"STOP PANGGIL AKU NAYA NAYA NAYA!"
Sagara memutar bola matanya malas mendengar seruan itu. Dia menatap Naya yang sedang duduk di atas sofa single sambil menatapnya dengan angkuh.
"Terus apa?" tanya Sagara dengan malas.
"Panggil aku Ndoro!"
Sagara semakin malas. Dia menggaruk alisnya sambil mengerut.
"Udah dramanya?" tanyanya.
Naya mencebikkan bibirnya kesal. Dia menghentakkan kakinya lalu berjalan mendekati Sagara hingga berdiri di depan pria gapura kabupaten itu. Tubuh Naya yang memang pendek, terpaksa mendongak untuk menatap Sagara.
"Jangan mentang-mentang kita udah nikah, kamu bisa seenaknya sama aku, ya! Ingat, kita ini dijodohkan alias gak saling suka! Jadi, mulai sekarang, aku mau bikin peraturan!" ujar Naya menggebu.
"Basi. Norak," komentar Sagara.
Nayanika melotot tajam. "Maksud kamu apa?!"
"Jalani hidup kaya biasanya, gak usah ribet," cetus Sagara. Dia berjalan menuju tangga, tempat di mana kamarnya berada.
"Eh mau ke mana?! Sini sungkem dulu sama ketua!" seru Naya sambil berkacak pinggang. Tapi Sagara tidak menghiraukannya sama sekali.
"Dasar batu akik!" gumam Naya penuh dendam.
4 hari yang lalu mereka baru menikah. Perjodohan konyol yang dilakukan orang tua mereka membuat keduanya sulit untuk saling menerima. Naya yang masih ingin kebebasan dan Sagara yang terlalu malas tinggal dengan manusia cerewet seperti Nayanika.
Sekarang mereka tinggal di rumah mereka sendiri setelah 4 hari menginap di rumah Naya. Rumah ini adalah hadiah pernikahan mereka dari orang tua mereka pula. Lihat, bukankah semuanya sudah disiapkan selengkap mungkin? Bahkan mereka tidak perlu membawa koper saat pindah ke sana, karena semuanya sudah lengkap, baju Naya dan Sagara sudah ada di sana, semuanya baru.
Nayanika adalah gadis berumur 25 tahun. Memang pada dasarnya manja ya manja. Di umurnya yang 25, dia tidak kerja atau kuliah. Ia benar-benar dimanja oleh keluarganya terutama ayahnya. Beliau melarang Naya kerja. Tapi soal kuliah, Naya memang tidak mau, karena otaknya terlalu pas-pasan, dan malas memikirkan tugas. Masa sekolah saja sudah membuatnya ubanan, apalagi kuliah?
Sagara Mahatma Soedjodjo, umurnya 30 tahun. Orang-orang tentunya sudah tidak asing dengan marga Soedjodjo. Keluarga itu termasuk keluarga terpandang dan sangat disegani. Tidak ada yang berani menyenggol mereka, terlebih menyenggol si sulung yang tak lain adalah Guntur Soedjodjo, Ayah Sagara. Guntur adalah keturunan Jawa asli, sedangkan ibunya keturunan Belanda. Jadi, wajah Sagara blasteran.
Sagara memang tampan dan gagah, tapi terlihat menyebalkan di mata Nayanika.
Naya dan Sagara berteman sejak kecil, karena dulu rumah mereka bersebelahan. Ya meskipun umur keduanya berbeda 5 tahun. Pertemanan itu berjalan hingga Sagara berumur 14 tahun. Di umur itu, Sagara melanjutkan pendidikannya di negara sang ibu dan otomatis dia meninggalkan Naya.
Meski ditinggalkan, Naya sama sekali tidak sedih, dia malah senang, tapi dia pura-pura sedih waktu itu. Kenapa senang? Ya karena Sagara menyebalkan. Kalau di depan para orang tua, Sagara akan bersikap baik pada Naya, tapi kalau di belakang, dia akan jahil dan sering membuat Naya nangis. Dulu, orang tua mereka mengira Naya menangis karena jatuh atau dijahili teman-temannya yang lain, padahal faktanya karena ulah Sagara.
Sekarang, Naya bukanlah Naya yang dulu. Dia akan bertekad untuk melindungi dirinya dari Sagara. Jika dulu dia hanya bisa menangis, sekarang Naya bisa melawan karena dia memiliki jurusan andalannya.
Dengan wajah tertekuk, Naya pun menuju kamar.
"Loh?" Naya berulang kali memutar gagang pintu kamar. Tapi ternyata terkunci.
"Kamarnya cuma 1 yang kebuka?" gumamnya bertanya-tanya. Dia sudah mencoba membuka kamar yang lain, tapi tetap tidak bisa. Dan hanya 1 kamar yang belum dia buka, yaitu kamar yang dimasuki Sagara tadi.
Sudah dipastikan mereka akan tidur bersama alias satu ranjang. Membayangkan seranjang dengan Sagara membuat Nayanika bergidik ngeri.
"Seranjang sama batu akik? Ogah banget!" Ia berdecih.
Mungkin nanti dia akan tidur di sofa saja.
Naya membuka kamar itu. Dia ingin mandi lalu istirahat.
Sagara yang sedang mengeringkan rambutnya pun menoleh. Dia hanya melirik sekilas ke arah Naya, setelahnya ia mengambil vitamin rambut dan mengoleskannya ke rambut hitam legam miliknya.
"Sok ganteng!" cibir Naya. Dia berjalan menuju kamar mandi sambil menghentakkan kakinya.
Padahal Sagara merasa biasa saja, sok ganteng darimana coba?
****
Naya benar-benar bukan istri yang baik.
Di saat Sagara sudah bangun, gadis itu masih tidur pulas. Bahkan posisinya sudah tidak karuan. Kepalanya sampai ke ujung ranjang. Sagara menggelengkan kepalanya melihat tingkah istri mungilnya ini.
Setelah gosok gigi, Sagara ke dapur untuk membuat sarapan. Ia tidak mengharap Naya yang membuat sarapan, dia tau kalau istrinya itu tidak bisa memasak.
"Beban," gumamnya. Naya benar-benar tidak ada manfaatnya di sini.
Sedangkan Naya sendiri, setelah 30 menit, ia terbangun. Ia menggeliat lalu duduk dengan mata setengah terbuka.
"Mama!" serunya.
Ah sepertinya dia sedang amnesia.
Teringat sesuatu, Naya langsung terbelalak, dia menatap sekelilingnya. Ya Tuhan, jadi dia tidak mimpi kalau satu atap dengan Sagara?
Tunggu, apa ini? Kenapa dia bisa ada di atas ranjang? Bukankah semalam ia tidur di sofa? Lagi-lagi Naya terbelalak, pikiran negatif mulai memenuhi otaknya.
Sagara udah perkaos aku?! Batinnya. Naya nutup mulutnya yang menganga, dia shock.
"SAGARA!"
"Berisik!"
Naya terlonjak, dia menatap ngeri Sagara yang sudah berdiri di ambang pintu.
"Kamu—"
"Cepat cuci muka, kita sarapan," sela Sagara. Tanpa menunggu balasan Naya, Sagara kembali keluar dari kamar.
"Kurang ajar!" desis gadis itu. Ternyata Sagara masih sama seperti dulu.
"Batu akik sialan!" pekik nya lalu merengek.
Andai saja tidak ada yang namanya perjodohan, pasti dia masih bisa bebas sekarang.
Setelah menuruti perintah Sagara, Naya segera menuju meja makan, di sana ada Sagara yang baru saja membuat susu dan kopi.
"Kamu beli di mana?" tanya Naya sambil menatap makanan yang ada di atas meja. Ia duduk dengan tenang, menunggu Sagara mengambilkan makanan untuknya.
"Masak sendiri," jawab Sagara. Ia menyerahkan piring yang sudah terisi penuh pada Naya. Meskipun tubuhnya mungil, porsi makan Naya seperti kuli.
"Masa sih? Beracun gak?" Naya menatap piringnya dengan ragu.
"Kalau ada racunnya, kenapa saya ikut makan juga?" balas Sagara.
Naya tak lagi membalas. Perutnya sudah lapar sekarang. Lebih baik dia makan dengan tenang.
Enak. Tapi, Naya tetap tidak yakin kalau Sagara yang memasaknya.
"Kamu mau ke kantor?" tanya Naya.
"Nggak."
"Biasa aja kali! Sama istri gak boleh cuek-cuek!" cibir Naya.
"Biasa kaya gimana lagi? Perasaan dari tadi saya udah biasa," ujar Sagara.
Bibir Naya mencebik. "Sok formal banget, heran," cibirnya. Dia kembali memakan makannya.
Sedangkan Sagara hanya menghela nafas melihat tingkah Naya yang semakin aneh.
"Kalau mau jajan, pakai ini." Tiba-tiba Sagara menyodorkan kartu ATM pada Naya.
Mata Naya langsung berbinar. Uang adalah segalanya. Jika dia disuruh pilih uang atau Sagara, tentu saja dia pilih uang.
"Serius?!" Mata Naya menatap Sagara meminta jawaban.
Sagara mengangguk. "Kalau kurang, bilang sama saya."
Naya memekik kegirangan, tanpa sadar dia mengecup pipi Sagara. Kebetulan mereka duduk bersebelahan. Itu reflek!
"MAKASIH!" pekiknya.
Sedetik kemudian Naya sadar dan langsung menutup mulutnya dan menatap Sagara dengan kaget.
"Iiihhhh cabul!" pekiknya.
Lihat, siapa yang bertindak, siapa yang berlagak seperti korban.
Sagara berdecak saat melihat Naya berlari ke arah wastafel dan mencuci bibirnya seolah Barus aja terkena kotoran.
"Dasar mini," gumam pria itu.
bersambung...
"Wow, gosong..."
Naya tersenyum lebar menatap hasil karyanya. Meskipun gosong, dia merasa bangga karena kue itu bisa mengembang alias tidak bantat.
Gadis itu segera memindahkannya ke piring dengan hati-hati.
Sagara yang sedang sibuk pun lantas mengerutkan keningnya saat mencium aroma tak sedap. Sedetik kemudian dia terbelalak menyadari sudah ada Naya di rumahnya.
"Ngapain dia?" gumamnya segera berlari ke luar untuk melihat apa yang dilakukan Nayanika.
"Naya!" seru Sagara membuat Naya terlonjak kaget.
Sagara berjalan cepat ke arah Naya. Belum ada seminggu di sini, gadis itu sudah membuat ulah.
Sagara mendorong Naya agar menjauh, dia melihat apa yang telah Naya lakukan. Ah, ternyata kue buatan Naya gosong. Untung saja oven nya tidak apa-apa.
"Kenapa sih?" kesal Naya. "Minggir-minggir!" usirnya pula.
"Mau apa lagi? Ini udah gosong, Naya. Mau kamu makan?" tanya Sagara sembari menunjuk-nunjuk kue buatan Naya tadi.
"Bukan aku yang makan, tapi kamu," balas Naya, dia segera memindahkan kue itu ke atas piring, lalu ia potong-potong dengan asal.
Sagara mengerut tak suka. Jadi dia dijadikan kelinci percobaan gitu?
"Aaaa." Naya menyuruh Sagara membuka mulutnya.
Sagara menatap kue gosong itu dengan pandangan aneh. Apakah ini aman?
"Ayo cepat," desak Naya.
"Naya —"
"Aku gak terima protesan, ayo cepat buka mulut," sela Naya memaksa.
Dengan terpaksa Sagara membuka mulutnya menerima suapan besar dari Naya. Pria itu mengunyah sambil mengerutkan keningnya ketika merasakan tekstur kue tersebut.
"Enak gak?"
Pertanyaan konyol macam apa itu.
"Not bad," ujar Sagara membuat Naya terbelalak.
"Serius?" tanya Naya.
"But, not good," kata Sagara lagi.
"Tapi enak kan?"
Sagara mengangguk, sedetik kemudian dia menggeleng. Naya bingung dengan reaksi itu.
"Apa sih? Jawab yang bener coba," kesal Naya.
Sagara menelan kuenya sebelum menjawab. "Enak, tapi gak enak kalau dimakan berlebihan," jelasnya.
Naya mengangguk paham. "Terus ini gimana? Buang?"
"Coba kamu makan." Kini Sagara yang menyuapi Naya.
"Gak mau!" Naya menutup mulutnya dengan tangan.
"Sedikit aja, biar kamu tau rasanya," ujar Sagara. Ia menahan tengkuk Naya.
"Gak! Ini namanya pemaksaan!" Naya menjauhkan wajahnya dan tangannya menahan tangan Sagara yang memegang kue gosong itu.
"Tadi kamu maksa saya juga, kan?"
"Y-ya, tapi kan—"
"Nggak ada tapi-tapi. Kamu harus nyicipi ini juga."
Naya menatap tajam Sagara, sedangkan pria itu malah terlihat santai menunggu Naya membuka mulut.
Saat Naya membuka mulutnya, Sagara langsung memasukkan potongan kue yang cukup besar itu. Dan ketika Naya hendak memuntahkan, Sagara langsung menutup mulutnya.
"Telan, Naya. Gak boleh buang-buang makanan, mubazir," tekan Sagara. Sebelah tangannya menahan tengkuk Naya, sedangkan satunya lagi menutup mulut Naya.
Inilah yang membuat Naya tidak mau menikah dengan Sagara.
Mata Naya berkaca-kaca karena merasakan rasa kue buatannya sendiri. Enak darimana coba? Rasanya sangat aneh, ditambah lagi dengan teksturnya yang gosong.
Setelah menelan semuanya, Naya langsung meminum susu yang ada di kulkas dengan buru-buru.
Sagara tersenyum puas. Mereka impas sekarang.
"INI NAMANYA KDRT!" pekik Naya. Matanya menatap tajam ke arah Sagara yang sibuk membersihkan kekacauan yang ia buat tadi.
"Kamu duluan."
"JAHAT! AKU ADUIN MAMA!" Naya menghentakkan kakinya. Dia hendak beranjak dari sana tapi Sagara lebih dulu menarik tangannya.
"APA?!"
"Bantuin. Kamu yang bikin dapur kacau gini. Jadi, harus tanggungjawab," ucap Sagara.
"OGAH!"
"Nayanika..."
Urat-urat yang tadinya mengencang mulai lemas ketika Sagara memanggil nama panjangnya. Naya berdecak kecil, ia pun terpaksa menuruti perintah suaminya.
Sagara memang menyebalkan, tapi kalau sampai membuat pria itu marah, Naya tidak akan berani. Cara Sagara memanggilnya membuat bulu kuduk Naya berdiri semua.
Diam-diam Sagara tersenyum puas. Ini yang dia mau, Naya tunduk padanya. Meskipun hanya beberapa detik.
Naya membereskan semuanya sambil menggerutu. Sagara bodo amat, dia memilih memperhatikan Naya sambil minum jus wortel miliknya. Karena kekacauan ini adalah ulah Naya, jadi Sagara hanya membantu sedikit saja.
"Kalau beres-beres gak boleh cemberut," tegur Sagara.
Naya langsung berbalik menghadap pria itu. Bibirnya tersenyum lebar yang dipaksakan.
"Aku gak cemberut," ucapnya sambil tersenyum paksa.
Sagara mengerut geli melihat senyuman itu, aneh sekaligus menyeramkan.
15 menit Naya habiskan untuk membereskan semuanya. Keringat mulai membanjiri pelipisnya. Ia membuka kulkas lalu mengambil sebotol air dingin dan meneguknya hingga setengah.
"Saya mau ke supermarket, ikut?" tawar Sagara.
"Mau beli apa? Kan bahan makanan masih banyak tuh," ujar Naya.
"Snack," jawab Sagara. Dia memang suka ngemil. Snack sudah menjadi teman Sagara, kalau lembur, dia pasti ditemani snack favoritnya.
"Ikut!"
"Sana mandi, kamu bau."
Naya melotot. Tentu saja dia tidak terima dengan ucapan Sagara. Ia segera berlari mengejar Sagara yang menaiki tangga.
"Makan nih bau nya. Makan, makan!" Naya mengangkat tangannya dan mengarahkan ketiaknya pada Sagara. Ia sampai berjinjit.
"Bau, Naya. Kamu gak malu?" Sagara mendengus, dia menggeser tubuh Naya yang menghalangi jalannya, lalu ia kembali berjalan dengan santai.
"Kurang ajar! Mau aku kutuk jadi semut, hah?! Biar bisa aku injak-injak sampai hancur!"
Sagara sama sekali tidak menghiraukan Naya. Hal itu membuat Naya kesal setengah mati. Dia seperti orang gila yang koar-koar.
"Awas aja! Aku bakal bikin kamu bertekuk lutut!" gumam Naya sembari menatap punggung Sagara.
****
"Ambil apapun yang kamu mau."
Seorang Nayanika disuruh begitu? Hah, Naya memang jagonya menguras uang orang. Karena Sagara sudah memberi perintah seperti itu, maka Naya tak segan mengambil snack sebanyak apapun. Terutama roti dan biskuit, Naya sangat menyukai makanan sejenis itu dibandingkan snack asin atau pedas.
Mereka berpencar dan memilih untuk diri sendiri. Selama ini Arunika melarangnya membeli banyak makanan, katanya itu pemborosan dan juga tidak sehat. Jadi ketika Sagara menyuruhnya untuk mengambil apapun, Naya tidak menyia-nyiakan kesempatan.
"Sudah?" tanya Sagara ketika Naya menghampirinya dengan membawa satu keranjang penuh.
Naya mengangguk. "Kamu beli apa?" Ia mengerut melihat isi keranjang Sagara. Benar, pria itu memang membeli snack, tapi ada wortel, brokoli, tomat, apel, serta beberapa buah lainnya di keranjang Sagara.
"Saya rasa kamu bisa lihat," balas Sagara lalu kembali memilih buah naga yang terlihat segar.
"Itu buat apa? Gak mungkin kamu makan buah sebanyak itu, kan?" tanya Naya.
"Saya suka buat jus, untuk kesehatan," jawab Sagara apa adanya.
Naya berdecih. "Percuma minum jus kalau masih minum kopi tiap hari," cibirnya.
"Gak ada yang percuma selagi itu adalah hal baik." Sagara mengambil alih keranjang Naya. "Setidaknya saya masih menjaga kesehatan tubuh, gak kaya kamu." Setelah itu ia pergi ke kasir, meninggalkan Naya yang menggeram kesal. Sagara selalu memiliki cara agar membuatnya kesal.
bersambung...
Hari ini Sagara kembali bekerja, dan Naya nganggur seperti biasa. Sebelum menikah ataupun sesudah menikah, kerjaan Naya tetap sama, yaitu mengurung diri di rumah.
Setelah Sagara berangkat, Naya tidur sampai jam 11 siang. Tanpa mau memasak makan siang, Naya memilih memesan makanan saja. Lagi pula dia kan tidak bisa memasak makanan enak. Paling mentok hanya bisa masak nasi dan rebus air, kalau tidak ya goreng telur, itupun kadang bisa gosong juga.
Gadis ini benar-benar bukan istri yang baik dan suka sekali menyusahkan Sagara. Untung saja Sagara masih memiliki hati nurani. Kalau tidak punya hati, sudah ia tendang Naya keluar dari sini.
Naya memesan banyak makanan menggunakan uang yang diberikan Sagara. Mie ayam, bakso, sosis bakar, siomay, telur gulung, martabak, milkshake coklat, semuanya dia beli untuk dirinya sendiri. Naya tidak takut berat badannya naik karena sebanyak apapun dia makan, tubuhnya tidak akan berubah.
"Gila, enak banget jadi nona muda," gumamnya lalu tertawa puas. Dia lanjut memakan baksonya sambil menonton film.
Hingga 30 menit kemudian, semua makanan sudah tak tersisa. Naya meringis karena kekenyangan, perutnya terasa ingin meledak.
"Kenyang...," rengeknya.
"YA TUHAN, NAYA!"
Naya terlonjak kaget, hampir saja dia jantungan. Matanya melotot melihat kedatangan mamanya yang tiba-tiba.
Arunika menatap tajam anaknya. Dia berdecak melihat betapa kacaunya ruangan itu. Semua sampah berserakan, sedangkan si empu malah terlihat santai.
"Mau jadi apa kamu, Nayaaa!" geram Arunika. Niat hati ingin berkunjung, dia malah disuguhi pemandangan seperti ini.
Dengan langkah lebar Arunika mendekati Naya dan langsung menjewer telinga gadis itu.
"E-eh, Mama ... sakit ih!" pekik Naya. Dia menatap Arunika dengan bibir cemberut.
Arunika melepaskan jeweran nya. Dia melotot tajam. "Mau jadi apa kamu, Mama tanya?!"
Naya menunduk sambil mengusap telinganya, bibirnya tetap cemberut. Kenapa mamanya ini tidak mengabari dulu kalau ingin berkunjung?
"Untung Mama yang datang, kalau mertua kamu yang datang, mau ditaruh di mana muka Mama, hah?! Anak cewek kok kaya gini. Kamu itu udah nikah, Naya, beda sama kehidupan kamu yang sebelumnya! Berubah dong, masa mau gini terus sih kamu?! Kalau Sagara menikah lagi gara-gara gak betah sama kamu, gimana, hah?!"
"Ya baguslah...," lirih Naya.
"HEH!" Arunika semakin melotot. Tangannya mencubit-cubit lengan Naya hingga membuat gadis itu berusaha menghindar. "Jangan malu-maluin Mama kamu! Gak mau tau, beresin semuanya! Jangan manja terus jadi perempuan!"
Arunika menyudahi cubitannya dan mendorong Naya agar segera membersihkan ruangan itu. Bodo amat kalau terlihat kasar, hanya dengan cara ini Naya mau menurut.
"Iya iya!" ucap Naya masih dengan wajah tertekuk. Sedangkan Arunika memilih mengawasi saja. Biar Naya tau rasanya beres-beres tanpa dibantu orang.
"Masih untung ada yang mau nikah sama kamu, Nay. Gak bisa masak, beres-beres juga malas, kerjaannya rebahan mulu, siapa yang mau nikah sama perempuan kaya kamu selain Sagara? Masih baik Sagara itu mau nikah sama kamu. Harusnya kamu ada perubahan, jangan lagi manja ... bla ... bla ... bla ..." Ocehan Arunika menemani waktu beres-beres Naya. Gadis itu hanya berdehem malas sebagai responnya.
Hingga 30 menit kemudian, ruangan itu sudah bersih, bukan hanya 1 ruangan, tapi semua ruangan di rumah itu sudah Naya bersihkan. Itu adalah waktu yang singkat karna rumahnya memang tidak terlalu berantakan dan kotor, hanya sampah-sampah Naya tadi saja yang paling kotor. Tapi, menurut Naya, 30 menit adalah waktu yang sangat lama. Tenaganya seakan habis. Gadis itu rebahan di sofa setelah minum 1 botol air dingin.
Dari arah dapur, Arunika menghampiri dengan membawa piring di tangannya. Sebenarnya dia kasihan melihat Naya yang terlihat kelelahan, tapi apa boleh buat, itu adalah cara agar Naya terbiasa nanti.
"Sering-sering olahraga juga biar kamu gak gampang ngos-ngosan," ujar Arunika. Dia meletakkan piring yang dia bawa ke atas meja. "Mama bikinin risol sayur kesukaan kamu tuh."
Mata Naya yang tadinya terpejam langsung terbuka lebar, dia beranjak duduk dan menyambar risol kesukaannya itu. Seketika moodnya membaik saat merasakan bertapa enaknya risol buatan mamanya.
"Enwak! Dari dulu riswol Mamwa emang yang terbawik!" ucap Naya dengan mulut penuh, jadi bicaranya agak aneh.
Arunika mencebik. "Coba kamu belajar bikin sendiri, biar gak Mama terus yang bikinin," katanya.
Nayanika menyengir. "Kalau gitu ajarin lah!"
"Gampang! Kalau kamu mau belajar, Mama bakal ajarin kapanpun kamu mau."
Naya langsung mengangguk cepat. "Abis ini aja kalau gitu!" serunya.
Arunika mengangguk saja. Kapan lagi putrinya ini mau diajari memasak?
****
"Gak usah pegang-pegang aku!"
"Saya juga gak sudi pegang-pegang kamu."
"Sok formal banget!"
"Suka-suka saya."
Naya menyetak tangan Sagara yang memegang tangannya, tapi pria itu kembali memegangnya, alhasil ia mendapat pelototan dari Naya.
"Diam dulu, darahnya makin banyak," tegur Sagara membuat Naya terdiam.
Pada akhirnya Naya membiarkan Sagara mengobati jarinya yang terluka. Padahal hanya terkena pisau, tapi darahnya tidak mau berhenti.
"Lain kali gak usah aneh-aneh. Kalau gak bisa, gak usah dilakuin. Paham?" Sagara menatap Naya dengan penuh peringatan.
Naya memutar bola matanya malas, dia tidak menyahut dan memilih menatap ke arah lain, membiarkan Sagara mengobati tangannya yang terluka.
Karena ingin menjadi istri yang baik seperti Arunika katakan, Naya nekat memasak makan malam. Niatnya dia ingin membuat tumis kentang, wortel dan kol, tapi saat memotong sayuran itu, jari Naya tak sengaja terkena pisau hingga terluka, darahnya banyak sampai bercucuran. Tapi wajah Naya tidak terlihat kesakitan, malah Sagara yang dengan sukarela ingin mengobatinya. Padahal hanya luka kecil, biasanya Naya biarkan sampai sembuh sendiri, tapi kali ini ada Sagara yang mengobati.
"Udah kan? Sana, aku mau lanjut masak," usir Naya setelah Sagara selesai mengobati tangannya.
"Masih ngeyel? Bisa gak nurut sama saya?"
"Nggak bisa. Selain donatur dilarang ngatur!"
Tak!
Naya meringis merasakan jitakan Sagara, meskipun pelan, tetap saja sakit! Tangan pria itu lebih besar dari tangannya, tentu saja tenaganya lebih besar pula.
"Yang sopan sama suami. Keren kamu begitu?"
Naya cemberut. Kenapa orang-orang suka sekali memarahinya? Tadi mama, sekarang Sagara.
"Pesan makanan aja, gak usah ngeyel kamu kalau dibilangin. Saya gak mau dapur saya hancur gara-gara kamu," lanjut Sagara. Sejujurnya malas sekali mengeluarkan banyak kalimat untuk memarahi Naya, tapi kalau tidak seperti itu, Naya akan semakin semena-mena. Sagara ingin Nay menurut padanya, harus.
Melihat Naya yang diam sambil menatapnya dengan wajah tertekuk, Sagara mengendikkan dagunya menyuruh gadis itu segera pergi dari sana.
Naya berdecak. "Kalau nanti aku dimarahin mama gara-gara gak masak buat kamu, kamu harus bela aku pokoknya!"
"Hm."
"Jawab yang bener!"
"Iya."
Naya menghentakkan kakinya kesal sebelum pergi dari sana. Dia mengambil ponsel Sagara untuk memesan makanan. Ia duduk di sofa panjang.
"Malam-malam begini enaknya makan bakso sama mie ayam gak sih?" gumam gadis itu.
Sagara datang membawa sesuatu di tangannya membuat Naya tertarik. Gadis itu merapatkan tubuhnya pada Sagara untuk melihat apa yang pria itu bawa.
"Itu apa?" Mata Naya menyipit. Bentuknya aneh, tapi Sagara memakannya dengan nikmat.
"Salad sayur, mau?" Sagara menyodorkan mangkuknya ke arah Naya.
Naya langsung menggeleng cepat. "Nggak! Gak enak!" Dia menjauh dan kembali memainkan ponsel Sagara.
Sagara mengendikkan bahunya acuh, dia kembali memakan salad nya sambil menonton TV.
Naya memang sesulit itu kalau disuruh hidup sehat. Dia suka sayur, tapi tidak suka juga. Aneh.
bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!