Bismillah karya baru. Sekuel dari "Anak Tersembunyi Sang Kapten". Mohon dukungannya ya, like, komen, hadiah dan vote. Mumpung hari Senin, tabur votenya di sini.
Sakala kini sudah menjelma menjadi seorang prajurit yang berwibawa dan handal. Kepulangannya ke Indonesia dari berbagai tugas negara mengukuhkan bahwa Sakala merupakan prajurit TNI yang terpilih dan berprestasi. Tidak salah batalyonnya menugaskan dia ke beberapa negara sebagai pasukan perdamaian. Tidak hanya ke luar negara, Sakala juga sudah kenyang dikirim ke wilayah NKRI yang berkonflik, terutama wilayah timur Indonesia.
Pasukan yang dipimpinnya kini tiba di kota kelahirannya Bandung. Sakala lega, bisa kembali ke kesatuan, terutama ke rumah orang tuanya.
Sudah banyak perubahan dalam diri Sakala. Kini semakin dewasa tapi tetap tampan. Berkharisma dan penuh kasih sayang. Meskipun di dalam jiwa raganya sudah terbentuk jiwa seorang prajurit yang dituntut tegas dan disiplin, akan tetapi sifat lembut dan kasih sayang dalam diri Sakala tidak pernah hilang, dia tetap menjadi Sakala yang penuh cinta dan kehangatan yang tulus ketika di luar kedinasan.
Senyum merekah ketika menapaki bumi parahyangan. Di mana ia dilahirkan di Provinsi yang kini sudah memiliki pemimpin baru yang diharapkan mampu memimpin provinsi ini menjadi lebih baik.
Pangkat di pundak Sakala juga berubah. Letnan Satu kini diembannya. Berbagai prestasi ketika mengemban tugas, membuat Sakala dan beberapa rekannya mendapat penghormatan tinggi dari Panglima TNI, yakni kenaikan pangkat, termasuk mengikuti sekolah kejuruan ke jenjang perwira.
Letnan Satu Sakala Pratama, dikenal sebagai Danton yang baik di peletonnya. Tidak heran sesama rekan dan leting begitu respek terhadapnya. Dan memang itu tuntutan dalam sebuah kemiliteran. Setiap personil prajurit TNI wajib memberi hormat apabila pangkat seorang rekannya lebih tinggi, tanpa mengenal usia.
"Letnan Saka, setelah kita kenyang dengan tugas di berbagai negara dan wilayah NKRI, kini tiba saatnya menghirup udara segar." Salah satu leting Sakala berkata sembari mengenakan jaket lorengnya.
Sakala tersenyum, dia pun merasakan hal yang sama seperti letingnya yang bernama Arka itu.
"Pengajuan nikah di depan mata. Apakah kamu akan segera melakukan hal yang sama, Bro?" ujar Arka yang kini sama-sama memiliki pangkat yang sama dengan Sakala. Gaya bicaranya kini berubah luwes tidak sekaku tadi.
Sakala tersenyum, dia juga sama seperti Arka, sebab Sakala dengan sang kekasih sudah merencanakan pernikahan. Hubungan mereka sudah berjalan kurang lebih dua tahun, meskipun hubungan itu puas hanya dengan jarak jauh.
"Aku juga, sepertinya beberapa bulan lagi akan mengajukan pernikahan. Itupun kalau tidak ada penugasan kembali ke wilayah lain," sahut Sakala. Arka tersenyum ikut bahagia mendengar kabar dari sesama letingnya itu. Bagaimana tidak, usia mereka kini sudah menginjak angka 28 tahun, sementara teman-teman satu leting yang lain yang lebih dulu pulang dan ditarik kembali ke kesatuannya, sudah berduyun-duyun menikah dan membina rumah tangga.
"Sepertinya kita tidak akan dikirim kembali ke wilayah konflik. Itu giliran yang lainlah. Dan kita bisa menyusul leting kita yang sudah lebih dulu menikah," goda Arka girang. Sakala membalasnya dengan mengangkat tangan kanannya ke atas sebagai tanda semangat.
"Bro, aku pulang duluan. Kebetulan aku sudah dijemput papa," berita Arka sembari menggendong tas ranselnya di punggung.
"Ok," balas Sakala. Diapun sebentar lagi akan dijemput sang papa.
Hp Sakala tiba-tiba berdering, sebuah panggilan dari seseorang yang mampu merubah garis bibir Sakala melebar. Rasa bahagia tergambar di sana.
"Sayang, kamu sudah sampai? Besok malam ditunggu di rumah," ucap suara perempuan dari sebrang sana, terdengar merdu dan manja.
"Ok," balas Sakala dengan wajah yang bahagia. Tidak lama dari itu sebuah panggilan kembali berdering. Rupanya sang papa yang menghubungi.
"Assalamualaikum. Ka, Papa sudah menunggu di depan," beritanya yang ternyata Dallas sang papa.
Sakala mengangguk, lalu mengakhiri panggilan dan segera bergegas dari sana untuk menuju gerbang kesatuan. Di luar gerbang, sang papa sudah menunggu seperti yang dikatakannya tadi di sambungan telpon.
Sakala bahagia bukan main bisa bertemu kembali dangan sang papa, setelah setahun ini tidak bertemu. Mereka hanya puas vidio call untuk menumpahkan rasa rindu.
Tidak hanya Dallas di dalam mobil itu, sang mama dan kedua adik kembarnya ikut serta.
"Kak Sakaaaaa," teriak Fina dan Alf secara bersamaan dan memburu Sakala yang bermaksud menyalami tangan sang mama.
"Aduh, adik-adik abang, sudah terlihat besar banget, beda saat di telpon." Sakala melerai pelukan kedua adik kembarnya, meraih tangan sang mama, lalu ia masuk ke dalam mobil dan menduduki jok belakang.
"Syukurlah, mama senang Saka sudah kembali dan pulang," celoteh Syafana seraya menatap Sakala yang sudah menaruh tas ranselnya di jok paling belakang.
Mobil Dallas segera meninggalkan tempat itu dan menuju kediamannya. Sepanjang perjalanan menuju rumah, mereka tidak henti ngobrol apa saja, terutama tentang tugas Sakala.
Mobil tiba di depan rumah Dallas. Rupanya kepulangan Sakala, sudah disambut oleh kedua nenek kakek dari kedua orang tuanya, serta keluarga Daisya.
"Emak, Abah." Pertama Sakala menghampiri emak dan abahnya, lalu menyalaminya dengan hormat diiringi tangis haru. Setelah itu ia beralih pada nenek dan kakeknya dari sang papa. Melakukan hal yang sama.
Suasana di dalam rumah itu masih bergembira, mereka bercengkrama menikmati kebersamaan bersama Sakala.
***
Besoknya, sesuai permintaan sang kekasih, Sakala sudah bersiap untuk menemui sang kekasih di rumahnya. Sakala sudah rapi dan gagah serta tampan. Dengan dibalut kaos warna navy di tubuhnya. Aroma khas parfum maskulin sudah tercium dari tubuhnya. Hal ini membuat sang mama tersenyum, menyadari sang putra sudah memiliki tambatan hati.
"Wangi betul anak mama."
Sakala menoleh ke sisinya. Sang mama sudah berdiri di sana. Dia tersenyum malu sembari mengakhiri dandanannya.
"Hemmm."
"Jangan lama-lama memacarinya, kalau Saka sudah mantap, segera ajak dia ke pelaminan," ucap Syafana.
"Iya dong, Ma. Doakan Saka, karena malam ini Saka memang akan membicarakan hal itu. Saka dan Seira sudah ada pembicaraan ke arah sana sebelum Saka kembali ke sini. Seira bilang sudah siap untuk diajak menikah."
Syafana senang mendengar kabar gembira ini. Dia melebarkan bibirnya tanda bahagia. Dia memang tidak ingin sang putra terlalu lama memacari anak perempuan orang. Kalau sudah mapan dan serius alangkah baiknya segera ajak menikah.
"Bagus. Lalu kapan Kaka mau ajak dia ke rumah? Mengenalkan pada mama dan papa?" tanya Syafana lagi menatap lembut sang putra. Meski Saka sudah berusia 28 tahun, akan tetapi Syafana masih memperlakukan Saka bak anak balita yang masih perlu perhatian.
"Pastinya setelah ini, Saka akan kenalkan Seira pada Mama dan papa."
"Namanya Siera?" Syafana seperti baru sadar kalau nama kekasih Sakala adalah Seira, padahal tadi sudah Sakala sebutkan.
Syafana tersenyum, seolah senang mendengar nama kekasih Saka disebutkan. Maklum, selama ini hubungan yang dibina Saka dan kekasihnya hanya jarak jauh. Pertemuan mereka pun bisa dihitung dengan jari, itupun pada saat Saka kembali pulang ke kesatuan. Lalu harus LDR kembali untuk menerima tugas di wilayah Papua, untuk yang terakhir ini. Dan Sakala memang belum sempat mempertemukan Seira dengan keluarganya.
"Saka pergi dulu, ya, Ma. Doakan Saka. Assalamualaikum," ujarnya berpamitan. Tidak lupa diapun berpamitan pada sang papa yang tengah duduk di ruang tamu.
"Waalaikumsalam. Hati-hati, Ka."
"Siapa nama kekasihnya itu, Ma?" tanya Dallas penasaran.
"Seira. Dia seorang Bidan katanya," sahut Syafana seperti yang pernah didengarnya dari Sakala suatu kali. Dallas tertegun, seakan ingatannya kembali ke masa lalu. Dia seolah menyimpan memori buruk tentang profesi Bidan.
Syafana dan Dallas menatap kepergian sang anak yang melajukan mobilnya menuju rumah sang kekasih.
Bersambung,
Mobil yang ditumpangi Sakala tiba di depan sebuah pagar rumah. Rumah itu lumayan luas, berdiri di sebuah lingkungan komplek elit. Tidak berapa lama, pintu gerbang itu terbuka, seorang penjaga mendorong pintu gerbang ke samping kiri sehingga pintu gerbang itu terbuka.
Sakala tidak segera memasukkan mobilnya ke dalam, sebab ia menunggu si empunya rumah datang. Saka baru sekali ke rumah ini, setahun lalu sebelum ia ditugaskan ke wilayah Papua.
Seorang wanita muda dan cantik keluar dari pintu rumah. Rambutnya panjang tergerai hitam legam, wajahnya cantik dengan tubuh tinggi semampai. Usia gadis itu dua tahun dibawah Sakala, dia Seira sang kekasih.
Sakala merekahkan senyum, dia membukakan jendela kaca mobil seraya mendongak.
"Sei," ucapnya penuh cinta. Gadis yang dia panggil Seira itu menghampiri lalu berkata.
"Bawalah ke dalam. Ini mobil papa kamu, kan, Kak?" Sakala mengangguk lalu memundurkan mobilnya sedikit untuk mengatur supaya bisa belok dan masuk ke dalam gerbang. Penjaga rumah itu ikut memberi aba-aba saat Sakala mulai mengatur mobilnya supaya bisa masuk.
"Papa, mama kamu ada?" tanya Sakala setelah ia menuruni mobil. Seira mengangguk seraya memberi tanda supaya Sakala mengikutinya.
"Ayo. Jangan segan-segan," ujarnya. Sakala menapaki teras rumah itu dengan sedikit ragu, lalu membuka sepatunya di sana. Lantai yang mengkilap, mampu menangkap bayang tubuhnya di bawah sana.
Pintu rumah yang sudah terbuka, langsung menyeruakkan aroma semerbak pewangi ruangan yang menyegarkan, tanpa sadar Sakala menghirupnya dan lumayan aroma pewangi ruangan itu membuat nyaman dan lega perasaannya. Sepertinya pewangi ruangan itu memang beraroma terapi yang bisa membuat rileks dan nyaman.
"Masuklah," suruh Seira seraya mengarahkan tangannya ke sofa. Sakala menuju sofa dan mendudukinya. "Sebentar, aku akan panggil pembantuku untuk membuatkan minum," ujar Seira seraya bangkit menuju dalam.
Mata Sakala mengawasi seluruh ruangan. Ada sebuah foto yang terpajang di dinding. Tidak ada foto Seira di sana, hanya sepasang suami istri yang usianya bisa ditaksir sekitar 50 tahun ke atas. Sakala menduga, mungkin foto itu merupakan orang tua Seira.
Setahun lalu, Saka sempat dikenalkan dengan seorang wanita paruh baya yang diakui Seira sebagai mamanya. Namun, Sakala sudah lupa dengan wajah perempuan itu, maklum pertemuan mereka hanya sekali dan itu sudah setahun berlalu. Dugaannya masih pada foto itu, pasti wanita di dalam foto itu adalah mamanya Seira.
"Silahkan minumannya, Den." Seorang wanita paruh baya menghampiri seraya meletakkan secangkir air teh panas di depan Sakala. Sakala berterimakasih dan mengangguk.
"Terimakasih banyak, Bi," ucapnya. Kemudian Seira muncul, diikuti dua orang, laki-laki dan wanita paruh baya.
Mereka langsung menduduki sofa bersamaan dengan Seira.
"Ini Mama dan Papa aku," ucap Seira memperkenalkan. Sakala segera bangkit dan mendongak dengan tubuh menghampiri kedua orang tua Seira. Dia menyalami keduanya dengan tubuh membungkuk hormat.
"Apa kabar Pak, Bu? Saya Sakala," ujarnya memperkenalkan diri lalu duduk kembali. Kedua orang tua Seira hanya tersenyum dengan wajah yang terlihat kaku.
"Kabar kami baik," susul papanya Seira beberapa saat kemudian sembari menatap sekilas ke arah Sakala. Setelah itu, mereka kembali diam, seakan bingung mau bicara apa.
"Silahkan diminum Kak Saka." Seira mempersilahkan Sakala minum. Sejenak suasana kaku itu reda tatkala Siera mempersilahkan minum. Sakala meraih cangkir teh yang masih panas itu, lalu perlahan diteguknya. Seketika rasa hangat menelusup ke dalam kerongkongannya. Sakala menyukai minuman yang masih hangat.
Sakala kembali meletakkan cangkir itu di atas meja. Sejenak ia merasa heran, dengan kedua orang tua Seira yang terkesan mendiamkannya. Dia pikir kedua orang tua Seira akan banyak membahas masalah pernikahan dirinya dan Seira. Bukankah Seira di telpon pernah bilang kalau pertemuan ini sekaligus akan membicarakan perihal pernikahan mereka?
"Apakah aku yang harus memulai duluan? Sepertinya kedua orang tua Seira memang menunggu keberanianku untuk bicara duluan," batin Sakala menyimpulkan.
"Sebetulnya maksud kedatangan saya ke sini adalah, untuk membicarakan hubungan kami. Saya berniat serius membawa hubungan ini sampai ke jenjang pernikahan," tutur Sakala akhirnya memberanikan diri. Memang niat dia dari awal ingin membawa hubungan dengan Seira menuju pernikahan.
Seira menoleh ke arah kedua orang tuanya, lalu memberikan sebuah kode.
"Oh, bagus itu Nak Saka. Kalau memang kalian sudah klop, lebih baik segera menikah saja," tanggap mamanya Seira.
"Lalu, kapan Nak Saka akan meresmikan hubungan itu?" imbuh papa Seira.
"Secepatnya, Pak. Saya akan persiapkan syarat-syaratnya dari sekarang, serta syarat-syarat pengajuan nikah kantor juga," ucap Sakala antusias. Dia tidak mau menunggu lama-lama hubungan ini dibiarkan hanya pacaran. Mumpung Seira tidak menolak atau menunda, Sakala harus gerak cepat.
"Baiklah, lebih cepat lebih bagus," balas papanya Seira. Sakala senang sudah mendapat lampu hijau dari kedua orang tua Seira.
"Kapan kira-kira pernikahan itu akan dilaksanakan?" Papanya Seira kembali bertanya seolah ingin meyakinkan.
"Kasih saya waktu dua bulan. Saya akan persiapkan segalanya." Sakala menyanggupi bahwa pernikahan itu akan digelar dalam waktu dua bulan lagi.
Setelah sepakat dan memutuskan akan menikahi Seira dua bulan lagi, Sakala diantar Seira pulang sampai teras rumah.
"Karena kita sebentar lagi menikah, aku akan mengajak kamu ke rumah dan memperkenalkan kamu dengan mama dan papaku," cetus Sakala. Sejenak Seira terlihat kaget.
"Baiklah. Kak Saka atur saja kapan harinya," ujar Seira setuju.
Sakala berpamitan dengan hati yang gembira. Mulai besok dia akan segera mempersiapkan hal-hal untuk keperluan nikah.
"Dah Sei." Sakala melambaikan tangan dan membunyikan klakson mobilnya. Seira mengantar di teras rumahnya sampai mobil Sakala menghilang. Seira masuk kembali setelah mobil Sakala benar-benar menjauh.
"Baiklah, sebentar lagi persiapan itu akan segera dimulai. Aku akan dilamar kemudian menikah," gumamnya menyiratkan sebuah rasa gembira dan puas.
"Bagaimana kalau dia benar-benar menyiapkannya?" tanya wanita paruh baya itu menatap Seira.
"Memang itu yang aku inginkan. Semoga semua berjalan sesuai harapan."
"Baiklah, kami akan selalu mendukungmu," ujar wanita paruh baya itu seraya menerima sebuah amplop dari Seira. Wajah wanita dan pria paruh baya itu tersenyum gembira.
"Tentu saja, karena kalian orang tuaku," balas Seira diakhiri seringai tawa sinis.
"Ha ha ha."
***
Sakala tiba di rumah, ia segera memberitahukan tentang pernikahannya dengan Seira yang dalam waktu dua bulan lagi akan digelar.
"Serius? Apakah kekasihmu setuju?" yakin Syafana.
"Serius, Ma. Saka mulai besok harus segera menyiapkan apa-apa yang dibutuhkan untuk persyaratan pernikahan." Sakala sangat antusias.
"Baiklah. Mama dan Papa akan menyiapkan untuk lamaran nanti. Tapi, sebelum lamaran itu digelar, apakah tidak sebaiknya kamu ajak kekasihmu ke sini, untuk dikenalkan pada kami?" ujar Dallas berharap.
"Itu bisa diatur, Pa. Saka akan ajak Seira ke sini. Kalian tenang saja," pungkas Sakala dengan hati yang riang.
Sakala benar-benar mempersiapkan persyaratan untuk pengajuan nikah baik di tempat tinggalnya maupun di kedinasan. Perlahan-lahan tapi pasti, satu per satu mulai terpenuhi.
Baik Syafana maupun Dallas, merasa senang melihat antusias Sakala dalam mempersiapkan pernikahan dengan calon kekasihnya. Semua keperluan pernikahan, mulai dari gedung atas permintaan Seira dan segala tetek bengeknya, Sakala sanggupi.
Sebagai orang tua, Dallas dan Syafana tidak tinggal diam, mereka ikut andil baik materil maupun immateril. Syafana dan Dallas setuju dengan Sakala, keluarga perempuan tidak perlu menyiapkan apa-apa, mereka hanya ditunggu kehadirannya disaat perhelatan besar itu dilaksanakan.
"Lalu kapan calon istrimu mau diajak kemari, kami juga ingin kenalan? Bukankah sebelum kami mendatanginya untuk melamar, minimal kami bertemu dengan kekasihmu itu, Ka?" ungkap Syafana.
Sebulan lagi waktu menuju hari pernikahan akan digelar. Tapi, kekasih Saka masih belum dipertemukan dengan Syafana dan Dallas. Sementara persyaratan untuk menikah termasuk semua administrasi, sudah lengkap dan disetujui.
"Tentu saja Saka akan memperkenalkan Seira setelah ini. Besok Saka akan bawa calon istri Saka ke rumah," ucap Sakala berbunga-bunga.
"Kenapa tidak hari ini saja, Ka? Mumpung hari ini Sabtu, Kaka juga kebetulan libur kerja. Papa juga ada di rumah," sela Syafana memberi ide.
"Tidak, Ma. Hari ini Saka ingin melihat rumah dulu, berapa persen lagi kira-kira rumah itu selesai. Saka ingin memastikan rumah itu seminggu sebelum pernikahan sudah beres dan langsung bisa ditempati," sanggah Sakala.
"Oh iya, ya. Tapi, mama rasa dalam waktu beberapa hari lagi rumah itu akan selesai, saat ini saja sudah mulai finishing, kan, Pah?" Syafana menoleh ke arah Dallas.
"Iya betul, Ka. Hari ini sudah mulai finishing, jadi tiga minggu sebelum kalian menikah, rumah itu sudah beres, dan kalian bisa langsung tempati setelah menikah. Sementara waktu tiga minggu itu, bisa kamu gunakan untuk melengkapi perabotan rumah," timpal Dallas.
Sakala terlihat senang saat mendengar penjelasan sang papa tentang rumahnya yang dibangun beberapa bulan sebelum ia pulang dari satgas di Papua, sudah pada tahap finishing.
"Sudah finishing? Saka sudah tidak sabar ingin segera melihatnya," balas Saka girang. Betapa tidak, jerih payahnya selama ini rupanya membuahkan hasil. Sakala bisa membangun rumah dan memiliki mobil. Tentu saja itu suatu kebanggaan, menikah lalu membawa istrinya tinggal langsung di rumahnya sendiri.
"Baiklah, setelah melihat rumah, besok Saka harus bawa dia kemari. Kalau bisa, Mama juga ingin antar dia fitting baju pengantin. Sekalian bisa kenalan dengan orang tua kekasihmu, Ka."
"Tentu saja, Ma. Saka senang Mama sudah mau menerima Seira dengan senang hati, padahal Mama belum pernah bertemu," ujar Sakala.
"Pastinya. Masa iya mama tidak senang dengan calon istri pilihan kamu. Mama yakin perempuan yang Saka pilih adalah perempuan yang sangat istimewa, jadi mama tidak akan ragukan lagi untuk menyambutnya dengan senang hati," ungkap Syafana penuh senyum. Sakala lega, sebab dengan begitu ia meyakini, mamanya dengan Seira akan cocok.
***
"Sei, mama dan papaku besok mengundang kamu ke rumah. Mereka ingin berkenalan denganmu. Kamu bisa, kan?" Sakala mengirimkan pesan WA pada Seira. Sakala berdebar-debar saat menunggu balasan WA dari Seira.
Namun, sampai satu jam lamanya, Seira masih belum membalas pesan WA darinya, membuat Sakala gelisah.
"Kenapa Seira belum membalas WA aku? Apakah dia sedang sibuk?" Sakala bertanya-tanya tentang Seira yang sejak tadi belum membalas pesannya.
"Atau jangan-jangan hari ini ia tiba-tiba masuk kerja?" tanyanya lagi, padahal setahunya hari Sabtu poli yang ditangani Seira libur. Kebetulan Seira berdinas di salah satu Puskesmas di kotanya. "Baiklah, aku akan sabar menunggu balasan WA dari Seira." Akhirnya Saka memutuskan menunggu pesan balasan dari Seira dengan sabar.
Dua jam kemudian, balasan WA dari Seira baru muncul. Saka sangat gembira.
"Aku minta maaf, Kak. Besok aku ada penyuluhan di kampung sebelah bersama ibu-ibu hamil. Mungkin minggu depan aku bisa. Sebab minggu depan, aku baru bisa santai dari tugas," balasnya. Sakala tertegun, ia sedikit kecewa dengan balasan Seira.
"Baiklah tidak apa-apa. Aku tunggu minggu depan." Akhirnya Sakala menerima keputusan Seira yang dinilai waktunya begitu berdekatan dengan hari pernikahan.
***
"Gimana, Ka? Tiga minggu lagi pernikahan kalian akan digelar. Kalau dia tidak datang kemari dan belum kamu kenalkan, terpaksa kita harus mendatangi rumahnya dan menyerahkan seserahan lamaran ini." Syafana merasa gelisah karena Seira masih belum diperkenalkan dengan dirinya dan Dallas.
"Mama sabar dulu, Seira bilang dia hari ini mendadak ada tugas ke luar kota dari Puskesmas tempat dia berdinas." Saka memberikan alasan.
"Baiklah, besok kami tunggu kedatangannya. Tapi, jika besok dia tidak datang, lebih baik kita yang datang untuk menyerahkan seserahan lamaran sekalian melamar Seira," pungkas Syafana yang diangguki Sakala.
Sakala segera menghubungi Seira setelah tadi mendengar keputusan sang mama. Sakala ingin memberitahukan Seira, jika Seira memang sibuk dan belum bisa datang dalam minggu ini, maka pihaknya yang akan mendatangi rumah Seira untuk menyerahkan seserahan dan melamar Seira.
"***Tidak perlu, Kak. Besok aku bisa datang ke rumah orang tua Kak Saka. Besok malam, Kak Saka bisa jemput aku setelah Isya***," balas Seira meyakinkan. Sakala lega dan dia mengabarkan hal ini pada sang mama dan papa.
"Baiklah. Besok kita persiapkan untuk menyambut calon mantu mama dan papa," ujar Syafana gembira.
***
Sementara itu besoknya di kediaman orang tua Seira. Seira sudah berdandan cantik di depan cermin.
"Sei, mau ke mana? Sudah cantik?" Seorang wanita paruh baya menghampiri Seira yang masih duduk di depan meja rias.
"Seira mau bertemu seseorang, Ma," jawab Seira sembari berdiri.
"Bertemu siapa, Sandi?" kerut sang mama merasa heran.
"Iya dong, Ma. Siapa lagi?" jawab Seira berbohong.
"Baiklah. Hati-hati, ya. Kenapa tidak dia saja yang datang ke rumah, ini sudah jam tujuh malam? Tidak biasanya kamu bertemu di jam segini, biasanya Sandi yang ke rumah?" heran sang mama mengerutkan kening dalam.
"Salah satu tantenya Mas Sandi yang datang dari luar kota, ingin bertemu dan kenalan dengan Seira. Seira terpaksa menemuinya. Mas Sandi sebentar lagi juga menjemput. Sudah dulu, ya, Ma. Seira juga mau memanaskan mobil." Seira segera berpamitan pada sang mama, lalu buru-buru keluar dari kamar.
Perempuan paruh baya itu menatap kepergian sang anak bungsu dengan sedikit tidak biasa.
Di luar rumah, perempuan cantik berambut panjang hitam tergerai itu, segera memanaskan mobil, ia segera keluar gerbang. Mobilnya melaju menuju sebuah rumah.
"Untung saja Sakala belum tiba di sini," gumam Seira lega, di depan sebuah rumah, seraya mengawasi mobil Sakala yang masih belum kelihatan.
Sambungannya kalau tidak dini hari, besok pagi, ya. Soalnya bab selanjutnya masih baru akan ditulis. 🙏🙏🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!