NovelToon NovelToon

THE VEIL OF AEDHIRA

Bab 1 Hujan dan darah

Lyra Caellum berlari secepat yang ia bisa. Napasnya memburu, dadanya terasa sesak, seperti ada batu besar yang menghantam setiap tarikan udara. Di atasnya, langit hitam menjerit — petir membelah cakrawala, suara gemuruhnya begitu keras sampai tanah di bawah kakinya bergetar.

Bajunya basah kuyup, lumpur menempel di sepatunya, membuat setiap langkah makin berat. Tapi Lyra nggak peduli. Dia harus pergi. Sekarang juga.

Semua gara-gara tuduhan konyol itu. Pengkhianat? Serius? Hah. Mereka bahkan nggak tahu siapa dirinya sebenarnya. Seumur hidup Lyra mengabdi pada desa itu — membantu di ladang, menjaga anak-anak, bahkan ikut berpatroli waktu ada kabar tentang serigala liar. Dan sekarang? Dituduh menjual rahasia desa cuma karena ketahuan deket sama seorang pengelana asing yang bahkan dia nggak kenal baik.

Brilian.

Petir lain menggelegar, dan Lyra secara refleks menunduk, melindungi kepala dengan lengannya. Dia tergelincir di lumpur, jatuh berlutut. Tapi nggak ada waktu buat merengek atau mikir panjang. Lyra bangkit lagi, meski lututnya perih, dan terus berlari.

Hutan di depan matanya makin lebat. Seperti monster besar yang menganga, siap menelannya bulat-bulat.

"Lebih baik mati digigit binatang buas daripada mati dibakar di alun-alun," gumamnya, setengah tertawa getir.

Dia berlari masuk ke kegelapan, membiarkan pohon-pohon raksasa menelannya. Setidaknya, di sini, nggak ada orang yang bakal lemparin batu ke arahnya. Nggak ada tatapan penuh benci dari orang-orang yang dulu memanggilnya "adik kecil" dengan senyum hangat.

 

Angin makin kencang. Hujan berubah jadi cambukan-cambukan kecil yang sakit waktu kena kulit. Lyra terengah, kakinya mulai mati rasa, tapi dorongan dalam dirinya nggak mau berhenti.

Langkahnya membawa dia ke sebuah jalur sempit, hampir nggak kelihatan, tersembunyi di antara semak-semak berduri. Dia merunduk, menyingkirkan ranting-ranting kasar yang mencakar wajahnya, dan terus maju.

Entah berapa lama dia berjalan. Bisa lima belas menit, bisa satu jam. Waktu rasanya kehilangan arti.

Sampai akhirnya dia melihat sesuatu — sebuah bayangan besar di tengah hutan. Sebuah bangunan tua, separuh runtuh, tertutup lumut dan akar pohon. Dindingnya retak-retak, dan pintu batunya hampir rubuh.

"Wow..." Lyra bergumam tanpa sadar. "Tempat apa ini?"

Dia mendekat, langkahnya ragu. Ada sesuatu di udara. Bau logam. Bau tanah basah. Dan... sesuatu yang lain. Sesuatu yang bikin bulu kuduknya berdiri.

Suara-suara kecil mulai terdengar. Bukan dari luar. Dari dalam kepalanya.

"Ayo masuk."

"Kami menunggumu."

"Buka gerbangnya..."

Lyra menggigit bibir. Suara-suara itu jelas bukan sesuatu yang normal. Tapi bagian dirinya — bagian yang kelelahan, putus asa, dan merasa dunia sudah membuangnya — berkata, kenapa nggak?

Kalau mati di sini, setidaknya dia nggak mati sebagai kriminal yang dihukum rakyat sendiri.

Dia meraih pintu batu yang berat, menempelkan telapak tangannya di permukaannya yang dingin dan kasar.

Dan saat itu terjadi —

BAM!

Cahaya meledak dari sela-sela batu, mendorong Lyra mundur beberapa langkah. Udara bergetar. Tanah bergetar. Bahkan hutan di sekitarnya mendesah, seperti makhluk hidup yang baru saja dibangunkan dari tidur panjangnya.

Pintu itu berderit pelan, lalu terbuka.

Di baliknya... hanya kegelapan.

Tapi entah kenapa, Lyra tidak merasa takut. Yang ia rasakan cuma rasa... kosong. Seolah-olah selama ini, seluruh hidupnya cuma menunggu momen ini.

"Kalau gue mati, setidaknya keren lah," katanya pada dirinya sendiri, setengah bercanda. "Lyra Caellum, si gadis tolol yang buka portal dunia lain karena keisengan."

Lalu, tanpa pikir panjang lagi, dia melangkah masuk.

 

Seketika dunia berubah.

Hujan berhenti. Udara jadi berat dan aneh, seperti napas makhluk raksasa yang tertahan. Langit di atas bukan lagi langit yang dikenalnya — sekarang berwarna ungu gelap, bertabur bintang-bintang aneh yang berkilau merah.

Tanah di bawah kakinya bukan lumpur, melainkan semacam rumput biru yang berkilauan seperti kaca pecah.

Di kejauhan, pegunungan bergerigi menjulang, siluetnya membentuk bayangan-bayangan yang bergerak meski tak ada angin. Hutan di sekitarnya terlihat hidup — pohon-pohonnya bergerak perlahan, seolah berbisik satu sama lain.

Lyra menatap sekeliling dengan mata terbelalak.

"Ini... ini beneran bukan dunia gue."

Jantungnya berdegup keras, antara ngeri dan kagum.

Saat itu, sesuatu bergerak di sudut matanya. Sosok bayangan — cepat, lincah — berlari melintasi hutan.

Lyra langsung siaga, tubuhnya kaku. Tapi sosok itu tidak menyerang. Malah... seolah menunggu.

"Kalau gue nggak mati karena portal, mungkin gue bakal mati sekarang," bisiknya sambil menarik napas panjang. "Great. Sangat keren."

Dia melangkah pelan, mendekati arah sosok itu menghilang, tanpa sadar memasuki petualangan yang akan mengubah segalanya.

Langkah Lyra ragu-ragu, tapi dorongan untuk tahu lebih besar daripada rasa takutnya.

Di depannya, jalan setapak dari batu-batu putih samar membentang, berkelok menembus hutan aneh itu. Setiap langkah Lyra menghasilkan suara aneh, seperti lonceng kecil berdenting jauh di kejauhan.

"Oke... jalan batu yang bercahaya, suara lonceng, pohon-pohon yang gerak sendiri... Apa lagi nih?" gumamnya sambil melirik kanan-kiri.

Tiba-tiba, suara dedaunan bergemerisik. Bukan suara angin, tapi suara sesuatu — atau seseorang — yang mendekat.

Jantung Lyra berdegup cepat.

Dia meraba pinggangnya, berharap entah kenapa ada pedang atau tongkat sihir nongol di situ. Tentu saja kosong.

Yah, great. Masuk dunia asing tanpa persenjataan. Pintar banget, Ly.

Langkah-langkah itu semakin dekat.

Dari balik pohon, muncul sesosok makhluk... seukuran anak kecil, kulitnya pucat kehijauan, matanya besar dan bersinar keperakan.

Makhluk itu menatap Lyra dengan tatapan penuh rasa ingin tahu — bukan ancaman.

"...Hai?" sapa Lyra, setengah berharap itu makhluk damai, bukan pemangsa manusia.

Makhluk itu mengedipkan matanya yang besar dua kali, lalu mendekat beberapa langkah. Tiba-tiba, ia berbicara — suaranya terdengar di kepala Lyra, bukan di telinganya.

"Darah kabut... kau pembawa darah kabut..."

Lyra mengerjap. "Apa? Darah apa?"

Makhluk itu tidak menjawab, malah berbalik dan berlari ke dalam hutan, meninggalkan jejak-jejak bercahaya.

"Eh?! Hey, tunggu!" seru Lyra, spontan mengejar.

 

Ia mengikuti makhluk itu melewati belukar yang terasa seperti gerbang, sampai tiba-tiba ia berdiri di tepi sebuah danau.

Danau itu aneh — airnya bening, tapi memantulkan langit seolah-olah itu cermin hidup. Di tengah danau, ada pulau kecil. Dan di atas pulau itu berdiri... seseorang.

Atau lebih tepatnya, sesuatu.

Sosok tinggi berbalut jubah hitam berdiri dengan tenang, wajahnya tersembunyi di balik tudung. Di tangan kirinya, ia memegang tongkat dari kayu hitam legam, bercahaya samar.

Seketika udara di sekitar Lyra menjadi berat. Seperti ribuan mata memandanginya.

"Lyra Caellum," suara berat itu bergema, bergulung di udara. "Akhirnya kau datang."

Lyra mengangkat alis, bingung campur takut. "Oke... Aku jelas nggak kenal elu."

Sosok itu tertawa kecil — suara tawa yang membuat bulu kuduk Lyra berdiri.

"Takdir tidak peduli apakah kau siap atau tidak. Darah kabut telah memanggilmu. Aedhira sedang sekarat. Dan kau... kau adalah kunci terakhirnya."

Lyra menelan ludah. "Salah orang, mungkin?"

Sosok itu mengangkat tongkatnya, dan dunia di sekitar Lyra tiba-tiba meledak dalam pemandangan-pemandangan aneh: medan perang yang terbakar, kota-kota runtuh, makhluk-makhluk bersayap hitam melayang di atas puing-puing.

Dan di tengah kekacauan itu... dirinya sendiri. Tapi versi dirinya yang lain — dengan mata bersinar, tangan diliputi api putih.

"Apa-apaan ini..." bisik Lyra, setengah ngeri, setengah terpana.

"Pilihanmu akan menentukan masa depan Aedhira," suara berat itu bergema lagi. "Tapi ingat, darah kabut menuntut pengorbanan."

Seketika, semuanya menghilang. Hutan kembali sunyi. Hanya suara nafas Lyra sendiri yang terdengar.

Ia memandang ke sekeliling. Sosok berjubah itu sudah lenyap. Dan makhluk kecil tadi? Entah ke mana.

Lyra berdiri sendirian, di dunia yang bahkan belum sempat dia mengerti, dengan takdir raksasa menggantung di atas kepalanya.

"Ya ampun, kenapa hidup gue kayak video game isekai tanpa tutorial begini," keluhnya, memijit pelipis.

Tapi dalam hatinya, Lyra tahu: dia tidak bisa kembali. Jalan pulangnya telah tertutup.

Dan satu-satunya jalan... adalah maju.

Langit Aedhira mulai meredup, meski Lyra tak yakin apakah ini senja atau cuma ilusi waktu di dunia aneh ini.

Perutnya keroncongan, kakinya pegal luar biasa. Tapi ia terus berjalan, mengikuti jalan setapak samar yang tampaknya menuju ke tempat lebih terbuka. Dedaunan makin lebat, dan kabut tipis mulai naik dari tanah.

“Kalau gue nggak nemu tempat nginep bentar lagi, fix tewas kelaparan atau dimakan makhluk berkaki delapan,” gumamnya sambil menggosok perut.

Tiba-tiba, ada suara keras — DUAARR!

Tanah bergetar. Ranting patah. Suara geraman menggetarkan udara, dan seekor makhluk besar berwarna kelam meloncat keluar dari semak-semak.

Makhluk itu... menyerupai serigala, tapi ukurannya segede kuda. Matanya merah menyala, lidahnya menjulur, dan taringnya — oh Tuhan — tajam banget.

Lyra mundur beberapa langkah. Panik. Napasnya tercekat.

“Serius... baru satu jam di sini, udah dicegat monster?”

Makhluk itu melompat ke arahnya. Lyra jatuh terduduk, panik. Tapi sebelum makhluk itu sempat menerkamnya—

ZWUSSHH!

Sesuatu melintas secepat kilat. Cahaya putih menyilaukan menebas udara, dan suara jeritan tajam keluar dari tenggorokan monster itu. Ia terhuyung, lalu roboh, berdarah dari dada.

Di baliknya, berdiri seorang lelaki.

Tinggi, rambut panjang terurai, jubahnya compang-camping dan berlumuran tanah. Tapi ada aura yang sulit dijelaskan. Seperti... kekuasaan yang disembunyikan. Matanya — sepasang mata perak pekat — memandang Lyra dengan campuran waspada dan... rasa penasaran.

“Kalau kau ingin tetap hidup, jangan berdiri di tengah jalur pemburu malam,” katanya datar.

Lyra membuka mulut, ingin menjawab, tapi... "Ya... makasih?" adalah satu-satunya kata yang keluar.

Lelaki itu menghampirinya. Tatapannya menyapu tubuh Lyra dari ujung kepala sampai kaki.

“Kau manusia. Dari luar Aedhira,” katanya pelan.

"Ya. Mungkin? Entah. Aku cuma—jatuh ke sini lewat portal aneh dan—"

“Berapa lama kau di sini?”

Lyra mendesis. “Dua jam, palingan.”

Lelaki itu menatap lebih lama, lalu tiba-tiba dia mendekat dan menyentuh pergelangan tangan Lyra. Seperti ada aliran panas menyentak dari kulit mereka.

Matanya melebar. “Darah kabut... benar-benar ada dalam dirimu.”

“Ya ampun, ini lagi. Gue beneran bingung. Apa sih maksudnya darah kabut? Kenapa semua orang di sini tahu nama gue?”

Lelaki itu mendengus. “Namaku Kaelen. Aku... seharusnya tidak ada di sini juga.”

Dia menoleh pada makhluk yang ia bunuh. “Mereka sedang berburu darah kabut. Dan kau—sayangnya—adalah umpan paling terang.”

Lyra menelan ludah. “Umpan? As in... aku target mereka?”

Kaelen hanya mengangguk.

“Oke. Jadi, apa yang harus aku lakukan?” tanya Lyra, setengah pasrah.

Kaelen menatap langit yang mulai gelap. “Ikut aku. Malam akan lebih berbahaya.”

 

Mereka berjalan dalam diam, kecuali suara langkah kaki dan bisikan dedaunan. Kaelen membimbingnya ke sebuah gua tersembunyi di balik air terjun kecil.

Di dalamnya, cukup hangat. Ada api kecil yang sudah hampir mati, dan beberapa alat sederhana—tanda Kaelen sudah bersembunyi di sini cukup lama.

“Kenapa kamu nolong aku tadi?” tanya Lyra sambil duduk dekat api.

Kaelen diam sejenak. “Karena kau adalah satu-satunya harapan yang tersisa. Dan... karena aku tahu rasanya diburu karena darah sendiri.”

Ia membuka sebagian jubahnya. Di bawahnya, ada luka besar yang tampaknya belum sembuh. Bekas cakar atau pedang — sulit ditebak.

Lyra bergidik. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, rasa hangat aneh menjalari telapak tangannya. Ia menatap kulitnya — samar-samar, cahaya merah keunguan muncul dari urat nadinya.

Kaelen melihatnya. “Kau mulai bangkit.”

“Aku gak ngerti... apa ini semacam sihir? Keturunan? Atau kutukan?”

“Darah kabut bukan sihir. Itu adalah bagian dari Aedhira. Darah para penjaga lama. Sudah hilang selama berabad-abad... sampai sekarang.”

Lyra mengusap cahaya dari tangannya. Tapi semakin ia coba hentikan, semakin terang.

“Aku gak mau ini. Aku cuma mau pulang.”

Kaelen menghela napas panjang. “Pulang bukan lagi pilihan, Lyra. Dunia ini sudah memilihmu. Dan saat dunia memilih... kau tidak bisa menolaknya.”

Lyra menatap api di depannya. Benaknya penuh. Ketakutan. Marah. Bingung. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang lebih kuat. Rasa penasaran.

Mungkin... mungkin ia memang tidak lagi punya tempat di dunia asalnya. Tapi di sini... mungkin ia bisa punya peran. Arti. Tujuan.

Ia memejamkan mata.

Angin Aedhira berbisik di luar gua, dan cahaya dari darah kabut di tubuhnya berdenyut pelan.

Seolah-olah... Aedhira sedang bernapas bersamanya.

Dan tanpa ia sadari, malam pertama Lyra di dunia asing itu adalah awal dari segalanya.

Bab 2 : bayangan di balik api

 Bayangan di Balik Api

Lyra bangun karena suara... dengkuran?

Ia membuka matanya perlahan, menyipitkan pandangan ke sekeliling gua. Api sudah padam, tapi masih menyisakan bara yang cukup hangat. Di pojokan, Kaelen tidur bersandar ke dinding batu, jubahnya setengah terbuka, rambutnya acak-acakan kayak model iklan sampo yang udah kehilangan sponsor.

Dengkuran itu... ternyata bukan dia.

“Eh?” Lyra duduk, waspada.

Suara dengkuran datang dari luar gua. Bukan manusia. Lebih seperti gabungan antara sapi mendengkur dan suara blender rusak. Pelan-pelan, ia melangkah ke luar, mengintip dari balik air terjun.

Dan di sanalah mereka.

Makhluk-makhluk aneh—berukuran sekitar dua meter, kulit mereka mengilap seperti logam gelap, bertanduk, dan bersenjata. Mereka duduk mengelilingi api unggun kecil, tertawa rendah, dan... bakar sesuatu yang kelihatan kayak kaki kijang raksasa.

Lyra mundur pelan-pelan, tapi batu kecil di kakinya terpeleset.

Krakk.

Salah satu makhluk itu menoleh.

Mata mereka... ungu. Dan langsung bersinar terang begitu melihatnya.

"ALARM!" teriak Lyra panik, sambil berlari ke dalam gua. “KAELEN, BRO, BANGUN, KITA DISERBU!!”

Kaelen membuka mata seperti ninja—dan langsung berdiri. “Berapa banyak?”

“Lima. Enam. Sepuluh? Gue panik, gak sempet ngitung! Mereka punya senjata, api unggun, dan kaki kijang sebagai sarapan. Mereka bukan turis!”

Kaelen menggeram pelan dan mengangkat tongkat kayunya. “Itu pasukan Karuun. Pemburu darah. Mereka mencium kekuatanmu.”

“GREAT. Jadi jadiin gue umpan lagi, ya?”

“Tidak,” jawab Kaelen, matanya menyala perak. “Kali ini, kita lawan balik.”

 

Pertempuran di luar gua berlangsung cepat dan brutal.

Kaelen seperti berubah jadi orang lain—atau makhluk lain. Setiap ayunan tongkatnya menghasilkan gelombang cahaya putih yang memukul mundur pasukan Karuun. Tapi jumlah mereka terlalu banyak. Dan mereka cepat belajar.

Salah satu dari mereka berhasil menyelinap ke samping dan melempar tombak ke arah Lyra.

Lyra menjerit. “OH SIAL—”

Tombak itu tak pernah sampai. Tiba-tiba, cahaya merah meledak dari tubuhnya, membentuk semacam pelindung tak kasatmata.

Pasukan Karuun mundur, menggeram marah. Salah satu dari mereka menunjuk Lyra dan berteriak dalam bahasa yang terdengar seperti... belatung marah-marah.

“Dia sadar. Darah kabutnya bangkit!”

Kaelen menoleh, napasnya terengah. “Kau... bisa mengendalikan kekuatan itu?”

Lyra melirik tangannya yang masih berpendar merah. “Enggak tahu. Gue cuma panik.”

Kaelen nyaris tersenyum. “Panikmu... berguna.”

 

Setelah pasukan Karuun mundur, mereka kembali masuk ke gua. Lyra terduduk, mencoba menenangkan napasnya.

“Oke, ini mulai kayak mimpi buruk edisi dua. Bisa gak gue bangun dan kembali ke dunia yang cuma ada tugas sekolah dan kopi basi?”

Kaelen duduk di seberangnya. “Dunia lamamu sudah jauh. Dan kekuatanmu tak bisa ditinggalkan.”

“Yah, terima kasih udah mengingatkan. Gue udah curiga sejak pertama kali masuk portal.”

“Mulai sekarang, kita harus bergerak. Aedhira terbagi dalam empat wilayah. Dan satu-satunya tempat aman untukmu... adalah Benteng Caelora.”

Lyra memutar bola mata. “Tentu. Selalu ada benteng. Dan pastinya penuh dengan orang-orang sok misterius yang tahu masa depanku, ya?”

Kaelen mengangkat alis. “Persis begitu.”

“Ugh. Stereotip.”

 

Perjalanan ke Caelora dimulai keesokan harinya.

Selama mereka menuruni lembah dan menyusuri jalan berbatu yang dipenuhi bunga yang bisa bernyanyi (serius, bunga-bunga itu menyanyikan lagu sedih setiap kali Kaelen lewat — seakan mereka punya drama personal), Lyra mulai belajar sedikit-sedikit tentang Aedhira.

Kaelen menjelaskan bahwa dunia ini dulunya damai — sampai Sang Raja Kelam bangkit seratus tahun lalu, menghancurkan tujuh kerajaan dan menguasai sebagian besar wilayah utara. Darah kabut adalah satu-satunya kekuatan yang bisa menandingi sihir kegelapan milik raja itu.

Masalahnya? Pewaris darah kabut... udah punah.

Sampai Lyra datang.

“Jadi gue kayak—anak hilang yang tiba-tiba punya warisan kekuatan magis, dikejar pembunuh, dan harus menyelamatkan dunia?”

“Ya. Kalau kau mau pakai kata-kata dramatis seperti itu,” jawab Kaelen datar.

“Dramatis? Itu plot film fantasy Netflix, bro.”

Kaelen menoleh ke arahnya. “Apa itu... net-fleeks?”

“Lupakan. Dunia lo belum sampai situ.”

 

Malam itu, mereka bermalam di pinggir sungai yang airnya bisa menyembuhkan luka kecil. (Lyra baru tahu setelah mencuci luka lecetnya, dan jari-jarinya langsung sembuh.)

Kaelen duduk sambil memandangi langit. “Ada sesuatu yang harus kau tahu, Lyra.”

“Hm?”

“Kaum bangsawan Caelora... tidak semua akan menerimamu. Darah kabut ditakuti. Kau mungkin dianggap ancaman.”

“Jadi, selain dikejar monster, gue juga bakal dibenci sama orang-orang yang seharusnya nolong gue?”

Kaelen mengangguk.

Lyra menatap api unggun. “Yap. Ini resmi jadi musim hidup paling absurd dalam sejarah hidup gue.”

Hari keempat perjalanan, Lyra mulai mempertanyakan keputusan hidupnya—khususnya keputusan impulsif menyentuh batu bersinar misterius di reruntuhan waktu itu. Punggungnya pegal, rambutnya kaku karena kebanyakan debu, dan Kaelen... masih dingin kayak kulkas rusak.

“Berapa jauh lagi, oh penunjuk jalan suci?” tanya Lyra sambil nyengir sarkas.

Kaelen menunjuk ke depan. “Lihatlah.”

Di kejauhan, berdiri sebuah benteng besar berwarna perak kebiruan, puncaknya menembus kabut tipis yang menyelimuti hutan. Caelora. Dindingnya berduri cahaya sihir, dan di sekelilingnya, sungai mengalir melingkar seolah benteng itu dijaga oleh pelindung alami.

“Dramatik banget ya. Tinggal kasih latar lagu ‘epic battle trailer’ dan slow motion masuk, beres,” gumam Lyra.

Kaelen tidak tertawa. (Seperti biasa.)

Gerbang Caelora terbuka pelan ketika mereka mendekat. Dua penjaga berbaju zirah hitam dengan lambang burung phoenix saling pandang. Begitu mata mereka menatap Lyra, satu dari mereka langsung meraih pedangnya.

“Darah kabut…” desisnya. “Perempuan itu—bercahaya.”

Lyra otomatis melangkah mundur. “Eh, gue nggak bercahaya! Ini... efek matahari. Sunblock abis.”

Kaelen mengangkat tangan. “Dia tamuku. Lindungi, atau bersiap melawan kekuatan kuno yang kau tak akan mengerti.”

Penjaga tampak ragu. Tapi akhirnya mereka membuka jalan.

“Dramatis banget, Kael. Gue suka,” bisik Lyra.

 

Caelora ternyata lebih megah dari luar.

Di dalamnya, taman bergantung, air mancur mengalir tanpa gravitasi, dan langit-langitnya dihiasi mozaik langit malam yang terus berubah sesuai waktu asli. Istana di pusatnya menjulang seperti kristal biru.

Tapi semua keindahan itu tak mampu menutupi satu hal: suasana tegang.

Bangsawan-bangsawan yang mereka temui di jalan berbisik-bisik, mata mereka mencurigai Lyra. Beberapa bahkan mundur seolah Lyra bawa penyakit menular.

“Ini bukan sambutan hangat ya,” komentar Lyra sambil melirik seorang wanita tua bermahkota bunga es yang melotot padanya seperti sedang disuruh bayar utang.

“Bersiaplah,” bisik Kaelen. “Dewan sihir menunggumu.”

 

Ruang dewan berada di puncak menara tertinggi. Di sana, sepuluh kursi batu melingkar, masing-masing diduduki penyihir tertua dan paling kuat di Aedhira. Di tengah lingkaran itu: altar kuno, tempat pengujian.

Seorang pria tua berambut putih berdiri. Jubahnya bergoyang ringan, dan suara yang keluar begitu berat seolah berasal dari dalam bumi.

“Namamu?”

“Lyra... Caellum. Tapi teman-teman manggil gue Lyra aja.”

Salah satu penyihir—wanita berkulit gelap dan mata emas—menaikkan alis. “Teman? Kau pikir kami... temanmu?”

Lyra menahan senyum kecut. “Gue pikir, mungkin bisa mulai dari situ?”

Kaelen melangkah maju. “Dia memiliki darah kabut. Aku menyaksikannya sendiri.”

“Buktikan.”

Tentu saja.

Selalu ada ‘buktikan’.

Mereka memaksa Lyra berdiri di tengah altar, lalu mengaktifkan lingkaran sihir di bawah kakinya. Cahaya merah langsung menyala, membentuk lambang kuno yang melayang di udara.

“Darah kabut... yang belum stabil,” gumam salah satu dewan.

“Bahaya,” komentar lainnya.

“Dia bisa menjadi ancaman, atau penyelamat,” ucap sang tetua utama.

“Gue milih jadi penyelamat deh, kalau bisa request,” sahut Lyra cepat.

Beberapa dari mereka tersenyum tipis. Tapi mayoritas tetap kaku. Salah satu pria muda dengan rambut keemasan bahkan berdiri dan menunjuk.

“Kita tidak butuh penyelamat dari dunia lain! Aedhira butuh stabilitas, bukan harapan buta!”

“Nama lo siapa?” tanya Lyra.

“Lord Ravian.”

“Catat: gak gue follow balik.”

Kaelen nyaris tersedak air minum.

 

Setelah pertemuan, Lyra diberi kamar di menara utara. Kamar itu luas, indah, dan... dingin. Secara harfiah dan emosional.

Kaelen akan tinggal di ruang penjaga. Sementara Lyra mulai dilatih mengendalikan darah kabut oleh seorang mentor misterius bernama Elreth—wanita muda dengan mata hitam pekat dan rambut seputih salju, yang kalau ngomong seperti pembaca puisi yang kelamaan nyepi.

“Elreth,” kata Lyra di pelajaran hari pertama. “Apa gue bisa... ngendaliin kekuatan ini kayak superhero Marvel?”

Elreth menatapnya datar. “Aku tidak tahu apa itu Marvel. Tapi kalau maksudmu bisa meledakkan batu dengan tatapan—ya. Bisa.”

“Cool.”

“Tidak. Bahaya. Sekali kau hilang kendali, seluruh Caelora bisa hancur.”

“Okay. Noted. Jangan ngamuk pas PMS.”

 

Malam harinya, Lyra bermimpi.

Ia berdiri di tengah hutan merah. Di depannya, sesosok pria bertopeng hitam berdiri sambil memegang pedang yang memancarkan aura gelap.

“Sang pengkhianat akan datang dari bayangan,” suara pria itu menggema.

“Siapa elo?” tanya Lyra.

“Tugasmu bukan bertanya. Tugasmu... memilih.”

Saat ia terbangun, Lyra mendapati telapak tangannya terbakar pelan—bukan api, tapi cahaya.

Dan di dinding kamarnya, ukiran yang tak ada sebelumnya tiba-tiba muncul.

Ukiran... wajahnya sendiri.

Lyra menatap dinding dengan mata nyaris melotot. Itu... itu jelas-jelas wajahnya. Terukir dalam batu dengan detail luar biasa, mulai dari bentuk alis sampai bekas luka kecil di pelipis kirinya—luka yang ia dapat saat jatuh dari pohon waktu umur tujuh tahun karena nekat sok jadi ninja.

“Gue sih suka kalau ada mural wajah sendiri, tapi ini creepy,” gumamnya.

Ia mendekat, menyentuh batu itu perlahan. Begitu jarinya menyentuh permukaannya, seberkas cahaya ungu samar muncul, dan suara dalam kepalanya berbisik.

"Lyra... kau harus ingat siapa dirimu..."

Oke, ini makin serem.

“Gue siapa, emangnya? Anak keturunan peri yang nyasar? Bangsawan tersesat? Siluman lontong?” keluhnya.

Tapi suara itu menghilang, dan cahaya padam. Yang tersisa hanya dinding batu biasa.

 

Keesokan harinya, pelatihan dilanjutkan. Tapi suasana makin tegang karena munculnya rumor: Gadis darah kabut bisa membuka Segel Tertua.

Elreth tidak membantah.

“Segel itu menyimpan sesuatu yang seharusnya tak pernah dibangkitkan,” ucapnya sambil berjalan pelan mengitari lingkaran sihir. “Jika kau membukanya—baik sengaja atau tidak—dunia bisa kembali pada era kelam.”

“Yah, bagus. Dunia kelam, aku belum punya pakaian khusus buat itu,” jawab Lyra sambil duduk di lantai. “Terus... kenapa gue bisa bikin ukiran wajah muncul semalam?”

Elreth menatapnya lama. “Karena Aedhira mengenalmu. Mungkin lebih daripada kau mengenal dirimu sendiri.”

“Cryptic banget sih, Bu. Nggak ada versi ringkasnya gitu?”

 

Malam itu, Lyra diajak menghadiri pesta kecil di aula utama Caelora. Acara ini untuk menyambut "tamu dari dunia lain", katanya.

Tapi vibe-nya? Jelas bukan pesta yang hangat. Lebih mirip sidang pergunjingan dengan dress code mewah.

Lady Elaris, bangsawan wanita yang bajunya lebih berat dari niat hidup Lyra, datang menyapa dengan senyum sinis.

“Jadi... ini gadis yang katanya punya darah kabut?” ucapnya sambil menatap dari atas ke bawah.

“Iya. Lagi promo, mau beli?” balas Lyra dengan senyum.

Di belakangnya, Kaelen batuk pelan. “Sopan sedikit...”

“Aku sopan, kok. Itu tadi udah versi edit.”

Tiba-tiba Ravian muncul—lagi. Kali ini dengan jubah emas menyilaukan.

“Kau tidak tahu apa yang kau bawa, gadis dari dunia lain,” ucapnya sambil menatap Lyra seperti mau ngusir setan.

Lyra menghela napas. “Oke, gue tahu gue bawa masalah. Tapi lo bisa nggak, sekali aja, nggak drama?”

Kaelen nyaris tertawa. Lagi-lagi.

Namun sebelum Ravian sempat membalas, lantai aula bergetar. Semua orang terdiam.

Lalu... dinding timur retak. Dari balik retakan itu, cahaya ungu menyala—mirip cahaya dari ukiran di kamar Lyra.

“Apa itu?” tanya Elreth, berlari ke depan.

Tiba-tiba, angin besar menghantam aula. Angin itu... seperti hidup. Seperti sedang mencari seseorang.

Lyra tak sempat menghindar. Angin itu menyerbu ke arahnya, dan dalam hitungan detik, simbol kuno muncul di dahinya.

Semua mata tertuju padanya.

Ravian menghunus pedang. “Dia membuka Segel!”

“Enggak! Gue nggak ngapa-ngapain!” teriak Lyra, panik.

Kaelen berdiri di hadapannya, melindungi. “Turunkan senjatamu, Ravian. Sekarang!”

Tapi terlambat.

Cahaya dari retakan menyebar, dan sesosok makhluk berbalut bayangan muncul dari sana—tinggi, matanya merah menyala, dan suaranya... mirip suara dalam mimpi Lyra.

“Putri kabut... akhirnya kau membuka jalanku.”

Lyra hanya bisa menatap dengan jantung berdentum cepat.

Putri kabut?

Putri?

Kaelen langsung menarik Lyra. “Kita harus pergi!”

“Tunggu, apa maksud dia ‘putri’? Gue? Bukannya gue cuma cewek biasa dari dunia...”

Bayangan itu mendekat. Tapi sebelum bisa menjangkau mereka, Elreth melemparkan mantra pelindung yang meledak terang, memecahkan kaca-kaca aula.

Saat semua orang terlempar mundur, suara sang makhluk bergema sekali lagi.

“Pilihanmu... akan mengubah segalanya.”

 

Setelah kejadian itu, Lyra dikurung di menara utara. Dewan menganggapnya terlalu berbahaya untuk dibiarkan bebas. Tapi Kaelen, Elreth, dan satu anggota dewan bernama Tharen percaya ada sesuatu yang lebih besar sedang dimainkan.

Sementara itu, di tempat lain... sang Raja Kelam perlahan mulai terbangun dari tidurnya.

Dan darah kabut di dalam diri Lyra... mulai berdenyut kuat.

Bab 3 PECAHAN KEBENARAN

Pecahan Kebenaran

Lyra menatap jendela kecil di dinding menara, mencoba menghitung berapa kali burung aneh berbulu ungu lewat sambil nyanyi lagu yang mirip soundtrack anime. Ia bosan, lapar, dan nyaris gila.

"Kalau burung itu lewat sekali lagi, gue kasih nama dia Siska," gumamnya.

Sayangnya, Siska terbang lewat untuk ketiga kalinya—masih sambil nyanyi lagu yang sama. Lyra menghela napas panjang.

Udah tiga hari sejak insiden di aula. Tiga hari sejak monster bayangan muncul dan manggil dia "putri kabut" kayak semacam gelar bangsawan mistis. Dan tiga hari juga sejak para tetua memutuskan bahwa satu-satunya solusi logis adalah... ngurung dia.

“Wah, makasih banget atas hospitality-nya, Aedhira,” keluhnya sambil duduk di lantai dingin.

Pintu menara berderit.

Lyra langsung berdiri. “Akhirnya! Makanan atau keadilan?”

Yang muncul ternyata Kaelen, lengkap dengan ekspresi ‘sabar ya, dunia emang jahat’.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya pelan.

“Kaelen, gue udah ngobrol sama burung bernama Siska selama dua hari. Jawab sendiri deh.”

Kaelen mendesah dan masuk, membawa roti hangat dan sup yang wangi banget sampai Lyra hampir nangis.

Setelah makan sambil nyaris ngiler, Kaelen duduk di sebelahnya. “Aku punya kabar. Tapi… kamu nggak bakal suka.”

“Plot twist lagi? Udah biasa.”

“Beberapa tetua ingin memindahkanmu ke Kastel Hitam.”

Lyra nyaris tersedak. “Yang di balik Lembah Seribu Mayat itu?!”

“Itu cuma nama,” jawab Kaelen. “Tempatnya nggak sehoror itu… meskipun ya, dulu bekas markas penyihir pengkhianat.”

“Wah, cozy banget. Apa ada sarapan gratis juga?”

Kaelen menatapnya, mencoba tersenyum. “Tapi Elreth melawan. Dia percaya kamu perlu tahu semuanya dulu, sebelum mereka ambil keputusan.”

“Semua apa? Kenapa gue punya darah kabut? Kenapa ada ukiran muka gue di dinding? Dan siapa ‘Putri Kabut’ itu?!”

Kaelen menatap lantai sesaat, lalu berdiri. “Ikut aku. Elreth mau bicara langsung.”

Mereka berjalan menyusuri lorong-lorong menara yang sepi, menuju perpustakaan tertua di Caelora. Pintu kayu besar di ujung lorong terbuka perlahan saat mereka datang.

Di dalam, Elreth berdiri di depan meja kayu bundar, dikelilingi gulungan peta dan buku tua setebal kamus.

“Duduk, Lyra,” katanya lembut.

Lyra duduk. Deg-degan, tapi sok cool.

“Apa kamu pernah dengar tentang Perang Kabut Pertama?”

Lyra menggeleng.

Elreth membuka satu buku, memperlihatkan gambar makhluk tinggi berambut perak dan mata bercahaya. “Dulu sekali, sebelum manusia menulis sejarah, Aedhira diperintah oleh kaum tua—pengendali kabut, pemilik sihir murni. Mereka bukan dewa. Tapi kekuatan mereka hampir setara.”

“Oke... dan?”

“Salah satu dari mereka jatuh cinta pada manusia. Hubungan itu dilarang. Tapi dari pertemuan itu... lahirlah anak pertama berdarah campuran: separuh kabut, separuh manusia.”

Lyra mulai curiga.

“Elreth... jangan bilang...”

Elreth menatapnya tajam. “Darah itu mengalir dalam dirimu.”

Lyra terdiam. Lalu tertawa—kecil, gugup.

“Gue anak setengah peri kabut? Setengah... alien sihir?”

“Bukan alien, Lyra. Mereka leluhurmu. Kamu keturunan terakhir dari Aelyrien, pemilik garis darah terkuat dalam sejarah Aedhira. Dan garis itu… adalah kunci Segel Tertua.”

“Jadi, maksud kalian…” Lyra menatap Elreth dan Kaelen bergantian. “Gue ini semacam... password hidup buat buka pintu neraka?”

Elreth mengangkat alis. “Kalau kamu mau menyederhanakannya begitu, ya, kira-kira begitu.”

Kaelen menyisipkan, “Tapi bukan neraka. Segel itu menahan kekuatan purba yang dulu hampir menghancurkan dunia.”

Lyra menghela napas. “Oke, coba ulang. Gue ini keturunan Aelyrien, makhluk super yang bisa ngendaliin kabut. Terus darah gue bisa buka segel sihir kuno. Dan... gue bahkan belum lulus SMA.”

Elreth tersenyum samar. “Sebenarnya, kamu lebih dari itu. Kamu... mungkin satu-satunya harapan untuk menghentikan Raja Kelam.”

“Yang katanya belum bangkit, tapi udah kirim monster ke pesta rakyat? Iya, oke. Sangat ‘belum bangkit’.”

Kaelen tertawa pelan. Tapi Elreth menatap Lyra serius.

“Dengar, Lyra. Kami tahu ini berat. Tapi kamu harus belajar mengendalikan kekuatanmu sebelum segel yang lain terbuka. Karena kalau itu terjadi… Raja Kelam tak akan sekadar muncul sebagai bayangan.”

“Raja Kelam ini siapa sih, sebenarnya? Semua orang kayak takut banget.”

Elreth membuka satu gulungan tua. Di situ tergambar sosok besar bersayap, dengan tanduk di kepala dan mata menyala.

“Namanya asli: Ar’Valek. Dahulu, dia adalah penjaga kabut di timur Aedhira. Tapi dia menginginkan keabadian—dan kekuatan mutlak. Dia mengkhianati para Aelyrien dan hampir memusnahkan dunia.”

Lyra mendekat, menatap gambar itu. Dada kirinya berdebar aneh.

“Gue pernah lihat dia. Di mimpi gue. Bahkan sebelum masuk Aedhira…”

Kaelen langsung menoleh. “Serius?”

“Dia manggil gue... anakku.”

Elreth menghela napas berat. “Kalau begitu... waktunya lebih sempit dari yang kami kira.”

Setelah percakapan itu, Lyra diberi satu ruangan khusus di Perpustakaan Dalam—tempat yang katanya cuma boleh diakses oleh penjaga darah murni. Ruangannya berisi ratusan buku, kristal melayang, dan kursi yang bisa pijet otomatis (oke, yang ini bohong. Tapi andai ada...).

Kaelen tetap mendampingi, walau sebagian besar waktu hanya berdiri diam sambil ngelihatin Lyra kebingungan membaca bahasa kuno.

“Ini huruf apa sih? Latin terbalik campur cacing?” keluh Lyra.

Kaelen tertawa kecil. “Itu bahasa lama Aelyrien. Aku bisa bantu menerjemahkan.”

“Oke, kalau gitu kamu duduk sini, jadi Google Translate hidup.”

Setelah berjam-jam membaca dan mendengar cerita asal-usul darah kabut, Lyra mulai paham.

Ternyata, darah Aelyrien di tubuhnya itu bukan cuma bikin dia bisa buka segel—tapi juga berarti dia bisa menutupnya kembali. Masalahnya? Butuh pelatihan sihir kabut tingkat tinggi. Dan satu-satunya tempat pelatihannya...

“...di wilayah yang sekarang dikuasai para Pembisik,” jelas Kaelen. “Kelompok fanatik yang percaya kamu harus dikorbankan.”

“Wah, asik banget. Dikejar monster, sekarang disaranin nyebrang ke tempat orang-orang yang pengen ngorbanin gue. Seru.”

“Tapi di sana juga satu-satunya tempat kamu bisa belajar mengontrol energi kabut.”

Sore itu, Lyra berjalan keluar dari perpustakaan dan menatap langit Aedhira. Langit senja di dunia ini selalu aneh—warnanya ungu bercampur jingga, kayak lukisan abstrak.

“Lo mau dengerin suara gue?” gumamnya ke langit. “Kalau emang gue dipilih, bisikin dikit kenapa. Kasih clue gitu.”

Angin berhembus. Dan dari kejauhan... suara itu muncul lagi.

"Putri kabut... darahmu adalah kunci, tapi hatimu adalah penentu."

Lyra mendengus. “Ya ampun, semua entitas mistis di Aedhira ini kenapa sih ngomongnya kayak puisi motivasi Instagram?”

Malam itu, Elreth memberi keputusan penting. “Besok pagi, kamu akan pergi ke wilayah barat. Kami sudah kirim burung pesan ke Tan’Rael—desa terakhir sebelum wilayah Pembisik. Di sana, kamu akan bertemu dengan pelatih terkuat dari Aelyrien yang tersisa.”

“Sendiri?”

Kaelen menjawab cepat. “Aku ikut. Dan satu orang lain juga.”

Seorang pria tinggi berambut gelap masuk ruangan, membawa tombak perak yang panjangnya nyaris dua meter.

“Namaku Zehron,” katanya singkat. “Dan mulai besok, aku jadi penjagamu.”

Lyra menatap Kaelen. “Gue nggak tahu kenapa, tapi kayaknya gue bakal sebel sama dia.”

Kaelen tertawa. “Tunggu saja.”

Keesokan paginya, Lyra bangun lebih pagi dari biasanya—mungkin karena nggak bisa tidur, atau mungkin karena ide “perjalanan ke tempat orang fanatik” bukan mood booster yang bagus buat pagi hari.

Ia duduk di tepi ranjang batu, sambil memandangi jubah baru yang disiapkan Elreth. Jubah biru kelam dengan motif kabut keperakan di ujung lengan. Terlihat keren, sih, tapi berat. Kayak beban hidupnya sekarang.

Di luar, Kaelen dan Zehron sudah menunggu. Kaelen masih dengan senyum hangatnya, sementara Zehron berdiri tegap kayak patung pengawal kerajaan. Datar. Dingin. Satu kata: kaku banget.

“Pagi,” sapa Kaelen.

“Pagi. Si Dingin ini bisa senyum juga, nggak?” bisik Lyra, separuh bercanda.

Zehron mendengar. “Tugasku bukan membuatmu nyaman. Tugasku memastikan kau tidak mati.”

“Yah, kan tetap bisa pakai dua fungsi: ngawal dan nggak nyebelin.”

Kaelen menahan tawa sambil memberikan Lyra sebuah kantong kecil. “Ini bekalmu. Kristal kabut mini. Kalau kamu kewalahan, pecahkan satu. Bisa memperkuat pertahanan sihirmu sebentar.”

Lyra menyelipkannya ke dalam jubah. “Noted. Kristal \= power-up darurat.”

Mereka mulai berjalan keluar dari Caelora. Jalan yang dilalui bukan jalur utama. Mereka menembus jalur pegunungan barat, tempat kabut selalu turun lebih tebal dan suara-suara aneh terkadang terdengar di kejauhan.

Lyra merasa suasana makin aneh sejak mereka melewati batu penanda berbentuk kepala naga patah.

“Eh, gue nanya dikit, ini tempat angker atau gimana? Soalnya tadi gue dengar suara kayak… nyanyian bayi tapi pakai efek horor.”

Kaelen menoleh cepat. “Kamu mendengarnya?”

“Y-ya?”

Zehron memperlambat langkah. “Itu suara Bayangan Pemikat. Mereka mencoba menjerat pikiran dengan ilusi suara.”

“Dan lo baru bilang sekarang?!”

“Mereka tidak bisa menyentuhmu selama kau tetap fokus,” kata Zehron.

“Oh ya, gampang banget ‘fokus’ pas lo denger suara bayi nangis di tengah hutan kabut. Fix.”

Tiba-tiba, kabut di depan mereka menebal. Suara gemerisik terdengar dari samping.

“Berhenti,” bisik Zehron. Tangannya sudah di gagang tombak.

Dari balik kabut, sosok-sosok bayangan mulai muncul—makhluk-makhluk tinggi kurus dengan tangan yang terlalu panjang dan mata bersinar merah samar.

“Hantu Kabut...” bisik Kaelen.

Lyra mundur selangkah. “Ada plan B?”

Zehron bergerak duluan, tombaknya menyambar satu makhluk yang mencoba mendekat. Sihir biru melingkari ujung tombaknya.

Kaelen membuat perisai cahaya di depan Lyra. “Pecahkan kristal! Sekarang!”

Lyra merogoh kantong dan menghantamkan kristal ke tanah. Ledakan kecil cahaya perak menyebar. Makhluk-makhluk itu menjerit dan mundur, sebagian menghilang dalam kabut.

Zehron menusuk satu lagi dan melempar makhluk itu seperti boneka usang. “Kita harus pergi sebelum mereka kembali dengan jumlah lebih banyak.”

Mereka berlari. Kabut mengejar. Suara jeritan dan bisikan menyelimuti mereka seperti kabut itu hidup dan nggak mau melepas.

Akhirnya, mereka sampai di tebing kecil yang menghadap ke lembah penuh cahaya ungu.

“Tan’Rael,” kata Kaelen. “Kita sampai.”

Tan’Rael bukan desa biasa. Rumah-rumahnya terbuat dari batu yang bisa berpendar dalam gelap. Pohon-pohonnya menjulang tinggi dengan daun keperakan yang menyala redup.

Mereka disambut oleh seorang wanita bertubuh tegap dengan rambut pendek keperakan.

“Namaku Mirae,” katanya. “Aku akan melatihmu mulai besok.”

Lyra menyipit. “Sebelum latihan… istirahat, kan?”

“Latihan dimulai dua jam dari sekarang.”

“Wah. Gue rindu dijadiin tahanan menara deh.”

Di penginapan kecil yang disediakan untuk mereka, Lyra mencoba rileks. Tapi otaknya keburu sibuk mencerna semua: makhluk bayangan, kristal kabut, suara-suara gaib, Zehron yang dingin, dan Kaelen yang terlalu sabar untuk ukuran manusia biasa.

“Besok lo latihan beneran?” tanya Kaelen sambil menyiapkan teh.

“Gue bahkan belum tahu cara nyalain sihir kabut. Bisa bayangin gue kayak nyoba pakai remote TV tapi baterainya abis.”

Kaelen tersenyum. “Kamu lebih kuat dari yang kamu kira.”

“Lo terlalu percaya sama gue.”

“Bukan. Gue cuma percaya pada sejarah yang terus berulang—dan pada seseorang yang mau melawan meski takut.”

Satu jam kemudian, Lyra sudah berdiri di tengah arena latihan terbuka di Tan’Rael. Mirae berdiri di depannya dengan ekspresi gabungan antara malas dan kecewa—kayak guru olahraga yang nyuruh murid pemalas push-up 50 kali.

“Tarik napas. Rasakan kabut di sekelilingmu,” kata Mirae.

“Oke,” Lyra mencoba menurut. Ia menghirup udara dalam-dalam, berharap bisa merasa kayak superhero. Yang terjadi? Hidungnya kemasukan debu sihir dan dia batuk kayak kakek-kakek asma.

Mirae mengangkat alis. “Kamu menarik napas kayak baru pertama hidup.”

“Yah, bisa dibilang begitu.”

“Lagi.”

Kaelen duduk di pinggir, memberikan semangat versi diam-diam—alias hanya menatap dengan mata berbinar kayak kucing kelaparan.

Lyra mencoba lagi. Kali ini, ia fokus. Ia membayangkan kabut sebagai benang-benang halus di udara, menunggu disentuh. Perlahan, ia merasakan... sesuatu. Dingin. Tapi familiar. Seperti... perasaan waktu dia pertama kali tersesat ke Aedhira.

“Sambungkan jiwamu ke kabut. Biarkan ia mengenalimu.”

Lyra mengulurkan tangannya ke depan. Udara di sekitarnya mulai bergetar. Partikel kabut di udara berkumpul di ujung jarinya. Warna keperakan itu mulai membentuk lingkaran kecil.

Kaelen berdiri. “Itu dia!”

Tapi kemudian… BAM! Ledakan kecil terjadi. Lyra terlempar ke belakang dan nyaris mencium lantai arena. Kaelen buru-buru berlari ke arahnya.

“Lo oke?!”

“Gue... jadi roket manusia, keren juga.” Lyra tertawa kering, lalu mengeluh pelan. “Tapi pantat gue sakit.”

Mirae mendekat dan berjongkok. “Itu permulaan yang bagus. Tapi kamu terlalu emosional.”

“Lo baru kenal gue sehari.”

“Justru itu. Dan udah kerasa betapa emosinya kamu.”

Lyra memelototi pelatihnya, tapi ia tahu Mirae benar. Emosinya naik turun kayak roller coaster. Apalagi sejak datang ke dunia ini. Tapi siapa yang bisa tetap tenang pas tahu dirinya calon pemegang kekuatan purba yang bisa menghancurkan—atau menyelamatkan—dunia?

Selama beberapa hari berikutnya, latihan Lyra makin intens. Ia belajar membentuk tameng kabut, memfokuskan serangan seperti pisau, hingga menciptakan ilusi kecil.

Dan meski sering gagal, ia merasa... semakin kuat. Setiap kali kabut merespons, ia merasa bagian dari dirinya yang dulu hilang—sejak dituduh di dunianya sendiri—kembali satu per satu.

Suatu malam, ia duduk di atas menara pengawas Tan’Rael. Kaelen menyusul sambil bawa dua cangkir teh.

“Lo makin jago,” kata Kaelen, menyodorkan satu cangkir.

Lyra menerima. “Maklum. Di dunia gue, latihan sihir diganti PR matematika. Gue pilih sihir.”

“Gimana perasaanmu sekarang?”

Lyra menatap langit berbintang Aedhira. “Masih takut. Tapi... juga penasaran.”

“Penasaran?”

“Apa yang sebenarnya terjadi dulu. Kenapa Raja Kelam bilang gue anaknya. Kenapa gue yang dipilih, padahal jelas-jelas ada orang lain yang lebih siap, lebih kuat, dan lebih... nggak ceroboh.”

Kaelen tersenyum. “Mungkin karena kamu nggak sempurna. Tapi kamu mau belajar.”

Lyra menyeringai. “Lo tahu nggak, omongan lo kadang kayak dialog di drama kerajaan.”

“Tapi cocok, kan?”

“...Lumayan.”

Keesokan harinya, latihan berlanjut. Tapi kali ini berbeda.

Saat Lyra tengah berlatih menciptakan medan pelindung kabut, kabut di sekitar tiba-tiba bergerak sendiri. Angin membeku. Tanah bergetar halus.

Zehron muncul dari balik bayangan. “Ada sesuatu datang dari arah timur.”

“Makhluk lagi?” tanya Mirae, siaga.

“Bukan. Energi sihir. Besar. Dan... familiar.”

Lyra menelan ludah. Perasaan aneh muncul di dadanya. Seperti... magnet yang menarik isi perut.

“Gue kenal sensasi ini…”

“Siapkan diri kalian,” kata Mirae. “Kalau benar ini dia—Lyra harus siap.”

“Siapa dia?” tanya Lyra.

“Yang pertama membuka segel... di dunia ini.”

Suasana Tan’Rael berubah dalam hitungan menit. Para penjaga mempersenjatai diri. Cahaya dari pohon-pohon keperakan redup, seperti ikut menahan napas.

Lyra berdiri bersama Kaelen, Mirae, dan Zehron di tengah pelataran utama. Kabut di sekitarnya terasa hidup—berdesir, bergeser, seolah menunggu sesuatu yang besar datang.

Kemudian, dari arah timur, muncul seorang pria dengan jubah ungu gelap yang berpendar samar. Wajahnya tertutup kerudung kabut tipis, tapi sorot matanya—yang bersinar emas—terlihat menembus siapa pun yang menatapnya.

“Siapa itu?” bisik Lyra.

Zehron mencengkeram tombaknya. “Namanya Vareth. Pengikut Raja Kelam yang pertama—dan yang paling fanatik.”

Kaelen maju selangkah. “Vareth! Apa tujuanmu datang ke Tan’Rael?”

Suara Vareth menggema lembut, tapi menusuk, seperti bisikan yang berdesing di telinga. “Aku hanya ingin berbicara... pada sang putri kabut.”

Lyra merasa darahnya membeku.

“Apa maksudmu?”

Vareth menoleh padanya perlahan. “Kau telah memanggil kabut. Itu artinya, segel pertama dalam darahmu telah terbuka. Kau akan mulai mendengar suara-suara lama, dan melihat mimpi-mimpi dari dunia yang kau lupakan.”

Lyra menelan ludah. “Gue... nggak ngerti.”

“Belum. Tapi kau akan paham, Lyra Caellum. Darahmu bukan darah fana. Kau adalah kunci terakhir—yang diwariskan untuk membuka gerbang malam abadi.”

“Wah, dramatis banget,” gumam Lyra, meski jantungnya berdetak tak karuan.

Vareth tersenyum tipis, lalu menoleh ke Mirae. “Latihanmu tidak akan cukup. Karena bayangan telah bangkit. Dan dia... mencari putrinya.”

“Siapa dia?” teriak Lyra, setengah marah, setengah bingung.

Namun, sebelum ada yang menjawab, Vareth mengangkat tangannya, dan semburan kabut hitam menyelimuti dirinya. Dalam sekejap, ia menghilang—menyisakan hawa dingin dan rasa takut yang menggantung di udara.

“Dia... serius?” tanya Lyra pelan. “Raja Kelam itu... ayah gue?”

Kaelen menatapnya lama. “Kita belum tahu pasti. Tapi darahmu... memang punya jejak sihir tua.”

“Jadi, gue anak villain? Gila. Ini kayak plot twist sinetron.”

Mirae meletakkan tangan di bahu Lyra. “Apa pun darahmu, pilihanmu yang akan menentukan siapa kamu. Latihan kita akan dilipatgandakan mulai besok.”

Lyra menatap tanah. Di pikirannya, satu kalimat terus terngiang—“Gerbang malam abadi...”

Ia belum tahu apa maksudnya.

Tapi satu hal ia tahu pasti: ini baru awal.

Dan Aedhira... tak akan pernah sama lagi setelah ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!