Aruna terpekur menatap lama tubuh si kecil, tubuhnya terlelap di atas ranjang kamar Aruna. Sang kakak telah dikebumikan 4 jam yang lalu, sorot mata polos dan lugu sang keponakan menyaksikan prosesi pemakaman yang berlangsung.
...KLIK!...
Derit pintu kamar terbuka perlahan, wanita paruh baya yang nampak kuyu terlihat dengan jelas di saat pintu terbuka dengan lebar. Kedua matanya sembab, langkah kaki gontai memasuki kamar putri bungsunya.
"Mentari udah tidur, Na?"
Sontak saja kepala Aruna mengangguk, dan menghela napas berat di saat ibunya duduk di bibir ranjang. Masih ingat dengan jelas diinginkan Aruna, bagaimana ibunya ini menggila. Bahkan tidak terhitung kali kehilangan kesadaran, ibu mana yang sanggup kehilangan anak mereka. Tidak terkecuali dengan Susi, wajahnya terlihat begitu kelam diselimuti duka.
"Malangnya cucuku, apa yang harus aku lakukan. Ibunya udah nggak ada lagi, gimana nasib cucu cantikku ini," ujar Susi seakan meratapi nasib cucunya.
"Nggak boleh ngomong gitu, Ma! Nggak baik, Mentari biar aku yang jaga. Aku ini 'kan tantenya," sahut Aruna terdengar parau.
Jujur saja hati Aruna hancur mendengar penuturan sang ibu, ia hanya berdua bersaudara. Kinanti merupakan putri sulung yang paling dibanggakan di keluarga selain cantik, cekatan, baik, bahkan juga memiliki pekerjaan yang bagus. Kehidupan sang kakak nyaris sempurna, tampaknya kesempurnaan selalu tidak bertahan lama.
"Mama nggak kebayang bagaimana kehidupan Mentari setelah ini, Na. Apalagi kamu tau sendiri keluarga besar Kakak iparmu itu, nggak begitu suka sama mbakmu. Mama takut, Mentari nggak disayang," ujar Susi getir.
Pernikahan yang terjalin antara Kinanti dan Jakson diawali tanpa restu, keluarga Jakson tidak menginginkan Kinanti. Yang berasal dari keluarga tidak setara dengan keluarga mereka tapi, Jakson bersikukuh menginginkan Kinanti sebagai istri. Rela kawin lari dengan Kinanti, sampai keduanya memiliki Mentari.
Aruna termenung, ia beberapa kali bertemu dengan keluarga kakak iparnya itu. Memang benar sang kakak sering dianggap remeh, tidak dianggap. Diintimidasi oleh para iparnya, apalagi karena tuntutan pekerjaan sebagai seorang pilot. Membuat Jakson—kakak iparnya itu sering berada di luar, dibandingkan ada di rumah.
Aruna terperanjat saat tangannya digenggam oleh sang ibu, Aruna membawa atensinya ke arah sang ibu.
"Tolong jaga keponakanmu, ya, Na. Kamu yang berkuliah di Jakarta, akan lebih mudah buat jagain Mentari." Susi menatap intens ke arah sang putri.
Senyum segaris terbit di bibir Aruna. "Mama tenang aja, Aruna bakalan jagain Mentari. Nggak bakalan ada yang bisa nyakitin Mentari," jawab Aruna berjanji.
Ketukan di daun pintu yang terbuka mengalihkan pandangan mata ibu—anak itu ke arah pintu masuk, tubuh jangkung dengan wajah yang tampak pucat itu berdiri di ambang pintu yang terbuka.
"Ma," panggil suara bariton itu nyaris tercekik.
Susi sontak saja melepaskan genggaman tangannya pada si bungsu dan langsung bangkit dari posisi duduknya, ia melangkah mendekati sang menantu.
"Di mana Mentari?" tanya Jakson pelan.
Susi yang telah berdiri di depan Jakson menunjuk ke arah ranjang milik Aruna, pencahayaan temaram yang berasal dari lampu tidur membuat pandangan Jakson sedikit kurang jelas. Apalagi matanya terasa pedih, sebagai seorang lelaki ia dituntut untuk kuat. Tapi, sebagai seorang suami yang begitu mencintai istrinya, Jakson sulit untuk menahan air mata bercucuran.
"Masuklah, Nak." Susi mempersilahkan Jakson memasukinya kamar milik Aruna.
Gadis berparas ayu itu bangkit dari ranjang, memilih melewati kakak iparnya begitu saja. Membiarkan kakak iparnya ada di kamarnya, untuk menemui sang keponakan.
...***...
^^^3 Bulan Kemudian^^^
Beberapa kali napas berat diembuskan, tepukan pelan di pundak membuat Aruna mendongak. Senyum ramah yang diulas Hana—sahabatnya, ia mengambil posisi duduk di samping Aruna. Wajah Aruna terlihat begitu kusut, sejak kehilangan kakaknya. Aruna cenderung terlihat tertekan, entah beban apa yang sekarang berada di pundak Aruna.
"Lecek amat itu wajah, Neng. Dah kayak dikejar pinjol aja," kelakar Hana ceria.
"Hah, kalo aja dikejar pinjol mungkin akan lebih baik, Han. Ketimbang dikejar tanggung jawab yang ..., ah, sudahlah." Aruna menyisir rambut hitam legamnya ke belakang.
Hana mengerutkan dahinya, menatap lambat ke arah Aruna.
"Masalah apalagi ini, apakah soal Raka, Run?" tebak Hana yang langsung mendapatkan gelengan dari Aruna. "Terus masalah apa dong?"
Aruna mengedarkan pandangan matanya menatap taman kampus, ada banyak sekali mahasiswa dan mahasiswi menjadikan taman belakang gedung kampus sebagai tempat beristirahat. Mereka terlihat begitu bahagia tanpa beban, sementara Aruna. Gadis satu ini dilanda galau yang tak berujung.
"Haruskah aku menikah, Han?" tanya Aruna nyaris berbisik.
"Hah? Apa?" Hana menarik bahu Aruna untuk menghadap ke arahnya, ekspresi Hana jelas sekali tidak memahami maksud pertanyaan Aruna barusan.
"Nikah," gumam Aruna di kala netranya bersirobok dengan milik Hana, "merelakan semuanya, buat nyelamatin dua orang sekaligus."
"Hei! Aku nggak paham loh, Aruna. Apa yang kamu maksud ini, tolong jelasin ke aku pelan-pelan aja. Kamu ini kenapa sih, tiga bulan ini selalu aja menyendiri. Dan nggak mau banyak omong sampai nggak fokus. Tiba-tiba ngomongin nikah, dan nyelamatin orang. Apaan sih maksudnya," desak Hana frustrasi.
Aruna memang tidak menceritakan apapun pada Hana, sahabat karibnya ini hanya tahu tentang kabar duka kakaknya Aruna. Selain dari ini, Hana sama sekali tidak mendengar cerita apapun dari Aruna.
"Eh, Run! Kamu kok jadi mewek. Aduh, duh ..., oke deh. Jangan cerita kalo nggak mau, aku nggak maksa." Hana panik merogoh tas selempangnya, mencari tisu.
Air mata Aruna terus turun deras, hatinya gundah gulana. Bak makan buah simalakama, Aruna harus dihadapi dengan pilihan masa depan bersama lelaki yang dicintainya. Atau harus siap menikah dengan Jakson—mantan kakak iparnya, untuk menyelamatkan Mentari dan ibunya.
Wanita paruh baya itu menangis keras di telepon, mengatakan jika ia melihat Mentari—keponakannya tidak diurus oleh keluarga Jakson. Sementara lelaki itu tengah bertugas, ibu dan ayahnya meminta Aruna menikah dengan Jakson.
"Ak—aku, cinta Raka, Hana. Sangat cinta sama dia, tap—tapi aku nggak bisa bikin keluargaku kecewa. Apalagi bikin keponakan aku tersakiti gitu aja. Aku harus kayak gimana, Hana?" Aruna tergagap, bibirnya bergetar hebat, dan suaranya terdengar parau.
Hana kelimpungan mengusap lembut pipi Aruna, air mata Aruna deras mengalir. Beberapa pasang mata melirik ke arah keduanya, meskipun tidak tahu apa yang tengah dibahas.
Tangan kanan Hana mengusap pipi Aruna, sementara tangan kirinya menepuk-nepuk punggung belakang Aruna. Hana yang cengeng malah ikut menangis, melihat Aruna sang sahabat menangis.
...***...
Muka Jakson merah padam, ia bahkan tidak bisa konsentrasi bekerja. Apalagi mendapatkan pesan panjang via WhatsApp dari mantan ibu mertuanya, setelah dihubungi. Wanita paruh baya itu menangis sesenggukan, meminta Mentari mereka saja yang urus.
"Nikahi Casandra," tutur wanita paruh baya itu dengan wajah datar.
"Ma!" seru Jakson nyaris berteriak. "Aku ini masih dalam keadaan berduka, Mama."
"Ini udah tiga bulan sejak wanita itu mati, Jakson. Mau berapa bulan lagi kamu bakalan berduka terus, itu nggak akan bikin dia hidup lagi. Wanita itu udah mati, kamu udah harus ngelanjutin kehidupanmu. Bukan terpaku sama yang sudah nggak ada," sahut Miranda, menatap serius ke arah sang putra.
Jakson mengerang kesal, sudah cukup rasanya putranya ini keras kepala. Menikahi wanita dari kalangan menengah itu, meskipun ia menjadi seorang dokter. Tetap saja keluarga mereka tidak setara, Miranda menginginkan menantu yang keluarganya setara.
"Nggak ada yang bisa maksain aku, dan aku nggak akan pernah nikah lagi. Kubur aja niat Mama itu," pungkas Jakson marah.
Jakson langsung menyelonong melangkah mendekati kamarnya, meskipun ibunya berteriak-teriak memangil namanya. Jakson sama sekali tidak peduli, ia terus mengayunkan kedua tungkai kakinya.
^^^Bersambung....^^^
Kepala Jakson tertunduk, ia baru saja pulang dari rumah sang ibu, membawa balik sang putri ke rumah utama. Alasan kenapa Jakson tidak tinggal di rumahnya selama tiga bulan terakhir, lantaran pedihnya terbayang-bayang kehadiran almarhumah istri tercinta. Apalagi Jakson menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja dan bekerja, mempercayai sang putri pada ibunya.
Nyatanya apa yang dilakukan ibunya pada putrinya, sangat tidak menyenangkan untuk Jakson dengar. Terlebih lagi yang mengetahui perlakuan tidak menyenangkan itu adalah mantan ibu mertuanya, yaitu ibu kandung dari almarhumah sang istri.
"Maaf, Ma," sesal Jakson, "aku nggak akan berdalih. Ini memang murni kesalahanku."
Anggap saja Jakson egois, hanya karena tersiksa rindu tak berujung. Jakson mengalihkan rasa rindu dan dukanya pada pekerjaan, ia lupa jika ada buah hatinya dan Kinanti yang harusnya diperjuangkan.
Susi menggeleng sekilas. "Kami tau, Nak Jakson pasti sangat sibuk. Kami nggak nyalahin, Nak Jakson. Kalo Nak Jakson kerepotan, biar Mentari kembali Mama aja yang asuh. Mama masih kuat, dan masih bisa membesarkan Mentari," sahut Susi tegas.
Kepala Jakson yang tertunduk sontak saja terangkat, dari raut wajahnya tampak jelas Jakson sangat panik.
"Nggak, Ma! Gimana bisa Mama ngomong begitu. Aku akui ini terjadi karena kelalaianku, sungguh. Jangan pisahkan aku dengan Mentari, Ma. Aku mohon," balas Jakson memelas.
Susi menghela napas berat, sementara sang suami yang berada di sampingnya tidak banyak omong. Lelaki paruh baya ini memilih diam, membiarkan sang istri untuk berbicara dengan Jakson.
"Mama nggak mau sampai Kinanti menangis liat putrinya nggak keurus, bahkan dibentak-bentak. Kami memang bukan berasal dari keluarga yang setara dengan Nak Jakson. Tapi, kami semua bisa menghidupi Mentari dan membahagiakannya," ujar Susi mengeluarkan apa yang ada di hatinya, "dengan kayak gini, Nak Jakson bisa bekerja tanpa beban. Bahkan bisa pula menikahi wanita mana pun yang Nak Jakson mau. Kami nggak akan menghalangi keinginan Nak Jakson sekeluarga tapi, Mentari harus kami yang besarkan."
Jakson tercekat, seakan ada beban berton-ton menghimpit dadanya. Membuat pilot berparas tampan satu ini kesulitan untuk menghirup udara, bibirnya bergetar. Jakson beringsut semakin ke depan, jari jemari panjangnya saling bertautan. Jakson tidak menyangka, kemarahan Susi sebesar ini hingga menginginkan putrinya untuk diasuh.
"Ma! Jangan kayak gini. Sedikit pun aku sama sekali nggak pernah terbesit buat nikah lagi dengan perempuan mana pun, aku janji ini pertama dan terakhir kalinya hal buruk kayak gini terjadi. Biarkan Mentari, aku yang besarkan, Ma," pinta Jakson, guratan wajahnya tampak begitu sedih.
"Lalu bagaimana sama pekerjaanmu? Untuk menghidupi putrimu bukannya kamu harus bekerja. Mau titipin Mentari ke baby sitter pun zaman sekarang susah. Nggak ada yang bisa di percaya, atau kamu mau berhenti bekerja. Terus mau gimana sama nafkah Mentari?"
Jakson mendadak panik, apa yang dikatakan oleh Susi benar. Apa yang akan dilakukan oleh Jakson, menitipkan Mentari pada keluarganya malah mengecewakan. Menyewa baby sitter pun tidak kalah sulitnya, berhenti dari pekerjaannya saat ini akan menyulitkan ekonomi kedepannya. Apalagi Mentari dalam waktu dekat putrinya akan segera memasuki sekolah taman kanak-kanak. Butuh biayanya besar untuk sekolah sang putri, dan menghidupi putrinya.
"Sementara kamu pun nggak mau kami yang besarkan Mentari, lantas jalan keluarnya, apa?" lanjut Susi, sedikit emosi.
Embusan napas berat dari Budi mengalun, ia dapat melihat kepanikan di wajah Jakson. Budi hanya menjadi pengamat dan pendengar, sudah saatnya ia ikut angkat bicara.
"Satu-satunya jalan adalah menikah lagi," kata Budi, membuat kedua mata Jakson terbelalak.
Kepala Jakson mengeleng menolak usulan mantan ayah mertuanya, bagaimana bisa itu menjadi jalan keluar. Jakson tidak ingin menikah dengan wanita mana pun, di saat hatinya hanya ada Kinanti—almarhumah istrinya.
"Iya, kamu harus nikah lagi. Pertama biar ada yang ngurusin Mentari, kedua ada yang ngurusin rumah dan kamu. Paling penting adalah wanita itu tulus sama Mentari dan tulus juga padamu," celetuk Susi.
Bibir Jakson terbuka tapi, tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.
"Kami berdua sepakat, mengusulkan untuk kamu turun ranjang, Jakson. Menikahi Aruna, menjadikan Aruna sebagai Ibu Mentari serta menjadi istrimu. Dengan kayak gitu kita semua bisa tenang, dan nggak akan mengambil Mentari darimu. Mentari akan hidup bersamamu dan Aruna di sini," tutur Susi, atensi Susi terfokus pada wajah Jakson.
Jakson menahan napas untuk sesaat, Aruna adalah adik iparnya sendiri. Si bungsu yang disayangi oleh almarhumah istrinya, bagaimana bisa ia menikahi Aruna.
"Kami tidak terburu-buru, Papa dan Mama memberikan kamu waktu untuk berpikir. Ini solusi satu-satunya yang terbaik bisa kami berikan," ucap Budi, sebelum mendesah berat.
Kedua kelopak mata Jakson tertutup perlahan, kepalanya tertunduk. Rasanya kepalanya ingin pecah saja, semuanya semakin terasa berat dan begitu penuh tekanan.
...***...
"Sayang!"
Aruna terkejut ia membawa netra coklat bening itu ke arah lelaki dengan seragam basket, peluh menetes deras menuruni dahinya. Senyum lebar tercetak di bibir Raka—kekasihnya, Aruna menarik paksa kedua sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman.
"Gimana permainanku?" tanya Raka semangat.
"Bagus," sahut Aruna, "pertandingannya udah selesai 'kan?"
Mulut Raka terbuka, seruan memanggil nama Raka di tengah-tengah lapangan basket membuat Raka menoleh ke belakang. Tangannya terangkat dan kepalanya mengangguk, Raka memberikan kode untuk timnya pergi lebih dahulu.
Aruna diam-diam menghela napas berat, ibu dan ayahnya sudah berbicara dengan Jakson. Kata sang ibu Jakson tampak syok, mereka memberikan Jakson waktu untuk berpikir. Aruna tidak punya pilihan lain selain menyetujui permintaan ibunya, memutuskan untuk meninggalkan Raka.
'Aku harap Mas Jakson akan menolak pernikahan ini, mencari solusi lain. Agar kamu dan aku tetap bisa bersama, Raka.'
Jika Jakson menolak, bisa saja Mentari diasuh oleh keluarganya. Aruna akan mencari pekerjaan selepas menyelesaikan S1-nya, membiayai kehidupan Mentari. Aruna bisa membicarakan hal ini dengan Raka, di saat mereka menikah nanti Aruna akan membawa Mentari untuk ikut di keluarganya.
"Sayang! Aku harus ganti pakaian dulu. Kamu nggak apa-apa 'kan nunggu bentar," ucap Raka, ia melirik ke arah Aruna kembali.
Kepala Aruna mengangguk. "Ya, nggak apa-apa. Kalo gitu aku nungguin kamu di taman belakang ya, di tempat biasa."
Raka mengangkat tangan kanannya mengusap lembut puncak kepala Aruna, tersenyum ceria. Tangannya diturunkan, Raka membalikkan tubuhnya melangkah meninggalkan lapangan basket indoor. Ekspresi ceria Aruna perlahan-lahan berubah sedih, diembusnya napas kasar. Ringtone nyaring dari ponsel di tas selempang Aruna mengalihkan tatapan mata Aruna, dari punggung Raka—kekasihnya yang semakin menjauh ke arah tasnya berada. Tangan Aruna bergerak menarik resleting tas ke samping, mengeluarkan benda persegi panjang itu dari dalam sana.
Mas Jakson.
Nama itu yang tertera di layar ponsel, dahi Aruna mengerut. Ibu jarinya menggeser ikon ponsel ke samping, menempelkan smartphone ke daun telinganya. Suara bariton Jakson menyapa indera dengarnya, Aruna mengigit bibirnya. Perasan Aruna menjadi tidak enak, Jakson yang tidak pernah menghubungi dirinya tiba-tiba meneleponnya.
^^^Bersambung...^^^
Kepala Aruna menunduk dalam, jari jemari tangannya saling bertautan. Sementara Jakson—mantan suami sang kakak tidak kunjung membuka pembicaraan di antara mereka berdua, sepuluh menit waktu dihabiskan tenggelam pada pikiran masing-masing.
"Mas!"
"Aruna, aku...."
Secara serentak keduanya angkat bicara, mencoba memecahkan keheningan yang melanda. Aruna menoleh ke samping kanannya, keduanya bertemu di mobil Jakson yang terparkir di parkiran universitas tempat Aruna melanjutkan pendidikannya.
"Mas duluan," kata Aruna, meneguk kasar air liur di kerongkongannya.
Tarikan pelan dan embusan napas kasar dari bibir Jakson, lelaki dewasa satu ini jarang sekali berbicara dengan Aruna—mantan adik iparnya. Ia hanya mendengarkan celotehan Aruna via telepon saat sang almarhumah istrinya masih hidup, atau mungkin terkadang Aruna yang berdomisili di Jakarta menginap di rumahnya.
'Apa yang harus aku katakan, semua terasa berat untuk diutarakan.'
Jakson membuang muka, memilih membawa atensinya ke arah lapangan besar milik kampus.
"Kamu sudah tau dengan keinginan Mama Susi dan Papa Budi?" tanya Jakson, tanpa harus menatap Aruna.
Kepala Aruna sontak saja mengangguk sekilas, embusan napas berat mengalun. Gadis berparas ayu satu ini seakan paham, rasa enggan Jakson untuk menerima usulan dari kedua orang tuanya.
"Ya, Mas. Aku tau."
"Lalu kamu mau menjadi istriku?"
Aruna mengigit bibirnya, senyap sontak saja melanda. Aruna tentu saja tidak ingin menikah dengan Jakson, meskipun Jakson merupakan sosok lelaki yang sangat ideal untuk menjadi seorang suami. Ada lelaki lain yang telah lebih dahulu mengisi hati Aruna, ada Saka—kekasihnya yang tak kalah tampan dari Jakson.
Merasa tak kunjung dijawab, Jakson menoleh ke samping kirinya. "Kamu punya pacar, bukan?"
Kepala Aruna mengangguk, "Ya, Mas. Aku punya."
"Kamu cinta sama dia?"
"Tentu aja, Mas. Gimana aku nggak cinta sama dia. Kami berdua udah 3 tahun bersama," sahut Aruna jujur, "lalu gimana sama Mas Jakson sendiri, Mas Jakson nggak ada niatan buat nikahin aku, 'kan?"
Pertanyaan yang dilontarkan balik padanya membuat Jakson tercekat, jawabannya sesungguhnya sudah sangat jelas. Jakson tidak menginginkan turun ranjang, ia tidak bisa menerima wanita mana pun. Namun, bagaimana dengan sang putri.
"..., Mentari biar keluarga kami yang besarkan, Mas. Mentari akan bahagia tinggal bersama Papa dan Mama di kampung, Mas Jakson bisa bekerja tanpa harus khawatir. Bisa balik setiap ada kesempatan libur kerja, keluarga kami nggak akan melarang. Ini jauh lebih baik, menurutku, Mas."
Jakson melirik Aruna tajam, Mentari itu putri Jakson. Ia sudah kehilangan Kinanti, lantas kenapa Jakson pun harus kehilangan Mentari juga.
"Kamu ingin aku menyerahkan Mentari pada Mama dan papamu," tutur Jakson mengerut dahinya.
"Hm, iya, Mas. Mas tenang aja, aku pun akan merawat Mentari dengan baik. Sekarang aku lagi ngurusin skripsi, otomatis selesai kuliah. Aku bakalan ngambil alih Mentari, jadi Ibu buat Mentari tanpa harus menik—oh." Aruna menutup mulutnya saat tatapan pria dengan potongan rambut low fade itu melototi Aruna.
Jakson menggeleng, "Mentari itu putriku dan Kinanti, dia itu semangatku untuk tetap hidup. Gimana bisa kamu ingin putriku hidup tanpa, aku?"
Urat leher Jakson mencuat, kulit putih Jakson sontak saja memerah. Intonasi nada suara bariton itu naik tinggi, membuat degup jantung Aruna berdebar keras. Bukan debaran sebab tertembak panah asmara, gadis cantik berambut sepinggan itu ketakutan. Lantaran Jakson jarang berbicara dengan Aruna, hingga tak pernah melihatnya marah.
Aruna merasa ujung jari jemarinya terasa dingin, ia mengeleng pelan.
"Bukan begitu maksudku, Mas. Aku ..., hanya saja," tutur Aruna terjeda, lantaran lawan bicaranya langsung membuang muka.
Suasana di dalam mobil langsung terasa tak enak, Jakson tidak bermaksud untuk membentak Aruna. Ia kalut, tidak tahu harus bagaimana. Ditambah Aruna mengatakan secara tidak langsung untuk Jakson merelakan Mentari untuk diasuh oleh keluarga dari pihak almarhumah istrinya, itu menyulut emosi Jakson yang tidak terkontrol.
Dering ponsel memecahkan keheningan, Aruna merogoh tasnya. Nama sang kekasih tertera di layar ponsel, Aruna meringis. Ia lupa ada janji dengan Raka, tampaknya sang pacar telah selesai berganti pakaian.
"Angkatlah," titah Jakson, mengalun.
Aruna mengangguk kaku, jari tangannya menggeser layar ke samping. Menempelkan smartphonenya ke daun telinga, membelakangi Jakson.
"Hm, iya. Aku lagi di parkiran mobil, tunggu bentar ya, di sana. Aku segera ke sana," sahut Aruna dengan intonasi nada pelan sekali.
Sambungan telepon terputus sepihak, Aruna mematikan telepon dan menoleh ke samping kanan.
"Anu ..., Mas. Aku harus segera kembali ke kampus," kata Aruna memberitahu.
Kepala Jakson mengangguk, "Pergilah."
Aruna dengan cepat membuka pintu mobil, keluar dari sana. Ketika tangannya bergerak akan menutup kembali pintu mobil deheman Jakson mengalun, Aruna melirik Jakson.
"Nanti malam datanglah ke rumah, kita bicarakan ini sampai tuntas," ucap Jakson.
"Baik, Mas. Hati-hati di jalan kalo gitu, Mas." Aruna menutup pintu mobil.
Gadis itupun bergerak terburu-buru menjauhi mobil Jakson, sementara ayah satu orang anak itu mengerang rendah menyugar kasar surainya.
'Rasanya seperti makan buah simalakama.'
Semua pilihan terasa sulit, paling sulit adalah berpisah dengan Mentari. Bisa saja putrinya tidak akan lagi mengenal Jakson nantinya, Jakson mengusap kasar wajahnya.
...***...
Hampir saja Aruna tersedak air minumnya, ia menoleh ke depan. Senyum lebar Raka terlihat begitu lepas, kedua mata pria berkulit tan itu bahkan berbinar-binar.
"Gak apa-apa 'kan, Sayang? Cuma 3 bulan doang. Kamu nggak berkeberatan, bukan."
Raka melirik ke arah Aruna takut-takut, ia akan keluar negeri dalam waktu dekat. Raka merupakan sosok pria yang berprestasi, ada banyak gadis yang mengangumi Raka.
"Kapan berangkatnya?" tanya Aruna, melirik lurus ke depan.
"Empat hari lagi."
Aruna mendengus, "Dan kamu baru ngomong sekarang, Ka? Kamu ngangep aku ini pacarmu atau nggak sih, Ka?"
Raka kelimpungan, ia meraih tangan Aruna. Meringis kecil, Aruna sontak saja menarik tangannya. Raka berdiri dari posisi duduknya, berpindah tempat dari kursinya ke arah kursi kosong di samping Aruna.
"Sayang, aduh. Bukan gitu loh, maksudnya aku. Beberapa bulan ini kamu sibuk, aku pun sibuk. Makanya pas ada waktu kosong kayak sekarang, aku omongin sama kamu." Raka mencoba meraih tangan Aruna.
Gadis cantik itu menepis, ia membuang muka. Aruna begitu mencintai Raka tapi, sayangnya dunia Raka begitu luas. Tidak hanya diisi oleh Aruna seorang, ada banyak yang menyibukkan Raka.
"Pergi aja sana, nanti pulang-pulang aku dah dinikahi sama pria lain," ketus Aruna kesal.
Rafa mengulum senyum, sang pacar merajuk. Raka tidak mengatakan apapun pada Aruna, lantaran merasa belum ada waktu yang tepat.
"Ya, udah deh. Aku nggak jadi pergilah, biar Pak Edwin aja yang nangganin anak basket. Kalo pacarku yang ngambek aku takut diputusin tapi, kalo Pak Edwin yang marah palingan aku cuma ditendang dari tim basket kampus," celetuk Raka, dengan memasang ekspresi sedih.
Ia tahu betul Aruna tidak akan membiarkan itu terjadi, sebab impian pria satu ini adalah menjadi pemain basket profesional. Embusan napas berat mengalun, Aruna mengigit bibirnya.
"Suka-suka kamu ajalah, Ka!" Aruna langsung bangkit dari posisi duduknya.
Ia melangkah terburu-buru keluar dari kafe, beberapa kali Raka memanggil Aruna. Gadis itu terus melangkah keluar, air matanya berhamburan jatuh berderai. Emosi yang ada di dirinya tidak terbendung, ia frustrasi anehnya sang kekasih menambah bebannya.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!