NovelToon NovelToon

Mendadak Jadi Ibu Susu

Bab. 1 Pelarian

"Kejar terus wanita itu!" teriak pria berbaju hitam.

Wanita yang tengah menggendong bayi terus berlari. Meski napasnya tersengal ia tak mau tertangkap sama sekali. Kakinya terus mengayun langkah lebar demi menghindar dari dua pria yang tengah mengincarnya.

Ia tak akan menyerah. Semua demi masa depan bayi yang harus ia perjuangkan. Melihat area pemakaman. Wanita itu masuk begitu saja. Padahal hari hampir gelap. Ia tak peduli, ketakutan akan tertangkap pria-pria jahat itu lebih menyeramkan baginya ketimbang menghadapi gelap di pemakaman.

"Ayo Louisa, kamu harus bisa menyelamatkan anakmu. Sebentar lagi, pasti Juan akan datang menjemputmu," batin wanita itu menyemangati diri.

Langkahnya terus bergerak maju, sesekali menoleh untuk melihat jarak antara dirinya dan dua pria bengis yang mengejarnya sudah cukup jauh.

"Argh ...." Langkah Louisa terhenti. Ia jatuh tersungkur karena tersandung.

Untung saja bayi dalam gendongannya masih tertidur lelap. Hanya sedikit berjingkat karena kaget, tapi Louisa segera menenangkan dengan menepuk-nepuk pantat bayinya.

Louisa menarik napas dalam. Mencoba mengurangi lelah yang terasa. Ia menoleh ke belakang, memastikan jika dua pria yang mengejarnya belum terlihat.

Louisa meraih ponsel di dalam mantelnya. Sayang sekali ponsel miliknya telah mati. Harapan untuk dijemput oleh sang suami sirna sudah.

Ia mulai pesimis dengan langkahnya. Bagaimana jika ia tertangkap. Bagaimana dengan nasib bayinya nanti. Sejujurnya kalau ia yang harus mati itu tak mengapa asal bayinya bisa selamat, tapi siapa yang akan menyelamatkan bayinya?

Air matanya pun jatuh tanpa suara. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari tempat aman untuk sembunyi. Nihil. Tak ada tempat sembunyi di pemakaman ini. Sampai tatapannya jatuh pada seseorang yang tengah duduk bersimpuh di depan sebuah makam. Otaknya bekerja cepat demi jalan keluar. Rencana pun tersusun kilat.

Ia tatap baik-baik wajah bayi yang seminggu ini ia lahirkan. Bayi laki-laki tampan serupa suaminya.

"Dia mirip sekali denganmu, Juan," ujar Louisa lirih. Air mata sempat akan kembali menetes. Namun ia halau begitu saja dengan jarinya. Saat ini ia harus kuat.

Ia selipkan ponsel mati miliknya ke dalam selimut pertama yang membalut tubuh sang anak. Waktu memutuskan untuk membawa kabur bayinya dari rumah sakit tadi, Louisa melapisi sang bayi dengan dua selimut tebal. Ia juga melepaskan cincin pernikahannya dan memasukkannya ke dalam selimut bersama dengan ponsel tersebut.

Ia kecup pipi bayi tampan itu dengan penuh haru. "Maafkan Ibu, Nak. Ibu yakin ayahmu akan menemukanmu."

Louisa segera mengakhiri keharuan itu. menghapus lagi air mata yang sempat luruh saat ia mengecup bayinya untuk terakhir kali. Sebab setelah ini, Louisa akan berkorban untuk keselamatan sang bayi.

Tanpa ragu Louisa menghampiri orang yang duduk bersimpuh di depan sebuah makam. "Permisi, apa aku bisa meminta tolong sebentar?" ujar Louisa.

Wanita dengan mata yang sembab itu mendongak. Menatap Louisa heran, tapi mengangguk juga.

"Tolong jaga anakku sebentar saja, aku ingin ke toilet. Sejak tadi aku sudah menahannya." Louisa memperlihatkan mimik yang meyakinkan.

"Aku akan kembali nanti," sambung Louisa.

Wanita berbaju hitam itu kembali mengangguk. Tanpa curiga menerima bayi yang Louisa ulurkan.

Louisa mengambil selimut terluar bayi itu dan memberikan bayinya. "Terima kasih," ujar Louisa. Sebelum pergi, Louisa sempat mengecup pipi bayinya lagi.

Wanita yang kini menggendong bayi Louisa hanya menatap kepergian Louisa ke arah pintu keluar makam, karena memang di sanalah ada toilet umum. Ia menunggu ibu bayi dalam gendongannya kembali.

*

Louisa sendiri keluar dari area pemakaman sembari terus menggendong selimut kosong dalam dekapan. Ia melihat dua pria yang tengah mengejarnya tadi. Sengaja ia memperlihatkan diri untuk mengelabui.

"Hei, berhenti!" teriak salah satu pria. Louisa terus berlari. Menjauh dari area pemakaman. Kali ini langkahnya lebih terasa ringan sebab ia pikir telah menyelamatkan bayinya. Tak mengapa jika ia harus ditangkap dan mati.

"Berhenti, kau, dasar j*lang!" teriak pria besar itu lagi.

Louisa tak menggubris. Ia terus mengayun langkah agar jauh dari pemakaman. Namun, secepat apa pun Louisa berlari, nyatanya tubuhnya tak lagi bisa kompromi. Ia terlalu lelah. Selain fisiknya yang lemah setelah melahirkan, mentalnya juga dihajar habis-habisan karena ketakutan.

Langkah Louisa harus kembali terhenti. Bersembunyi di balik pohon tabebuya. Ia mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Tatapannya turun ke bawah saat ia merasakan sesuatu mengalir di antara kakinya. Matanya membelalak lebar melihat cairan warna merah menetes dari sela kakinya.

"Ya Tuhan, apa ini ...," ujarnya lirih.

Konsentrasi pelariannya pun buyar. Ia lupa kalau sekarang dalam pengejaran orang-orang jahat. Ia bingung dengan yang terjadi pada tubuhnya.

Di saat itulah, kedua pria bengis yang mengejarnya muncul dan dengan cepat menangkap Louisa.

"Mau lari ke mana, lagi kau j*lang!" teriak salah satu pria berbaju hitam.

"Lepaskan aku!" Louisa meronta.

Tapi dua pria itu tak mau mendengarkan. Ia terus membawa Louisa dengan selimut dalam gendongannya.

"Lepas!"

Salah satu dari pria itu terus menarik tangan Louisa untuk dibawa pergi, tapi belum sempat berjalan jauh tubuh Louisa melemah. Ambruk begitu saja karena pria yang memegang tangan Louisa juga tak siap.

"Hei, apa yang terjadi?" teriak pria yang mengikuti kawannya menyeret Louisa.

"Aku juga tidak tahu."

"Lihat, ada darah di kakinya." Satu pria yang tadi berjalan di belakang menunjuk kaki Louisa.

"Bagaimana sekarang?"

"Kita hubungi Tuan saja."

Temannya pun mengangguk setuju. Dari panggilan telepon mereka di arahkan untuk membawa Louisa pergi dari tempat itu. Di saat akan mengangkat tubuh Louisa, mereka baru sadar jika yang sejak tadi dipeluk oleh wanita itu hanyalah selimut kosong. Keduanya semakin panik, karena mereka tahu yang diincar oleh tuannya adalah bayi wanita ini.

Bab. 2 Mengasihi

Di area pemakaman wanita dengan pakaian berkabungnya terus menunggu ibu dari bayi yang kini mulai menangis. Wanita itu adalah Alea, wanita malang yang baru seminggu kehilangan suami dan bayi perempuannya. Setiap hari sejak kematian suami dan putrinya yang baru lahir, Alea selalu datang ke pemakaman. Ia baru akan pulang jika malam sudah tiba. Alea bak orang gila yang setiap hari memeluk pusara sang suami dengan tangis tiada henti.

"Ssh ... tenanglah, jangan menangis. Ibumu sebentar lagi kembali," ujar Alea pada bayi yang tidak mengerti itu, sembari menepuk-nepuk pantat si bayi agar tenang.

Ditatapnya wajah bayi dalam pelukan. Kalau saja anaknya selamat, pasti ia bisa memeluknya seperti sekarang ini. Ah ... semua sudah terjadi dan takdir tidak bisa dirubah.

Bayi laki-laki itu terus menangis. Alea mulai gelisah karena ibu bayi itu tak kunjung muncul. Alea berinisiatif membawa bayi itu keluar menuju toilet umum yang tadi wanita itu katakan. Namun, sesampainya di sana tak ada seorang pun. Sepi.

"Nyonya, apa kau di dalam?" teriak Alea dari luar toilet umum.

Tidak ada sahutan sama sekali karena memang tempat itu sepi.

"Nyonya ...," teriak Alea lagi.

Ia mencoba masuk ke dalam toilet membuka satu persatu bilik untuk mencari ibu dari bayi yang ia gendong. Tidak ada seorang pun di sana. Alea mulai panik. Terlebih bayi dalam gendongan terus saja menangis.

Ia mulai berpikir yang tidak-tidak. 'Apakah wanita itu sengaja membuang bayinya dengan berpura-pura menitipkan padanya?'

"Ya Tuhan, bagaimana jika memang begitu?" gumam Alea.

Ia menatap bayi tampan dalam gendongan. Rasa iba seketika melingkupi hati. Bagaimana bisa ada ibu yang setega ini membuang bayinya. Bayi mungil nan tampan.

Kenapa Tuhan tidak adil. Ia yang begitu mengharapkan seorang anak justru anak itu diambil kembali oleh Sang Pencipta, tapi orang tak menginginkan anak justru dianugerahi bayi yang akhirnya disia-siakan.

Alea tersentak kala tangisan bayi di gendongannya melengking. Di saat yang sama ia merasakan dadanya nyeri dan berat. Ini karena produksi asi terus terjadi sementara tidak ada bayi yang meminumnya. Biasanya Alea akan memerah asi dan kemudian membuangnya untuk mengurangi rasa nyeri.

Teringat akan hal itu, Alea mendadak memikirkan sesuatu. Buru-buru ia membawa bayi itu pulang. Tempat tinggalnya tak jauh dari area pemakaman.

Sampai di rumah Alea merasakan basah di dadanya. Rupanya Asinya mulai penuh dan merembes keluar. Nyeri pun semakin terasa. Lagi-lagi ia menatap bayi dalam gendongan yang terus saja menangis.

Ragu dan juga takut, Alea terus saja menatap bayi laki-laki itu.

"Mungkin dia memang dikirim Tuhan untukku," gumam Alea pada diri sendiri.

Akhirnya ia pun memberanikan diri untuk mendekap bayi itu dan mulai memberikan asi miliknya. Seperti dugaannya, bayi itu kehausan. Alea sampai menitikkan air mata, karena ini pertama kalinya ia mengasihi. Haru sekaligus bahagia. Ia benar-benar merasakan seperti seorang ibu.

Cukup lama bayi itu minum sampai kembali tidur. Ditatapnya wajah mungil itu lagi, kemudian ia kecup pipi bayi tersebut.

"Kau tampan sekali," gumam Alea. "Ibumu pasti menyesal telah meninggalkanmu."

Untuk beberapa saat Alea terus saja memandangi wajah bayi itu. Sembari memikirkan tentang kejadian tadi. Ia berharap ini bukan mimpi, sebab ia mulai jatuh hati. Ia juga memikirkan tentang kemungkinan jika wanita itu kembali dan mencari bayinya. Tapi hari sudah malam, tidak mungkin ia membawa bayi itu kembali ke area pemakaman.

"Mungkin besok saja aku kembali ke sana."

Alea meletakkan bayi itu ke dalam ranjang bayi yang dibuat khusus oleh suaminya untuk anak mereka. Ia juga membuka selimut tebal yang membalut si bayi, dan menemukan sebuah ponsel juga cincin bermata biru.

"Apa ini milik Nyonya itu?" Alea membolak-balik ponsel yang ia pegang. Lalu beralih menatap cincin yang diduga Alea pasti harganya mahal.

Ia memang tak pernah memiliki cincin seperti itu, tapi ia sering melihat orang-orang kaya yang datang ke toko bunga miliknya memakainya. Tangannya beralih pada layar ponsel. Menekan tombol power untuk menyalakan.

"Ah, rupanya mati," ujar Alea lirih. "Aku akan mengisi daya, siapa tahu Nyonya itu menghubungi melalui ponsel ini."

Alea beranjak dari ranjang bayi, menuju meja di samping tempat tidurnya. Menghubungkan ponsel tersebut ke pengisi daya. Sekaligus meletakkan cincin itu di sana.

Entah mengapa, Alea merasa tak bisa jauh dari bayi yang bersamanya sejak semalam. Ia bahkan mengambil bayi itu dan mengajaknya tidur seranjang dengannya. Beberapa kali bayi itu terbangun untuk minum asi. Alea benar-benar merasa seperti merawat anak sendiri.

Keesokan pagi, Alea sudah membersihkan bayi itu. Memandikan dan menggantikannya baju. Tentu baju itu adalah milik bayinya yang telah tiada. Dengan memilihkan baju mana yang cocok untuk anak laki-laki.

"Kau tampan sekali," ujar Alea.

Ia dekap bayi itu. Mendadak muncul rasa tak ingin berpisah. Walau baru satu malam, rasanya Alea tak ingin kehilangan. Mungkin semua karena ia seperti mendapatkan ganti dari bayinya yang meninggal.

"Jangan egois Alea, mungkin saja Nyonya itu sibuk mencari bayi ini sejak semalam." Nurani Alea bersuara. Ia memang telah jatuh hati pada bayi ini, tapi bagaimanapun bayi ini adalah milik orang lain.

Ia tahu sakitnya kehilangan, ia tidak ingin ada wanita lain yang merasakan hal yng sama. Terlebih karena keegoisannya.

Dengan berat hati, Alea menggendong bayi laki-laki itu. Membawa serta ponsel serta cincin yng semalam ia letakkan di meja. Berangkat ke area pemakaman, untuk menunggu ibu dari sang bayi.

_____________________________________________

Di sebuah vila di kota Cancun. Louisa tergeletak tak berdaya. Tidak ada tindakan medis yang ia terima setelah ia mengalami pendarahan semalam.

"Tuan, Nyonya Fernandes tidak lagi bergerak," lapor seorang pelayan yang mengantarkan sarapan untuk Louisa.

"Apa maksudmu tidak bergerak?" tanya seorang pria yang sedang menyulut cerutu di tangan.

"En-entahlah, Tuan ... tapi kurasa Nyonya Fernandes telah tiada," jawab pelayan berkulit hitam itu dengan takut.

Pria itu tersentak. Ia segera bangkit dari kursinya. Dengan langkah lebar pergi ke kamar di mana Louisa di kurung sejak semalam.

Ia menghampiri tubuh pucat Louisa. Benar saja. Tubuh itu sangat dingin dan kaku. "Sialan! Dasar j*lang tidak berguna!" umpatnya pada tubuh tak bernyawa Louisa.

"Panggil Martin dan Rafael!" bentaknya pada pelayan.

"Baik, Tuan." Dengan langkah cepat pelayan itu keluar dan memanggil dua tukang pukul anak buah Tuan David.

Tak lama dua tukang pukul yang semalam mengejar Louisa itu muncul. "Ada perintah apa, Tuan?"

"Buang wanita tak berguna ini, buat seolah-olah ia kabur dari rumah sakit dan mengalami kecelakaan. Saat ini Juan pasti sedang mencari istri j*langnya ini," titah David, yang tak lain adalah kakak ipar dari Juan—suami Louisa.

"Siap, Tuan!" Kedua anak buah David itu bergerak cepat melaksanakan titah tuannya.

David sendiri langsung pergi dari vila karena merasa usahanya sia-sia. Ia masih memikirkan di mana Louisa membuang atau menitipkan anaknya. Ia tak peduli jika Louisa mati, baginya yang terpenting adalah kematian bayi wanita itu.

"Aku pasti menemukanmu bocah nakal!" ujar David ketika mengemudi.

Bab. 3 Anugerah Dari Tuhan

Satu minggu berlalu sejak Alea membawa bayi laki-laki itu ke pemakaman. Hampir setiap hari ia datang, agar ibu bayi itu menemukannya. Namun, setelah kemarin ia menunggu tanpa hasil. Alea memutuskan untuk pulang dan kembali merawat bayi laki-laki itu.

Tidak ada tanda-tanda orang mencari bayi tersebut. Buktinya sampai sekarang tidak ada yang mencari atau bahkan menghubungi. Alea sendiri tidak bisa membuka ponsel yang ditinggalkan bersama anak lelaki itu, sebab membutuhkan pasword untuk membuka layar ponsel.

Jadi meski ada benda canggih itu, tetap tidak bisa membantu Alea menemukan petunjuk ke mana ia harus mengantar bayi itu. Sempat Alea berpikir untuk mengadopsi saja anak malang ini.

Mungkin saja ini memang takdir. Tuhan mengirimkan bayi lelaki ini untuk menggantikan bayinya yang telah tiada.

Selama seminggu ini, Alea merawat bayi itu dengan kasih sayang. Ia bahkan sudah seperti ibu kandung saja. Tak ada rasa sungkan saat memberikan asi miliknya. Ia benar-benar jatuh hati pada bayi tampan itu.

"Kurasa, kau memang ditakdirkan untuk menemaniku. Bagaimana jika aku menjadi ibumu," gumam Alea lirih. Seolah mengajak bicara bayi dalam gendongannya.

"Kau tidak keberatan, kan?" Alea terus bicara sendiri.

Rasa kasih sayang dan egoisme bercampur jadi satu. Naluri keibuannya membuat Alea tak ingin berpisah dari bayi yang ia rawat seminggu ini.

"Oh, ya ... siapa ya namamu. Tidak ada pesan sama sekali tentang nama yang diberikan padamu."

Alea sudah seperti orang gila saja. Sebab ia terus bicara pada bayi yang tertidur dalam gendongannya.

"Bagaimana jika aku saja yang memberimu nama?" Alea nampak berpikir tentang nama yang tepat.

Sejurus kemudian, terbersit sebuah nama yang dulu pernah ia utarakan pada Mike—suaminya—jika anak mereka terlahir laki-laki. Nyatanya anak mereka justru perempuan, itu pun langsung kembali berpulang pada Tuhan.

"Shane ...," cetus Alea. "Namamu Shane, ya ... aku akan memanggilmu dengan nama Shane." Alea tersenyum sendiri lalu mengecup pipi bayi yang terlelap itu berkali-kali.

"Shane, mulai sekarang kau adalah anakku. Dan aku adalah ibumu." Saking bahagianya, Alea terus saja menciumi pipi bayi yang baru saja ia beri nama itu.

"Kau, tahu arti nama Shane?" Alea kembali mengajak bayi itu berdialog.

"Shane berarti anugerah dari Tuhan. Ya, kau adalah anugerah dari Tuhan untukku. Kau kehilangan ibumu, dan aku kehilangan anakku. Kita akan sama-sama saling melengkapi," ujar Alea dengan haru.

Senyum kebahagiaan bercampur air mata, membuat Alea seketika seperti memiliki harapan lagi. Sinar hidupnya mulai menyala lagi, setelah kemarin sempat redup ketika suami dan bayinya meninggalkan dia sendiri.

Apa yang Alea putuskan hari ini adalah hal tepat yang ia rasa. Ia mulai bersemangat untuk memikirkan apa saja yang akan ia lakukan esok hari dengan status barunya. Ibu seorang bayi laki-laki.

Banyak hal yang ia rangkai dalam angannya, sampai lamunan itu buyar ketika suara ketukan pintu terdengar. Alea tersentak kaget, mendadak ada rasa takut yang menyeruak. Ketakutan jika yang datang adalah ibunya Shane.

Ia baru saja bahagia memiliki Shane, apa iya harus secepat ini berakhir?

"Alea, ini aku, Marta!" teriak seorang wanita dari balik pintu.

Mendengar suara itu, Alea pun lega. Ia meletakkan Shane di atas ranjang sebelum keluar menemui tetangganya itu.

"Ada apa malam-malam begini ke rumahku?" tanya Alea. Ia memang berubah sikap sejak kehilangan suami dan anaknya. Menjadi lebih dingin pada semua orang.

Senyum ramah yang dulu selalu ia tunjukkan tak lagi ada, setelah ia merasakan kecewa yang teramat dalam pada semua orang di sekitarnya.

"Aku hanya ingin meminjam sedikit uang padamu. Di rumahku sudah tidak ada lagi bahan makanan yang bisa ku olah. Sementara Alberto sudah dua hari tidak pulang. Anakku menangis kelaparan. Aku tahu kau orang baik, jadi tolong aku," ujar Marta mengiba.

Alea menatap angkuh wanita yang lebih tua darinya itu. Mengingat betapa teganya Marta dan sang suami di malam Alea akan melahirkan bayinya.

Kala itu hujan deras. Mike yang tahu istrinya akan melahirkan mencoba meminta tolong pada Marta dan suaminya untuk mengantarkan Alea ke rumah sakit dengan taksi milik Alberto, karena suami Marta itu memang berprofesi sebagai supir taksi. Namun, tanggapan suami istri itu sungguh di luar dugaan, mereka tidak sudi mengantar Alea dan Mike. Kalaupun mau Alberto meminta bayaran tiga kali lipat dari tarif normal. Tentu saja Mike keberatan. Uang yang ia punya sengaja untuk biaya persalinan. Mike pun lebih memilih mencari taksi lain untuk mengantar istrinya ke rumah sakit.

Semua bayangan akan raut Marta dan Alberto malam itu tak bisa Alea lupakan. Ia sangat marah pada kedua manusia itu.

"Bagaimana Alea, kau mau kan meminjamkan uang padaku. Aku janji akan mengembalikannya kalau Alberto sudah pulang nanti," ujar Marta lagi.

Belum sempat Alea menjawab pertanyaan Marta, terdengar suara tangis Shane dari dalam kamar. Kontan Alea mengabaikan tetangganya itu dan berlari menghampiri Shane. Dengan telaten, Alea berusaha menenangkan tangis putranya.

Semua hal itu terlihat oleh Marta yang tadi mengikuti Alea. "Bayi siapa itu, Alea?"

Alea tersadar jika ternyata Marta belum pulang. Tatapan curiga Marta membuat Alea waspada. Ia tak mau lagi banyak urusan dengan wanita ini. Akhirnya Alea memilih untuk mengusir Marta.

"Ini bukan urusanmu, sekarang pulanglah. Jangan menggangguku karena aku tidak akan meminjamkan apa pun padamu!" Alea bahkan mendorong tubuh Marta agar keluar dari rumahnya.

"Alea tunggu, bayi siapa yang kau gendong itu?" Marta seolah lupa tujuannya untuk meminjam uang. Kini fokusnya hanya ingin tahu tentang bayi yang bersama Alea. Ini pasti akan jadi gosip terpanas di lingkungan tempat tinggal mereka.

Alea tak mau menjawab apa lagi bercerita tentang kisah ia bertemu dengan Shane. Ia tetap mendorong tubuh Marta keluar dari rumahnya.

"Alea, aku hanya ingin tahu, bayi sia ...." Marta bahkan belum selesai dengan kalimatnya saat Alea berhasil mengusir wanita cerewet itu dari rumahnya.

Segera ia mengunci rapat pintu rumah dan kembali ke kamar untuk menenangkan Shane.

_________________________________________

Mansion Fernandes.

Di kediaman keluarga besar Fernandes, masih berkabung atas meninggalnya menantu tercinta mereka, yakni Louisa dan bayinya. Terutama Juan Fernandes, suami Louisa itu sempat tak mau keluar kamar karena merasa bersalah tidak bisa menemukan Louisa dengan cepat. Sampai akhirnya ia kehilangan istri dan anaknya.

"Tuan, ini makan malam Anda," ujar seorang pelayan yang masuk membawakan makanan untuk Juan.

"Bawa saja kembali, aku sedang tidak ingin makan," jawab Juan dari atas sofa.

Beberapa hari ini ia terus menyendiri meratapi kepergian sang istri. Bagaimana tidak, istri tercintanya meninggal dalam kecelakaan yang mengenaskan. Jasad bayinya bahkan tidak bisa ditemukan karena sudah hilang terbakar bersama mobil yang dikendarai Louisa saat ia mencoba kabur dari rumah sakit.

Kalau saja ia datang lebih awal saat itu, pasti semua tak akan terjadi. Louisa dan anaknya pasti masih menemani dirinya sekarang ini. Sayangnya Juan tak bisa menepati janji untuk menjemput istri dan anaknya, hingga terpaksa Louisa kabur sendiri.

Tidak ada yang ditinggalkan Louisa termasuk ponsel wanita itu. Dipercaya jika ponsel tersebut jatuh dan hilang atau justru malah ikut terbakar bersama Louisa di dalam mobil.

"Maafkan aku, Loui. Harusnya aku lebih cepat menyadari semua kegelisahanmu. Harusnya kau tak perlu memikirkan tentang lari dari rumah sakit." Juan menatap foto kenangan dirinya dan sang istri.

Kesedihan dan perasaan bersalah, melingkupi hati Juan. Ia rindu pada istrinya itu. Sampai ia terpikir untuk menelepon Louisa seperti yang biasa ia lakukan ketika rindu.

Tertulis nama 'My Lovely wife' di layar ponsel milik Juan. Nama yang diketik oleh Louisa sendiri untuk menyimpan kontak Louisa.

Awalnya Juan tak berharap sebab ia tahu semua hanya akan sia-sia. Namun, di saat harapan tinggal setipis tisu, panggilan yang ia tujukan untuk Louisa justru tersambung. Tentu saja juan kaget setengah mati.

"Louisa ...," panggil Juan lirih.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!