya.

Selayaknya fotografer profesional yang sudah berpengalaman, Rasti mampu mengambil gambar yang sangat bagus di lihat dari sudut pandang mana pun, dan dengan angel gambar yang sempurna.

"Aku kasih 500 ribu, aku mau gambarnya di cetak semua!" Ucap Ria, sambil melihat hasil jepretan Rasti di kamar DSLR, yang ternyata lebih bagus dari kameramen yang lama.

"Maaf sesuai kesepakatan awal hanya 5, jadi silahkan pilih 5!" tegas Rasti.

"Tapi aku mau semua, bagaimana kalau aku bayar semuanya. Anda mau berapa," ucap Ria.

"Maaf hanya 5 tidak lebih, sesuai kesepakatan awal." tolak Rasti.

"Sayang," manja Ria, pada Bagas.

"Kami bayar lebih, mbak." ucap Bagas.

"Maaf," tolak tegas Rasti.

"Oke, kami terserah mbak Rasti saja, mana yang terbaik menurut mbak," jawab Bagus, sambil mengusap tangan Ria. Sebelum akhirnya berjalan, pergi meninggalkan Rasti.

**

"Fotografernya cantik, serasa mau membawa ke pengajuan saja," ucap Deri.

"Kayanya aku kenal dia deh," ucap Juna, sambil mengamati Rasti yang sedang berbicara dengan Ria dan Bagas.

"Buktikan dong, sekalian minta no ponselnya! Sekalian mau lihat pesona, Letnan Arjuna." tantang Deri.

Mendengar tantangan Deri, membuat Juna langsung berdiri dan berjalan menuju kearah Rasti dan calon pengantin yang sedang ngobrol, tapi saat Juna mendekat calon pengantin sudah pergi. "Kamu Larasati yang pernah sekolah di?"

"Sorry salah orang." Ucap Rasti memotong ucapan Juna, sambil berlalu pergi dengan kameranya.

Terdengar tawa renyah Deri yang ada di belakang Juna. "Seorang Arjuna di cuekin cewek, ini baru pertama dalam sejarah pertemanan kita." Ucap Deri sambil memukul bahu Juna.

"Aku yakin dia Laras adik kelas ku, yang dulu ngejar-ngejar aku." Ucap Juna dengan pandangan heran.

"Tantangan broo, masak seorang Arjuna tidak merasa terhina di cuekin cewek." Ucap Deri sambil terkekeh.

"Kamu ngetawain apa, Der?" Tanya Bagas, yang baru datang bersama Ria.

"Pesona seorang Arjuna luntur, tidak mempan sama fotografer kalian." jawab Deri sambil tertawa kecil, yang membuat Bagas juga terkekeh.

"Sudah kalau gak mau, sama adikku saja. Dia kan cinta mati sama letnan Arjuna," ucap Ria.

Mendengar ucapan Ria membuat, Juna langsung pamitan pergi di ikuti Deri, sambil tertawa geli. Mengingat Juna yang tidak suka dengan Rani, adiknya Ria.

2. Penasaran

Juna yang penasaran tentang Larasati, anak dari sepupu ayahnya. Sekaligus anak dari Mayjen Rio Alfa Notonegoro, yang menjabat sebagai Aster Panglima TNI yang baru di lantik beberapa bulan lalu. Akhirnya bertanya kepada papanya, yang juga hadir di acara pernikahan Bagus dan Ria.

"Papa sih tidak tahu cerita pastinya bagaimana. Kalau menurut Hanum, Laras memutuskan hubungan sejak tahu kalau dia anak adopsi."

" Jadi Larasati anak adopsi Om Rio dan Tante Hanum?"

"Iya, kata Rio. Laras itu anak temannya, orang tua Laras sudah meninggal, makanya mereka adopsi. Tapi insting papa sebagai pengacara tidak sesimpel itu, papa kenal Laras seperti mengenal Serly." Ucap Haidar membuat Juna, mencibir dan Haidar terkekeh. " Mereka tumbuh bersama, karena Hanum dan Cindy berteman baik." sambung Haidar.

"Iya, aku tahu itu," canda Juna. "Itu Laras pa!" Tunjuk Juna, pada seorang wanita yang sibuk mengambil foto pengantin dengan para tamunya di pelaminan.

Nampak Larasati dengan rambut di Cepol rapi ke atas, menggunakan kemeja seragam pihak wedding organizer dan celana jeans, yang di lengkapi dengan sepatu kets. Terlihat lincah mengambil foto pengantin dan tamunya.

"Papa tidak yakin, dia anak adopsi. Wajahnya mirip Rio, begitu juga sifatnya Laras dan Rio banyak kesamaannya."

"Jangan-jangan anak Om Rio?"

"Bisa jadi, tapi susah untuk mengorek informasi dari Rio dan Hanum. Mereka sangat menyimpan rapat rahasianya, biasa demi nama baik Notonegoro."

"Untung aku Arjuna Putra Wardoyo, bukan Notonegoro."

"Tapi tidak bisa di pungkiri, bahwa di dalam darahmu ada darah Notonegoro." Ucap Haidar, membuat Juna mengakat bahunya acuh.

"Sejak kapan Laras memutuskan hubungan dengan Om Rio?"

"Sejak lulus SMA, mungkin. Rio kan belum lama tinggal di ibukota."

"Jadi dia tidak lanjut ke bangku kuliahan?"

" Ya, mana papa tahu, tapi ingat. Seorang perempuan itu terkadang lebih pintar dan kuat dari pada kita kaum laki-laki, contohnya bundamu."

Dalam diam Arjuna membenarkan, ucapan papanya dan buktinya adalah mamanya.

**

"Mbak!"

"Iya," jawab Rasti tanpa melihat kearah sumber suara, karena masih memeriksa hasil jepretannya.

"Kalau memakai jasa foto mbaknya, apa harus melalui wedding organizer?"

"Iya."

"Apa tidak bisa langsung kepada mbaknya, gitu kerjasamanya?"

"Tidak," jawabnya lagi, tanpa ingin tahu siapa yang bertanya padanya.

"Padahal saya mau kerjasama dengan mbak Lo, secara langsung. Sebagai imbalannya semua gaji saya setiap bulan, buat mbak. Bagaimana mbak, berminat tidak?"

"Sorry tidak minat," ujar Laras dengan berjalan pergi, mengabaikan seseorang yang dari tadi bertanya padanya.

"Anjir, gue di cuekin. Wah ini cewek memang bener-bener beda."

"Jangankan kamu, letnan Juna saja di cuekin." Ucap Deri, dengan menepuk bahu juniornya.

" Yang bener, Let?"

" Iya, saya lihat sendiri tempo hari, saat gladi resik kemarin. Padahal letnan Arjun, kakak kelasnya waktu di SMP dan SD," jelas Deri.

( Juna seumuran dengan Larasati, hanya beda beberapa bulan lebih tua Juna. Tapi Juna sekolah setahun lebih cepat dari teman seusianya.)

"Sudah jangan mimpi bro," ucap salah satu temannya yang ada di situ.

"Lagi bahas apa?"

"Siap!"

"Bahas kamu yang sempat di cuekin, sama mbak Rasti," jawab Deri, sambil terkekeh, membuat Juna berdecak.

" Bagas ngajak kita foto bersama dengan sahabat istrinya, sebenarnya aku males tapi gak enak juga buat nolak nya." Ucap Juna, membuat Deri tertawa kecil.

"Kalau nanti foto, lihat saja fotografer nya."

"Kenapa dengan fotografernya?"

"Jangan pura-pura tidak tahu," jawab Deri, sambil berjalan mengikuti langkah Juna naik ke pelaminan. Dimana di atas tidak hanya ada sepasang pengantin, tapi juga 3 sahabat mempelai wanita.

"Mas Juna dan mas Deri kenalin ini temanku, Bilqis, Arumi dan Nadia."

Deri mengulurkan tangannya, menyambut uluran tangan ketiga sahabat Ria, berbeda dengan Juna yang hanya tersenyum tipis dan mengagukkan kepalanya.

"Ayo, kita foto dulu! Kasihan masih banyak yang ingin berfoto bersama," ujar Bagas, membuat semuanya langsung mencari pose yang sesuai.

"Kamu tidak tertarik dengan salah satu teman istriku,?" tanya Bagas lirih pada Juna yang berdiri di sampingnya tepat.

"Hmm," jawab Juna, membuat Deri terkekeh dan Bagas berdecak. "Seperti apa wanita pilihanmu?"

" Seperti fotografer yang mengambil gambar kita, saat ini," celetuk Deri sambil terkekeh.

"Dia adik kelasku jangan ngaco kamu. Apalagi papaku dan papanya masih sepupu, jadi gak usah aneh-aneh." Ucap Juna sambil berjalan turun dari pelaminan.

"Juna!" Panggil seseorang saat Juna hendak berjalan kearah meja prasmanan.

"Siap!"

"Santai saja, panggil om aja. Kamu ketemu papamu tidak, tadi kami ketemu papamu?"

" Siap, ketemu om. Oya om, tadi aku juga ketemu Laras, tapi Laras malah lupa dengan ku? Apa karena lama tidak ketemu ya, om."

" Bisa jadi maklum kan sudah lama," jawab Hanum sedikit tegang dan mencari sosok Rasti.

" Iya sih, kami terakhir bertemu saat acara kelulusanku, sebelum aku pindah ke Jogja."

" Kamu bertemu Laras di mana,?" tanya Rio.

" Itu, Laras om!" Tunjuk Juna pada Rasti yang sibuk dengan kameranya. "Mari om, Tante Juna duluan!"

" Apa, sikap pura-pura Laras ada hubungannya dengan dia yang berstatus anak adopsi?" Guman Juna, sambil berjalan.

**

Juna merasa heran dengan sikap Larasati, kepada Rio dan Hanum. Tidak ada kesan kalau Larasati adalah anak angkat mereka, sikap mereka seperti orang asing yang tidak mengenal, kecuali Om Rio yang masih terlihat mencuri pandang kearah Larasati, bahkan saat pengambilan foto yang ada Rio dan Hanum.

Gedung di sewa seharian untuk acara pernikahan, begitu acara telah usai tinggal menyisakan anggota keluarga dan pihak WO, yang sedang membersihkan sisa acara.

Sedangkan beberapa anggota keluarga masih mengobrol dengan teman, dan keluarga yang masih ada di gedung.

"Ras, ini ada titipan dari mempelai wanita. Ini uang tambahan yang kemarin," ucap Ayu sambil menyodorkan amplop pada Larasati.

"Makasih mbak."

" Sebelum pulang sebaiknya kamu makan dulu, masih banyak sisa makanannya kok. Pihak pemilik acara sudah membawa sebagian, jika kamu mau membawa, bawa saja!"

" Baik Mbak."

Tanpa rasa malu, Laras mengambil bungkus nasi dan mulai membungkus nasi dan lauk menjadi 10 bungkus. Pihak WO, yang semuanya teman Laras, sudah tidak aneh dengan kebiasaan Laras. Mereka semua juga tahu, itu nasi buat siapa.

Setelah membungkus nasi, Laras berjalan keluar menggunakan motor maticnya, dengan meletakkan bungkusan nasi bungkus di depan.

Juna yang habis ngobrol dengan Haidar dan Rio, memilih pamit pulang dengan alasan ada janji sama temen. Padahal Juna berniat untuk mengikuti Larasati, begitu juga dengan Rio yang melihat Larasati.

"Dar, kamu bawa mobil kan?"

"Ya iyalah."

" Bisa tolong temenin aku ikutin Laras yuuk!"

"La Hanum bagaimana?"

" Tinggal saja, lagiani ada ajudanku ini yang akan ngantar dia," ucap Rio, sambil menggandeng tangan Haidar. Begitu masuk ke dalam mobil, Rio langsung menghubungi istrinya kalau dia pulang bersama Haidar, dan hendak ngopi bersama Haidar.

"Aku yakin, ada yang kamu rahasiakan dari ku kan?"

" Tidak ada, jangan asal nebak kamu."

"Aku juga pernah menjadi baj***an, dan aku telah menyia-nyiakan keluargaku. Aku tahu kamu menutupi sesuatu hal, dan mungkin hanya kamu dan Hanum yang tahu tentang status Larasati."

"Aku, akui aku b*****an, tapi tidak ada yang aku sembunyikan dari Hanum selaku istriku." ucap Rio.

"kalau begitu kenapa kamu mengikuti Laras, dengan sembunyi-sembunyi, bahkan membohongi istrimu? Jika tidak ada apa-apa, kamu bisa dong bilang dengan Hanum, kalau kamu hanya ingin bertemu dengan Laras. Aku rasa Hanum juga tidak akan marah, apalagi Laras adalah anak angkat kalian?"

"Nanti aku ceritakan padamu. Mungkin jika aku bercerita denganmu. Kamu bisa membantuku mencari solusi yang terbaik, tapi sekarang kita ikuti putriku dulu."

Saat ada di lampu merah, Larasati menepikan motornya dan membagikan bungkusan nasi yang di bawanya, kepada pengamen dan beberapa gelandangan yang ada di lampu merah.

Rasti tidak sadar, apa yang dia lakukannya di lihat orang-orang yang sengaja membuntutinya.

Arjuna juga tidak menyangka, Laras yang tempo hari bersikap judes padanya. Bisa tersenyum dan bersikap ramah pada para pengamen jalanan, dan para gelandang.

"Terima kasih kakak cantik," ucap beberapa pengamen yang kebanyakan anak-anak itu, saat Larasati berlalu pergi dengan motornya. Juna yang penasaran, memilih menepikan motornya setelah lampu merah hijau kembali, dan semua kendaraan berlalu pergi.

"Siapa perempuan yang bagi-bagi bungkusan nasi bungkus itu, pak?" Tanya Juna pada pedagang asongan yang ada di lampu merah, sambil membeli rokok dan menikmati rokoknya.

"Oh itu, tidak ada yang tahu namanya. Makanya anak-anak suka panggil kakak cantik."

"Memang sering bagi-bagi makanan gitu?"

"Lumayan sering sih, apalagi kalau musim orang hajatan, dia sering bagi-bagi. Tau nasi bungkus atau kue," jelasnya.

Mendengar penjelasan pedagang asongan itu, hingga menghabiskan sebatang rokok, membuat Juna penasaran dengan sosok Larasati yang sekarang.

Di tempat lain Rio dan Haidar terus mengikuti Larasati hingga berhenti di rumah kosan bertingkat 2.

"Dia putriku, putri kandungku yang terpaksa berstatus sebagai anak angkat."

3. Lelaki Notonegoro

"Jun, mampir beli kopi yu!"

"Boleh," ucap Juna sambil membelokkan mobilnya ke arah kedai kopi, yang berasal dari negeri Paman Sam.

"Mau di minum sambil jalan pulang atau di minum di sini?" Tanya Juna saat keluar dari mobil.

"Di sini saja, siapa tahu ketemu jodoh. Biasanya sore begini, banyak karyawan yang baru pulang kerja."

"Ya, sudah kamu pesen kopi aku cari tempat duduk."

Begitu masuk ke dalam kedai Juna dan Deri langsung menjadi pusat perhatian pengunjung. 2 lelaki berseragam, dengan postur tubuh tinggi dan badan kekar menjadi magnet tersendiri bagi para kaum wanita, ditambah seragam mereka yang sangat mencolok.

Juna memperhatikan sekitar hinga matanya menangkap seorang perempuan yang asik dengan duduk di teras samping cafe. Meski matanya fokus ke depan layar laptop, tapi bibirnya menikmati sebatang nikotin yang terselip di 2 jarinya.

"Sejak kapan Laras mulai merokok? Apa sudah menjadi kebiasaannya selama ini?"

Larasati duduk di kedai kopi, dengan laptop menyala sibuk mengedit foto sambil menikmati sebatang rokok.

"Ekhhm ekhm, ekhm." Deheman seseorang yang berdiri di samping Laras, tidak membuat Laras mengalihkan pandangannya untuk melihat siapa orang tersebut.

Cuek itulah yang terlihat dari sosok Larasati di mata Juna saat ini.

Karena tidak mendapatkan respon dari Rasti, membuat Juna langsung duduk di samping Rasti.

"Apa sikap cuek mu ini, ada hubungannya dengan statusmu sebagai anak adopsi, Om Rio?" Tanya Juna, membuat Laras menghentikan gerakan jarinya di atas laptopnya sesat, dan menarik nafas panjang sebelum memulai pekerjaannya kembali. Tanpa melihat kearah Juna, yang suda berharap Laras akan melihat kearahnya.

"Tidak ada salahnya dengan anak adopsi, kita masih bisa berteman."

Laras mematikan rokoknya, sebelum mematikan laptopnya. "Sejak kapan kita berteman? Apa kamu lupa, kalau aku tidak pernah kamu anggap ada setiap aku menyapamu dulu? Kenapa sekarang kamu sok akrab? Apa kamu jadi penasaran, karena aku tidak mengejar-ngejar kamu lagi?"

Juna merasa tertohok dengan semua ucapan Rasti, Juna ingat kalau dirinya selalu merasa risih, dengan keberadaan Laras yang berisik saat dekat dengannya dulu.

"Aku ... Aku minta maaf atas sikapku yang dulu padamu, saat itu aku hanya seorang anak lelaki."

"Seorang anak lelaki tampan yang di kejar oleh anak perempuan centil, iya? Sekarang pun kamu masih sama, masih tampan dan menjadi daya tarik buat wanita yang melihatmu, apalagi dengan seragam mu!" Ucap Laras sambil memperhatikan sekeliling, dimana banyak perempuan yang mencuri lihat kearahnya.

"Tapi tidak buatku. Buatku Lelaki dari keluarga Notonegoro itu semuanya brengsek!" Ucap Laras sebelum berdiri, membuat Juna langsung menarik tangan Laras.

Karena terlalu kencang tarikan tangan Juna, membuat Laras yang terkejut oleng dan jatuh di atas pangkuannya Juna.

"Brengsek!" Umpat Laras yang langsung berdiri saat terdengar siulan dari Deri yang baru datang, tapi dengan tangan masih di pegang oleh Juna.

"Tidak semua lelaki Notonegoro itu brengsek," ujar Juna, membuat Larasati tertawa kecil dan mendekatkan wajahnya ke wajah Juna.

"Tentu kamu ingat kelakuan papamu kan, yang menceraikan bundamu demi mantannya," bisik Rasti, membuat Juna mengepalkan tangannya kuat.

"Kenapa kamu mengikuti kesalahan masa lalu papaku? Tidak semua."

"Jika tidak semua lelaki Notonegoro itu brengsek sebutkan satu, Haidar Aji Notonegoro, Rio Alfa Notonegoro, atau Hendra pamungkas Notonegoro." bisik Laras. "Satu lagi apa kamu tidak melihat kita menjadi pusat perhatian pengunjung kedai kopi ini?" Ucap Laras sambil menyeringai kecil kearah Juna, membuat Juna langsung melihat kearah sekitar.

Nampak beberapa orang melihat kearah mereka, bahkan ada yang mengambil gambar atau merekam. "Saya minta maaf, kekasih saya lagi ngambek. Biasa pertengkaran dalam hubungan," ujar Juna lancar dan sangat menyakinkan.

Hingga membuat para pengunjung lainnya langsung percaya dan langsung bersikap cuek.

"Bagaimana?" Ucap Juna sambil tersenyum miring, penuh kemenangan.

"Memang ya, seorang Notonegoro dari dulu brengsek,!" geram Laras, sambil berusaha melepaskan lengannya dari cekalan Juna.

"Apa kamu lupa namaku Arjuna Putra Wardoyo, bukannya namamu Larasati Notonegoro." Ucap Juna dengan seringai menyebalkan.

Laras yang kesal langsung menendang tulang kering Juna, dengan sepatu Kets yang digunakan nya.

"Anjir sakit, bangke!!" Umpat Juna yang langsung melepaskan tangannya yang menahan lengan Laras, dan langsung memegang tulang keringnya.

"Syukurin," ucap Laras sambil tersenyum dan berjalan pergi meninggalkan Juna.

"Kalau tersenyum menjadi tambah cantik," ucap Deri sambil terkekeh geli.

"Cantik tapi galak," timpal Juna.

"Gitu-gitu kan kekasihmu."

"Siapa bilang?"

"Kamu sendiri, kamu lupa? Sudah mengumumkan bahwa dia adalah kekasih mu, di depan umum."

"Mampus, bagaimana kalau ada yang meng-upload ke medsos !"

Deri langsung tertawa ngakak melihat Juna, yang menepuk jidatnya sendiri.

**

Hidup Laras hari ini berkutat dengan keluarga Notonegoro, dan Laras tidak suka itu. Setelah tadi sore harus menghadapi Arjuna, sekarang di depan kamar kosannya juga kedatangan Raja Alam Notonegoro.

"Kamu tidak tahu waktu apa?"

Tanpa menjawab pertanyaan Laras, Raja nyelonong masuk ke dalam kamar kosan Laras begitu Laras membuka pintu. Membuat Laras menghembuskan nafas kasarnya, "mau apa, ini sudah malam aku mau tidur!"

"Aku ini baru sampai dari Bandara, dan langsung ke sini. Seharusnya kamu tawari aku minum dulu," ujar Raja, sambil mengambil air minum dingin dari kulkas mini yang ada di dalam kamar Laras.

"Kamu dari bandara langsung kesini, apa tidak di cari mamamu?" Tanya Laras sambil berjalan kearah Raja, lalu duduk di samping Laras.

" Tidak aku sudah WA mama, aman." ujar Raja acuh.

 "Jangan sembrono kamu, apa kamu lupa masih pendidikan?"

"Aku ingat, karena itu aku cuma ijin pesiar 2 hari untuk menemui kakak ku tersayang." Ucap Raja yang langsung memeluk erat tubuh Laras, membuat emosi Laras luluh seketika. "Selamat ulang tahun yang ke 27 tahun, semoga selalu bahagia dan sehat, serta bisa berkumpul lagi dengan kami." Bisik Raja , membuat mata Laras langsung berkaca-kaca.

"Kamu gunakan ijin mu, hanya untuk menemuiku?"

"Iya, karena kamu satu-satunya saudaraku. Meski kita lahir dari rahim yang berbeda, kamu tetap kakakku. Kakak yang selalu ada buatku, kakak yang rela menerima hukuman dari papa demi adiknya. Aku rindu saat-saat bersama kita, ayo pulang kembali ke rumah."

"Rumah mana, rumah yang ada seorang perempuan yang seperti malaikat, tapi berhati iblix." tegas Laras dengan mata penuh kebencian.

"Maaf... maafkan mamaku," ucap Radja sambil menundukkan kepalanya.

"Apa kamu tahu rasanya menjadi ku, jika harus melihat mamamu. Orang yang aku kira malaikat, ternyata..." ucap Laras, yang diakhir dengan tawa miris.

"Aku mohon jangan katakan itu, aku tahu mamaku salah dan berdosa, tapi mamaku juga sudah menyesal."

"Iya menyesal makanya mengadopsi aku, takut ketahuan aku anak haram suaminya, dan bisa mempengaruhi nama baik keluarganya." geram Laras, dengan nafas memburu. Sedangkan Radja hanya diam seribu bahasa, sambil menundukkan kepalanya.

"Terima kasih suda mengingat hari ulang tahunku, tapi kamu tidak akan tahu rasanya menjadi ku atau menjadi mamaku. Aku tidak benci mamamu, karena dia juga pernah merawatku, tapi aku tidak bisa memaafkannya." Ucap Laras sebelum berdiri dan berjalan keluar dari kamarnya.

"Mau kemana?" Tanya Raja sambil mengikuti langkah kaki Laras.

Laras tidak menjawab hingga sampai di depan motornya,"naiklah!"

Raja hanya mengaguk lemah, sebelum naik ke atas motor Laras.

Tidak ada obrolan apapun, sampai motor Laras berhenti di depan rumah dinas Rio.

"Turun, dan masuklah. Bersyukurlah masih memiliki orang tua yang lengkap."

Setelah Raja turun, Laras langsung menyalakannya kembali motornya dan pergi meninggalkan Raja yang melihatnya sendu.

Raja masuk ke dalam rumah, nampak papanya duduk di teras dan melihat semuanya.

"Maafkan papa," Ucap Rio menghentikan langkah kaki Raja.

"Apa bisa papa, mengembalikan keadaan seperti dulu? Aku mau melihat senyum kakak perempuanku. Aku benci papa, dan mama!" Teriak Raja, membuat Rio memejamkan matanya.

Sedangkan Hanum, yang mendengarnya dari dalam rumah hanya bisa menangis tersedu menyesali segala kesalahan masa mudanya.

Flash Back.

"Kamu pasti Nurul, ya. Pacar mas Rio?" Tanya Hanum, pada perempuan kampung yang dia temui di tempat kerjanya sebagai pelayan toko.

"Iya, mbaknya siapa, ya?"

"Kenalkan saya Hanum, saya perempuan yang di jodohkan dengan mas Rio."

"Apa...?"

"Mas Rio, sekarang sedang menjalani hukuman kedisiplinan karena kemarin ketahuan pergi saat dinas. Tentunya kamu ingat dong, kemana mas Rio pergi. Mas Rio pergi meninggalkan tugas, untuk menemuimu dan sekarang dia harus menerima sangsi dari komandannya."

Nurul langsung meremas jari-jari tangannya merasa bersalah, karena saat dirinya pingsan temannya langsung menghubungi Rio sebagai kekasihnya, karena Nurul hanya sebatang kara. Kedua orang tuanya meninggal saat Nurul lulus SMP, karena kecelakaan membuat Nurul putus sekolah dan baru lanjut kejar paket C atas biaya Rio, tentara yang di kenalnya beberapa tahun lalu.

"Aku harap kamu sadar diri dengan posisimu, jika kamu tidak bisa meringankan lebih baik jangan menyusahkan mas Rio."

"Maaf... mbak."

"Lebih baik kamu menjauh deh dari mas Rio, keberadaanmu hanya akan menjadi penghambat karir mas Rio, kedepannya. Berbeda dengan aku, yang bisa membantu karirnya, karena papaku adalah atasannya."

"Tapi kami saling mencintai, mbak."

"Cinta, kamu itu hanya penghambat buat karirnya. Emang cintamu bisa membantunya, jangan egois kamu. Belum cukup Rio membiayai sekolahmu, membiayai hidupmu selama ini. Lagian sebelum dengan kamu, kami juga sudah saling mencintai." ucap Hanum dengan menyodorkan foto, pada Nurul.

Sebuah foto Hanum yang sedang mencium pipi Rio, yang memakai seragam taruna akmil. Dan sebuah foto berpelukan mesra, di kolam renang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!