NovelToon NovelToon

Cinta Datang Dari Kakak Mantan

Perselingkuhan Kaivan

Langkah kaki Alisa begitu cepat dan menghentak tatkala menaiki tangga menuju kamar kos Diana. Mimpi buruk akan perselingkuhan antara Kaivan dan Diana yang selama ini ia tampik, menjadi kenyataan sejak mendapati pesan romantis mereka di ponsel kekasihnya.

Sesampainya di depan kamar kos sahabatnya, samar-samar Alisa mendengar suara tawa dua insan yang sedang bercinta. Amarah gadis bermata bulat dengan hidung bangir dan bibir merah jambu itu sudah di ujung tanduk. Tanpa berpikir lama, ia mendobrak pintu kamar kos Diana sampai pemandangan tak menyenangkan tampak nyata di depan matanya.

"A-Alisa?!" desis Diana terbelalak mendapati sahabatnya berdiri di ambang pintu. Ia segera menutupi tubuhnya dengan selimut, sembari mundur perlahan sampai punggungnya bersandar di tembok.

Adapun Kaivan yang mendadak panik oleh kehadiran calon istrinya, buru-buru merapikan celana. Secepatnya pemuda berparas tampan dengan cambang di kedua pipinya itu, menghampiri gadis berkulit putih yang masih terdiam di ambang pintu.

"A-Alisa ... Ada apa kamu datang ke mari?" tanya Kaivan terbata-bata, dengan gemetar memegang tangan Alisa.

Merasa jijik dengan perilaku kekasihnya, Alisa mengibaskan tangan dan berhasil melepaskan genggaman Kaivan. Matanya menyorot tajam pria yang memiliki postur tubuh tinggi tegap itu. Tanpa basa-basi, gadis itu menampar Kaivan hingga meninggalkan bekas merah di pipi sang kekasih.

"Apa kamu sudah gila, Kaivan? Pernikahan kita tinggal tiga hari lagi, tiga hari lagi! Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu ... kamu justru bermesraan dengan Diana?! Menjijikkan!" bentak Alisa dengan suara tinggi, sambil menunjuk-nunjuk kekasihnya. Air matanya menetes begitu saja membasahi pipi gadis yang dilanda kekecewaan itu.

Kaivan menghela napas, lalu memegang kedua pundak Alisa seraya berdalih, "Ini nggak seperti yang kamu lihat, sayang. Aku datang ke sini cuma buat ngobrol aja."

Dengan gusar, Alisa melepas tangan Kaivan dari pundaknya dan memelototi pria itu. "Kamu mau berasalan apa lagi, ha? Semuanya sudah jelas! Apa kamu pikir aku bakalan diam saja, gitu, melihat pesan nggak senonoh yang dikirim Diana ke hape kamu? Aku nggak sebodoh itu, Kaivan!" sungutnya.

Menyadari posisinya semakin terpojok, Kaivan yang gugup pun mengusap rambutnya dari dahi sampai belakang kepala. Napasnya tak beraturan. Tatapan tajam Alisa yang masih mengarah padanya, membuat pemuda itu sulit berpikir.

Tanpa basa-basi, Kaivan mendorong tubuh Alisa hingga terjatuh di teras kos. Perasaan kecewa dan amarah yang berkecamuk di dada Alisa, tak bisa ditahan lagi. Gadis itu menangis sejadi-jadinya, sembari berdiri dan menatap kedua sejoli yang telah menodai seluruh harapannya untuk mewujudkan pernikahan idaman.

"Tega kamu, Kaivan! Berani-beraninya kamu mendorongku hanya demi melindungi kelakuan busuk kamu sama Diana! Dasar bajingan!" sungut Alisa, sembari balas mendorong tubuh Kaivan.

"Alisa ... Tolong dengarkan penjelasan aku dulu. Semua ini nggak seperti yang kamu lihat. Kendalikan dulu amarah kamu. Jangan karena cemburu buta, kamu seenaknya berbuat kasar dan bentak-bentak orang gitu aja," sanggah Kaivan dengan suara tinggi.

Tak mau menghiraukan perkataan Kaivan, Alisa menyerobot masuk ke kamar kos itu. Tangannya menjambak rambut Diana, sampai gadis itu menjerit sekerasnya.

"Lepasin, Alisa! Kamu harus dengar penjelasan aku dulu!" Diana menjerit sambil berusaha melepas jambakan Alisa di rambutnya.

"Mau jelasin apa lagi, ha? Aku udah dengar semuanya! Dasar nggak tau malu! Kamu nggak ada bedanya sama cewek jalang di luaran sana," maki Alisa, semakin mengencangkan jambakannya di rambut Diana.

Menyadari situasi semakin kacau, Kaivan menghampiri dua gadis yang sedang berseteru itu dan menarik paksa tubuh Alisa. Jambakan di rambut Diana pun makin berkurang, hingga akhirnya terlepas.

Saking jengkelnya, Kaivan langsung menampar wajah Alisa. Ia memelototi gadis yang sedang dilanda kemarahan itu, sampai-sampai air mata Alisa kembali berderai akibat perlakuan kasar sang kekasih.

"Jadi ... kamu lebih milih Diana daripada aku?!" Alisa terbelalak. Tangannya memegangi pipi kanan yang perih akibat tamparan hebat dari Kaivan.

"Alisa, tolong mengertilah! Situasinya sangat rumit," pinta Kaivan dengan wajah memelas.

"Rumit katamu? Menikah denganku saat hatimu bersama orang lain? Mengizinkanku merencanakan masa depan kita, sementara kamu membangunnya dengan orang lain? Mana yang rumit, Kaivan? Kebohonganmu atau fakta bahwa kamu memang tidak pernah menginginkanku sepenuhnya?"

Kaivan menghela napas berat, kekalahan mulai terlihat di wajahnya. "Aku ... aku merasa tertekan. Oleh semua ini. Oleh ... oleh kamu."

Alisa mengernyitkan dahi, bingung dan sakit hati. "Olehku? Apa maksudmu? Aku selalu berusaha menjadi yang terbaik untukmu. Mendukungmu. Bahkan ... bahkan mengatur segalanya agar kamu nyaman, memastikan keuangan kita stabil—"

"Itu masalahnya, Alisa! Kamu selalu di depan! Kamu selalu lebih siap! Lebih sukses! Aku merasa ... kecil di sampingmu! Aku merasa seperti beban! Seperti ... seperti hanya mengandalkanmu!" potong Kaivan, suaranya terdengar lebih frustasi dan defensif.

Terpana Alisa mendengar penuturan Kaivan. Ia tertawa pelan, tawa tanpa kebahagiaan. "Jadi ... ini tentang egomu? Ketidakamananmu? Kamu menghancurkan hubungan kita, menghancurkan diriku, karena kamu merasa ... "kecil"? Dan caramu menghadapinya adalah ... ini? Dengan sahabatku?"

Kaivan mengalihkan pandangan, seraya berkata, "Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku ... aku merasa bisa bernapas saat bersamanya. Tidak ada tuntutan. Tidak ada perbandingan."

Alisa maju selangkah, matanya berkaca-kaca, tapi tidak ada air mata yang jatuh. Suaranya kembali rendah, penuh rasa sakit yang dalam. "Jadi semua cintaku ... semua pengorbananku ... semua mimpiku ... semua itu hanya ... beban bagimu? Aku hanya ATM bagimu? Seseorang yang kamu manfaatkan sampai kamu menemukan ... pelarian yang "lebih mudah"?"

Kaivan tetap diam, tidak mampu membantah tuduhan Alisa. Keheningan pemuda itu seakan membenarkan segalanya.

Alisa mengangguk perlahan, seolah semua kepingan teka-teki yang menyakitkan akhirnya tersusun lengkap. "Aku mengerti. Terima kasih, Kaivan. Terima kasih sudah menunjukkan padaku siapa kamu sebenarnya. Aku ... aku tidak akan pernah bisa melihatmu dengan cara yang sama lagi. Pernikahan itu ... jelas tidak akan terjadi. Ambil ... ambil apapun yang kamu inginkan dari barang-barang kita. Kecuali harga diriku. Itu tidak akan pernah bisa kamu sentuh."

Alisa berjalan pelan menuju pintu. Langkahnya tidak lagi cepat ataupun menghentak, tapi berat, seolah memikul beban yang tidak terlihat.

Sebelum benar-benar pergi, Alisa berhenti sejenak tanpa menoleh, suaranya terakhir kali terdengar begitu dingin. "Dan Diana ... kurasa kita sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dibicarakan. Selamat. Kalian berdua pantas mendapatkan satu sama lain."

Alisa bergegas pergi dari kos Diana, meninggalkan keheningan yang lebih berat dari sebelumnya. Setiap langkahnya diiringi goresan luka yang begitu perih menusuk-nusuk batinnya.

Ketika sampai di rumah, Alisa bergegas mengambil foto-foto prewedding bersama Kaivan dari kamarnya. Saking kecewanya, ia melempar setiap lembaran foto itu ke halaman rumah dan membakarnya. Perilakunya itu tentu saja menimbulkan keheranan di benak sang ibu yang akrab disapa Bu Rosa.

"Alisa, apa yang kamu lakukan? Bukannya foto-foto itu akan dipajang pada hari pernikahanmu nanti?" tanya Bu Rosa menatap lekat wajah muram putri semata wayangnya.

"Semuanya sudah berakhir, Bu. Pernikahan itu tidak akan pernah terjadi," jawab Alisa memandang kosong kobaran api yang melalap potret manis dirinya bersama Kaivan.

Murka Rendra

"Rendra, terimakasih sudah berlapang hati dan bantuin Ibu buat membiayai pernikahan adikmu. Ibu senang, kamu bisa bantuin saudara saat kesusahan," tutur Bu Ani, ibunda dari Rendra dan Kaivan. Tangannya dengan lembut menepuk bahu lebar putra sulungnya.

"Nggak usah berterimakasih, Bu. Sejak Bapak meninggal, keluarga kita ini sudah menjadi tanggung jawab serius buatku. Lagi pula, Kaivan baru setahunan menjadi karyawan di perusahaan BUMN, pasti uang untuk keperluan pernikahan belum tentu mencukupi," sanggah Rendra, memegang kedua tangan ibunya.

Di tengah percakapan mereka, Kaivan muncul membawa Diana sambil membuka pagar. Kedatangan mereka tentu saja mengundang pertanyaan besar di benak Rendra dan Bu Ani. Segera ibu dan anak itu beranjak dari tempat duduk di beranda rumah, lalu berjalan menghampiri si bungsu Kaivan.

"Kaivan? Ka-kamu bawa siapa? Di mana Alisa?" tanya Bu Ani, memandang putranya dengan tatapan menyelidik.

Kaivan yang tertunduk malu, berusaha menghindari tatapan ibu dan kakaknya. Tangannya gemetar dan semakin mengeratkan genggamannya di lengan Diana.

"A-Anu, Bu ... Alisa ... Alisa," ucap Kaivan tergugu-gugu.

Rendra menatap wajah adiknya dengan intens, berusaha menggali jawaban dari Kaivan yang semakin gugup saja. "Mana Alisa? Kenapa kamu datang ke sini dengan membawa perempuan lain? Apa kamu sudah mengkhianati kekasihmu sendiri?"

Seketika napas Kaivan tercekat mendengar rentetan pertanyaan dari sang kakak. Ia yang semula tertunduk gugup, akhirnya mengangkat wajah dan menatap Rendra dengan mata membesar.

"A-Aku ... Aku bisa jelaskan semuanya, Kak," lirih Kaivan dengan suara bergetar.

Rendra mendesah kasar sambil melipat kedua tangannya. Tatapannya yang semula penuh tanya, berubah tajam menusuk seperti anak panah.

"Kaivan ... Apa kamu lupa kalau pernikahanmu dengan Alisa tinggal tiga hari lagi? Ah, atau jangan-jangan, kamu selama ini cuma mau memanfaatkan kebaikan dan menguras harta kakakmu ini demi bersenang-senang dengan banyak wanita? Katakan!" cecar Rendra, sambil berusaha mengendalikan amarahnya di depan ibu dan wanita simpanan sang adik.

"T-Tidak, Kak. Aku nggak bermaksud seperti itu. Hanya saja ... aku ... aku merasa belum siap untuk menjadi suami dari perempuan independen seperti Alisa," jelas Kaivan, masih dengan nada bicaranya yang tergagap-gagap.

Tercengang Bu Ani dan Rendra mendengar jawaban Kaivan. Keduanya menggeleng pelan, seakan tak habis pikir dengan kelakuan si bungsu yang di luar dugaan. Bu Ani mengusap muka sembari menggeleng pelan, tak sanggup ia membayangkan betapa sakit Alisa mengetahui calon suaminya memilih untuk mundur.

Adapun Rendra, tak bisa lagi menahan kemarahannya. Ia menampar wajah Kaivan sekeras mungkin sampai meninggalkan luka lebam di pipinya.

Tak mau kedua putranya berkelahi, Bu Ani segera menarik paksa Rendra untuk menjauh dari Kaivan. Sementara itu, Diana yang merasa kasihan pada kekasihnya, segera mengusap pipi Kaivan dengan penuh kecemasan.

"Sudah, Rendra. Nggak baik kalau pertengkaran kalian dilihat tetangga," bujuk Bu Ani, sembari memegang bahu putra sulungnya.

Alih-alih mendengar bujukan ibunya, Rendra meluapkan segala kekecewaan pada sang adik. "Brengsek kamu, Van! Kalau dari awal kamu merasa minder, lalu kenapa nggak putus saja sama Alisa? Bukan malah merencanakan pernikahan dan melamarnya. Ini sudah tiga hari menjelang hari pernikahan kalian, tapi kamu malah menggandeng perempuan lain?! Disimpan di mana otak kamu itu, ha?" bentaknya sambil menoyor kepala adiknya.

"Kak, aku mohon, maafkan Kaivan," pinta Diana, berusaha menengahi perselisihan antara kakak beradik itu sambil memasang wajah memelas.

"Kak, Kakak nggak tahu bagaimana rasanya jadi aku. Aku benar-benar nggak sanggup dibanding-bandingkan terus sama Alisa. Dia mandiri, punya toko kue dan mendapat jabatan bagus di kantor. Sedangkan aku? Aku cuma pegawai baru," dalih Kaivan, merasa sungkan menatap mata kakaknya.

"Tapi Alisa masih mau menerima kamu, kan? Apa kamu nggak bisa sedikit saja menghargai pengorbanan dia? Dia sudah sangat serius buat menjalani rumah tangga sama kamu, tapi nyatanya? Kamu malah selingkuh sama perempuan ini, merasa minder karena Alisa jabatannya bagus lah, punya toko kue lah. Kamu ini laki-laki, Kaivan! Sudah seharusnya kamu bertanggung jawab sama pilihanmu sendiri, bukan malah lari dari kenyataan!" cerocos Rendra bersungut-sungut, sambil sesekali menunjuk muka sang adik.

"Cukup, Kak! Kakak ini saudaranya Kaivan, kan? Apa Kakak nggak bisa menghargai perasaan dia sedikit saja? Aku dan Kaivan saling mencintai. Kita juga sama-sama nyaman satu sama lain," tukas Diana, mencoba membela kekasihnya di depan Rendra.

Pandangan Rendra seketika beralih pada gadis di sebelah adiknya yang memiliki postur lebih pendek dari Alisa. "Begitu, ya? Apa sebelumnya kamu nggak tahu kalau adikku ini akan menikah dengan Alisa? Atau jangan-jangan kamu sengaja merebut Kaivan dari dia?"

"Kak, sebenarnya Diana ini bersahabat dengan Alisa," kata Kaivan menyela. Kepalanya menunduk, seakan berusaha menutupi kegugupan yang mendera batinnya begitu hebat.

Mengetahui fakta mengejutkan itu, Rendra dan Bu Ani semakin terperangah. Rendra segera melepaskan tangan sang ibu yang menahan bahunya, lalu melangkah ke depan dan mendorong Kaivan dengan kasar. Pria itu menatap tajam adiknya dan Diana secara bergantian, sambil menghela napas dalam-dalam demi meredam amarahnya.

"Kalian berdua memang tak tahu diri! Cepat, pergi dari sini! Aku bahkan benar-benar malu menganggap kamu sebagai adikku sendiri, Kaivan!" hardik Rendra, menunjuk-nunjuk Kaivan dan Diana.

"Tapi, Kak ... bagaimana dengan biaya pernikahanku? Apa Kakak bakal menuntut ganti rugi?" Kaivan bertanya dengan suara gemetar.

"Apa? Kamu sudah berbuat sejauh ini, tapi baru kepikiran soal biaya yang sudah aku keluarkan untuk pernikahanmu?" Rendra mengernyitkan kening sambil tersenyum sinis. "Dengarkan aku, Kaivan! Uang bisa dicari lagi, tapi bagaimana dengan harga diri? Kamu sudah merusak harga diri Alisa, harga diri keluarga kita! Apa kamu bisa memperbaikinya, hm? Katakan!"

Kaivan membuang muka sembari mengusap tengkuk. Sadar akan kesalahan fatal yang telah diperbuatnya, pemuda itu ketakutan tatkala menatap lagi wajah kakaknya.

"Maaf, Kak," lirih Kaivan.

Rendra berkacak pinggang sambil memutar bola matanya. Untuk terakhir kalinya, ia mendorong Kaivan seraya berkata, "Enyahlah dariku dan Ibu. Kamu ini memang memalukan, Kaivan!"

Tanpa memedulikan tanggapan Kaivan, Rendra menggandeng tangan ibunya, kemudian berlalu dari pasangan sejoli yang masih tertekan itu. Rendra mempersilakan ibunya masuk lebih dulu, sebelum dirinya menyusul dan menutup pintu.

Sementara itu, Kaivan masih tergugu-gugu berdiri di halaman rumah. Diana yang mengetahui kekasihnya sedang dalam tekanan, membelai lembut wajah Kaivan sampai pemuda itu menoleh.

"Sayang, sebaiknya kita kembali lagi ke kos aku. Mereka juga butuh waktu untuk menenangkan diri dan menerima kita," usul Diana, menatap lembut wajah Kaivan.

Dirasa tak punya pilihan lain, Kaivan mengangguk dan berbalik badan meninggalkan kediamannya bersama Diana. Sesekali ia menoleh ke belakang, berharap sang kakak berlari menyusul dan memaafkan kesalahannya.

Di dalam rumah, Rendra masih tampak gusar memandang adik dan wanita jalang itu meninggalkan rumahnya. Pria berusia tiga puluhan itu menggeleng pelan, lalu mengusap muka dan mendesah kasar.

"Rendra, kenapa kamu begitu keras pada adikmu sendiri? Kita bisa bicarakan baik-baik masalah ini tanpa perlu mengusirnya," kata Bu Ani menatap sendu putra sulungnya.

Rendra menoleh dan memegang kedua pundak ibunya. "Ini sudah tidak bisa dimaafkan, Bu. Harga diri kita sudah rusak. Coba Ibu bayangkan jika sampai Alisa tahu kalau Kaivan berselingkuh. Pasti dia merasa hancur, Bu," jelasnya.

"Lalu ... Apa yang harus kita lakukan? Keluarga Alisa pasti merasa sakit hati mendengar kenyataan ini. Ibu juga sebenarnya malu, Rendra," keluh Bu Ani.

"Mau tidak mau, kita harus datang ke rumah Alisa untuk meminta maaf. Pernikahan Alisa dan Kaivan tidak bisa dilanjutkan," tegasnya, dengan mata memandang lurus ke luar jendela rumah.

Aib?

Pak Brata tercengang mendapati tumpukan abu di halaman rumah tatkala pulang dari kantor kelurahan. Saking penasaran dengan sesuatu yang terjadi, pria itu bergegas masuk ke rumah. Betapa terkejutnya ia mendapati putri semata wayangnya menangis tersedu-sedu di pelukan Bu Rosa.

"Alisa? Apa yang terjadi, Nak?" tanya Pak Brata sembari duduk di kursi ruang tamu, di sebelah putrinya.

"Alisa memergoki Kaivan dan Diana bermesraan di kos. Dia masih syok, Pak," jelas Bu Rosa, sambil mengusap-usap punggung putrinya.

Bagai tersambar petir, Pak Brata tercenung memikirkan nasib putrinya. Alisa, putri satu-satunya yang amat ia sayangi harus menelan kenyataan pahit menjelang hari pernikahannya. Sesak dada Pak Brata membayangkan betapa pedih hati Alisa menerima pengkhianatan itu. Namun, di sisi lain, ia pun memikirkan reputasi keluarga jika sampai pernikahan putrinya batal.

"Yang sabar, ya, Alisa. Bapak harap kamu jangan gegabah dulu dalam bertindak. Pernikahanmu tinggal tiga hari lagi, kita harus berdiskusi dulu dengan keluarga Kaivan untuk menemukan jalan terbaik," bujuk Pak Brata mengusap punggung Alisa.

Mendengar perkataan sang ayah, Alisa pun bangkit dan melepas pelukan ibunya. Sambil mengusap air mata, gadis itu menatap bingung pada sang ayah.

"Mau berdiskusi apa lagi, Pak? Kesalahan Kaivan sudah sangat fatal. Mereka ketahuan suka berkirim pesan dan foto-foto tak senonoh, bahkan aku lihat sendiri mereka berdua bercumbu di kos Diana. Apa itu belum cukup membuktikan kalau pernikahan ini tidak pantas dilanjutkan?" sanggah Alisa, dengan suara yang bergetar.

"Alisa benar, Pak. Pernikahan ini tidak bisa dilanjutkan. Beruntung, perselingkuhan Kaivan diketahui sebelum pernikahan berlangsung. Setidaknya, anak kita tidak perlu menanggung penderitaan lebih lama karena sudah terlanjur berumah tangga dengan pria yang salah," tambah Bu Rosa, membela putrinya.

"Tapi, bagaimana dengan reputasi keluarga kita? Bapak ini seorang lurah. Undangan pernikahan Alisa pun sudah disebar. Masyarakat pasti akan mengatakan hal yang bukan-bukan kalau sampai pernikahan Alisa batal," jelas Pak Brata, mengingatkan.

"Pak, cobalah untuk tidak memikirkan diri sendiri di saat begini. Alisa ini anak kita. Seharusnya Bapak bersyukur pernikahan Alisa dibatalkan. Ibu nggak mau kalau sampai Alisa harus menderita gara-gara perselingkuhan suaminya," tutur Bu Rosa, berusaha memberi pengertian.

"Iya, Bapak juga tahu itu. Tapi ... coba Ibu pikirkan lagi baik-baik jika putri semata wayang kita gagal menikah. Pasti orang-orang menuduh putri kita ini plin-plan dan nggak punya pendirian," gerutu Pak Brata, menunjukkan kecemasan begitu jelas dari wajahnya yang mulai keriput.

"Atas alasan apa mereka menuduhku sebagai perempuan plin-plan, Pak? Apa cuma gara-gara gagal menikah, harga diriku juga harus ikut rontok di mata masyarakat? Lagi pula ... pembatalan ini berasal dari kesalahan Kaivan, bukan karena aku yang plin-plan." Alisa beranjak dari kursi sambil menunjuk dadanya, seakan menegaskan, bahwa dirinya bukanlah pihak yang salah.

Pak Brata ikut berdiri dan menatap sendu wajah cantik putrinya, seraya berkata, "Bapak mengerti kekecewaanmu, Alisa. Hanya saja ... Bapak sangat menyayangkan kalau pernikahanmu sampai batal. Ibu dan Bapak tidak bermasalah dengan keputusanmu, bahkan mengerti betul alasanmu membatalkan pernikahan, tapi ... bagaimana tanggapan masyarakat luas nanti? Gunjingan mereka pasti akan membebani kami, Alisa. Apa kamu nggak kasihan, kalau sampai Bapak dituduh sebagai orang tua yang tidak bisa mendidik anak hanya karena kamu gagal menikah?"

Bu Rosa yang tidak terima dengan pernyataan suaminya, beranjak dari kursi dan menghampiri Pak Brata. "Lalu apa bedanya jika pernikahan Alisa gagal dan menyandang gelar janda? Bukankah itu sama-sama buruk di mata masyarakat?"

Terdiam Pak Brata mendengar pertanyaan sinis dari sang istri. Pria itu menggeleng pelan sembari menghela napas panjang. Memiliki anak perempuan memanglah bukan perkara mudah baginya. Selain membahagiakan dan menjaga kehormatannya hingga dinikahkan dengan seorang pria yang tepat, rupanya stigma buruk masyarakat tradisional mengenai aib perempuan yang gagal menikah harus ditanggungnya pula.

Di tengah kebingungan pria itu, terdengar suara ketukan di pintu. Pak Brata menoleh, dan terbelalak mendapati Bu Ani datang bersama Rendra. Begitu pula dengan Alisa dan Bu Rosa yang merasa lega oleh kedatangan pihak keluarga Kaivan.

"Assalamualaikum, Pak. Bolehkah kami masuk?" tanya Rendra dengan sungkan.

"Waalaikumsalam. Silakan masuk Nak Rendra, Bu Ani," jawab Pak Brata mempersilakan, lalu menatap wajah istrinya. "Bu, tolong suguhkan minuman dingin untuk tamu kita."

"Baik, Pak," sahut Bu Rosa, sebelum akhirnya berlalu ke dapur.

Pak Brata mempersilakan dua tamunya duduk. Alisa mengusap air matanya, kemudian duduk di sebelah sang ayah, sambil sesekali menatap sungkan ibu dan kakak Kaivan. Gadis itu menghela napas panjang, berusaha meluruhkan kesedihan yang sejak tadi diluapkan di pelukan ibunya.

Di sisi lain, diam-diam Rendra memperhatikan mata sembap Alisa. Ia menduga, bahwa gadis itu telah mengetahui perselingkuhan adiknya sebelum Kaivan datang ke rumah membawa perempuan lain. Akan tetapi, pria berusia tiga puluhan itu tak mau mengatakan sepatah kata pun sebelum ibunya dan ayah Alisa membuka pembicaraan lebih dulu.

"Ada perlu apa, ya, Bu Ani datang ke sini lebih awal? Apa ini terkait dengan pernikahan putra Anda dan Alisa?" tanya Pak Brata membuka pembicaraan.

Sebelum menjawab, Bu Ani melirik Rendra sebentar. Sungguh, ia merasa malu akan perbuatan putra bungsunya. Rendra memegang tangan Bu Rosa, mencoba menguatkan sang ibu untuk mengutarakan maksud kedatangannya ke rumah Pak Brata.

"Begini, Pak Brata, maksud kedatangan kami kemari adalah ... untuk meminta maaf yang sebesar-besarnya pada Alisa," jelas Bu Ani dengan tergugu-gugu.

Dahi Pak Brata seketika berkerut mendengar perkataan calon besannya. "Loh? Meminta maaf karena apa, Bu?"

Bu Ani menggigit bibirnya. Tak sanggup ia mengatakan kelakuan buruk si bungsu lebih jauh lagi pada calon besannya itu. Merasa sangat malu, wanita berhijab itu menoleh pada Rendra, seraya berbisik, "Ren, tolong bantu Ibu mengatakan semuanya pada Pak Brata."

Rendra menjawab dengan satu anggukan kepala. Pria itu mengalihkan pandangan pada Pak Brata, sambil mendesah pelan.

"Begini, Pak. Maksud kedatangan kami kemari memang masih berhubungan dengan pernikahan Kaivan dan Alisa. Hanya saja ... kami memiliki masalah serius mengenai adik saya. Jadi, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kelancangan yang sudah dilakukan Kaivan terhadap Alisa," ungkap Rendra dengan tenang.

"Loh? Kelancangan apa?" Pak Brata masih pura-pura tidak tahu.

"Pak Brata, kami sebenarnya baru tahu kalau Kaivan memiliki perempuan lain. Tadi siang dia datang ke rumah sambil menggandeng perempuan bernama Diana yang merupakan sahabat dari Alisa," jelas Rendra, lalu menatap Alisa, "Alisa, kamu sudah tahu masalah ini, kan?"

Alisa mengangkat wajahnya sambil mengangguk pelan. Bu Ani terperangah, lalu menutup mulut dengan sebelah tangannya.

"Atas kejadian memalukan ini, kami selaku keluarga Kaivan memohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya berpikir kalau adik saya tidak pantas menjadi pendamping hidup Alisa kelak, mengingat kelakuannya yang masih kekanak-kanakan. Maka dari itu, saya harap, Pak Brata bisa menimbang kembali keputusan untuk melanjutkan atau membatalkan pernikahan putri Bapak dengan adik saya. Saya dari pihak keluarga Kaivan juga tidak keberatan jika Bapak memberi keputusan untuk membatalkan pernikahan ini," lanjut Rendra.

Pak Brata menyunggingkan senyum di satu sudut bibirnya. "Saya sebenarnya tidak keberatan jika pernikahan ini batal. Cuma ... kamu tahu, kan, bagaimana masyarakat luar akan memandang putri saya ke depannya? Saya dan Bu Rosa masih sanggup menanggung beban dari gunjingan masyarakat, tapi bagaimana dengan Alisa? Dia perempuan. Kamu pasti paham betul stigma masyarakat jika seorang perempuan sampai batal menikah. Akan sulit bagi Alisa untuk menemukan jodoh ke depannya karena sudah dicap sebagai perempuan plin-plan gara-gara batal menikah."

Termenung Rendra dan Bu Ani mendengar penuturan Pak Brata. Keduanya saling pandang untuk sejenak, sampai Rendra menatap Pak Brata lagi.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan harga diri Alisa dan keluarga? Apakah pernikahan Alisa dan Kaivan akan tetap dilanjutkan?" tanya Rendra, merasa tidak yakin.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!