NovelToon NovelToon

Dear, My Heartbeat

Rabbit Punch Gym

Season Ke- 1 : Dear, Anak Tetangga

Season ke - 2 : Dear, Anak Majikan

Season ke - 3 : Dear, Anak Presdir

Season ke - 4 : Dear, My Heartbeat

Terima kasih untuk teman-teman yang sudah stay di romansa Batari. Jangan lupa tinggalkan jejak, like, subscribe, vote, mawar, kopi maupun tonton iklan, yah. Agar author lebih semangat lagi updatenya.

Happy reading.

❤️❤️❤️

...Nauru...

...────୨ৎ────જ⁀➴...

Ngobrolin omong kosong satu sama lain tuh sudah jadi kebiasaan kita. Gue sama anak-anak selalu nongkrong di tempat yang sama tiap minggu. Rabbit Punch, Gym yang sekarang jadi punya gue. Dari kecil, kita sudah sering banget nongkrong di sini. Kita semua tumbuh di sini.

"Kayaknya hari ini banyak yang kudu dibahas, deh," kata Hazerrie sambil melirik Mohan sama Eros. Santai, sih gayanya, tapi kalau ada yang bikin dia kesal, dia pasti jadi orang yang pertama buat teriak.

"Ros, kenapa sih kita mesti ribet sama kafe itu?" keluh Mohan.

Mohan sama Hazerrie memang saudara kandung, tapi buat gue sama yang lain, mereka sudah kayak keluarga sendiri, kami sedekat itu.

Eros cuma ketawa kecil, angkat bahu. Eros sama Mohan tuh yang punya FOD Construction, singkatan dari Fight or Die, yang juga sudah jadi tato wajib di badan kita bertahun-tahun lalu.

"Bro, itu kerjaan. Masa mau tolak? Konyol banget kalau kita nolak proyek segede itu. Sejak empat tahun lalu, hampir semua renovasi di pusat kota kan kita yang pegang," jawab Eros.

"Gue kasih tau nih ya, bego, mau lo ambil proyek itu atau nggak, lo tetap kelihatan tolol. Dan ini bukan soal proyeknya." timpal Hazerrie, ngakak. "Tapi serius, kalau lo ambil proyek itu, lo bakal ngecewain keluarga Batari. Seriusan."

Keluarga Batari itu punya hampir semua properti di Royale Blossom Town, kota tempat kita tumbuh. Nama mereka ada di mana-mana, jalanan, sekolah, perpustakaan, dll. Mereka tajir mampus. Dan kita punya alasan kuat buat benci mereka.

Tapi kalau soal bisnis, gue mengerti posisi Eros sama Mohan. Duitnya bagus, usaha mereka juga lagi naik daun. Jadi gue nggak mau urusan pribadi menghancurkan bisnis mereka.

Masalahnya, si Ailsa Batari, anak dari keluarga Batari. Dia baru lulus dari kuliah, dan sekarang dia buka kafe, persis di sebelah gym gue. Dari situ keributannya dimulai.

"Gue pernah bilang, kan, kalau Yoan dulunya berteman sama dia waktu sekolah? Dan kata adik gue, Ailsa itu cewek baik-baik. Itu kata Yoan, ya, bukan kata gue," kata Kai sambil menggulung matanya.

"Gue sih tetap nggak nganggep keluarga Batari sebagai teman, tapi kadang memang kita kudu kerja sama. Kota ini kecil, bro. Gue aja padamin kebakaran di rumah mereka tahun lalu, masa lo mau nyalahin gue gara-gara gue nggak tega lihat rumah orang kebakar?"

"Terserah lah, Kai. Yang penting tugas lo kelar," jawab Hazerrie sambil menyeruput kopi, bersandar di sofa kulit di ruang belakang gym yang sudah menjadi basecamp resmi kita. "Sekarang bisa nggak sih, kalian stop jilatin iblis?"

"Setuju," kata Mohan sambil mengangkat tangan. "Tapi jujur aja ya, Ailsa tuh nggak sekaya atau seberengsek yang lo kira. Dia malah renov apartemen di atas tokonya buat tempat tinggal. Dia bukan putri mahkota kayak yang lo bayangin."

"Oh biar gue tebak, lo mau ngegebet cewek dari keluarga Batari, ya, sekarang?" ejek Hazerrie.

"Santai lah, bego. Mohan semalam barengan sama gue, dan gue bisa jamin dia nggak ngincer cewek," tawa Kai.

"Anjir, jangan gitu dong. Gue bukan gay. Tapi tenang, gue juga nggak ada niat dekatin Ailsa Batari. Dia terlalu manis buat gue," Mohan angkat alis, sengaja banget buat bikin Hazerrie makin kesal.

Membenci keluarga Batari sudah kayak tradisi buat kita. Wajar sih. Tapi jujur saja, Ailsa sebenarnya nggak ada salahnya. Kita bahkan nggak pernah dekat. Dia sekolah di tempat elit, kita di sekolah negeri.

Nggak ada dari kita yang jenius, tapi setidaknya kita survive. Gue sama Hazerrie sempat babak belur habis keluar dari rehab, tapi akhirnya kita bisa benarin hidup kita.

Begitu kita di cap sebagai anak kriminal, susah banget buat menghilangkannya. Orang-orang jadi suka banget nge-judge.

"Keluarga Batari tuh memang darah iblis semua. Dan kita sudah kebanyakan buang waktu buat ngomongin mereka. Sekarang mending bahas yang lebih penting. Setuju, gak, Rabbit Boy?" Hazerrie melirik gue.

Rabbit Boy, itu julukan yang mereka kasih ke gue dulu. Sekarang malah jadi nama gue di dunia tinju. Kita sudah mengalami banyak hal bersama. Gue anak paling bontot di geng ini.

Awalnya kita berteman gara-gara mereka menemukan gue di gang belakang gym, ribut sama tiga orang yang jauh lebih tua. Mereka lihat gue keteteran, dan mereka langsung turun tangan. Sejak itu, persahabatan kita makin solid.

"Oke. Jadi, siapa yang harus kita gebukin kali ini?" tanya Kai, bersandar sambil nyengir. Kai ini badannya kekar, keras kayak batu, jelas-jelas aura pemadam kebakarannya nempel banget.

"Dia cuma cari perhatian," gue angkat bahu, sok santai, padahal dalam hati kesal setengah mati.

Rahardian The Lion, dia petinju kelas Pro. Beberapa bulan lalu dia kalah melawan Jeka William. Satu-satunya kekalahan di karier dia, dan sekarang dia bawel banget minta rematch. Katanya waktu itu bad day, dan Jeka cuma hoki.

Followers dia di sosmed jutaan, media juga suka banget bahas dia. Soalnya, orangnya memang kacau. Pernah, dia lempar kursi ke luar jendela restoran cuma gara-gara resepsionisnya nggak mengenali dia.

Goblok, kan?

Dan entah kenapa, sekarang gue yang jadi sasaran.

Ironisnya, beberapa tahun lalu gue naik ke ring pro melawan Jeka William. Waktu itu, dia baru debut, belum terkenal. Pas gue mengalahkan dia, nggak ada yang peduli sama gue.

Setelah itu, gue cabut dari dunia tinju.

Sementara Jeka makin naik, sampai akhirnya dia rebut sabuk juara dari Rahardian. Terus, Jeka kecelakaan. Parah banget, sampai kakinya harus diamputasi. Dia pensiun, dan Rahardian malah sibuk ngoceh karena nggak dapet rematch. Dia memang nggak ada simpati sama sekali, benar-benar norak.

Nah, dari situ, Rahardian jadi mengincar gue. Karena, katanya, sebelum kalah sama Jeka, kekalahan terakhir Jeka itu dari gue. Dan dia pengen banget mengalahkan gue buat balikin reputasi dia.

Padahal, siapa, sih yang masih ingat sama gue?

Gue sih fine-fine saja.

"Dia memang tolol. Tapi kalau lo benaran mau tanding, kita semua di belakang lo, bro," kata Mohan sambil geleng-geleng.

Dari dulu memang begitu. Tiap kali gue bertanding, mereka selalu ada.

Fight or Die.

Itu prinsip kita.

Fight or Die

"Gila, bro. Gue masih ingat banget pas lo lawan Jeka. Lo ngejatuhin dia gitu aja, semua orang sampai bengong." Hazerrie mengusap tangannya dengan semangat. "Tapi masalahnya Rahardian ini sudah di luar batas, bro. Gue tahu lo masih galau buat balik ke ring, tapi jujur saja... gue pengen banget lihat lo bikin dia diam."

Gue sudah berhenti tinju sejak bokap ambruk di ring, beberapa bulan setelah gue lawan Jeka. Dia gak bangun lagi, meninggal beberapa jam kemudian. Sejak itu, gue gak ada hati lagi buat tinju.

Gue fokus buat jalanin tempat Gym bokap bareng Melpida, partnernya di Rabbit Punch. Setahun lalu dia pensiun, terus dia nemuin cara biar gue bisa beli Gym itu, dan sekarang resmi jadi punya gue.

Lumayan bikin gue sibuk, sih.

Gue latih beberapa petinju, mengurus tim, memastikan tempat ini tetap jalan. Duitnya cukup buat hidup enak, tapi ya gak bikin tajir juga. Jujur saja, pertarungan ini bisa jadi jalan cepat buat mendapatkan duit.

Sementara adik gue masih kuliah, gue berusaha lakukan sesuatu yang bisa bikin nyokap sama nenek tetap sehat setelah bokap gak ada. Gue bersyukur banget pas nenek memutuskan buat tinggal bareng kita. Lega saja rasanya. Gak kebayang kalau salah satu dari mereka harus hidup sendirian.

"Gue gak tahu, bro. Gue udah ngobrol sama Barrie soal ini, dan dia bilang jangan sampai omongan Rahardian ngaruh ke gue. Dia udah ngalamin ini jauh lebih lama daripada gue."

Barrie, kakak gue. Gue baru tahu dia ada setelah bokap meninggal. Bokap ninggalin surat buat dia, dari situ gue bisa melacak dia. Sejak itu, kita jadi dekat.

"Kayaknya Rahardian makin semangat karena lo sekarang punya kakak terkenal," kata Eros. "Dia benaran gak ada capeknya ngejelekin lo. Dan jujur saja, Chumpa pasti bakal seneng banget lihat om Ru berantem benaran."

Chumpa itu anaknya Eros. Dari lahir dia sudah kayak bagian dari geng kita. Umurnya hampir enam tahun dan serius, dia bocah paling asik yang pernah gue kenal.

Kita berempat jadi wali baptisnya, dan gak ada hal yang gak bakal kita lakuin buat dia. Eros mengurus dia sendirian, kecuali waktu mantan istrinya datang buat ketemu setiap weekend. Jadi ya, bisa dibilang Chumpa itu anak kita juga.

Beberapa minggu lalu, dia mulai belajar tinju sama gue, soalnya dia pengen bisa berantem, "Iya, minggu lalu dia bilang pengen lihat gue bertarung. Gue malah kepikiran mau nyeret salah satu dari kalian ke ring buat latian bareng," tawa gue.

"Eh, tapi serius. Lo mungkin harus pertimbangin tawaran Rahardian. Lo lihat gak yang dia upload kemaren? Norak abis, bawa-bawa nama lo buat bercandaan."

Rahardian sempat diwawancara di salah satu saluran olahraga terkenal, dan pas ditanya soal pertarungannya yang akan datang, dia sebut nama "Nauru" gue. Kalau gue dapet duit tiap kali ada yang menyebut nama itu, sumpah, gue gak bakal mau balik ke ring lagi.

Masalahnya, ini makin merusak mental gue. Orang-orang bakal nanya, apa gue bakal kasih pelajaran ke dia, soalnya dia gak bisa diam. Terus saja menyerang gue tiap ada kesempatan.

"Dia cuma pengen ngusik lo," kata Eros. "Kalau lo mau masuk ring, gue dukung banget. Lihat lo hancurin dia, itu keren, sumpah. Tapi kalo lo tetap milih pensiun, lo juga gak punya utang apa-apa ke dia, kan?"

"Benar banget." Kai angkat cangkir kopinya, kita semua ikut.

"Gue harus mikir dulu. Gue benaran belum tahu mau gimana." Gue bersihkan tenggorokan terus lihat ke Eros. "Lo bakal nitipin Chumpa pulang sekolah nanti?"

Eros sama Mohan lagi ngurus proyek renovasi besar di kota, jadi dia kerja sampai malam.

"Iya, bro. Makasih. Cuma beberapa jam kok, abis itu gue mampir ke sini buat jemput dia setelah makan malam."

"Oke. Gue biarin dia main-main bentar di ring."

"Chumpa emang anak beruntung. Punya om-om yang baik. Kebayang, gak, pas dia sudah masuk SMA nanti," kata Hazerrie sambil ketawa.

"Gokil sih. Dia mungkin gak bakal lepas dari jaket kulit yang lo beliin buat dia." Eros mengangkat alis ke Hazerrie terus nengok ke Mohan. "Sekarang saja dia sering nanya, umur berapa boleh punya tato 'Fight Or Die'? Katanya, suatu hari dia harus punya itu biar jadi bagian dari keluarga kita. Ini parah sih, Mohan. Anak belum genap 6 tahun sudah nanya kayak gitu."

Mohan angkat tangan sambil nyengir, "Bro, waktu dia mampir minggu lalu, gue kan lagi gak pakai baju, dan dia terus-terusan nanya soal tato gue. Dia juga bilang gak suka sama namanya dan pengen ganti nama."

"Apaan sih masalahnya sama nama dia, Hah?" Eros ngusap mukanya.

"Eh," kata gue, "Chumpa itu bocah paling keren yang pernah gue kenal. Anak paling pede. Gue aja dulu gak se-pede dia."

"Gue gak ngerti deh... Si Chumpa itu sudah ngalahin anak-anak yang ukurannya dua kali lipat dari dia," kata Kai ketawa. "Tapi gue setuju, lo gak perlu khawatir soal dia."

"Anak lo itu tumbuh dengan penuh kasih sayang, bro. Kita semua dulu gak ngerasain hal yang sama, kan?"

Semua pada mengangguk. Kita semua punya masa kecil yang keras, masing-masing dengan caranya sendiri. Tapi kita terus bertahan. Mungkin itu yang bikin kita jadi sekutu sehidup semati kayak begini.

Untuk persahabatan ini.

Untuk keluarga ini.

Kita semua cuma mau hidupnya Chumpa jadi lebih baik dari kita semua.

"Udah pasti. Chumpa lebih banyak yang sayang dibandingin lo semua," kata Hazerrie sambil berdiri.

Tiba-tiba HP gue bergetar, gue lihat layarnya, terus mengeluh.

"Ada apa?" tanya Mohan.

"Nenek minta dibawain minuman rempah labu dari Batari Beans buat dia sama Mama minggu ini." Gue melirik dan memutar mata. Setiap ada hal baru di kota, Mama sama Nenek pasti langsung borong.

"Anjir. Kayaknya sekarang kita semua sudah jadi budak kopi Batari," Hazerrie nunjukin jari tengahnya sambil buang gelas ke tempat sampah.

"Meski kita benci sama Batari," kata Mohan, "tapi gue akui, gue suka banget sama Chai Latte labu dengan gambar hati di atasnya."

Semua ketawa.

Kita berjabat tangan dengan ciri khas kita, dan Kai mulai teriakan yel-yel pas keluar dari pintu.

"Fight Or Die. Saudara sampai mati. Setia selamanya. Temani kita selamanya!" Dia angkat peace sign dan cabut.

Gue langsung jalan ke dalam Gym dan balik kerja.

Batari Beans

...Ailsa Batari...

...────୨ৎ────જ⁀➴...

Beberapa hari lalu pas grand opening, tempat ini ramai banget, sumpah. Semua orang di kota kayaknya mampir. Gue benaran terharu, akhirnya bisa juga buka setelah berbulan-bulan renov tempat ini sama menyusun menu.

Gue lulusan Ahli Gizi. Jadi memang dari awal niatnya Batari Beans ini bukan sekadar kafe biasa. Gue bakal jualan minuman sehat, protein shake, sama pilihan menu diet lainnya. Bahkan gue sudah planning buat nambahin lebih banyak menu dalam beberapa bulan ke depan.

Lokkie lagi di belakang bersihin dapur. Kita sahabatan dari kecil, dan sekarang dia lagi kuliah online buat mendapatkan gelar magister pendidikan. Dia butuh kerja part-time, jadi ya pas banget lah.

Tiba-tiba pintu terbuka, dan mata gue langsung membelalak lihat dia. Tinggi, ramping, dan gila sih, ini cowok cakepnya gak kira-kira. Rambutnya agak ikal, panjangnya pas nutupin jidat, matanya cokelat gelap, dan mukanya... asli, kayak idol K-pop gitu.

Gue pernah lihat Nauru sebelumnya dan tahu dia siapa, tapi kita nggak berteman. Sudah lama juga sejak terakhir ketemu. Tapi serius, gue gak nyangka dia bisa secakep ini sekarang.

"Eh, Nauru, ya?" sapa gue. Dia sempat senyum dikit, terus malah langsung cemberut. Tatapannya jelas banget, kayak, gue gak suka lo dari dulu dan sekarang pun sama saja.

"Gue mau beli dua... itu, minuman labu yang bikin Mama sama nenek bawel minta dibeliin," katanya datar.

Wow.

Masih saja jutek, ya. Tapi ya sudahlah.

"Oke. Dua pumpkin chai latte dengan kayu manis," jawab gue sambil mencatat di kasir. Gue memperhatikan dia. "Kalau mau sekalian nambah satu, gue kasih gratis, deh."

"Lo kira gue butuh belas kasihan lo?" Nada suaranya... gila, ketus banget. Serius.

Gue sempat bengong. Lah, kok dia malah baperan gitu?

"Bukan gitu, bro. Lo kan tetangga. Gue juga naruh kupon gratis buat semua toko di jalan ini, ya sekalian saja," jelas gue santai.

"Gue gak mau minuman gratis. Skip saja."

Ya ampun, ribet banget hidup lo.

"Yaudah, bebas," gue angkat alis, cuek saja. Yang penting niat baik sudah gue keluarin, terserah dia kalau mau resek. "Mau pakai kupon gratis buat salah satu ini, gak?"

"Gue bayar dua-duanya."

Oke, keras kepala.

"Seratus sebelas ribu," gue sodorkan tangan.

Dia malah lempar duit ke meja. Kayak jijik kalau sampai menyentuh tangan gue.

Masalah lo apa sih?

Gue tahan napas biar tetap profesional. Ambil duitnya, masukin ke kasir, terus mulai bikin minuman. Gue tuang air panas ke cup, terus pas nengok ke sana, dia... masih memandangi gue, tajam. Penuh kebencian.

Gue cuek, lanjut selesaikan pesanannya di suasana yang super canggung.

Waktu di kampus dulu, gue lumayan dekat sama Yoan. Dia punya kakak, namanya Kai. Kai dulunya sering nongkrong bareng Nauru.

Kakak gue, Caspian, pernah bilang kalau geng mereka itu tukang bikin onar, jadi gue disuruh jaga jarak. Katanya, mereka pernah tertangkap gara-gara mencuri atau kriminal.

Ada dua orang lagi di geng itu, Mohan sama Eros. Mereka sempat mengerjakan renovasi kafe ini juga, dan jujur, kerjaan mereka rapi banget. Gak banyak omong, tapi profesional.

Gue gak ngerti kenapa Nauru kayak punya masalah pribadi sama gue. Atau mungkin dia lagi stres karena ada berita soal petinju terkenal yang menyebut namanya?

Gue sih nggak ngikutin dunia olahraga.

Bodo amat.

Tapi kayaknya semua orang lagi ngomongin soal itu.

"Udah kelar. Gue cabut ya," kata Lokkie keluar dari dapur. Dia langsung membeku pas lihat Nauru nongkrong di situ.

"Makasih. Sampai besok ya," kata gue sambil kasih kode ke dia, buat gak bikin suasana ini lebih canggung.

Tapi namanya juga Lokkie.

Dia malah bikin suasana makin aneh.

Dia jalan ke meja kasir, terus nyeletuk, "Lo Nauru, ya?"

Nauru noleh sebentar. "Iya."

"Wih, cowok pendiam nih," Lokkie ketawa kecil. "Gym lo kan dekat sini, ya? Harusnya lo collab sama Ailsa. Bikin promo, beli satu gratis satu gitu, biar para petinju seksi itu pada ramai-ramai beli di sini."

Gue langsung mendesah.

Sial. Lokkie benaran gak bisa baca situasi.

Nauru maju sedikit. "Gak perlu. Semua orang juga sudah tahu dia siapa. Dia kan Batari."

Gue narik alis. "Oh, jadi lo tahu gue siapa?"

"Gue gak pernah bilang gak tahu."

Dia ambil dua gelas, terus langsung memutar badan mau cabut.

"Ya udah lah, santai saja. Gue juga gak niat bikin promo barengan sama gym lo, kok," kata gue dalam hati, kesal.

Pas dia buka pintu, dia sempat nengok, terus bilang, "Percaya deh, gak ada yang peduli."

Terus dia ngeloyor pergi.

Gue bengong memperhatikan pintu, terus noleh ke Lokkie.

"Dasar brengsek," desis gue.

Oh.

My.

God.

Tapi sumpah... cakepnya dia gak ada otak!

Muka, rambut, badan... gila sih.

Gue baru sadar, karena tadi sibuk nahan emosi.

Apa sih masalah dia sama gue?

Gue sudah ramah, sudah kasih promo, malah seakan-akan gue yang habis mengusir dia dari planet ini.

"Iya, gue juga pernah lihat dia beberapa kali. memang jutek sih, tapi yang tadi tuh... parah. Gue penasaran kenapa dia seolah-olah benci banget sama lo, Ailsa," kata Lokkie, serius.

Oke, berarti bukan halusinasi gue doang. Bahkan Lokkie juga merasakan hal yang sama.

"Gue juga gak ngerti. Gue bahkan gak kenal dia."

"Ya iyalah. Keluarga lo, kan, bangsawan di Royale Blossom. Kadang orang sirik saja sama yang kaya raya. Untung lo sahabat terbaik gue yang suka manjain gue, jadi gue bodo amat," katanya sambil tertawa, bersandar ke kursi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!