NovelToon NovelToon

Benci Jadi Cinta

chapter 1

..."Masa remaja itu indah, tetapi waktunya singkat. Seperti senja yang hadir dengan begitu rupawan lantas menghilang dalam waktu sekejab. Namun, pada masa itu kita menemukan diri yang berjalan tanpa arah." ...

****

Siang itu di SMA Bina Pradipta sebuah sekolah elite yang dihuni oleh anak-anak kaum berduit, memiliki fasilitas lengkap dan merupakan sekolah favorit di pusat kota.

Priiittttt!

"Gila! Buruan! Ketangkep, mati gue!" Cowok berseragam berlari kencang bersama dua orang

temannya yang lain setelah mendengar bunyi peluit.

Namanya Artha Pradipta. Dari namanya saja semua sudah tahu jika cowok itu adalah anak dari pemilik sekolah. Namun, bukannya menjadi pribadi yang bisa dijadikan suri tauladan, kerjaan Artha lebih pada bermain-main tidak jelas. Melanggar aturan sekolah sudah menjadi rutinitasnya. Papanya sudah pusing memarahi, bahkan hukuman tak jarang diterima Artha sebagai konsekuensi atas sikapnya yang nakal. Tapi balik lagi dari tabiatnya yang memang pembangkang dan susah diatur. Entah, meniru siapa anak itu?

"Apa? Lo aja yang mati. Jangan ajak-ajak gue!" dirga ngos-ngosan saat menjawab. Dia juga bergabung dalam pelarian kali ini. Sementara mahesa sudah tidak kuat bicara. Dia lebih fokus mengatur napas. Karena ulah dirga membuat mereka semua harus berlarian seperti ini.

"Eh, Monyet, gue kek gini juga gara-gara lo!" Artha menimpali. Intinya semua gara-gara Dirga.

"Kita kan pren. Susah seneng bersama."

"Adanya lo inget gue saat susah, doang. Giliran

seneng, lo ngumpet."

"Woy! Jangan kabur kalian bertiga!" Perdebatan mereka berhenti setelah mendengar suara menggelegar.

Suara peluit dari security mengiringi langkah cepat ketiga cowok berseragam itu. Bukannya berhenti, mereka malah kabur dengan berusaha

melompati pagar pembatas sekolah.

"Lemot amat sih, lo! Pantat doang digedein." Dirga memaki sambil membantu Mahesa menaiki dinding yang tingginya mencapai 2,5 meter. Bahunya digunakan sebagai pijakan, dan nantinya Artha menariknya dari atas. Hal biasa yang dilakukan oleh ketiga murid populer SMA Bina Pradipta ketika kabur dari pelajaran sekolah yang dirasa membosankan.

Mereka menyebutnya dengan Geng Manhattan. Sebuah pulau yang terletak di sebelah selatan ujung sungai Hudson, kota New York. Nama itu dicetuskan sebagai nama kelompok mereka bukan karena asal, melainkan orang tua mereka sama-sama memiliki bisnis besar di sana.

Bagaimana tidak populer jika geng Mahattan isinya anak-anak orang kaya, tapi kerjaannya melanggar aturan sekolah. Biasanya mereka berlima, hanya saja hari ini dua di antaranya izin sakit. Entah sakit beneran atau hanya akal-akalan. Intinya omongan anak Manhattan enggak ada yang bisa dipercaya.

"Sialan lo!" ujar Mahesa tidak terima.

"Berisik! Buruan!" bentak Artha tak sabar. Matanya celingukan memindai situasi. Agak aneh memang, security yang tadi mengejar-ngejar mereka tiba-tiba tidak terdengar suaranya lagi. Namun, Artha tak ambil pusing. Dia dan kedua temannya hanya fokus untuk kabur, memanjat pagar tembok tersebut dengan susah payah.

Saat giliran Dirga naik, Artha turut mengangkat pantat serta tubuh cowok itu dengan kedua tangannya. Namun, teman laknatnya itu malah berbuat ulah.

Preeeet!

Tiba-tiba bau tak sedap menerpa tepat di wajah Artha. Seketika Artha terbatuk-batuk lantaran aroma busuk yang menusuk hidung.

"Anjing, lo kentut!" Dirga meringis.

"Sorry, kelepasan, Ta!"

"Biadab banget lo! Baunya astaga. Makan apaan sih lo tadi pagi? Kayak comberan yang enggak dikuras dua abad." Artha mengibaskan tangan kanannya untuk menghalau bau busuk yang menusuk hidung. Bener-bener temen gak ada akhlak.

"Biasa aja kali, Ta! Kentut gue satu tingkat lebih

wangi dari kentut Mahesa."

Mahesa yang mengulurkan tangan untuk membantu Dirga langsung menoyor kepala temannya itu.

"Maksud lo, kentut gue lebih busuk dari comberan?"

"Bacot lo berdua! Buruan!" Artha tak sabar dengan kedua temannya itu karena bahunya sudah lelah menopang tubuh Dirga. Bukan hanya itu, dia tidak ingin tertangkap dan berakhir menerima hukuman dari sekolah.

Perlahan, tetapi pasti. Mereka bertiga sudah berada di atas pagar tembok, bersiap melakukan

ancang-ancang pendaratan. Jangan pikir mereka takut turun dari ketinggian sekitar dua meter lebih itu. Ketiga cowok tersebut malah memproklamirkan diri sebagai Spiderman sekolah.

Ketiga tas dibuang begitu saja. Untung tidak ada barang berharga di sana. Hanya ada buku catatan dan beberapa buku panduan serta alat tulis yang tidak terlalu lengkap. Bukan karena mereka tak mampu, tetapi lebih tepatnya malas membawa barang-barang yang sebenarnya bisa didapatkan dari mengambil milik teman.

Setelah semua barang sudah mendarat di tanah, giliran mereka melompat begitu lincah. Dentuman terdengar bersamaan debu-debu berterbangan karena pijakan yang terlalu keras dari pendaratan mereka. Artha, Dirga, dan Mahesa mengibaskan kedua tangan dari debu yang menempel pada seragam yang melekat pada tubuh mereka.

Tas yang dilemparkan dikenakan kembali, bersiap pergi dari sana sebelum ketahuan. Namun, baru tiga langkah beranjak dari posisi, beberapa orang dewasa sudah berdiri di depan mereka.

Satu di antaranya jelas sangat Artha kenal. Pria dewasa yang kini sedang membawa tongkat hitam mengilat sembari melakukan gerakan menepuk beberapa kali pada telapak tangan tampak menatap mereka tajam.

Ya, siapa lagi kalau bukan sang pemilik yayasan,

Ravindra papa kandung Artha.

Pantas saja security tadi tidak mengejar mereka, ternyata semuanya sudah menanti di tempat

pendaratan, yaitu di luar pagar sekolah.

"Eh, Papa! Sudah lama, ya?" Artha meringis, mempertunjukkan deretan gigi putihnya yang terdapat serpihan cabe bekas makan seblak tadi

siang.

"Arthaaaaaaa!" teriak Ravindra geram, lantas

menjewer telinga sang anak dengan keras.

****

Artha menunduk sembari meremas jemarinya kasar. Bukan karena takut akan hukuman yang papanya berikan, melainkan dia sudah berjanji pada teman-temannya untuk nongkrong sore ini.

Ravindra berjalan mondar-mandir, bersiap memuntahkan semua amarah pada putra sulungnya itu.

"Keterlaluan kamu, Ta! Malu-maluin Papa. Kalau saja Papa bukan pemilik yayasan, kamu sudah

dikeluarkan dari sekolah. Ngerti, nggak?"

"Ngerti, Pa." Artha menjawab sekenanya. Yang penting baginya kali ini, sesi ceramah panjang dan lebar segera berlalu.

"Pokoknya Papa enggak mau tahu. Kartu kredit,

motor, dan segala fasilitas lain mulai detik ini Papa ambil."

"Apa?" Mata Artha membulat penuh. Dia tidak bisa hidup tanpa motor kesayangan. Kalau masalah kartu kredit, dia masih bisa ngutang. Tapi kalau motor dia enggak bisa balapan lagi.

"Jangan gitu, dong, Pa. Artha janji deh enggak bakal ngulangin lagi. Ini yang terakhir!"

"Terakhir apanya?!" Ravindra membentak, cukup membuat Artha menelan ludah.

"Sudah puluhan kali kamu janji sama Papa. Enggak ada negosiasi lagi. Dalam seminggu ini, kamu harus sudah ada perubahan." Telapak tangan Ravindra menengadah di depan wajah Artha.

"Mana ponselmu?"

"Eh, apa?"

"Ponselmu mana?" kata Ravindra mengulang

pertanyaan.

Artha merogoh saku celana, lantas mengeluarkan benda pipih dengan logo apel bekas digigit musang untuk kemudian diberikan pada papanya.

"Berapa sandinya?"

Artha menjawab malas, menyebut satu per satu sandi ponselnya seiring gerakan jari Ravindra menekan angka sesuai instruksinya. Memeriksa isi galeri adalah hal utama. Belum beberapa menit terlewati, Ravindra sudah merasa geram dengan apa yang tersimpan pada galeri telepon milik Artha.

Bukannya apa? Di sana banyak sekali menyimpan foto-foto cewek seksi dan beberapa video bok3p. Ravindra menggeleng beberapa kali.

Kepalanya mendadak pening. Bagaimana dia bisa memiliki anak semesum itu?

Ravindra menatap tajam Artha dan hanya ditanggapi dengan cengiran oleh putranya itu.

"Ini Papa ambil!" Dengan tanpa perasaan Ravindra memasukkan benda tersebut ke dalam saku celana.

Hal itu cukup membuat Artha ketar-ketir.

"Jangan kejem, dong, Pa! Tanpa motor, kartu kredit, dan ponsel, gimana Artha bisa hidup?" Artha menyahut tak terima. Bisa gila hidupnya tanpa benda-benda itu.

"Enggak ada kejam-kejam. Kalau dalam seminggu ini kamu enggak ada perubahan, Papa akan masukin pesantren. Mengerti?!" ucap Ravindra tegas lantas berlalu menggalkan Artha.

chapter 2

Artha mengembuskan napas kasar, belum sepenuhnya menerima hukuman dari papanya. Dia merengut. Merengek pada mamanya tentu malah kena amukan. Mamanya itu klop banget sama papanya. Demen menghukum Alka.

Ketika Artha berjalan melewati ruang tamu, terdengar suara motor berhenti tepat di depan rumahnya. Segera Artha berlari melihat siapa yang datang. Saat itu juga senyum mengembang melihat motor Julian terparkir dengan pengendaranya baru melepas helm. Tuh, kan, bener! Julian tadi izin sakit saat sekolah, tapi sore ini malah sudah nongol di rumah Artha. Bener-bener perkataan anggota Geng Mahattan enggak ada yang bisa dipercaya.

"Pa, Kak Artha mau kabur!" Suara Nova adik perempuan Artha satu-satunya melengking, membuat Artha membulatkan mata. Demi apa memiliki adik tukang ngadu.

Namun, belum sempat Artha memarahi Nova, derap langkah kaki Ravindra terdengar tegas membuatnya lebih memilih kabur seperti apa yang Nova katakan.

"Arthaaaa!" teriak Ravindra yang sudah hampir

menyerah menyikapi sikap putranya.

"Keluar bentar, Pa! Cari angin!" kata Artha

dengan suara meninggi seraya mengenakan helm.

Ravindra hanya menggeleng menatap motor sport milik Julian sudah menjauh membawa putra sulungnya pergi.

Sementara di sisi lain, kehidupan yang sangat jauh berbeda dari seorang Artha, yaitu pada sebuah rumah kontrakan sempit yang terletak di ujung gang. Ada sebuah keluarga yang hanya terdiri dari ibu dan seorang anak perempuan.

"Ma, samponya habis!" Teriakan itu terdengar dari arah kamar mandi, membuat wanita paruh baya yang tengah menyiapkan bekal untuk dirinya bekerja sif malam menghentikan kegiatan.

"Masih bisa kasih air, Nai. Nanti juga keluar busanya." Astaga, ini sudah kali kedua botol sampo itu dicampur air supaya bisa dipergunakan lagi.

"Tapi ini sudah pernah diisi ulang pake air, Ma!"

"Enggak apa kali, Nai. Diisi lagi, terus kocok

kocok yang kenceng. Nanti juga masih bisa keluar busa." Sudah kepalang tanggung, rambut sudah basah, tetapi sampo tidak ada. Terpaksa gadis itu mengikuti arah mamanya.

"Ah, aku benci kemiskinan!" Selalu aja itu yang Naira ucapkan.

"Makanya kerja keras, Nai. Jangan malas

malasan! Rajin belajar, biar bisa banggain Mama."

Walaupun ibu dan anak itu berada di tempat yang berbeda, yaitu satu di kamar mandi dan satunya berada di dapur, tetapi mereka masih bisa bercengkerama. Ya, sesempit itu kontrakan yang dihuni.

"Tapi Mama tiap hari kerja keras, kenapa kita enggak kaya-kaya?"

Wanita itu mengembuskan napas kasar. "Ya, kan uangnya buat makan, Nai. Sama buat bayar uang sekolah kamu. Kerja keras itu kewajiban, kalau kaya itu bonus."

"Kenapa Tuhan enggak ngasih kita bonus kaya, ya, Ma?" Suara Naira terdengar bersamaan guyuran air yang disiram menggunakan gayung lope-lope. Namun, tetap saja masih bisa didengar oleh mamanya.

Sejak kematian sang papa, Naira Ayudhia hanya tinggal berdua dengan Mamanya. Rumah mewah yang menjadi tempat tinggal mereka harus raib disita bank karena hutang yang menumpuk. Usaha papanya bangkrut dan meninggalkan banyak hutang. Terpaksa mama Naira, Maya menjual segala aset yang ditinggalkan sang suami untuk melunasinya.

"Ngeluh mulu kamu, Nai. Buruan mandinya! Udah telat Mama!"

Seperti biasa, Naira mengantar mamanya untuk bekerja sif malam di sebuah pabrik rokok. Dia sebenarnya tidak tega melihat mamanya yang dulu hanya sebagai ibu rumah tangga, kini harus bekerja banting tulang demi kelangsungan hidup mereka berdua.

Apalagi saat sif malam, ketika semua orang sedang menikmati tidur nyenyak, Maya justru harus menjelikan mata demi mengerjakan tuntutan pekerjaan agar tidak melakukan kesalahan.

"Jemput Mama sebelum berangkat sekolah!"

kata Maya setelah turun dari motor.

Naira mencium punggung tangan Maya sebelum berpamitan. Dia segera menyalakan mesin motor, meninggalkan area pabrik rokok menuju jalan raya.

Langit mulai menggelap. Sinar rembulan tertutup awan hitam pekat. Udara dingin terasa menusuk kulit. Naira menatap ke atas sesekali guna memeriksa cuaca yang mendadak berubah.

Rintik hujan tiba-tiba turun membasahi wajahnya. Belum terlalu jauh dari pabrik, tetes-tetes hujan berubah lebat dan deras mengguyur kota. Naira mempercepat laju roda duanya agar segera sampai. Namun, keputusannya itu justru membuat jaketnya basah kuyup karena tidak mengenakan jas hujan.

Udara semakin dingin diiringi angin berembus kencang, Naira memilih menghentikan motornya di dekat kompleks perumahan warga. Tampak pohon berdaun rimbun yang di bawahnya terdapat tempat untuk berteduh dengan lembaran aluminum yang ditopang empat pilar besi membuat Naira segera menepikan roda duanya.

Setelah berhasil memarkirkan motor, Naira melepas jaket hoodie yang sudah basah. Beruntung kaus yang dia kenakan masih bisa terselamatkan sehingga hawa dingin itu tidak terlalu menyiksa tubuh.

Baru beberapa menit berteduh, pengendara motor lain turut menepikan kendaraannya. Helm full face dilepaskan dan diletakkan pada stang motor, membiarkan benda bulat itu kehujanan, sementara si pengendara motor menepi dan berdiri di samping Naira.

Pengendara itu adalah Artha. Dia membawa motor Julian untuk membeli sesuatu. Namun, saat diperjalanan pulang, dia malah terjebak hujan.

Sungguh hari yang sangat apes.

"Anjir!" umpat Artha ketika sebuah truk lewat mencipratkan genangan air sehingga membuat bajunya kotor penuh lumpur. Dia mengibas ngibaskan tangan pada pakaiannya yang basah dan kotor.

Naira mengernyit saat matanya melirik ke samping di mana cowok yang berusia sepantaran dengannya tampak melepaskan kaus tanpa tahu malu. Tubuh putih bersih dengan otot liat terpampang di depan mata membuat Naira memilih membuang muka.

"Ngapain lo lepas baju segala! Gosah macam macam, ya?" ucap Naira sembari menutupi sebelah wajahnya dengan telapak tangan.

"Macam-macam? Sama lo? Idih, najis!"

"Lo yang najis." Naira mendengkus, tak terima dengan perkataan Artha. Dia cantik, punya harga diri tinggi.

"Sok ganteng!"

Artha sedang memeras kausnya yang baru saja dibasuh menggunakan air hujan, berharap dengan begitu lebih cepat kering, seketika menoleh ke arah Naira.

"Apa lo bilang?"

"Enggak. Gue enggak bilang apa-apa."

Artha menggeleng pelan, kembali melanjutkan memeras pakaian hingga airnya tersisa sedikit.

"Cewek aneh!"

Memutar bola mata, Naira lebih memilih menatap ke bawah di mana tanah basah tergenang oleh air hingga naik pada sendal jepitnya. Hujan tak lagi sederas tadi, tetapi kondisi tanah dan jalan sudah penuh genangan air kotor. Mungkin sebentar lagi dia bisa pulang dan mengistirahatkan diri.

Cukup menunggu beberapa menit lagi, gadis itu

yakin jika bisa pulang tanpa harus basah-basahan.

Syukurlah! Naira tidak perlu berlama-lama dengan cowok sok kecakepan di sampingnya. Namun, ada yang aneh ketika kakinya merasakan

sesuatu menggelitik.

Naira menggerakkan kaki, mengangkat betis untuk melihat benda apa yang sejak tadi bergerak gerak pada kakinya. Saat itu juga matanya membulat penuh, terlonjak dengan menghentakkan kaki ke tanah yang tergenang air sehingga terciprat pada celana Artha.

Belum sempat Artha membentak, Naira berteriak lantang terlebih dulu.

"Aaah, kecoa!" Terlalu terburu-buru dan panik, Naira justru terpeleset tanah becek membuat

tubuhnya jatuh menabrak dada bidang Artha.

Tentu saja di luar kendali karena belum sempat membuat ancang-ancang sehingga ketika tubuh mereka bertabrakan, keduanya terjatuh ke belakang di mana semak-semak tumbuh liar di sana.

Mata Artha dan Naira saling mengatup. Tubuh mereka tumpang tindih dengan Naira berada di atas tubuh Artha. Sesaat kemudian mata mereka terbuka hampir bersamaan, bertemu pandang dalam beberapa waktu. Belum sempat keduanya

berpindah posisi, dua orang ibu-ibu yang baru saja turun dari angkot memergoki mereka.

"Hei, apa yang kalian berdua lakukan?"

Detik itu juga Naira berguling menyamping, membebaskan Artha yang sejak tadi berada di bawahnya. Melihat Artha bertelanjang dada dan Naira yang basah kuyup dengan kaus putih polos

menerawang, membuat ibu-ibu itu histeris.

"Astagfirullah! Kalian mesum ternyata!"

Artha dan Naira menggeleng. Namun, keduanya tak bisa menjelaskan apa-apa karena detik itu juga suara melengking ibu-ibu membuat banyak orang berkerumun mengerubungi mereka.

Suasana menjadi tegang. Naira hanya bisa menunduk saat semua orang menatapnya dengan pandangan menuntut. Berbeda dengan Artha, dia bersikap santai seolah tiada suatu hal besar yang akan terjadi. Dia yakin jika papanya datang, semua masalah akan beres.

"Tidak ada tapi-tapian. Anak muda zaman sekarang pacarannya kelewat batas. Ayo, kita bawa mereka ke balai pertemuan," ucap salah seorang warga yang ikut terprovokasi oleh kesaksian ibu-ibu tadi.

chapter 3

..."Hidup itu ajaib. Saat kita benci, Tuhan malah mendekatkan. Saat kita suka, Tuhan malah menjauhkan. Tapi di balik itu ada rencana indah Tuhan yang sudah menanti."...

****

Artha dan Naira hanya bisa pasrah ketika digiring oleh warga ke balai pertemuan. Keduanya menunduk, tangan saling terjalin sambil terus berjalan. Mereka didudukkan dengan banyak saksi yang menanti hukuman yang diberikan Pak RT terkait aksi mesum dua remaja itu. Kedua kartu identitas sudah berada di tangan Pak Ilham selaku ketua RT.

"Apa benar kalian mesum di tempat umum?" Pria berkumis menggenakan kemeja batik itu bertanya sembari duduk di bangku kayu, menatap lekat-lekat ke arah Naira dan Artha secara bergantian.

Sontak keduanya menggeleng.

"Tidak, Pak. Gimana bisa mesum, kenal aja enggak!" Artha memberi alasan, sementara Naira hanya manggut-manggut.

"Bohong. Kalau tidak kenal kenapa bisa tumpang tindih gitu? Kenapa bisa peluk-pelukan di semak-semak tanpa pakai baju?" seloroh salah

seorang warga yang tadi sempat memergoki mereka.

"Beneran. Saya tidak kenal sama dia. Sumpah!" Naira angkat bicara. Dia takut dikira cewek enggak bener karena terjebak situasi seperti ini.

Pak Ilham hanya menggelengkan kepala. Sepertinya mulai termakan omongan warganya.

"Sebaiknya hubungi orang tua kalian. Saya tidak mau kalau lingkungan sini jadi tempat mesum. Apalagi kalian masih pelajar. Ini bisa mengajarkan para pemuda sini berbuat asusila seperti apa yang kalian lakukan."

"Tapi, Pak!" Naira menyela.

"Ini semua salah paham."

"Bukti ada di depan mata. Bukan seorang yang memergoki kalian. Tapi dua orang dan kemudian disusul yang lain. Kalian mau mengelak apa lagi?" Pak Ilham mengesah, menggeleng kemudian.

"Tapi...." Naira tak bisa melanjutkan kalimatnya. Dia takut jika masalah kesalahpahaman ini akan menjadi serius saat mamanya mengetahui. Apalagi pria di sampingnya tampak santai, seakanakan apa yang terjadi adalah hal enteng dan mudah diselesaikan.

"Lo, sih, pake buka baju segala. Kan jadi pada

salah paham." Naira mengerucutkan bibir. Pipinya mengembung, lebih besar dari bakpao.

Menurut Artha.

"Lo yang nyari kesempatan. Lo sebenarnya pengen kan deket-deket sama cowok ganteng kayak gue. Ngaku aja deh lo!"

"Idiih!"

"Apa kalian sudah menghubungi orang tua kalian?" Suara Pak Ilham membuyarkan pertikaian Artha dan Naira.

"Papaakan segera datang. Bapak tenang saja. Papa akan menyelesaikan semuanya," jawab Artha tampak meyakinkan. Beruntung Julian meminjaminya motor plus ponsel. Kadang Artha memang setidak tahu diri itu, memanfaatkan kebaikan teman sampai luar dalam. Dia menegakkan punggung yang masih belum

mengenakan pakaian.

"Lalu, bagaimana dengan perwakilan keluargamu?" Pak Ilham mengarahkan tatapan ke Naira. Gadis itu diam, hanya menunduk. Mamanya masih bekerja, tidak mungkin dihubungi mengingat peraturan perusahaan yang melarang karyawan produksi mengaktifkan ponsel ketika jam kerja berlangsung.

"Tidak ada, Pak. Mama masih kerja."

"Kamu tidak bisa menghubunginya?"

Naira menggeleng lemas. Setelah ini dia hanya pasrah karena tidak ada yang akan membelanya. Melihat betapa tatapan semua orang memandangnya dengan risih, seakan-akan dirinya benar melakukan perbuatan asusila di tempat umum.

Hampir sepuluh menit menunggu, seorang pria matang berperawakan tegap datang ke balai pertemuan. Mata tajamnya menatap langsung pada Artha. Pria itu teramat geram, seakan-akan sudah habis kesabaran.

"Apa yang sudah terjadi?"

Artha melebarkan senyum. Walaupun papanya meradang, itu tak jadi soal. Yang penting permasalahan ini cepat berlalu. Dia sudah tidak

betah dikerubungi massa seperti saat ini.

"Mereka ketahuan mesum di tempat umum," jawab salah seorang di antara warga yang sedang berkerumun.

"Apa?" Ravindra memijit kepalanya. Putra sulungnya ini sudah kelewatan. Dan lihatlah sekarang, wajah Artha tampak tenang, seakan tidak melakukan kesalahan sama sekali.

"Ini pasti kesalahpahaman. Anak saya bukan anak yang seperti itu."

"Siapa yang anak Bapak? Yang laki-laki atau

perempuan?" Pak Ilham berdiri.

"Silakan duduk terlebih dahulu," ucapnya sopan kepada Ravindra.

Ravindra mengangguk. Bibirnya mengesah kasar, menatap Artha dan Naira secara bergantian. Dalam hati dia sempat menyetujui pilihan Artha. Gadis itu tampak cantik, postur tubuh ideal. Selera Artha memang patut diacungi jempol.

"Dia Artha. Anak saya. Bagaimana bisa terjadi? Alka adalah anak baikbaik. Tidak mungkin melakukan hal bejad seperti itu"

Mana mungkin sebagai orang tua Ravindra menjelek-jelekkan anaknya sendiri? Apalagi di depan calon mantu. Dia juga pernah muda, sangat pantang dirinya dipermalukan di depan banyak orang asing.

"Tapi beberapa warga memergoki mereka. Ini sudah di luar batas. Jika mereka dibiarkan saja, pasti akan muncul anak-anak remaja yang mengikuti gaya pacaran mereka. Sebagai efek jera, kami ingin mereka segera dinikahkan!"

"Apa? Menikah?" Sontak Naira dan Artha berteriak hampir bersamaan. Keduanya saling melempar pandang. Sorot mata permusuhan terlihat di antara keduanya. Saling menyalahkan dan saling tuduh bahwa ada yang sengaja melakukan itu.

"Tidak-tidak-tidak!" Artha langsung mengambil

alih pembicaraan.

"Ini semua salah paham. Pa, dengerin Artha. Ini semua tidak benar!"

Ravindra mengembuskan napas kasar. Sotot mata yang tajam mengarah pada Artha.

"Mana bajumu? Bagaimana Papa bisa percaya kalau kamu sendiri tidak pake baju begitu?"

"Tapi, Pa. Ini tidak seperti apa yang Papa pikirkan. Aku hanya melepas kaus yang basah. Tidak lebih!"

"Saya sempat memotretnya, Pak." Suara ibu-ibu yang tadi terdengar lagi.

"Kalau ada masalah seperti ini, yang benar adalah menunjukkan barang bukti. Untung saya terbiasa mengabadikan semuanya di ponsel. Tadinya mau saya bikin story di sosmed, tapi enggak jadi. Saya masih menjaga nama baik putra Bapak," kata ibu itu sembari menunjukkan hasil tangkapan gambar di galeri smartphone-nya.

Ada sebanyak lima foto. Foto mereka yang masih saling memeluk, sampai terlihat kaget setelah dipergoki warga. Ravindra hanya menggeleng gelengkan kepala. Ini sudah tidak bisa diselamatkan.

"Jadi gimana, Pak? Jika mereka dibiarkan, apa Bapak yakin mereka berdua tidak melakukannya secara sembunyi-sembunyi?" Pak IlIlham lagi-lagi

mendesak. Ravindra semakin geram dibuatnya.

"Saya akan menikahkan mereka. Malam ini."

Ravindra akhirnya memutuskan.

"Apa?" teriak Naira dan Artha yang nyaris bersamaan.

****

"Pa, pertimbangkan sekali lagi? Aku tidak mau nikah muda. Papa pikir masa depanku akan bagaimana jika punya anak di usia seperti ini?" Artha masih merengek, berharap Ravindra mengubah keputusan.

"Seharusnya kamu memikirkan ini sebelum kabur dari rumah seperti tadi."

"Lah, apa hubungannya nikah dengan kabur dari rumah, Pa?" Artha bertanya tak mengerti. Apa

yang dibicarakan Ravindra sama sekali tidak ada saling keterkaitan.

"Mama sebentar lagi datang membawakanmu baju. Setelah ini kalian harus menikah." Ravindra

berkata tegas dan tak ingin dibantah.

"Tapi, Om?" Naira yang merasa tidak memiliki wali menjawab ragu.

"Mama belum tahu masalah ini. Saya dan anak Om tidak saling kenal."

"Kalau tidak saling kenal, ya, kenalan!" jawab Ravindra enteng.

"Apa?" Artha dan Naira mendadak bodoh. Jika Ravindra tahu mereka tak saling mengenal, lantas

nengapa harus menikah?

"Ini terpaksa. Papa tidak bisa membungkam

mulut warga. Masalah ke depannya, itu urusan kalian. Untuk saat ini kalian harus bertanggung jawab akan apa yang kalian berdua lakukan. Jangan sampai foto-foto kalian tersebar di internet. Kalian bisa dikeluarkan dari sekolah."

Naira menunduk. Ini bukanlah pernikahan sesungguhnya. Tapi apa itu artinya dia akan jadi

janda di usia muda? Tidak, tidak! Naomi menggeleng. Sudah miskin, janda pula. Aaah, betapa rumit dan menyedihkannya hidup.

"Om, Mama masih kerja. Gimana jika Mama marah. Saya anak satu-satunya.” Naira masih takut memberi tahu ibunya.

"Saya juga tidak mau putus sekolah."

"Kamu tenang saja. Mama Artha yang akan menyampaikan pada mamamu. Sekarang kalian bersiaplah, malam ini acara ijab kabul akan

dilangsungkan."

Ravindra berlalu meninggalkan Artha dan Naira. Dia masih berurusan dengan pihak kepala desa dan warga yang masih penasaran dengan kelanjutan proses penggerebekan. Memang terkadang mereka berpikiran sekolot itu, terpancing perkataan ibu-ibu yang memang terkenal jago menggosip, menguping, dan mengintip. Lebih canggih daripada CCTV.

Di keheningan, Artha dan Naira duduk di satu

sofa panjang yang sama. Keduanya ditinggal berdua. Merasa bosan karena saling diam, Artha

memutuskan mengajak Naira bicara.

"Siapa nama lo?"

Naira hanya diam. Pikirannya masih kacau mengingat adegan demi adegan yang terjadi begitu cepat.

"Lo budeg, ya? Gue nanya. Nama lo siapa?" Suara Artha meninggi, berteriak di telinga Naira.

Refleks tangan Naira memukul kepala Artha.

"Gue enggak budeg. Gosah teriak-teriak!"

"Ya, kali aja. Lo kan dari tadi ditanyai enggak

nyahut-nyahut. Siapa tahu telinga lo bermasalah."

Naira melirik kesal. Bagaimana bisa cowok menyebalkan seperti Artha akan menjadi suaminya. Duduk berdua begini saja rasanya dia malas. Telinganya panas karena mendengar ocehan Artha yang menjengkelkan.

"Naira." Naira akhirnya mengulurkan tangan. Sepertinya mereka memang harus saling kenal sebelum memikirkan apa yang harus dilakukan

setelah ini.

"Artha!"

Uluran tangan Naira disambut. Mereka berjabat tangan. Namun, saat tangan masih saling terpaut pada detik berikutnya seekor cicak jatuh di sisi sofa belakang Naira.

"Awas cicak!" Artha berteriak mengingatkan, sontak Naira ikut terkejut dibuatnya. Cicak adalah binatang yang menggelikan. Memang tidak menakutkan, tetapi Naira sangat benci dengan

cicak yang memiliki tubuh lembek.

Tanpa sadar Artha menarik tangan Naira sehingga tubuh gadis itu terhuyung ke depan menimpanya. Posisi mereka tampak intim. Artha terlentang dengan satu tangan memeluk Naira

yang sedang menindihnya.

Belum sempat keduanya membenarkan posisi, Ravindra dan Pak Ilham masuk ke ruangan itu dan langsung membelalakkan mata melihat

pemandangan yang ada.

"Arthaa!" teriak Ravindra geram.

Tidak ada yang bisa menghalangi pernikahan tersebut. Tadinya Ravindra sudah berunding dengan Pak Ilham, berharap membebaskan putranya. Ini hanya soal kesalahpahaman. Keduanya tidak saling kenal. Namun, setelah Pak Ilham melihat kelakuan Artha dan Naira di depan mata kepala sendiri, beliau tidak mau bernegoisasi lagi.

"Mereka lama-lama bisa zina jika dibiarkan terus-menerus. Bapak mau menanggung dosa jika mereka sampai berzina?" Itulah yang Pak Ilham ucapkan pada Ravindra.

Setelah mendapat keterangan lengkap dari identitas Naira, Ravindra memutuskan menikahkan Artha dan Naira menggunakan wali hakim. Naira menjelaskan jika papanya sudah meninggal dan tidak memiliki kerabat lain.

Pernikahan cukup sederhana. Dihadiri oleh Ravindra dan istrinya juga para saksi yang sejak tadi berkerumunan.

Seumur hidup, Artha baru menyaksikan pernikahan aneh dengan pasangan suami istri yang tidak pernah saling kenal, dan baru tahu namanya sepuluh menit sebelum akad berlangsung.

****

Hari-hari terlewati seperti biasa. Pernikahan itu tetap menjadi rahasia. Toh tidak ada bedanya karena mereka tetap tinggal terpisah. Maya yang awalnya tidak terima hanya bisa pasrah. Sudah terjadi juga, dan setelah melihat siapa Artha sebenarnya, dia pun merasa pernikahan Naira

tidak terlalu buruk.

"Mertuamu baik, ya, Nai." Maya menyuapkan

nasi ke mulutnya setelah mengucapkan hal itu.

"Mertua siapa?" Naira menjawab malas malasan. Dia masih berkutat pada buku tulis dengan serentetan soal matematika yang menguras isi kepala.

"Ya, mertua kamu, Nai. Mama tadi diajak jalan jalan ke mal. Dia belikan banyak baju buat Mama

sama kamu."

"Ma, lupakan pernikahan itu. Naira bahkan lupa kalau punya suami. Naira masih sekolah juga." Naira mengeluh. Kepalanya semakin pusing mendengar setiap kalimat yang mamanya ucapkan. Mertua, suami, pernikahan. Aaaargghhh! Semua membuat kepala Naira semakin pusing.

"Eh, enggak boleh gitu, Nai. Itu namanya kalian sudah jodoh. Tuhan ngasih jodoh dengan cara yang berbeda-beda. Lagian, apa kurangnya si Artha? Dia cakep, tajir. Kamu sendiri bilang benci kemiskinan, pengen kaya. Ya, itu, Nai. Caranya ya dengan kawin sama pria kaya. Dan kamu udah ngelakuin itu. Bentar lagi kamu enggak perlu masukin air ke dalam botol sampo biar bisa keramas. Pasti di sana stok sampo banyak banget, Nai." Maya terkikik geli. Kepalanya menggeleng kemudian.

"Aih, Mama. Masak ukuran kaya cuma sebatas

stok sampo."

"Itu hanya perumpamaan, Nai. Setidaknya setelah melihat kedua mertuamu adalah orang yang tepat, Mama enggak cemas lagi memikirkan masa depanmu. Andai Artha macam-macam, mereka mau tanggung jawab."

Suara Maya terdengar sendu. Naira memperhatikan mamanya yang terlihat tak biasa.

"Mama kok ngomongnya gitu? Udah bosan, ya,

ngidupin Naira."

"Bukan gitu. Hanya suatu saat kamu pasti hidup bersama suamimu. Tidak terus-menerus sama

Mama."

"Tapi Naira ingin hidup sama Mama. Kalau Artha enggak mau tinggal sama Mama, ya biar aja dia

tinggal sendiri."

"Hussh!" Maya memukul kepala Naira menggunakan sendok bekas makannya.

"Auuh!" lenguh Naira, mengusap kepalanya

bekas getokan Maya.

"Sungguh teganya!"

"Lagian kamu, Bai. Enggak baik ngomong gitu. Pokoknya Mama ingin kamu jadi istri yang baik buat Artha, dan menantu yang baik buat mama dan papanya Artha. Buktikan sama mereka kalau Mama mendidik kamu dengan benar." Maya tampak serius ketika menasihati putri semata wayangnya. Mungkin ini semua terlalu dini. Dia cukup paham akan hal itu. Namun, sebelum semua terlambat, Naira harus mengerti.

"Iya, Ma. Beres!"

Maya membersihkan perlengkapan makannya. Dia beranjak dari duduk, masuk ke dalam, membiarkan Naira kembali larut dengan buku

buku pelajarannya. Saat Maya melewati tirai

pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah, dia menoleh lagi ke arah putrinya.

"Setidaknya Mama enggak cemas lagi saat meninggalkanmu," ucapnya seraya berlalu masuk guna membersihkan sendok dan piring bekas makan malamnya.

****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!