DERU Angin badai menerpa kencang dahan-dahan pohon kelapa nyiur di tepi pantai. Pantai itu dinamakan pantai segara anak, yang arti nya pantai tersebut adalah anak pantai. Berarti jika pantai tersebut adalah anak pantai, Harusnya ada ibu pantai nya juga bukan? Ini bukan sekedar lelucon dan memang begitu kenyataannya. Sebab kata seorang sesepuh yang dituakan oleh masyarakat yang tinggal didekat pantai itu. Katanya, Dulunya pantai tersebut sangat luas dan memiliki pasir putih yang halus dan bersih. Tidak ada batuan karang disepanjang pantai dan yang membuat aneh adalah pantai tersebut memiliki dua wilayah berdasarkan keterangan dari sang sesepuh.
Orang-orang dulu menyebutnya Pantai Kembar. Karena ada dua wilayah pantai yang sama percis wilayah dan aneka ragaman nya. Pantai Kembar tersebut dibatasi oleh sebuah bukit kecil yang menggunung tak seberapa tinggi membentang dari ujung hutan pantai menjorok ke arah mulut laut. Namun, Pantai Kembar itu sekarang sudah tidak ada karena sudah hancur dihantam badai ombak beberapa puluh tahun silam. Setelah peristiwa badai besar yang banyak memakan korban jiwa itu, Bentangan bukit yang menjadi pembatas dua sisi pantai tersebut hilang dan memunculkan keanehan di bekas bukit nya. Bekas gundukan bukit yang membentang itu telah rata dengan pasir pantai, Namun ada cekungan ditengah garis bekas bukit itu.
Ternyata ada sesuatu yang terkubur di dalam bukit yang membentang sebelum nya itu. Yaitu sebuah pusaka yang banyak di incar dan di cari para tokoh-tokoh di dunia persilatan. Munculnya pedang keramat itu membuat geger rimba persilatan, Seorang tokoh tua yang sakti datang ke pantai itu untuk mencari pusaka sakti itu. Namun langkah nya terhenti karena bukan dia saja yang datang ke pantai segara anak, Ternyata banyak juga para tokoh muda-mudi tua-tuir dari golongan lelaki dan wanita. Tokoh tua itu mengintip dari balik pohon tak terlalu besar, Iya menyaksikan orang-orang yang ada di pantai segara anak. Mereka sedang ramai saling bertarung satu dengan yang lain nya dan terlihat masing-masing tak memihak siapapun alias solo player. Ada juga yang saling bantu dan melindungi, Mungkin ada ikatan diantara mereka yaitu guru dan murid atau sanak dan saudara nya.
Kala kejadian itu penduduk ditepi pantai belum ramai penduduk nya dan hanya beberapa rumah berbentuk gubuk yang berdiri agak jauh dari pantai. Para penduduk tak ada yang berani mendekati orang-orang yang sedang bertarung itu. Suara denting senjata tajam beralirkan tenaga dalam silih beradu dan memekakan telinga membuat ngeri orang yang mendengar nya.
*Tring-Trang-Tring-Trang*
*wuiiiit duarrrr!! Blegarrr!!*
*Heaaaat!! Huaaah! Auhhhh! Arhhhh! Urhghh! Hahaha modar kau!!*
Begitu ramai suasana dipantai itu, Mungkin orang yang tak tahu keramaian apa yang sedang terjadi di pantai itu menandakan orang-orang sedang asyik liburan main di pantai. Namun kenyataannya tidak begitu, Yang terjadi adalah nyawa dijadikan taruhan dan raga tak berguna kala ditinggal nyawa. Begitu kira-kira kejadian nya yang saat itu sedang terjadi di pantai kembar sebelum berganti nama pantai segara anak.
Pasir pantai yang awal nya bersih dan putih itu berubah menjadi pantai yang berbau anyir dan berwarna merah darah. Banyak yang tumbang karena saling membunuh satu sama lain. Tak ada rasa belas kasihan di benak dan hati mereka, Semuanya sudah diambang murka dibakar napsu setan ingin merebut sebuah pusaka yang tertancap di atas batu seukuran kepala kerbau. Pusaka tersebut berbentuk pedang panjang, Gagang nya membentuk kepala naga sedang menganga. Warna gagang itu berwarna coklat kayu bercampur merah hati. Ada rumbai benang biru petir seperti janggut naga. Pedang itu tak memiliki sarung dan memiliki tepian gerigi mirip gergaji tapi sangat tajam. Tepian sebelah nya terlihat mengkilat dan tajam sekali. Ada ukuran pola naga membentang dari ujung pangkal gagang sampai ujung mata pedang yang tertanam sebagian.
Mata pedang itu terlihat sangat tajam berkilauan ketika tersorot cahaya matahari di siang menuju senja itu. Tak satupun mereka sanggup mencabut pedang yang tertancap itu, padahal pedang itu terlihat tak terlalu dalam. Namun begitu sukar dicabut ketika ada seorang lelaki setengah tua yang berhasil menumbangkan lawan nya. Ia berlari dan segera mencabut pedang itu dengan paksa. Semua tenaga ia kerahkan bahkan memakai tenaga dalam pun ia belum sanggup untuk mencabut nya.
"Kucing kurap!! Aku kira gampang untuk mencabut nya!! Ternyata susah juga sialan!!"
Tiba-tiba seorang pemuda meloncat menebas leher lelaki setengah tua itu dengan parang tajam nya. Dengan cepat tanpa permisi lagi, Parang tajam itu menebas leher teman nya sendiri.
"Mati kau Sugali! Hahaha! Pedang sakti ini akan jadi miliku! Tak peduli kau teman ku atau saudara ku!!"
Ucap pemuda berperawakan kurus memakai baju gamblang hitam keabu-abuan mirip seorang dukun. Tawa gembira tersirat diwajah nya yang tirus tanpa kumis itu. Demi mendapatkan pedang pusaka itu, Ia rela menebas leher teman nya sendiri tanpa ada rasa kasihan dan bersalah.
Namun sayang kecerian nya hanya sesaat. ketika ia akan menarik pedang itu, Seberkas sinar berwarna kuning tua melesat ke arah nya. Padahal orang yang bernama Rajah Mukti itu selalu waspada akan serangan lawan nya, Namun kewaspadaan nya hilang karena terlalu gembira melihat pedang pusaka yang ia idamkan itu ada didepan nya.
*Sruuuttt!! Duarrrr!!*
Orang yang menyentakan tangan menguncup dan mengeluarkan sinar kuning tua itu adalah seorang perempuan muda cantik dan montok berwajah agak dewasa. Perempuan itu memakai jubah tipis warna hijau muda dan dalam baju menyerupai kutang berwarna merah jambu. Buah dada nya yang menyumbul kencang itu tak membuat nya sesak ketika menghindari tebasan pedang yang datang ingin memenggal nya.
Sinar kuning tua nya memang berhasil menghantam tubuh Rajah Mukti dan membuat tubuh pemuda kurus itu hancur menjadi pecahan daging. Pecahan daging tubuh Rajah Mukti menyebar menghujani orang-orang yang beberapa masih hidup dalam pertarungan hidup dan mati. Aneh nya pecahan tubuh Rajah Mukti terpental ketika terlempar ke arah pedang pusaka. Tak ada suara jerit kesakitan dari Rajah Mukti karena tubuh nya hancur terhantam sinar tenaga dalam milik wanita bernama Ayu Cendani.
Diperkirakan hanya tersisa dua belas orang yang masih tegak berdiri saling bacok dan beradu tenaga dalam. Ada juga yang saling beradu gerakan silat, sama-sama lincah dah gesit. Suara hentakan dan deru napas memburu penuh amarah masih terdengar nyaring di telinga tokoh tua yang sejak tadi masih mengintip pertarungan massal itu. Para penduduk sudah tak kuat melihat darah berceceran dan mayat bergelimpangan tiada henti, Mereka sudah pergi ke gubuk nya masing-masing dikarenakan langit sore sudah mulai gelap.
Tak peduli senja menjadi malam, Pertarungan berdarah itu tetap berlanjut dan menyisakan enam orang. Orang tua berwajah lonjong mirip bola besbol berjanggut panjang putih berseru kepada wanita yang bernama Ayu Cendani.
"Cepat cabut pedang itu Ayu!"
"Baik Guru!"
Ayu Cendani bergegas mencabut pedang itu, tak ada yang menghalanginya karena yang lain nya masih sibuk melawan musuh yang sama-sama kuat nya. Jadi mereka hanya fokus pada pertarungan dan lupa akan tujuan mereka itu bertarung untuk apa. Orang tua itu ternyata guru nya Ayu Cendani. Iya sedang berusaha menghadang lawan nya yang tegap gagah dan kekar namun berwajah bengis berkumis baplang. Tinggi nya hampir sama, Hanya perawakan nya saja yang berbeda. Diperkirakan umur lelaki gagah berpakaian mirip orang baju kungfu berwarna jingga kusam itu sekitaran empat puluh tahunan. Mata nya sipit dan kulit nya kuning langsat tanpa bulu.
Lelaki bermata sipit itu bernama Kang Liu Sang. Ia mencoba meninju lawan nya dan berhasil ditangkis dengan cepat.
"Minggir kau Karang Gantung!!" Bentak Kang Liu Sang kepada kakek tua yang ternyata bernama Karang Gantung.
"Aku tidak akan minggir!! Memang nya siapa kau menyuruhku hah???"
"Setan kurap!! Kalo saja Cambuk Getih ku tidak hancur ketika melawan si Telapak Rengat, Sudah sejak siang tadi kau sudah modar bersama murid jalang mu itu tua keropos!!"
"Banyak omong kau bocah ingusan!! Hiiaahhh!!" Karang Gantung berkelit melompat ke depan dengan cepat dan menendang dada Kang Liu Sang, Namun segera ditahan oleh Kang Liu Sang dengan kedua telapak tangan nya. Kang Liu Sang mundur beberapa tindak dan hampir terjengkang. Wajah nya nampak tegang karena menerima serangan penuh tenaga dalam.
"Ughhh sial!! Berat juga tendangan kosong si tua Bangka itu!!" Ucap Kang Liu Sang dalam hati nya, Namun mulut nya berkata lain.
"Tendangan mirip kuda banci begini tidak ada apa-apa nya terhadap ku!!"
Kang Liu Sang langsung mengalirkan hawa murni nya untuk mengatasi nyeri di dada dan telapak tangan nya. Wajah nya tetap dingin menatap Karang Gantung dan sesekali melirik Ayu Cendani yang sejak tadi belum bisa menarik pedang pusaka yang tertancap kuat itu.
ENAM Orang yang sedang memperebutkan sebuah pusaka berbentuk pedang terdiri dari lima laki-laki dan satu perempuan. Seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, Perempuan itu adalah Ayu Cendani yang memiliki guru bernama Karang Gantung. Lelaki tegap, kekar dan berwajah bengis yang menjadi lawan nya Karang Gantung yaitu Kang Liu Sang. Dua diantaranya adalah orang-orang berpakaian semacam perguruan yang memakai pakaian seragam silat warna hitam. Yang membedakan kedua nya hanyalah warna ikat kepala dan warna sabuk yang mereka pakai.
Dua orang laki-laki sebaya diperkirakan berumur tiga puluh enam tahun itu sedang melawan lelaki bertubuh gemuk, gembul dan pendek mirip kantong semar. Rambut nya botak plontos dan memiliki tato ular kobra hitam melingkar di sekitar kepala gundul nya. Dilihat dari raut wajah nya yang agak dewasa, diperkirakan ia berumur sekitar lima puluh tahunan. Wajah nya menampakan kebengisan dan tak kenal ampun terhadap lawan nya, Ia telah menumbangkan guru dari kedua lawan nya yang saat ini sedang gencar menyerang nya dari dua sisi depan dan belakang. Lelaki gundul itu tak memakai baju dan hanya memakai celana komprang biru tua dan memakai ikat pinggang merah. Ia adalah seorang ketua dari perguruan Kobra Murka dan kedatangan nya ke pantai segara anak karena ingin berpartisipasi merebut pedang pusaka yang dianggap sakti mandraguna.
Kobra Gundul julukan dari ketua kobra murka itu bernama asli Damar Wongso. Dua pemuda yang sejak tadi beringas ingin membunuh Kobra Gundul segera melakukan aksi nya. Keduanya melayangkan senjata tajam berupa parang tajam ke arah leher Kobra Gundul. Sayang nya gelagat itu diketahui Kobra Gundul dan ia segera meloncat ke atas dan berjungkir balik dua kali.
"Heaatt!!" Teriak Sanjaya dan Mudarso, tebasan parang kedua nya tak mengenai sasaran.
*Shuut! Wukk Wukk! Teb!*
Kobra Gundul mendarat ke samping dengan kaki mantap tanpa oleng oleh tubuh gemuk nya. Kobra Gundul langsung menyentakan jari tengah nya lurus ke arah dua orang lawan nya tadi dan keluarlah sinar hijau putus-putus sebesar lidi melesat ke arah orang bersabuk merah. Namun orang bersabuk hijau melihatnya dan ia segera berteriak ke arah teman nya.
"Cepat menghindar Mudarso!!" Teriak Sanjaya yang memakai sabuk hijau dengan ikat kepala hijau pula. Mudarso segera menjatuhkan tubuh nya dan berguling tiga kali, Sinar tenaga dalam Kobra Gundul nyaris mengenai kepala Mudarso jika Sanjaya telat saja berteriak tak ayal lagi tubuh teman nya itu akan bernasib sama seperti guru nya yang mati menjadi bubur mayat. Serangan Kobra Gundul tadi menabrak sebuah pohon besar dan seketika pohon itu menjadi lumer tanpa ada nya ledakan.
"Sial!!" Keluh Kobra Gundul karena serangan nya tak mengenai sasaran. Sementara itu Ayu Cendani masih kebingungan berusaha mencabut Pedang Naga Petir padahal ia sudah mengerahkan seluruh tenaga nya.
"Kenapa susah sekali setan!!" Umpat nya kesal, Keringat bercucuran ia menyeka wajah nya yang sudah basah oleh keringat.
Karang Gantung dan Kang Liu Sang masih bertarung sejak tadi dan jarak mereka agak jauh dari Ayu Cendani berada. Ledakan demi ledakan silih terdengar dari dua pertarungan dua tokoh berilmu tinggi tersebut.
"Seperti nya perempuan itu tak mampu mencabut Pedang itu! Hmm apakah sesusah itu untuk mencabut nya???" Gumam tokoh tua berpakaian serba putih mirip seorang resi yang sejak tadi masih bersembunyi di balik sebuah pohon.
"Agak nya aku harus segera bertindak melerai pertikaian mereka yang sangat sia-sia itu!" Lalu lelaki tua itu segera berkelebat ke arah tepi pantai.
"Sudah cukup hentikan!!" Semua mata tertuju kepada sumber suara. Karang Gantung menyipitkan matanya seakan mengenali tokoh tua yang hadir ditempat itu. Kobra Gundul pun mengenali orang tua itu dan ia segera pergi lari terbirit-birit tanpa pamit. Mudarso terkapar tak berdaya karena terkena tendangan maut Kobra Gundul yang sebelumnya sempat menendang wajah Mudarso ketika ia akan lari terbirit-birit. Sanjaya pun kaget melihat teman nya diserang dalam keadaan bengong melihat kedatangan tokoh tua itu.
"Kenapa si Kobra Gundul itu kabur setelah melihat orang tua itu???" Pikir Sanjaya setelah berteriak memanggil Kobra Gundul yang kabur.
Tendangan Kobra Gundul membuat wajah Mudarso memar membiru. Sedangkan Sanjaya sedang berusaha mengobati teman nya itu menggunakan hawa sakti nya. Ia tak mengenali tokoh tua itu karena pengalaman nya di rimba persilatan belum terlalu dalam ia jelajahi. Sama seperti Kang Liu Sang dan Ayu Cendani, Keduanya pun tak mengenali tokoh tua yang baru mereka lihat itu.
"Apa yang sebenarnya kalian perebutkan itu hah? Sehingga kalian rela membuang-buang nyawa kalian demi sebuah benda mati!" Tegas tokoh tua berambut putih panjang dikonde dan Sisa rambut nya meriap.
"Apa urusan mu datang kemari Resi Jayabaya???" Tanya Karang Gantung yang sudah mengenali sosok tokoh tua itu.
"Aku datang kemari karena ada suatu keperluan perihal benda yang sedang kalian perebutkan itu!"
"Apa dasarmu datang kemari hanya untuk mencuri Pedang Pusaka itu??" Ayu Cendani melirik guru nya dan sesekali melirik Kang Liu Sang yang sejak tadi diam terpaku karena merasakan sakit di sekujur tubuh nya akibat pukulan mematikan nya Karang Gantung. Tiba-tiba Ayu Cendani melompat menghunuskan pedang nya ke arah Kang Liu Sang dan membuat orang yang ada di situ melirik nya.
Kang Liu Sang terperanjat melihat Pedang Ayu Cendani hampir menebas lehernya, Untung kala itu Resi Jayabaya segera menghadang langkah Ayu Cendani dengan jurus tenaga dalam tanpa sinar melalui tatapan mata nya. Ayu Cendani terpental dan pedang nya terlepas dari genggaman tangan nya.
"Usghh sialan sakit sekali dada ku!" Ucan batin Ayu Cendani sambil memegangi dada nya yang seperti dihantam palu godam.
Kang Liu Sang merasa lega karena nyawa nya masih utuh didalam raga nya, Kesempatan itulah ia pergunakan untuk kabur karena ia sudah tak sanggup melanjutkan pertarungan dengan Karang Gantung.
"Suatu saat akan aku balas kekalahan ku ini tua keropos!!" Setelah mengancam begitu Kang Liu Sang pergi menggunakan ilmu peringan tubuh nya dan masih terlihat di kejauhan sana. Karang Gantung tadinya hendak mengejar nya, Namun segera di cegah oleh Resi Jayabaya.
"Tunggu Karang Gantung!!" Karang Gantung pun tak jadi melangkah dan balik menatap murid nya yang sudah mulai berdiri.
"Cepat cabut Pedang itu Ayu!"
"Sudah aku coba namun susah sekali Guru!" Ucap Ayu Cendani merintih kesal.
Karang Gantung pun nampak kesal melihat murid nya tidak becus mencabut pedang itu.
"Percuma! kalian tidak akan bisa mencabut Pedang itu kecuali pewaris nya!"
"Jangan membual didepan ku kau Resi Jayabaya! Sekalipun umur mu lebih tua dariku, Aku tak akan mundur jika harus beradu nyawa dengan mu!"
"Sungguh tindakan sia-sia Karang Gantung. Aku berbicara sesuai apa yang aku dapatkan ketika sedang bertapa di kaki Gunung Rangkas." Karang Gantung menatap Resi Jayabaya dengan tatapan tak percaya seakan menyepelekan ucapan tersebut.
KEADAAN Mudarso semakin parah. Sanjaya segera berdiri dan merangkul teman nya untuk pergi dari tempat itu. Sanjaya sudah tak perduli lagi dengan perebutan benda sakti yang sejak tadi masih tertancap kokoh. Ia hanya melirik sebentar ke arah mayat guru nya yang sudah menjadi bubur mayat, setelah itu ia pergi dengan Mudarso tanpa pamit kepada orang-orang yang ada di situ.
Kini hanya tersisa tiga orang, Karang Gantung dan murid nya Ayu Cendani serta tokoh tua yang terbilang sakti bernama Resi Jayabaya.
"Aku tak akan melarang kalian untuk mencabut Pedang itu dari tempat nya. Silahkan saja kalian ambil jika bisa, Tapi jika kalian tak mampu mencabut Pedang itu. Silahkan kalian pergi dan tak usah berharap untuk mencoba kembali mencabut pedang itu." Karang Gantung mendengus kesal mendengar ocehan itu, Tanpa berkata lagi ia segera mendekati Pedang Pusaka dan mencabut nya.
Semua tenaga dikerahkan untuk mencabut Pedang tersebut, Kaki nya mulai memancarkan cahaya merah dan menerangi area pantai yang mulai gelap.
"Heaaaahhhh" Teriak Karang Gantung berusaha mencabut pedang itu dengan kedua tangan nya. Ayu Cendani memperhatikan guru nya sejak tadi dan sesekali menoleh ke arah Resi Jayabaya.
"Sepertinya orang tua itu mampu mencabut Pedang itu! Tapi apakah bisa dengan tubuh nya yang sudah setua itu?? Guru saja kulihat tak mampu mencabut nya!" Ayu Cendani membatin.
Namun tatapan Ayu Cendani seakan meremehkan kemampuan Resi Jayabaya. Ia tak tahu bahwa orang tua itu dulu nya adalah seorang Pendekar yang gemar berkelana dan selalu bertemu dengan lawan yang tangguh. Karang Gantung tahu kehebatan Resi Jayabaya sebelum menjadi seorang resi, sebenarnya ia tak berani sesumbar mulut menantang duel Resi Jayabaya. Karena napsu nya terpacu ingin memiliki Pedang Naga Petir, Rasa takut itu ia lawan dengan rasa dendam terhadap lawan nya yang sudah mengalahkan nya.
Ayu Cendani pun punya tujuan lain Ingin memiliki Pedang itu. Ia berniat akan meminjam Pedang itu dari Guru nya untuk ia pergunakan melawan musuh nya. Jika sebelumnya ia berhasil mencabut Pedang itu, Mungkin Gurunya pun akan ia bunuh juga jika gurunya meminta pedang itu dari nya. Langit sudah gelap gulita, Namun cahaya bulan kala itu menerangi Pantai. Mayat-mayat yang bergelimpangan masih berserakan tak ada yang sudi untuk memakamkan nya.
Pada akhir nya karang Gantung kelelahan karena tak mampu mencabut Pedang itu.
"Sial kenapa sukar sekali!?" Maki Karang Gantung dan murid nya mendekati.
"Coba Guru pergunakan sinar tenaga dalam, Siapa tahu batu yang menjepit Pedang itu akan hancur"
"Cerdas sekali saran mu Ayu! Kenapa sama sekali tak aku pikirkan!?" Lalu Karang Gantung bersiap mengeluarkan jurus sinar tenaga dalam nya. Kaki nya mulai merenggang dan kedua tangan sejajar disamping rusuk nya untuk memulai kuda-kuda.
"Heahhh!!"Hentakan napas Karang Gantung menandakan pukulan sinar berwarna merah bara keluar dari telapak tangan kanan nya. Sinar itu melesat cepat sebesar buah salak menghantam batu tempat Pedang itu tertancap.
*Wushhh Blegaarrrrr!!*
Percikan api mencuat ke atas dan menimbulkan ledakan cukup keras. Bumi serasa bergetar dan Ayu Cendani merasakan hawa panas di sekujur tubuh nya walaupun jarak nya agak jauh dari Gurunya berada. Karang Gantung sempat oleng karena angin ledakan yang cukup besar. Resi Jayabaya hanya diam sejak tadi memperhatikan apa yang sedang dilakukan Karang Gantung. Ia sama sekali tak kaget ketika Ayu Cendani memeriksa tempat tempat Pedang tertancap.
Mulut nya melongo karena batu masih utuh begitu pula dengan Pedang nya. Karang Gantung segera mendekati murid nya dan mata nya pun Terbelalak keheranan.
"Aneh sekali! Padahal jurus Bara Neraka mampu melumerkan besi baja setebal apapun!"
"Sungguh ajaib ternyata kekuatan Pedang ini! Ckckck." Ucap Ayu Cendani lirih.
"Bagaimana apa kalian masih ingin mencobanya???" Tanya Resi Jayabaya yang tiba-tiba saja ada di dekat mereka.
"Aku tak akan pergi dan mundur sebelum aku memiliki Pedang Sakti ini!!" Ucap Karang Gantung dan mencoba ingin mencabut nya lagi.
Resi Jayabaya hanya geleng-geleng kepala saja melihat keras kepala nya Karang Gantung. Ayu Cendani pun akhirnya berkata kepada guru nya.
"Sudahlah Guru, Sebaiknya kita pulang saja. Mungkin memang benar apa yang dibicarakan orangtua itu."
"Apa maksudmu Ayu!? Apa kau memihak orang tua itu daripada gurumu sendiri hah. .???"
"Bukan begitu maksudku Guru, Sudah banyak dari kita yang mencabut Pedang itu namun satupun tak ada yang berhasil mencabutnya." Karang Gantung pun terdiam dan membetulkan ucapan murid nya itu karena ia pun melihat beberapa mayat yang terkapar di area pantai tersebut sebelumnya tak ada satupun yang berhasil.
"Sudahlah kalian pulang saja, Biarkan aku yang menjaga Pedang Keramat ini."
"Kau ingin memilikinya rupanya? Bukankah kau sudah tak mau lagi mencampuri urusan di dunia persilatan Resi Jayabaya?"
"Aku melindungi Pedang itu bukan untuk aku miliki, Aku hanya ingin menjaga nya dari tangan-tangan serakah seperti kalian hingga sampai saat nya ada seorang anak yang mampu mencabut Pedang Keramat itu."
"Siapa anak itu?" Tanya Ayu Cendani bertanya.
"Aku tak tahu bagaimana ciri-ciri nya, Seingatku dalam pertapaan ku. Aku menerima wangsit agar menjaga Pedang ini sampai ada seorang anak yang mampu mencabutnya."
"laki-laki atau perempuan??" Tanya Ayu Cendani lagi.
"Untuk itu aku tak tahu, bisa saja laki-laki atau perempuan." Lalu Karang Gantung menimpali.
"Apa jangan-jangan kau sendiri yang akan mengambilnya??"
"Apa kau meragukan kejujuran ku Karang Gantung??? Untuk apa aku menggunakan Pedang itu??? Kau pun tahu sendiri, Aku sudah tak mau mencampuri urusan dunia persilatan lagi. Sudah puluhan tahun aku mengasingkan diri dari rimba persilatan, Namun dengan muncul nya pedang ini membuat diriku tak tenang. Maka dari itu sesuai petunjuk dari dewata aku muncul kembali hanya untuk menjaga pedang warisan milik eyang guruku ini!" Kedua nya menatap tak berkedip ke arah Resi Jayabaya. Kalimat di akhir itulah yang membuat mereka kaget namun tak terlalu tertarik untuk ditanyakan.
Karang Gantung pun pada akhirnya menarik napas dongkol dan menghembuskan nya secara kasar.
"Ayo kita pulang Ayu! Mungkin sekarang kita belum mampu mencabut Pedang itu, Tapi nanti kita akan kembali lagi untuk merebut nya kembali!"
"Baik Guru!" Lalu mereka berdua pun pergi tanpa pamit kepada Resi Jayabaya.
"Padahal mereka berasal dari golongan aliran putih! Akal sehat mereka sudah diperbudak oleh hawa napsu dendam kesumat didalam hati nya." Begitulah ucapan Resi Jayabaya setelah kepergian Karang Gantung dan murid nya.
Para Mayat yang bergelimpangan semua nya di makamkan oleh Resi Jayabaya dengan di bantu oleh para masyarakat pantai segara anak di keesokan hari nya. Kini Resi Jayabaya membuat gubuk di area pedang naga petir itu, hal itu bertujuan untuk ia sembunyikan agar tak ada seorang pun yang mencoba ingin memperebutkan nya lagi.
Tujuh tahun berlalu, Resi Jayabaya masih mendiami Gubuk ditepi pantai segara anak. Penantian selama tujuh tahun menjaga pedang keramat itu kini telah membuahkan hasil, Dalam pertapaan nya ia mendapat petunjuk bahwa pewaris pedang keramat itu kini sudah terlahir dan berusia sekitar tujuh tahun.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!