Cuaca dingin ekstrim tak terpungkiri. Sebuah mantel tebal yang menyelimuti tubuh ditambah sweater di dalamnya pun tak mampu menghambat gigil yang menusuk. Terutama bagi seorang perempuan yang tengah tergesa-gesa menyusuri balkon kampus itu. Ia memeluk tumpukan kertas sembari ditemani suara gigi nan bergemeletuk. Ia memang lemah sekali terhadap rasa dingin. Tapi bak sebuah angin pelan yang ajaib, ia malah berkuliah di kampus yang terletak di daerah paling dingin di Indonesia.
“TIDAK!” jeritnya sebab sebelah sisi kerudungnya terlepas dan berkibar ke belakang, membuat bagian lehernya terlihat.
Rasa panik membuatnya seketika menjatuhkan tumpukan kertas yang merupakan milik dosennya. Ia diminta untuk membawanya ke ruangan dosen tersebut usai pelajaran tadi. Dikarenakan ia merupakan mahasiswa yang terakhir keluar, maka ia yang diperintahkan.
Sekejap, lehernya telah terselamatkan. Tapi tidak dengan kertas-kertas milik dosen itu. yang kini telah diterbangkan oleh angin kencang. Sambil menyematkan jarum pentul pada kerudungnya, perempuan itu melangkahkan kakinya untuk menyelamatkan tumpukan kertas yang berserakan. Entah berapa banyak lembar-lembar itu. Beberapa di antaranya terbang keluar menuju halaman. Sementara ia sedang berada di lantai dua.
“Ayolah, kenapa kampus ini sepi sekali?”
Bangunan itu memang sudah sejak tadi sepi. Siapa pun akan buru-buru pulang dengan cuaca mendung berangin seperti itu. Lain halnya dengan ia yang memang suka sekali menunda waktu pulang. Bukan tanpa sebab. Ia hanya merasa tenang ketika pulang saat suasana kampus telah sepi.
Perempuan itu menengok ke bawah. Kertas itu masih berserakan. Tampak ada lima lembar. Sedangkan ia tidak yakin jumlah lengkapnya ada berapa. Dengan langkah tergesa-gesa dan ngos-ngosan, ia menuruni tangga yang licin. Sebentar lagi hujan turun. Entah bagaiman nasibnya jika kertas-kertas itu basah. Walaupun kertas-kertas yang ia peluk itu juga kini kusut.
Dedaunan kuning hingga kecoklatan berguguran. Sebuah kampus yang memang dikelilingi banyak pepohonan nan menjulang. Sehinga setiap kali cuaca berangin akan menjadikan dedaunan menari-nari anggun di sekelilingnya. Seharusnya dedaunan itu akan bersua kertas-kertas putih itu, namun nyatanya tidak. Tidak ada lagi benda tipis berwarna putih itu di tanah. Bukan karena hilang, namun kini telah berpindah. Menuju tangan seseorang yang berdiri membelakangi si perempuan.
Sejenak, perempuan itu mengembuskan napas berat. Suara napasnya yang ngos-ngosan sudah cukup untuk membuat seseorang yang memungut kertas yang jatuh itu berbalik hadap.
Wajah tenang bertahta. Tanpa ekspresi berarti. Namun berhasil membuat dirinya seperti pemanis sang dedaunan nan menari. Seorang lelaki dengan kemeja hitam yang tampak basah.
“Punyamu?” tanya lelaki itu.
Perempuan itu mengangguk. Sejenak tampak menyadari kemeja lelaki itu yang basah.
“Tanganku kering. Tenang saja.” Lelaki itu menyadari tatapan tersebut.
____ ____ ____
“Gentala yang anak Bahasa Arab?”
Perempuan itu mengangguk.
“Tahu, lah. Semua orang juga pasti kenal. Keluarga dia orang-orang penting. Bahkan kakak dia artis. Justru aku heran, kenapa orang kayak dia malah kuliah di sini. Kenapa bukan di universitas top. Atau di mana kek. Mana ngambilnya bahasa arab. Kenapa nggak sekalian kuliah di Mesir. Atau Madinah gitu. Minimal Turki, kek. Aku kalau jadi dia sih bakal berusaha keras biar bisa masuk Oxford. Dengan keluarga kayak gitu, otakku pasti akan mengalami kenaikan yang signifikan. Bukan begitu, Fly? Orang kaya itu otomatis pintar. Karena ada sarana, ada biaya, ada motivasi. Ah, semuanya ada pokoknya. Sempurna banget deng hidupnya. Benar-benar nggak habis pikir dia mau kuliah di kampus yang seperti di tengah hutan ini,” tutur panjang lebar dari seorang perempuan berambut pendek itu.
Perempuan, si penanya yang bernama Fly itu menarik napas panjang. Sebuah lontaran pertanyaan pendek itu dijawab dengan kata-kata sepanjang kereta api.
“Masih pagi, Yui. Jangan bikin pusing dulu, deh,” keluh Fly.
“Loh, ‘kan kamu yang nanya.”
“Aku cuma nanya apakah kamu tahu Gentala atau nggak. Udah tinggal jawab iya atau nggak.”
“Habisnya itu pertanyaan yang nggak berguna. Bahkan seluruh warga sini juga pasti kenal Gentala atau si Gen itu. Apalagi para mahasiswa. Tapi kata orang-orang dia tuh berwibawa banget hingga orang-orang sungkan untuk terlalu dekat sama dia. gimana nggak, coba. Keluaga—“
“Iya, iya. Keluarga dia orang kaya semua.” Fly berseru malas dengan si banyak bicara itu.
Beberapa mahasiswa di kelas itu tampak meninggalkan ruangan. Sebab belum ada tanda-tanda dosen mata kuliah itu yang muncul. Fly menatap bingkai pintu denga penuh harap, agar lontaran kata nan panjang dari Yui bisa terjeda sejenak. Ia biasanya akan membiarkan jutaan kata itu terlontar tanpa arah. Sebab sejak pertama kali bertemu Yui, ia memang perempuan yang banyak bicara. Tapi kali ini Fly sedang pusing-pusingnya dengan kertas-kertas dosen yang jatuh kemarin. Tidak hanya dengan Fly, tapi dengan semua orang. Itu yang membuat perempuan keturunan Jepang itu bisa berbaur dengan siapa saja. sekalipun tidak jarang dari mereka yang tidak tahan dengan ocehan tanpa ujung itu.
“Kamu lagi berharap melihat siapa, Fly?” Yui bertanya.
Fly menggeleng malas. Lantas membenamkan wajahnya pada meja. Tentu saja ia tidak mengharapkan siapapun. Sebab ia hanya ingin dosen pengajarnya yang muncul. Sekalipun entah mengapa yang muncul di pikirannya justru wajah Gen. Seseorang yang memungut kertas dosen yang dibawanya sebelum hujan deras benar-benar mengguyur.
“FLY!” panggil seseorang dengan suara cemprengnya.
Sontak membuat perempuan berkerudung coklat muda itu terkejut hingga tak sengaja memukul Yui. Yui meringis sembari memegang bibirnya.
“Eh. Maaf, Yui.” Fly berkata.
Seseorang yang memanggil Fly tampak merasa bersalah. Ia menatap wajah Yui lamat-lamat untuk memastikannya baik-baik saja.
“Santai-santai. Ini bukan pertama kalinya Fly memukulku.”
Fly tersenyum miring sambil menggaruk kerudungnya.
“Fly, aku boleh minjem almet kamu, nggak?” tanya seorang perempuan bertubuh kurus dan pendek itu. Ia adalah mahasiswi paling mungil di kelas itu.
“Emang almet kamu mana? Terus buat apa?”
“Kemarin basah. Terus aku pulang malem. Jadi nggak sempat ngeringin. Soalnya hujan juga. Buat lomba UKM.”
“Lagian kamu ngapain hujan-hujanan pakai almet, Wia?” Yui menimpali.
“Enak aja bilang aku hujan-hujanan. Itu tuh gara-gara pipa air yang tiba-tiba pecah. Aku jadi basah. Untung aja Gen datang buat memperbaiki itu. padahal di sana ada banyak cowok. Tapi yang gerak cuma Gen. heran,” ungkap Wia.
Yui tampak menggigit bibir. Lantas melemparkan pandangan ke arah Fly. Mereka baru saja habis membahas lelaki itu. Sebuah ungkapan yang membuat Fly seketika menyadari sebab kemeja Gen basah kemarin.
“Gen yang Gentala? Adiknya krista, aktris terkenal itu?” Yui memastikan
.
“Iyalah. Siapa lagi yang namanya Gen kalau bukan Gentala si adik aktris terkenal.”
Fly menarik napas. Baiklah, pembicaraan terkait Gentala si adik aktris ternyata belum usai.
“Fly, sore ini sibuk, nggak?”
Fly yang sedang mengetik di laptopnya menoleh. Didapatinya prempuan bernama Vio yang merupakan teman sekamarnya di kos, sekaligus tetangganya di kampong halaman. Vio setahun lebih tua dibanding Fly. Saat ini, Vio hanya tinggal bersantai di kos-nya karena tahun ini ia akan wisuda. Ia sudah menyelesaikan seluruh tugas akhir.
“Nggak, sih. Kenapa?”
“Nanti ke masjid Al-Fatihah, yuk.”
“Mau jamaah di sana? Kenapa harus di sana? Di sini ‘kan ada masjid yang lebih dekat.”
“Bukan sekadar jamaah, Fly. Di sana ada pengajian. Dimulai hari ini dan akan terus diisi sebanyak dua kali seminggu. Lumayan nambah-nambah ilmu. Apalagi aku yang udah nggak ada kerjaan. Belum wisuda udah berasa pengangguran. Mau, ya. biar kalau kamu pulang kuliah kemaleman dan nggak sempat ngaji nggak bikin ayah kamu marah.”
“Iya, Vio. Ayo kita ke sana!” ujar Fly dengan nada agak tinggi karena seolah dari ucapan Vio ia adalah seseorang yang sulit diajak pada kegiatan keagamaan.
Fly dan Vio berangkat ke masjid Al-Fatihah, dua menit sebelum azan berkumandang. Mereka menaiki sepeda motor dengan Vio yang menyetir. Awan menampakkan keabu-abuannya. Pertanda hujan akan turun. Ini memang sedang musim hujan. Namun suasana mendung di atas sepeda motor begitu nikmat. Terlebih mereka melewati jalan kecil yang tidak dilintasi banyak kendaraan. Lebih banyak pepohonan pendek yang berjajar rapi. Sesekali tiupan angin menyebabkan luruh yang estetik. Tentu saja suasana mendung di atas sepeda motor menyenangkan, selama rintik-rintiknya belum menyapa. Beberapa meter dari arah masjid Al-Fatihah, gerimis turun. Mereka sempat merasakan air itu sedikit.
Tidak terlalu banyak orang yang datang. Di shaff perempuan hanya berisi tujuh orang, termasuk Fly dan Vio. Itupun ibu-ibu sekitar kepala empat semua.
Saat hendak memakai mukena, Fly menjatuhkan ikat rambutnya. Ia langsung menengok ke belakang dan mendapati seseorang terlihat dari jendela. Tengah berjalan sembari memgang sebuah payung berwarna putih. Gen. Dia lagi.
“Heh, udah iqomah. Ngapain masih ngelamun hadap belakang!” tegas Vio sambil menepuk bahu Fly.
“Aku lihat Gen. kayaknya dia juga mau ikut pengajian. Ternyata, adik artis yang belum berhijab dan sering memakai pakaian terbuka juga bisa punya keinginan memahami agamanya,” ujar Fly, setengah berbisik.
“Husttt. Nggak boleh melihat orang berdasarkan pribadi orang lain. walaupun itu merupakan saudara kandungnya.”
“Mbak, ngobrolnya ditahan dulu, dong. Imam udah mulai. Saya jadi nggak konsentrasi. Ditambah di luar suara hujan,” seru ibu-ibu di sebelah Vio dengan tatapan tajam.
Fly dan Vio mengangguk pelan. Mereka memang bersalah.
___ ___ ___
Dia bukan saudara artis yang sekadar ingin mengenal agamanya. Ia bukan seseorang yang tampak ingin mengikuti jejak saudarinya. Bukan pula seseorang yang ingin dikenal banyak manusia. Serta tak tampah raut wajah angkuh dan tukang pamer.
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Hadirin, Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang dimuliakan Allah.”
Ia adalah seseorang mengisi pengajian tersebut. Yang seketika membuat Fly terpantau menganga lebar hingga ia tidak menyadari bahwa Vio sedang menahan tawa sambil merekam tingkah konyolnya itu.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” sambut para jamaah di masjid tersebut.
“Aku harap kakaknya segera mendapat hidayah dari seorang adik yang taat seperti Gen,” ucap Vio.
Ekspresi konyol Fly luruh sudah setelah mendengar tuturan Vio. Sekaligus menyadari kamera HP Vio yang mengarah kepadanya.
“Vio! Apaan, sih!” tegas Fly sambil mencoba merebut Hp Vio namun gagal.
“Heh, bocah! Kalian kalau cuma mau bikin rusuh mending keluar aja. Orang-orang yang beneran mau ikut pengajian jadi nggak fokus!” tegas ibu-ibu tadi dengan wajah galak.
Untuk yang kedua kalinya, Fly dan Vio mengangguk pelan.
Fly menarik napas panjang. Ia tak bisa berbuat banyak selama di sana. Selain ibu-ibu galak itu, masih ada empat ibu-ibu lainnya yang sempat melirik tak ramah kepada mereka berdua. Sehingga, ia harus menahan diri terhadap rasa kesalnya dengan Vio sampai nanti setelah mereka kembali ke kos.
“Di antara kebaikan seorang muslim, ialah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya. Hal yang tidak bermanfaat di sini tentunya hal-hal yang tidak berguna bagi kebaikan akhirat kita. Seperti halnya membicarakan orang lain. dilihat dari manapun, kegiatan semacam itu sama sekali tidak mendatangkan manfaat bagi kita. Secara otomatis, itu termasuk ke dalam hal yang perlu kita tinggalkan. Contoh yang lebih sederhana saja. melamun tanpa melakukan apapun. Tanpa zikir, doa dan sejenisnya. Hanya melamun dengan pikiran kosong. Atau yang lebih parahnya ma’udzubillah, memikirkan hal-hal yang jorok. Jika di hadits tersebut aja konteksnya memerintahkan kita untuk meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Otomatis kita juga harus meninggalkan hal-hal yang mendatangkan mudharat,” tutur Gen dengan postur tegapnya.
Ia tampak berbeda dengan peci putih dan jubah yang juga putih. Bukan lagi kemeja putih yang basah bekas memperbaiki pipa air. Mungkin saja Gen memang suka memakai pakaian warna putih. Tapi itu sangat cocok untuk kulit kuning langsatnya yang tampak bercahaya itu.
“Ustadz, mau nanya!” ucap Vio sambil mengangkat tangan setelah sesi tanya-jawab dibuka.
“Iya, silakan.” Gen mempersilakan.
Lelaki itu tampak melirik Fly sejenak. Baru beberapa hari yang lalu mereka bertemu karena kertas yang jatuh terbawa angin itu.
“Kalau nonton film itu apakah hal yang tidak bermanfaat juga?”
Hampir seluruh jamaah menengok ke Vio. Hanya ibu-ibu yang dua kali mengomel itu yang tidak tertarik. Mungkin sudah terlalu muak dengan Vio.
“Nonton film. Sebenarnya tergantung filmnya apa dulu. Kalau filmnya mengandung edukasi yang bisa menambah wawasan. Atau yang mengandung motivasi. Atau manfaat lainnya.
Dalam artian ada manfaatnya, maka saya rasa itu tidak apa-apa. Yang penting bukan film aneh-aneh yang bisa menggoyahkan iman dan mendatangkan dosa. Karena, terkadang kita memang butuh hiburan untuk sekadar melepas penat. Juga selama tidak berlebihan hingga membuat kita lupa hari dan meninggalkan kewajiban-kewajiban serta kerjaan-kerjaan.” Gen menjawab yang diakhiri dengan senyuman.
Sebuah senyuman yang tidak pernah dilihat Fly.
“Kalau film Sebilah Rindu yang dibintangi Krista itu gimana, Ustadz?” tambah Vio.
Fly segera menyenggol Vio dengan keras karena yang disebutkan Vio adalah film yang dibintangi oleh kakaknya Gen. Itu adalah film terbaru yang sedang tayang di bioskop.
Para jamaah tampak saling pandang. Mereka tidak mengenal Gen sebagai adik dari seorang aktris terkenal. Mereka hanya tahu Gen adalah seorang ustadz yang sedang ceramah di hadapan mereka.
“Film roman, ya. film roman Indonesia itu biasanya ya, gitu-gitu aja. Ketemu tanpa disengaja. Terus pegang-pegangan tangan. Pacaran. Itu ‘kan sudah melanggar syari’at, ya. kecuali kalau roman religi. Yang padanya kita bisa belajar agama. Jadi, kalau mau nonton di bioskop, mending tonton Anugerah Syuhada. Film itu bisa membuka mata kita tentang apa yang terjadi dengan saudara kita di Palestina.”
Bahkan untuk seorang adik aktris terkenal, ia lebih memilih mempromosikan film lain yang tidak dibintangi saudarinya.
Sampai waktu pengajian habis, Fly tetap tersenyum seperti sebuah patung. Tampa mengubah lengkung bibirnya.
Suara petir bising terdengar, bersamaan dengan bentakan hebat dari seorang wanita setengah baya yang menatap tajam pada Fly. Ia tampak memegang keningnya sambil terus menggeleng-gelengkan kepala.
“Maaf, Bu. Saya akan carikan kertas itu,” ucap Fly lemas.
“Harus, dong. Itu dokumen penting. Kamu pikir cuma kertas buat bungkus gorengan. Mana lecek semua lagi ini kertas. Kamu habis bejek-bejek, ya.” Dosen itu berseru dengan tatapan penuh selidik.
Sementara Fly segera menggeleng cepat bersama kedua telapak tangannya.
“Kamu ikhlas nggak sih saya maintain tolong? Pantes aja muka kamu kelihatan terpaksa waktu saya suruh.”
“Nggak, Bu. Sungguh. Saya ikhlas membantu. Tapi waktu itu kerudung saya terbang. Spontan membuat saya menjatuhkan kertas itu dan membuat beberapa di antaranya jatuh dari balkon itu.” Fly menjelaskan dengan jujur.
Dosen-dosen di ruangan itu tampak menyaksikan kejadian yang dialami Fly. Bersama wanita paruh baya yang rambutnya sudah separuh memutih. Namun wajahnya masih terlihat lebih muda dari usianya yang sudah menginjak kepala lima.
“Ya, sudah. Sekarang cepat cari kertas itu. kalau nggak, nilai kamu C.”
Fly melesat secepat kilat setelah mendengar ancaman dari dosen itu. Ia menyusuri koridor kampus dan terus berlari menuju halaman depan kelas Gen, tempat di mana kertas-kertas itu jatuh dan dipungut oleh Gen.
Didapatinya Gen tengah membaca buku di depan kelasnya. Fly menelan ludah dan segera memeriksa tempat itu. mulai dari di pot bunga, sela-sela dinding, hingga tong sampah.
“Lagi nyari apa?”
Sebuah suara serak yang khas terdengar. Lelaki yang sedari tadi membaca buku itu tampak berada di hadapan Fly dengan raut wajah heran. Setidaknya ia sedikit berekspresi kali ini.
Lagi, Fly menelan ludah. Sembari membenarkan sisi kerudungnya dan agak melorot ke depan. napasnya ngos-ngosan bekas berlari tadi.
“Kertas yang waktu itu. Ternyata kurang satu lembar,” ungkap Fly.
Mendung dan petir masih bertahta. Namun masih belum ada rintik-rintiknya. Gen tampak memandangi langit. Seperti hendak menebak suasananya beberapa saat k depan. Buku yang ia pegang diarahkan ke Fly.
“Tunggu sebentar. Minta tolong pegang buku ini. Tunggu di bangku panjang itu. Saya akan kembali,” pinta Gen.
“Eh!”
Terlambat. Gen telah berlari kencang menjauhi halaman itu. sementara Fly hanya bisa mengembuskan napas. Rasa tegangnya akibat ancaman dari dosen itu jauh lebih berkurang.
Kini ia duduk seperti permintaan Gen. Lanta melirik tulisan pada sampul buku berwarna putih itu. Itu buku khutbah jumat. Tanpa sadar, Fly malah senyum-senyum sendiri. Terbayang wajah Gen. Terbayang lelaki itu yang berlari gagah. Dengan kemeja putih yang bergaris tipis sekali. Nyaris tidak terlihat bagi orang-orang dengan penglihatan kurang baik. Entah berapa kemeja putih atau pakaian putih yang dimiliki lelaki itu.
Fly mengusap sampul buku berwarna putih itu. sebuah buku yang baru saja dibaca Gen. masih hangat bekas genggamannya. Sekali lagi, Fly tersenyum tanpa rencana.
Dua mahasiswi tampak keluar dari kelasnya. Obrolan mereka terjeda setelah melihat sosok Fly yang duduk di sana. Dengan buku milik Gen pada genggamannya. Seketika membuat senyuman Fly luruh seketika. Berganti tatapan canggung dan menunduk sebagai tanda untuk menyapa.
Kedua mahasiswi itu balas menunduk dengan senyuman tipis. Meskipun sekilas mereka melihat buku itu. Lantas kembali melanjutkan obrolan tadi yang sempat terjeda. Kemudian berjalan menjauh melewati koridor.
Dua puluh menit berlalu. Kelas Gen telah kosong. Karena sejak awal Fly memang datang setelah jam kuliah selesai. Perempuan itu terus menatap ke depan. Di mana arah yang dilalui Gen ketika berlari tadi. Entah menuju ke mana.
Fly mulai resah. Apakah Gen telah pulang? Sebuah tas dengan beberapa buku serta laptop ada di salah satu meja di kelas. Fly melihatnya lewat jendela untuk memastikan apakah masih ada orang atau tidak di kelas itu.
Sudah pasti barang yang tersisa itu adalah milik Gen. Tidak mungkin lelaki itu membiarkan Fly menunggu, sedangkan ia diam-diam pulang dan membiarkan barang-barangnya menginap di sana.
Lima menit berlalu, akhirnya wujud Gen dari kejauhan muncul. Fly langsung berdiri setelah dua puluh lima menit duduk. Ia tampak seperti seorang putri yang bertemu pangerannya setelah sekian lama menanti.
Semakin dekat, semakin jelas apa yang terjadi dengan Gen. lihatlah, kemeja putihnya beradu dengan warna coklat. Begitupun tangannya yang ternoda lumpur. Beberapa hari yang lalu basah. Sekarang kotor. Lain kali apa lagi?
“Kok kotor?” tanya Fly.
Gen menjawab dengan menyerahkan sebuah kertas basah serta kotor. Namun tulisannya masih jelas terbaca.
“Untung aku ingat melihat kertas ini kemarin di dekat pembuangan sampah utama.”
“Ya, ampun. Terima kasih, banyak. Kamu jadi kotor begitu. Maaf banget. Aku jadi nggak enak.”
Fly menerima kertas itu sambil menahan air matanya. Satu karena lega akhirnya menemukan kertas itu, satu lagi karena terharu dengan tindakan Gen. ia tidak menyangka lelaki itu akan melakukan sesuatu yang sampai memakan waktu nyaris setengah jam hanya untuk membantunya mencari selembar kertas.
“Kalau begitu aku pulang dulu.” Gen berkata sambil berlalu menuju dalam kelasnya.
Satu hal yang Fly ketahui sekarang. Gen adalah seseorang yang ringan tangan untuk membantu siapapun. Ia teringat cerita Wia yang dibantu Gen untuk memperbaiki pipa air yang bocor.
Gen terlihat mengelap tangannya dengan tisu sebelum memasukkan barang-barangnya ke ransel. Fly diam-diam mengintip lewat jendela. Lalu segera menunduk ketika Gen hendak menoleh.
“Memangnya boleh seseorang tampak sekeren itu?” ucap Fly pada dirinya sendiri, diakhiri dengan tawa gemas.
Hujan mengguyur deras dalam sekejap. Fly yang hendak berjalan ke arah lapangan langsung mengurungkannya. Lantas memilih berjalan menyusuri koridor. Tidak. Ia tidak langsung menuju ruang dosen dan menyerahkan kertas itu. Mana mungkin ia menyerahkan kertas yang basah dan kotor itu. Yang ada ia akan mendapatkan semprot tambahan.
Ia berjalan menuju kelasnya dan akan langsung pulang. Ia akan mengetik ulang kata-kata yang ada di kertas itu di rumahnya. Lalu mencetak yang baru, dan menyerahkannya ke dosen wanita yang galak itu.
“Suasana yang sangat aku sukai. Sepi. Di tengah-tengah koridor kampus. Eh?” Sampai pada akhirnya Fly baru menyadari bahwa ia tidak hanya membawa kertas itu, melainkan buku milik Gen juga masih ada pada pegangannya.
Fly melihat ke belakang. Gen sudah tampak kecil sekali. Berteriak? Berlari untuk mengejar? Tapi dia sudah jauh sekali.
“Besok saja,” ucap Fly.
Akhirnya, Fly pulang sendiri dengan payung kuning kesayangannya. Buku milik Gen ia masukkan ke dalam task arena takut buku itu hilang atau rusak jika dibiarkan di kelas. Sehingga, ia memilih untuk membawanya pulang. Sementara kertas itu tetap dipegangnya.
Suara hujan yang menyenangkan. Bersama gigilnya, Fly bernyanyi riang. Memang aneh, ia suka suasana hujan yang dingin. Padahal ia lemah terhadap dingin. Ia gampang bersin-bersin oleh angin. Apalagi nuansa hujan deras.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!