Bismillah
***
“Mohon maaf Pak Aiman, saya mewakilkan Renaldi adik saya. Bahwasanya pernikahan hari ini tidak bisa kita laksanakan. Tapi jangan khawatir, semua biaya yang sudah dikeluarkan oleh Pak Aiman akan saya ganti,” ucap Ervan, kakak dari calon pengantin pria yang seharusnya datang bersama-sama pagi ini. Namun, kenyataannya bukan iringan pengantin pria yang datang, tapi hanya Ervan Surya Wijatnako bersama Ikhsan, asisten pribadinya.
Gadis yang sudah siap dinikahi oleh kekasih hatinya mengeram pelan, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Dunia terasa hancur saat itu juga.
Semua tetangga yang hadir untuk menyambut pengantin pria tampak mulai berbisik-bisik.
“Ini ada uang sebanyak 100 juta untuk menggantikan biaya yang telah dikeluarkan.” Ervan menyodorkan amplop coklat di atas meja ijab kabul.
“Keterlaluan kamu, Kak Ren! Brengsek!” batin gadis itu semakin bergemuruh serta kesal, namun tertahan di tenggorokannya.
Meja akad nikah agak bergoyang, ternyata tubuh ibu sang mempelai perempuan langsung melorot, lunglai, lemas begitu saja saat kedua tangannya bertopang di tepi meja.
“Ibu!” seru calon pengantin wanita tampak khawatir. Ayah Aiman yang masih termangu buru-buru menggapai tubuh istrinya, lalu segera membopongnya masuk ke dalam rumah kecilnya.
Alih-alih turut masuk ke dalam, justru gadis yang bernama Shanum menatap sosok pria yang memang ia kenal sebagai kakak kekasihnya. Rasa penyesalan semakin dalam, seharusnya ia tidak terlena dengan rayuan gombal anak majikan ayahnya yang memang ia ketahui sangat playboy. Namun, sayangnya ia pun menyukai pria itu.
Ya, Aiman, ayahnya Shanum adalah sopir keluarga Wijatnako, sudah 22 tahun mengabdi bekerja di sana. Dari sebelum menikah, hingga menikah, dan lahirlah gadis berparas ayu bernama Shanum Lidya.
“Pak Ervan, bisa kita bicara sebentar,” ujar Shanum dengan lirikan mata penuh pengharapan.
Ervan yang semula melirik ambang pintu dengan segala kehebohan para ibu-ibu yang ingin menolong ibunya Shanum, kini kembali menatap gadis mungil yang sudah dibalut kebaya pengantin broken white, tampak siap untuk acara pernikahannya.
“Silakan.”
“Tapi tidak di sini, bisa ikut saya sebentar,” pinta Shanum dengan segenap keberaniannya, walau sebenarnya ia agak takut dengan Ervan. Selain pria dewasa itu tidak terlalu ia kenal, mereka berdua pun jarang bertemu dan berinteraksi langsung, karena pria itu lebih sering dinas ke luar negeri dan tinggal di penthousenya, ketimbang di mansion keluarga.
Shanum menggiring pria berparas rupawan itu ke salah satu rumah yang kosong di sebelah rumahnya, yang saat ini hanya digunakan untuk menyimpan makanan yang siap dihidangkan untuk para tamu yang diundang. Kini mereka berdua sudah berdiri saling berhadapan.
Ervan bisa melihat kedua mata calon istri adiknya sudah berkaca-kaca, mungkin sedang menahan air matanya.
“Pak Ervan, katakan pada saya, ke mana Kak Ren? Apa alasannya dia tak jadi menikahi saya? Katakan yang sebenarnya jika sebenarnya Kak Rei dilarang menikahi anak sopir, kan?” Suaranya bergetar hebat, degup jantungnya sebenarnya sejak tadi berirama sangat cepat, ingin meledak.
“Itu kamu sudah tahu jawabannya. Dan kenapa kamu masih mengharapkan adik saya untuk menikahi kamu! Lagi pula Renaldi masih muda usianya, baru 21 tahun, kuliah saja belum beres, sedangkan kamu baru 19 tahun!” tegas Ervan, tatapan matanya begitu mengintimidasi, seakan-akan ia yang terlalu menuntut. Padahal gadis itu hanya meminta pertanggungjawaban pada kekasihnya. Ah, bukan lagi jadi kekasihnya, tapi sudah jadi mantan kalau seperti ini ceritanya.
“Kecil-kecil jangan jadi wanita murahan. Kalau mau jadi orang kaya itu ya bekerja, bukan menjebak anak orang ka—“
Wajah Ervan berpaling, pipinya terasa panas, ia benar-benar terkesiap melihat gadis itu berani menampar dirinya.
“Beraninya kamu!!” Ucapannya pelan tapi mata elangnya berapi-api.
Wajah Shanum memerah, menahan gemuruh yang sejak tadi ingin ia luapkan. Dan, tak mengira ia berani menampar anak majikan ayahnya.
“S-Saya memang bodoh, saya akui! Tapi saya tidak ada niatan untuk berbuat licik demi kekayaan. Saya tidak gila harta. Saya tulus mencintai Kak Renaldi, hingga saking bodohnya saya menyerahkan diri padanya. Dan, percaya dia akan menikahi saya. Tapi rupanya ... dia pencund—“
Shanum menarik napasnya dalam-dalam, ujung matanya sudah menitikkan air matanya. Tubuhnya pun perlahan-lahan turun, dan bersimpuh di depan pria itu.
“Saya sudah bikin malu kedua orang tua saya, Pak Ervan. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan saat ini. S-saya h-hamil,” ungkap Shanum jujur.
“A-Apa! Kamu hamil!” seru Ervan terkejut. Yang ia ketahui jika adiknya pernah berhubungan intim dengan anak sopir keluarganya, tidak tahu kalau sedang hamil.
“Jebakan apa lagi ya kamu mainkan!”
“Kak Renaldi, sudah tahu saya hamil. Tolong bantu saya, Pak Ervan. Jika Kak Ren tidak menikahi saya, maka tolong ... Pak Ervan n-nikahi saya, cukup nikahi saya hari ini saja. Dan saya tidak akan menuntut apa pun, saya hanya butuh status sebagai istri sampai anak yang saya kandung lahir. Setelah itu ceraikan saya,” pinta Shanum sangat pelan suaranya.
“GILA, KAMU!” Ervan menyugarkan rambutnya, lalu tertawa kecil seakan mengejeknya.
“Dan, sekarang kamu ingin menjebak saya. Adik saya tidak kamu dapati, lalu kamu ingin mendapati saya. Hebat kamu, Shanum! Otakmu benar-benar licik!” sentak Ervan.
Shanum memejamkan matanya, mencoba mengontrol emosinya yang sudah tak menentu. Sebenar ide minta dinikahi oleh kakak mantannya terlintas begitu saja, demi menutupi rasa malu kepada para tetangga dan tamu yang sudah datang satu persatu ke rumahnya pada pagi ini.
“Saya sudah punya tunangan, dan beberapa bulan lagi kami akan menikah. Mana mungkin saya menikahi kamu! Mimpi saja kamu! Dan, kamu bukanlah level saya, kita tidak sepadan!” Ervan masih meninggikan suaranya, seakan menunjukkan kedudukan status sosialnya.
Gadis itu membuka kembali kelopak matanya, menengadahkan wajahnya, menatap nanar pria yang cukup tinggi itu.
“Saya hanya minta dinikahi, tapi bukan untuk dijadikan istri yang sesungguhnya. Hanya minta statusnya saja sampai anak ini lahir, dan jika Pak Ervan ingin menikah dengan tunangannya, saya tidak akan menghalanginya. Bahkan saya tidak akan pernah meminta nafkah batin atau lahir,” jelas Shanum.
Ervan berdecak, lalu melirik ke arah pintu, ia melihat Ikhsan berlarian ke arahnya.
“Pak Ervan, gawat darurat kita harus bawa istrinya Pak Aiman ke rumah sakit, beliau kena serangan jantung,” seru Ikhsan dengan wajahnya yang memucat.
“I-Ibu!!” seru Shanum terkesiap, susah payah ia bangkit dari bersimpuhnya dengan kain jarik yang membelit tubuhnya. Ervan spontan membantu Shanum untuk berdiri. Lalu, gadis itu berlarian keluar dari rumah kosong itu. Diikuti Ervan yang melangkah cepat.
Ayah Aiman bersama beberapa orang membopong istrinya menuju mobil milik Ervan.
“Ya Allah, jangan sampai terjadi sesuatu sama ibu,” gumam Shanum cemas, tubuhnya gemetaran, kakinya sudah terasa lemas, tapi ia berusaha untuk kuat menghadapi takdir akibat ulahnya sendiri.
Bersambung ... ✍️
Assalammualaikum, met pagi menjelang siang semuanya. Mommy Ghina datang lagi dengan membawa cerita baru nih.
Mohon dukungan seperti biasanya ya, ikuti terus cerita ini sampai bab 80 agar retensi aman dan bisa lulus kontrak di sini. Jangan lupa tinggalkan komentar, like, dan poinnya, jangan tabung bab. Dan, please berhati-hati untuk memberikan rate bintang. Jika tidak suka dengan ceritanya bisa skip aja, tapi jangan kasih rate bintang 1/2/3/4 saat karya ini masih on going. Itu sama saja menghancurkan karya ini.
So, mohon kerja samanya ya, demi kakak semuanya saya rilis karya ini di sini 🙏
Visul MC:
Ervan Surya Wijatnako, usia 33 tahun, CEO Grup Wijatnako.
Shanum Lidya, usia 19 tahun, baru 2 bulan lulus sekolah dan kerja di toko kue.
Dua jam yang lalu, mereka semua sudah berada di rumah sakit. Iffah— ibunya Shanum, sudah langsung ditangani dokter. Dan, sekarang hidupnya berada diambang kematian. Ya, antara hidup dan mati. Lebih tepatnya kritis, dokter yang menanganinya menyarankan untuk langsung pasang ring di jantung.
Ayah Aiman tampak duduk pasrah di ruang tunggu, dan menyerahkan tindakan apa pun yang terbaik untuk istrinya pada dokter. Untung saja ia dapat fasilitasi asuransi kesehatan untuk sekeluarga dari perusahaan Wijanarko, sehingga tidak terlalu pusing untuk mencari dana awal, kecuali jika ada biaya yang tidak bisa diklaim oleh orang lain. Ini mungkin akan jadi kendala.
Namun, berbeda dengan Shanum yang sejak tadi menangis pilu. Ia mengusap pipinya, menarik napas dalam-dalam, lalu kembali menegakkan punggungnya, kemudian menoleh ke arah Ervan yang sedang berdiri jauh dari ruang tunggu.
“Sha, kamu mau ke mana?” tanya Bibi Ratih, adik ibunya, saat melihat keponakannya berdiri.
“Ada yang harus Shanum selesaikan, Bik,” jawab Shanum pelan. Langkahnya yang tidak bisa terburu-buru mendekati Ervan yang tampaknya masih sibuk berbicara melalui ponselnya.
Pria itu melirik gadis itu. “Iya Pah, aku masih di rumah sakit, akan mengurus semuanya.” Kalimat itu jadi pamungkas akhir Ervan sebelum memutuskan panggilan teleponnya. Lalu, ia menatap Shanum kembali, seakan bertanya ada apa.
“Jika sampai Ibu kenapa-napa di dalam sana, Kak Renaldi dan Pak Ervan harus bertanggungjawab! Ini semua terjadi karena kalian berdua!” hardik Shanum dengan jemarinya menunjuk-nunjuk ke muka pria tersebut. Ia tak peduli dengan status pria tersebut.
Ervan menarik napas dalam-dalam, ia pun juga turut menyesali sampai terjadi hal yang di luar perhitungannya. Semuanya tidak sesuai dengan ekspektasinya. Meski ia tidak menyukai Shanum, bukan berarti tidak ada rasa empati pada keluarga sopir keluarganya.
“Nyawa harus dibalas dengan nyawa! Andaikan Kak Ren mau datang dan menikahi saya. Ibu saya tidak akan kritis seperti ini. Pak Ervan boleh saja mengatakan hal buruk tentang saya, tapi tolong ... hargai perasaan orang tua saya. Kami memang bukan orang berada, tapi bukan berarti bebas untuk diinjak-injak! Kalian harus bertanggungjawab!” seru Shanum, suaranya agak meninggi.
“Semua gara-gara adik Anda, Pak Ervan! Dasar Laki-laki playboy!” Shanum mengikis jarak di antara mereka, lalu dengan beraninya memukul dada pria itu.
Ayah Aiman dan Bik Ratih yang kebetulan melihat, langsung buru-buru bangkit, dan mendekatinya.
“Hentikan Shanum!” seru Ayah Aiman, tangannya pun melayang begitu keras ke pipi Shanum.
Gadis itu terkesiap dan terdiam, begitu juga dengan Ervan. Iris mata coklatnya berkaca-kaca.
“A-Ayah!” Shanum menyentuh pipinya yang terasa perih.
“Jaga sikapmu, Pak Ervan itu bos Ayah! Kamu tidak pantas bersikap kasar seperti itu!” bentak Ayah Aiman dengan menggebu-gebu.
“K-Kenapa Ayah membelanya ... kenapa? Terus ... semuanya salah Shanum?” tanya Shanum terbata-bata.
“Apa karena Shanum telah melakukan kesalahan besar, maka keluarga majikan Ayah ... ah ... Ayah membelanya? Apa Ayah takut dipecat?” Shanum kembali bertanya dengan suaranya begitu lirih.
“Diam, Shanum!” Ayah Aiman kembali membentak, seraya menahan emosi.
Shanum tergugu, jelas ia kalah dalam kondisi saat ini, percuma berdebat dan berargumen, atau membela dirinya sendiri, padahal ia pun korban dari kelicikan anak majikan ayahnya. Ratih mendekat, lalu menarik lengan Shanum. “Ayo Shanum, ikut Bibi. Kamu juga harus ganti baju, sebentar lagi ada yang mengantarkan baju gantimu.”
Ervan yang sejak tadi memperhatikan pertengkaran ayah dan anak, mendesah pelan. “Pak Aiman nanti papa saya akan datang ke sini. Kami akan bertanggungjawab atas kejadian yang menimpa istri Pak Aiman. Lebih tepatnya selain biaya rumah sakit, saya akan menggantikan posisi adik saya untuk menikahi putri Pak Aiman. Jadi, tolong sebaiknya penghulu serta saksinya untuk segera datang ke rumah sakit, masalah tempatnya nanti akan diurus Ikhsan,” ucap Ervan datar dan dingin.
Sontak saja Shanum menoleh, matanya menyipit seakan mencari sesuatu dari pandangan mata pria itu. Sedangkan Aiman tampak bingung sekaligus tidak memercayai.
“T-Tapi bukannya Pak Ervan sudah—“
Ervan mengangkat tangannya ke udara, membuat Ayah Aiman menghentikan ucapan yang sangat dimengerti oleh anak majikannya. “Hanya keluarga inti saja yang tahu mengenai pernikahan ini. Jadi, silakan persiapkan pernikahan ini, saya tidak banyak waktu untuk berada di sini,” tegas Ervan memerintah.
Aiman menatap putrinya dengan tarikan napas lelahnya. “B-Baik, Pak,” jawab Ayah Aiman agak tergagap
***
Satu jam kemudian, di masjid yang berada di area belakang rumah sakit.
“Saudara Ervan Surya Wijatnako bin Rusdy Wijatnako, saya nikahkan engkau dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya Shanum Lidya binti Aiman, dengan mahar berupa uang tunai sebanyak 25 juta rupiah, dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Shanum Lidya binti Aiman dengan mahar tersebut, dibayar tunai!”
“Alhamdulillah, sah ... sah!”
Shanum yang duduk di sebelah kakak mantannya hanya bisa tertunduk diam. Akhirnya apa yang diminta telah diwujudkan oleh Ervan, disaksikan oleh keluarga inti, sekaligus pak RT serta istrinya yang menjadi saksi. Biar tetangganya tidak comel dengan gosip-gosip yang sekarang sedang berhembus.
“Saya sudah memenuhi permintaanmu, ingat dengan janji-janjimu itu,” bisik Ervan terdengar sinis saat sesi Shanum mencium punggung tangan suaminya.
Gadis itu menarik wajahnya, sudut bibirnya tersenyum getir, pandangan matanya penuh dengan syarat makna.
Sementara itu, Diba—mamanya Ervan, menarik napas kecewa. Ya, ia sangat kecewa melihat pernikahan anak pertamanya dengan anak sopirnya. Tapi, ia terpaksa harus menerimanya karena takut keluarganya dituntut karena keadaan yang menimpa istri Aiman.
“Mimpi apa aku semalam harus punya menantu dari kalangan bawah,” gerutu Diba.
Wijatnako yang mendengar langsung menoleh, “Jaga ucapannya Ma, mau bagaimana pun keluarga Aiman itu keluarga baik-baik.”
“Kalau keluarga baik-baik, kenapa anaknya bisa menggoda Ren. Sampai mau-maunya tidur sama anak kita.” Mama Diba berkata dengan ketus. Lantas, Papa Wijatnako mencubit pelan lengan istrinya.
Shanum yang samar-samar mendengarnya tersenyum hambar. Hatinya tersinggung, tapi mencoba untuk berlapang dada, meski mulutnya ingin sekali membalasnya.
“Ah, siap-siap punya mertua yang sangat benci sama Shanum. Tapi, untungnya Shanum tidak perlu tinggal dengan mereka,” batin Shanum agak lega.
Dan, sebagai menantu yang bakal tidak diakui oleh keluarga Wijatnako, Shanum tetap mencium punggung tangan kedua orang tua Ervan dengan hormatnya, meski Mama Diba tampak jijik, berbeda dengan Papa Wijatnako yang masih bisa bersikap ramah padanya.
“Kamu jangan senang dulu bisa menikah dengan Ervan. Kamu tetap bukan menantu saya. Hanya Meidina yang menjadi menantu saya,” bisik Mama Diba saat Shanum mencium tangannya.
Shanum tersenyum. “Baik Bu, akan saya ingat hal ini,” ucap Shanum begitu tenang.
Bersambung .... ✍️
Sudah dua jam berlalu setelah acara pernikahan dadakan di rumah sakit. Dan, benar saja, Ervan meninggalkan rumah sakit setelah mengurus semua biaya administrasi. Tinggallah Shanum yang sudah mengganti baju pengantinnya dengan baju santai, duduk di ruang tunggu operasi bersama ayah dan bibinya.
“Ayah masih sangat kecewa padamu, Shanum. Kamu bikin malu keluarga, andaikan Ayah tahu kamu selama ini dekat dengan anak majikan Ayah. Udah Ayah pindahkan kamu ke rumah nenekmu di Jogja,” ujar Ayah Aiman, pelan namun penuh penekanan.
“Sekali lagi Shanum minta maaf, Yah.”
“Percuma kamu minta maaf, kamu tetap salah! Dan untungnya Pak Ervan mau menikahi kamu untuk menutupi rasa malu keluarga kita sama tetangga. Tapi, kamu jangan terlalu banyak berharap dengan Pak Ervan!” tegas Ayah Aiman.
Shanum kembali menatap pintu ruang operasi. “Shanum tidak berharap apa pun, Ayah. Shanum menyesali semuanya.” Suara Shanum begitu lirih, penuh penyesalan.
“Mas Aiman, sudahlah jangan terlalu menyalahkan Shanum. Mau bagaimana pun semua sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur, sekarang yang kita pikirkan keadaan istri Mas. Semoga bisa ditangani dengan baik, bisa sehat kembali,” timpal Bik Ratih menengahi.
Ayah Aiman mendengus kesal, lalu mengalihkan pandangannya ke sudut yang berbeda.
Setiap orang tua pasti sangat kecewa mendapati anaknya yang tidak bisa menjaga marwahnya sendiri. Begitu juga dengan Ayah Aiman dan Papa Wijatnako yang tidak sengaja memergoki anaknya keluar dari hotel bersama-sama, saat Papa Wijatnako hendak meeting di resto hotel yang sana. Muncullah spekulasi negatif, hingga Shanum akhirnya mengakui telah berhubungan intim dengan anak majikannya, dan hanya sekali.
Hancur perasaan seorang ayah, begitu juga dengan Shanum saat ini. Sial, ia jatuh cinta dengan laki-laki sampai rela kehilangan kehormatannya, meski melakukannya suka sama suka, tetap awal mulanya ada sedikit paksaan dari Renaldi dengan segala janji manis yang diucapkan pemuda itu.
...***...
Sementara itu, di perusahaan Grup Wijatnako, Ervan menghempaskan tubuhnya yang mendadak terasa lelah, lalu menyesap kopi hangat yang baru saja diantarkan oleh Riri, sekretarisnya.
“Ikhsan segera buatkan surat perjanjian pernikahan saya dengan perempuan licik itu. Saya tidak mau terjebak dengan permainan licik perempuan murahan itu. Dan, tolong jangan sampai ada yang tahu tentang pernikahan saya siang tadi, termasuk Meidina,” titah Ervan sembari meletakkan cangkir kopinya, dan pada saat Riri sudah keluar dari ruangan.
“Baik Pak, pointnya yang harus dituliskan apa saja?” Ikhsan segera membuka notebooknya.
Ervan langsung menyebutkan point-pointnya, dan meminta asistennya untuk segera membuatnya. Kemudian ia kembali menyesap kopinya, namun ia tersenyum getir saat teringat tamparan yang ia terima dari Shanum. Tamparan pertama kali dari seorang wanita, bahkan tunangannya saja tidak pernah menampar pipinya.
“Cukup berani juga kamu, Shanum! Kita lihat saja sampai kapan kamu bisa bertahan dengan pernikahan kita ini. Saya yakin sebelum bayi itu lahir, kamu akan minta diceraikan ... ha ... ha,” gumam Ervan sembari terkekeh pelan.
“Mari Nak, nanti temani Ibu berjuang ya. Mulai sekarang kita buka lembaran baru hanya berdua saja, Ibu akan hidup mandiri, tidak lagi bergantung dengan siapa pun. Dan, Ibu harus menunjukkan pada keluarga papamu jika Ibu tidak pernah menginginkan menjadi orang kaya secara instan,” gumam Shanum dengan tangannya menyentuh perutnya yang masih terlihat datar.
...***...
Tepat jam dua siang operasi jantung ibunya Shanum telah selesai, Dokter menyatakan operasi pasang ringnya telah berhasil, dan kini sudah dipindahkan ke ruang HCU.
Shanum sangat bersyukur, saking syukurnya ia menangis di pelukan Bik Ratih.
“Alhamdulillah, Ibu selamat, Bik,” gumamnya.
“Iya, Bibi juga sangat bersyukur. Dan, sekarang kita harus isi perut. Kamu jangan sampai sakit, kasihan—“ Bik Ratih menyentuh perut keponakannya.
Ya, Bik Ratih sudah tahu jika keponakannya sedang hamil karena orang pertama kali yang menemukan alat testpack di kamar. Sedangkan kedua orang tua Shanum belum tahu sama sekali. Bahkan ia pula yang melarang Shanum menggugurkan kandungannya. “Sudah berbuat dosa, jangan tambah dosa lagi. Calon anak itu tidak bersalah, tapi perbuatan orang tuanya lah yang salah,” ucap Bik Ratih, minggu kemarin.
“Shanum lagi gak nafsu makan, Bik.”
“Makan dikit saja, yang terpenting perut kamu terisi,” ajak Bik Ratih penuh perhatian.
Gadis itu terpaksa menurutinya, dan mengikuti langkah bibinya ke kantin yang ada di lantai bawah.
Setibanya di kantin, Bik Ratih langsung memesan nasi soto ayam dan es teh manis, lalu duduk bersama-sama di salah satu meja yang kosong.
“Shanum, sekarang kamu sudah dinikahi sama kakak pacar kamu. Semoga pernikahan kamu langgeng ya.”
Shanum terkekeh pelan sembari menyeruput teh manisnya. “Bukan pacar lagi Bibi, tapi udah jadi mantan pacar. Dan, pernikahan ini hanya kamuflase saja, Bik. Pak Ervan sudah punya tunangan, beberapa bulan lagi akan menikah. Dan, Bibi lihat sendirikan bagaimana bos ayah itu sangat tidak suka melihat anaknya menikahi Shanum. Sebenarnya saat di rumah, Shanum meminta Pak Ervan untuk menikahi Shanum sampai bayi ini lahir, dan langsung ditolak sebenarnya. Eh, tiba-tiba tadi siang mau menikahi Shanum.” Meski Shanum berkata dengan lancar, tetap saja ada kepedihan dan luka dibalik itu.
“Ini mungkin karma buat Shanum yang tidak bisa menjaga diri, udah bikin malu ayah dan ibu,” lanjut Shanum dengan senyumnya tampak getir.
Bik Ratih termangu mendengarnya, tak menduga keponakannya yang baru lulus sekolah dua bulan yang lalu harus menghadapi masalah yang menurutnya tidak mudah dihadapi di usia mudanya. Yang seharusnya menikmati masa muda untuk mengejar cita-cita, sekarang harus menanggung dosa yang tumbuh di rahimnya. Butuh mental yang kuat, bukan hanya sekedar fisik yang sehat.
“Tapi, jangan ada niatan untuk menggugurkan kandungan ya, Sha,” ucap Bik Ratih lembut.
Gadis itu mengulum senyum tipis. “Iya Bik, Shanum tidak akan menggugurkannya. Meski jadi benci dengan ayahnya.”
Bik Ratih menyentuh dan mengusap lembut tangan Shanum. “Jadikan ini pelajaran untukmu, jangan sampai terjadi untuk kedua kalinya. Sekarang ... jika memang keadaannya seperti ini, kamu harus kuat, meski tak mudah melewatinya. Dan, jangan merasa sendiri menghadapinya. Kalau ayah dan ibumu masih marah padamu itu wajar, tapi ada Bibi yang selalu ada untukmu,” imbuhnya dengan lembut.
Shanum melipat bibirnya dengan rasa haru yang melingkupi dirinya. “Makasih, Bik. Makasih ... Bibi selalu ada di sisi Shanum.” Mata Shanum tampak berkaca-kaca.
Pesanan makanan mereka pun datang, lalu Bik Ratih meminta gadis itu untuk makan terlebih dahulu, begitu juga dengan Bik Ratih yang turut mengisi perutnya.
“Bik, Shanum masih mau kerja di toko kue punya bos Bibi ya. Dan, tolong bantu Shanum carikan kontrakan kecil dekat toko. Nanti, kalau Ibu sudah pulih, Shanum akan tinggal dikontrakan saja. Shanum tidak mau bikin ibu dan ayah semakin malu, perut Shanum pasti akan semakin besar. Pastinya nanti akan jadi gunjingan tetangga di rumah.”
Bersambung ... ✍️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!