Suasana pagi hari yang masih dingin membuat sebagian orang enggan meninggalkan selimut. Bahkan suara ayam jago yang berkokok pun tak bisa mengusik kehangatan di atas pulau kapuk. Namun tidak dengan Anesha yang sudah berkutat dengan peralatan dapur.
Kompor dua tungku sudah menyala dengan panci yang berisi sayur sop di salah satu tungku dan ayam yang sudah terendam minyak panas ditungku sebelahnya.
Jika pagi hari adalah waktu terbaik untuk berolahraga mencari keringat, maka Nesha tak perlu olahraga, karena suasana dapur yang pengap sudah membuatnya berkeringat bahkan mampu membakar lemak sisa makan malam kemarin.
Begitu sarapan sudah tersaji di meja makan, ia akan segera menyapu seluruh ruangan. Sebelum semua orang terbangun, seluruh pekerjaan harus selesai.
Pukul 06.15 terdengar suara pintu kamar Rumi, sang ibu, terbuka. Pintu kayu itu berderit karena engselnya yang sudah rapuh.
"Ibu mau saya buatkan teh?" Tanya Nesha yang baru selesai mandi.
"Iya", jawab Bu Rumi singkat disertai menguap. Lalu ia pergi ke kamar mandi.
Mendengar jawaban sang Ibu, Nesha segera pergi ke dapur untuk membuat teh untuk ibunya dan juga kopi untuk ayahnya, Pak Edi.
"Kamu kalau capek nggak usah masak ya nggak apa-apa, Nes", ucap Pak Edi yang melihat Nesha masih di dapur.
Nesha menoleh ke sumber suara. "Nesha nggak capek kok, Pak. Kalau Nesha nggak masak, nanti Nesha juga nggak bisa bawa bekel, dong", jawabnya sambil mengaduk teh dan kopi bergantian.
"Ini Pak, kopinya". Nesha menyodorkan secangkir kopi di hadapan Pak Edi.
Melihat putri sulungnya bekerja keras, membuat hati Pak Edi terenyuh. Pasalnya Nesha tumbuh dengan sifat mandiri dan rajin. Sehingga ia tampak tumbuh menjadi perempuan yang kuat.
"Bu, ini tehnya", ucap Nesha sambil meletakkan segelas teh di meja makan.
"Iya, Nes. Taruh saja, nanti kalau udah anget ibu minum", jawab Bu Rumi yang kembali masuk kamar.
Pintu kamar Anisha terbuka. Menampakkan wajahnya yang masih mengantuk. Dengan langkah malas, perempuan yang terpaut usia tiga tahun dengan Anesha itu berjalan ke kamar mandi.
"Udah mau jam tujuh kok kamu baru bangun, Nis?" Tanya Nesha sambil melirik jam di dinding.
"Serah aku lah!" Jawaban ketus Nisha sudah menjadi makanan sehari-hari Nesha.
"Kalau ditanya mbakmu jawab yang baik dong, Nis", ucap Pak Edi dengan lembut.
"Iya", jawaban singkat Nisha mengakhiri percakapan pagi yang canggung.
Pukul 07.10 semua sudah berkumpul untuk sarapan, kecuali Nisha. Ia masih sibuk memoles wajahnya yang glowing di depan cermin. Mematut dirinya yang memakai seragam berkali-kali. Sambil berputar ke kanan dan ke kiri. Memastikan penampilannya paripurna.
"Bu, Nisha itu tolong dibilangin, kalau bangun sedikit lebih pagi. Biar berangkat kerja nggak mepet waktu", saran Pak Edi.
Mendengar ucapan suaminya, Bu Rumi bukannya mengiyakan, ia malah berdecak sambil memutar bola matanya.
Pak Edi yang sudah terbiasa dengan sikap istrinya itu hanya bisa tersenyum.
Tak lama kemudian, Nisha keluar dengan memakai seragam batik karena hari ini hari jumat. Perusahaan tempatnya bekerja mewajibkan berbatik setiap hari jumat.
Ia memutar badanya bak balerina di depan semua orang yang ada di meja makan. "Gimana bagus nggak? Nisha cantik, kan?" Ia berharap semua orang memujinya.
Melihat Nisha yang berdandan cantik, membuat Bu Rumi bertepuk tangan sambil tersenyum kegirangan. Pak Edi pun turut tersenyum melihat tingkah anak bungsunya.
"Kamu kok diem aja? Nggak suka lihat aku cantik, ya?" Cecar Nisha pada kakaknya yang sedang menikmati sarapan di depannya.
"Iya, Nis, kamu cantik banget kok!" Nesha memasang senyum karir, kemudian kembali menikmati makanannya.
"Kamu diem aja pasti iri, kan? Aku dapat kerja bagus gaji UMR. Sedangkan kamu cuma jaga toko!" Sindir Nisha sambil merapikan bajunya.
"Nggak kok. Biasa aja", jawab Nesha datar. Hal itu semakin membuat Nisha kesal. Pasalnya ia ingin terlihat mencolok di mata Nesha, tapi kakaknya itu selalu biasa-biasa saja. Sehingga rasa dengki muncul setiap melihat Nesha.
"Udah-udah. Ayo cepetan sarapan. Jangan sampai kamu telat ngantor", ajak Pak Edi sambil menepuk kursi di sebelahnya.
Dengan muka cemberut, Nisha duduk dan menyantap sarapannya. Sesekali, ia melirik kearah Nesha, lalu ia dongkol sendiri. Padahal Nesha hanya diam saja. Tapi menurut Nisha, aura Nesha itu sangat berbeda sehingga diam-diam ia merasa iri.
Setelah sarapan, Nesha pamit berangkat kerja. "Pak, Bu, Nesha berangkat kerja dulu". Ia mencium tangan ayah dan ibunya dengan takzim.
Selama lima tahun ini, Nesha bekerja di toko Ci Fani yang ada di ruko jalan besar. Toko yang menjual perlengkapan bayi dan baju anak-anak itu juga berjualan secara online di platform jual beli online. Dan Nesha adalah karyawan bagian packing atau terkadang ia yang mengantar pesanan COD.
Hanya dengan menempuh perjalanan sepuluh menit jalan kaki, ia sudah sampai. Jam kerja yang mulai pukul delapan, namun sepuluh menit sebelum mulai, semua karyawan yang terdiri dari tujuh orang itu sudah harus menyiapkan alat tempur masing-masing bagian.
Nesha yang merupakan bagian packing terdiri dari tiga orang, sudah menyiapkan resi yang sudah dicetak kemarin, lakban, plastik, dan kardus. Ratusan resi cetak sudah siap menanti. Belum resi yang tercetak hari ini.
Disisi lain, Nisha sudah melesat ke kantor menggunakan motor scoopy yang baru ia cicil selama tujuh bulan. Dulu ia selalu naik angkot atau diantar Pak Edi. Namun setelah hampir setahun bekerja, ia memutuskan mengambil cicilan motor. Nesha dan Pak Edi menasehati agar ia menabung lebih dulu daripada mencicil, takutnya ia yang kerja dengan sistem kontrak itu bisa berhenti sewaktu-waktu apalagi dengan gaji UMR. Namun seperti anak kecil ia merengek pada Bu Rumi. Dan akhirnya si ibu menuruti permintaan Nisha untuk mencicil motor dengan tenggat waktu tiga tahun.
Sekitar dua puluh menit, Nisha sampai di sebuah perusahaan bernama PT. Bumi Laut Jaya (BLJ). Sebuah perusahaan yang mengeskpor hasil laut dalam berbagai macam olahan. Ia ditempatkan di bagian administrasi gudang yang mengolah data keluar-masuk barang.
"Hati-hati ya sayang kalau kerja", balas Nisha pada Fandi, kekasihnya.
Fandi adalah seorang pemilik bengkel dan showroom motor bekas. Dia juga memiliki usaha distro. Pekerjaan Fandi pun menjadi sesuatu yang di bangga-banggakan oleh Nisha.
Menurut Nisha, Fandi adalah pemuda hebat yang mau merintis usahanya dari bawah. Padahal Nisha pun tahu kalau semua usaha kekasihnya itu dimodali oleh papanya yang seorang manajer di perusahaan yang sama dengan Nisha. Beliau lah yang merekomendasikan nama Nisha pada Tim HRD alias jalur orang dalam.
"Nes, cepetan masaknya. Bentar lagi keluarga Fandi mau datang", suruh Bu Rumi sambil menata ruang tamu dengan terburu-buru.
"Iya ini tinggal bikin ayam asam manisnya, Bu", jawab Nesha sambil memotong bawang bombay yang akan dipakai.
"Duh.. Piring di lemari juga belum dikeluarin!" Seru Bu Rumi panik.
"Suruh Nisha aja, Bu. Dari tadi dia nggak ada bantuin. Dikamar terus padahal yang datang kan calon mertuanya", gerutu Nesha.
Klotak!
Bu Rumi melempar sapu ke lantai. Merasa kesal dengan protes yang dilayangkan Nesha. "Nisha itu capek. Kemarin dia lembur sampe jam lima", ucap Bu Rumi dengan nada sewot.
"Orang lembur sejam aja, Bu", protes Nesha. "Ini kan acara lamarannya. Masa dia nggak bantu apa-apa?", lanjutnya sambil menggoreng ayam.
"Kamu kalo ngomong enteng banget ya, Nes. Kamu nggak kasihan sama adikmu?" Bu Rumi semakin kesal dengan ucapan Nesha.
"Bu. Kenapa perlakuan ibu ke aku dan Nisha beda banget?" Nesha pun ikut kesal. Padahal dia pun juga capek kerja seharian. Tapi dia malah harus menyiapkan makanan untuk menyambut calon mertua beserta calon suami Nisha yang datang melamar.
"Sudah Nes, Bu.. Nggak usah ribut. Sini piringnya biar Bapak yang ngelap dan nata di meja", ucap Pak Edi yang selalu melerai perdebatan antara Ibu dan anak itu.
"Tau tuh si Nesha. Suka iri aja sama adiknya", ketus Bu Rumi sambil melirik Pak Edi yang mulai mengeluarkan piring-piring khusus dari lemari penyimpanan.
Nesha yang mendengar ibu yang selalu membela dan memanjakan anak bungsunya itu hanya menggeleng kepala. Pasalnya berdebat dengan Ibunya tak pernah ada habisnya.
Setelah semua masakan siap, Nesha segera membersihkan dapur dan mencuci semua peralatan yang kotor. Pak Edi dan Bu Rumi sudah bergantian keluar masuk kamar mandi.
"Nes, itu di cuci nanti saja kalau tamunya udah pulang. Kamu mandi dan siap-siap juga, gih", titah Pak Edi.
"Udah tinggal beresin ini dikit, Pak. Malu kalau nanti ada tamu lihat-lihat ada yang kotor", ucap Nesha sambil mengelap kompor. Semua peralatan kotor sudah bertengger di rak bersih.
"Ya udah, terserah kamu aja." Suara lembut Pak Edi selalu bisa menenangkan hati Nesha. Lalu beliau masuk ke kamar untuk bersiap.
"Widih.. Udah siap aja nih", seru Nisha yang baru nongol dari kamarnya.
Nesha hanya melirik Nisha yang sedang mengecek menu diatas meja makan. Kayak mandor aja, batin Nesha. Namun ia tak ingin mengungkapkan isi batinnya saat ini karena raganya sudah sangat lelah semenjak pagi berkutat di dapur. Ia memilih pergi mandi lalu bersiap.
Tak lama kemudian, terdengar mobil yang memasuki halaman rumah. Sebuah mobil fortuner hitam dan avanza merah terparkir berdampingan. Sontak membuat warga sekitar berkumpul karena ingin melihat siapa dan seperti apa calon menantu dan calon besan Pak Edi.
Melihat orang-orang yang berkumpul di depan rumah, membuat Bu Rumi semakin besar kepala dan merasa bangga saat menyambut calon besannya itu.
"Pasti mereka semua iri melihat calon besan dan menantuku yang kaya", batin Bu Rumi.
Dari mobil fortuner, keluar seorang pemuda tinggi sekitar 172cm dengan wajah tampan, Fandi, calon suami Nisha. Sedangkan dari avanza keluar seorang pria paruh baya berjas hitam rapi dan seorang wanita anggun menenteng tas yang terlihat mahal.
"Selamat datang, Pak Faris dan Bu Reni", sapa Pak Edi sambil menyalami mereka bergantian. "Silahkan masuk", Pak Edi mempersilahkan.
Bu Reni masuk rumah sambil netranya menyapu seluruh ruangan penuh dengan pemahaman.
Tak lama kemudian Nisha keluar dengan kebaya brokat biru dan rok batik yang senada dengan kemeja batik yang dikenakan Fandi. Wajahnya dirias sendiri dengan riasan yang kalem, karena memang Nisha pandai berias dan memiliki banyak perlengkapan make up. Ia duduk diantara Pak Edi dan Bu Rumi.
Nesha sendiri hanya memakai gamis polos sederhana warna merah muda. Duduk menunduk disamping Pak Edi.
"Wah nggak nyangka Fandi pinter banget pilih calon istri", puji Bu Reni, setelah melihat penampilan Nisha yang anggun dan cantik.
Mendengar pujian itu membuat wajah Nisha semakin merona dan tentunya semakin membuatnya besar kepala. Diliriknya Nesha dengan wajah penuh kemenangan.
Masing-masing keluarga kemudian saling memperkenalkan anggota keluarga lainnya. Dan mulai mengobrol santai perihal kehidupan sehari-hari.
"Nesha sama Nisha ini anak kembar? Kok nggak mirip, ya?" Celetuk Bu Reni.
"Mereka kakak beradik, Bu. Nesha kakak dari Nisha, mereka terpaut usia tiga tahun", jelas Pak Edi.
"Lho berarti Nisha melangkahi Nesha dong, Pak?" Bu Reni kembali melontarkan kejulitannya. "Waduh bisa bahaya, Pak, Bu. Nanti si Nesha takutnya jadi perawan tua", Bu Reni terkekeh.
Entah itu hanya sebuah candaan atau perkataan serius, Bu Reni sudah membuat Nesha geram. Pasalnya sedari masuk rumah tadi mulut Bu Reni dengan entengnya mengatakan hal-hal yang membuat tak enak hati. Seperti mengomentari rumahnya yang kecil dan sempit, sampai menyinggung perihal tentang dirinya yang akan menjadi perawan tua.
"Saya nggak khawatir, Bu. Karena jodoh itu urusan Allah ", jawab Nesha sambil meremas gamisnya.
"Kata Pak Edi kamu kerja di toko perlengkapan bayi, ya?" Tanya Bu Reni.
"Iya, Bu", jawab Nesha datar.
"Pastilah nanti pun kalau dapat jodoh yang nggak jauh beda profesinya sama kamu", celetuk Bu Reni sambil terkekeh kecil.
"Huuss... hentikan, Ma. Kita kesini mau bahas soal Fandi dan Nisha. Bukan ngurusin jodohnya Nesha," Tegur Pak Faris yang merasa tak enak dengan ucapan istrinya. "Maaf ya Pak Edi. Ucapan istri saya jangan dimasukkan ke hati", tutur Pak Faris.
Pak Edi tersenyum kikuk mendengar hinaan Bu Reni. Ingin sekali ia ikut menegur omongan yang menyakiti hati putri sulungnya itu. Namun mengingat bahwa acara hari ini sangat penting, maka ia lebih memilih tersenyum.
Bu Rumi hanya melirik dengan mimik wajah kecewa pada Nesha. Sedangkan Nisha tampak menahan tawa melihat kakaknya dipermalukan.
"Ehm! Kita balik ke pembicaraan awal. Bagaimana kalau pernikahan Nisha dan Fandi diadakan setelah hari raya?", tanya Pak Faris menatap kearah Pak Edi dan Bu Rumi.
"Berarti masih tahun depan, ya, Pak?", Tanya Pak Edi sedikit ragu.
"Iya, Pak. Sambil nunggu bisnis Fandi berkembang juga. Biar nanti kehidupan mereka setelah menikah bisa stabil ekonominya", jawab Bu Reni sambil menatap kearah Nisha dengan senyum. Lalu mengarahkan pandangan mengejek kearah Nesha yang diam menyimak.
"Ya sudah nggak apa-apa, Bu. Yang penting kan mereka sudah terikat. Itu sudah membuat kami lega. Iya, kan, Pak?" Bu Rumi menyenggol lengan Pak Edi. "Iya, Bu." Tampak wajah Pak Edi masih ragu dengan keputusan yang dibuat.
Setelah sepakat dengan ketentuan pernikahan, mereka menikmati makan siang bersama.
Nesha sibuk menjamu kedua orangtua Fandi. Sedangkan Nisha tampak bergurau dan bermesraan di ruang tamu. Dua sejoli itu tampak sangat lekat, padahal baru melaksanakan lamaran.
Selepas acara, Nesha masih harus beberes semu peralatan kotor. Meski Pak Edi sudah menyuruhnya dikerjakan nanti saja, tapi Nesha tetap ingin segera menyelesaikan pekerjaannya. Daripada nanti ibunya akan marah-marah dan menuduhnya sebagai pemalas.
Nesha mencuci piring-piring kotor di dapur. Ia sangat khidmat menghilangkan noda lemak di piring satu persatu. Sampai ia tak sadar ada Nisha yang berdiri di sampingnya.
"Kamu udah pantes banget kayak babu, Nes!" Celetuk Nisha sambil bersidekap tangan. Nesha tak menggubris ejekan yang dilontarkan Nisha.
"Kamu budeg, ya?",sentak Nisha kesal karena tak dapat respon dari Nesha. Lalu dengan sengaja ia menyenggol lengan Nesha dengan keras, sehingga piring yang ada di tangan kakaknya itu jatuh pecah dan hampir mengenai kakinya.
"KAMU GILA, YA!" Teriak Nesha kesal. Pasalnya dia sudah sengaja diam agar tak terjadi perdebatan. Tapi selalu saja Nisha mencari cara untuk memancing emosinya.
"Kamu berani ya teriakin aku?" Tantang Nisha sambil berkacak pinggang.
"Kamu yang mulai duluan. Tapi kamu nggak mau diteriakin?" Nesha tak mau kalah. Ia pun ikut berkacak pinggang dan mengangkat dagunya.
"Aku bakal aduin sama ibu!" Ancam Nisha. Setiap kali ia kalah debat atau tersudut, pasti ia akan membawa nama 'ibu' sebagai tameng.
"Aduin sana! Biar nanti kamu yang suruh cuci piring dan beresin ini semua!" Balik ancam Nesha. Karena ia sangat tahu kalau Nisha sangat tidak mau menyentuh pekerjaan rumah.
"Ada apa ini?" Tanya Bu Rumi yang keluar kamar karena mendengar keributan. Diikuti Pak Edi dibelakangnya.
"Bu.. Nesha teriakin aku", adu Nisha dengan nada manja dan bergelanyut dilengan Bu Rumi.
"Astaghfirullah... Awas Nes, nanti kamu kena pecahan piring", seru Pak Edi yang melihat serpihan piring dilantai. "Ada apa ini sebenarnya?", tanya Pak Edi.
Nisha hanya diam sambil berdiri dibelakang Bu Rumi. Tak mungkin dia akan jujur kalau dia yang memicu pertengkaran antar saudara ini.
"Bapak tanya aja sama Nisha", gumam Nesha berjalan mengambil pengki dan sapu.
Meskipun pelan, Bu Rumi bisa mendengar gumaman Nesha. Lalu dengan cepat dia mencubit lengan Nisha. "Kamu apain si Nesha?" Bisik Bu Rumi melotot kearah Nisha yang mengusap lengannya. Padahal ibunya hanya mencubit dengan ringan, tapi bagi Nisha sakitnya seperti digigit buaya. Sambil menghentakkan kaki seperti anak kecil, Nisha pergi ke kamar dengan kesal.
Brak!
"Nisha kenapa tuh Bu?" Tanya Pak Edi sambil menoleh kearah kamar Nisha.
"E-enggak tahu, Pak", jawab Bu Rumi.
"Ibu cek gih.." suruh Pak Edi sambil menunjuk dengan dagunya. Segera Bu Rumi pergi ke kamar Nisha. Sedangkan Pak Edi sendiri membantu Nesha membersihkan sisa-sisa beling yang berserakan.
Terdengar senggukan kecil dari Nesha yang sedang tertunduk memunguti beling. Lalu Pak Edi membelai surainya dengan lembut.
"Kamu kenapa nangis, Nak?" Tanya Pak Edi terus mengusap kepala anaknya.
"Pak, aku anak bapak sama ibu nggak, sih?" Tanya Nesha yang sudah berderai airmata.
"Ya jelas kamu anak kami, Nak. Apa yang membuatmu berpikir bahwa kamu bukan anak kami?" Pak Edi menatap lekat Nesha.
"Kenapa Ibu selalu belain Nisha terus, sih, Pak? Perlakuan Ibu juga beda antara aku dan Nisha", ucap Nesha yang sudah berderai air mata sambil menatap balik mata Pak Edi.
"Mungkin maksud ibu nggak gitu, Nes. Sifat Nisha yang manja itu mungkin yang membuat ibumu seperti membelanya. Tapi kalian sama-sama anak Bapak dan Ibu, kok", jelas Pak Edi sembari mengusap air mata Nesha. Lantas Nesha mengangguk mengerti. Tampak wajah Pak Edi pun lega melihat hati anaknya yang sudah kembali legowo. Nesha pun kembali melanjutkan kegiatannya mencuci piring.
Setelah semuanya beres dan bersih, Nesha menyelonjorkan kakinya di ruang tamu sambil menonton acara sore di televisi.
Tok tok tok
Terdengar suara pintu diketuk seseorang. Segera Nesha membukakan pintu. Tampak seorang pria yang membawa penuh undangan di tangannya.
"Mbak, undangan dari Pak Haji Sobari", pria itu menyodorkan sebuah undangan yang terlihat sedikit mewah karena memakai hard cover.
"Oh iya Mas, makasih", setelah menerima undangan tersebut, pria itu langsung pergi.
Nesha membuka plastik yang melapisi undangan tersebut dan membaca isinya.
Tertulis nama Hendi Kurniawan, anak Pak Haji Sobari dan Anggia Pramudani, pasangannya. Nesha manggut-manggut setelah membaca isi undangan dan meletakkannya diatas meja agar Bapak sama Ibu bisa membacanya.
"Undangan dari siapa, Nes?", tanya Bu Rumi yang keluar dari kamar hendak mandi.
"Pak Haji Sobari, Bu", jawab Nesha sambil memencet remot memilih chanel yang menarik. Kemudian Bu Rumi memungut undangan tersebut dari atas meja.
"Wah undangannya mewah banget, ya?", ucap Bu Rumi saat menilik benda seperti buku ditangannya. Lalu ia membacanya dengan seksama.
"Baca apa, Bu?" Tanya Nisha penasaran sambil melongokan kepala dibalik badan Bu Rumi.
"Ini lho undangan dari Pak Haji Sobari, Nis. Undangannya mewah, kayak buku album. Ada foto-foto prewednya, cetakan tulisannya juga timbul. Ada wangi-wangi parfum juga, Nis", jelas Bu Rumi sambil mengendus undangan ditangannya.
Penasaran dengan ucapan ibunya, Nisha segera merebut undangan itu dari tangan Bu Rumi. Ditelitinya dengan benar dari depan, sampai belakang. Matanya tampak berbinar menatap benda tersebut.
"Bu, gimana kalau nanti undangan nikahku dibikin kayak gini? Ini bagus banget dan mewah, Bu", celetuk Nisha dengan nada riangnya.
"Ya kamu bicarakan saja sama Fandi kalau masalah itu", ucap Bu Rumi terdengar ikut senang.
Nesha yang mendengar obrolan mereka hanya menyimak tanpa ingin ikut nimbrung. Ia fokus menonton serial 'kumenangis'.
"Tapi pasti Mas Fandi setuju kok, Bu. Dia kan sayang banget sama aku. Lagian Mas Fandi kan juga duitnya banyak", tutur Nisha penuh percaya diri dengann maksud ingin menyindir Nesha. "Ini aku simpan dulu, ya, Bu. Buat kutunjukin ke Mas Fandi nanti kalau ketemu." lalu Bu Rumi pergi ke kamar mandi dan Nisha masuk ke kamarnya.
Nesha buru-buru pergi ke kamar setelah mendengar ponselnya berdering. Ternyata ada WA dari Ci Fani.
[Nesha, nanti lepas magrib lu orang bisa antar paket COD? Nanti kukasih lu uang lembur]
Setelah membaca tulisan 'uang lembur', degan semangat dia membalas WA Ci Fani dan mengatakan kesanggupannya. Rasa pegal di sekujur tubuhnya tiba-tiba lenyap entah kemana. Lalu dia mematikan televisi dan pergi mandi setelah Bu Rumi keluar dari kamar mandi.
"Kamu kok buru-buru amat, Nes", tanya Bu Rumi yang melihat Nesha berlari kecil ke kamar mandi. Kemudian Nesha menjelaskan tentang WA Ci Fani. "Oh..", Bu Rumi hanya ber-oh ria.
Setelah siap, Nesha pamitan Bu Rumi dan Pak Edi untuk berangkat ke ruko tempatnya bekerja. "Pak, Bu.. Nesha berangkat dulu", sambil mencium takzim punggung tangan kedua orangtuanya.
"Iya, hati-hati ya, Nes. Soalnya udah malem", ucap Pak Edi. "Iya, Pak."
"Nanti kalau pulang, beliin Ibu sama Nisha nasi goreng Mang Udin di perempatan ya, Nes?", pesan Bu Rumi sambil memijit kakinya sendiri. "Iya, Bu."
"Assalamualaikum", salam Nesha sambil keluar rumah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!