NovelToon NovelToon

Fix You Heal Me

◉ 1

Hallo.. aku kembali setelah sekian lama berhibernasi. Monggo bagi pembaca, sile like n tinggalkan jejak. Jangan lupa rate ★5, dan jangan nimbun bab juga ya. Usahakan setiap update langsung baca. Terimakasih n happy Reading ♥♥♥

...****************...

Jenewa, Swiss. 2021

"Kau sudah siap, Nak?" Tanya Isabella, wanita setengah baya itu meletakkan selembar keju slice ke atas daging asap kemudian Ia menatap putrinya yang baru saja keluar dari kamar dengan membawa koper. Joana Sharoon.

Joana Sharoon, seorang gadis cantik yang bisa dikatakan mandiri. Ya, disaat usianya menginjak ke 18 tahun, Joana harus merelakan masa mudanya. Kepergian sang Ayah menghadap Tuhan, dan kondisi Ibunya yang kerap sakit-sakitan. Sebagai anak pertama, Joana mengambil peran Ayahnya menjadi tulang punggung keluarga, belajar dan juga bekerja. Itulah yang dilakukan Joana. Tidak pernah sedikit pun ia memikirkan untuk bersenang-senang dengan cara menghamburkan uang. Dia harus berhemat. Itulah prinsipnya. Keadaan yang telah menuntut ia menjadi dewasa di usianya yang terbilang masih belia.

Lanjut, setelah lulus kuliah dengan hasil yang memuaskan, Joana mendapatkan tawaran pekerjaan. Ia bekerja di perusahaan furnitur yang berada di Jenewa, kota kelahirannya. Belum genap satu tahun ia bekerja, tapi karena kepintaran, dan kinerjanya yang memuaskan, gadis berusia 23 tahun itu diangkat menjadi sekretaris ketua direktur perusahaan furnitur di kantor pusat. Prestasi yang sangat membanggakan bukan?

Dan pagi ini, Joana akan bertolak ke Bern, karena kantor pusat berada disana. Sebenarnya, Joana berat meninggalkan Ibu, dan juga Adiknya. Namun, karena tanggung jawab serta tuntutan pekerjaan, Joana tidak bisa menolak permintaan atasannya tersebut.

"Ya Mom, " sahut Joana sambil memasang sepatu kets di kaki jenjangnya. Jemari lentiknya bergerak mengikat tali sepatu, menyimpul dengan rapi.

"Lalu, apa kau sudah memeriksa lagi barang bawaanmu, Nak?" Tanya Isabella lagi. Joana pun mengangkat kepalanya lalu mengangguk. "Tiket, ponsel, kartu ATM, kartu identitas." Isabella menyebutkan barang-barang penting tersebut mengingat beberapa hari yang lalu Joana sempat melupakan ponsel, dan dompetnya karena terburu-buru berangkat bekerja. Beruntung Nichole, Adik Joana sedang libur sehingga dia bisa mengantarkan kedua benda tersebut kepada Joana.

Joana tersenyum tipis, "sudah ada di dalam tasku,

Mom." Jawab Joana yakin. Karena sebelum keluar dari kamar, Joana sudah memeriksa lagi isi tasnya.

Setelah memasang sepatu, Joana beranjak dari sofa. Ia menarik langkah mendekati Ibunya yang berada di dapur, masih menyiapkan sarapan untuk mereka.

Isabella menghela napas panjang, dan wajahnya seketika berubah murung. Perasaannya sedih, karena beberapa saat lagi Joana akan pergi, meninggalkannya. "Mom, pasti akan merindukanmu." Gumamnya di dengar Joana. Wajah lelahnya terlihat murung.

Joana melihat manik Ibunya berlinang air mata yang berusaha ibunya tahan agar tidak menetes membasahi pipi. Joana segera memeluk wanita yang melahirkannya itu, supaya Ibunya merasa tenang. "Kita masih bisa berkomunikasi, Mommy ku sayang. Lagipula jarak Bern ke Jenewa tidak memakan waktu yang lama, hanya dua jam. Saat aku libur, aku bisa mengunjungimu." Joana melonggarkan pelukan. Tangannya bergerak mengusap sisi wajah Ibunya.

Beberapa detik, Isabella terdiam masih menatap Joana, putri pertamanya. Demi putrinya, Isabella memaksakan diri untuk tersenyum. "Ya sayang. Yang kau katakan benar. Sekarang duduklah."

"Ayo Mom, kita sarapan. Hmm, aku tidak sabar ingin melahap sandwich buatanmu."

Joana membantu Ibunya meletakkan sarapan mereka diatas meja. Lalu, ia menarik kursi untuk Ibunya. "Duduk Mom."

Isabella mendaratkan bokongnya di kursi disusul Joana, gadis itu duduk di depan Ibunya, agar ia bisa menatap Ibunya lebih lama.

"Oh ya, dimana Nichole, Mom? apa gadis nakal itu masih tidur?" Joana menyambar sandwich miliknya, kemudian menambahkan saus tomat diatasnya.

"Aku sudah bangun," bantah Nichole muncul dari balik pintu kamarnya. Gadis itu sudah rapi dengan seragam sekolah, dan bergabung di meja makan. Nichole meraih gelas yang ada di depannya, lalu meneguk susunya.

"Makan dulu sandwich-mu, " perintah Isabella kepada putri keduanya.

"Delicious. Sandwich buatanmu selalu yang terbaik Mom. Tidak ada tandingannya." Kata Joana tersenyum lebar sambil mengacungkan jempolnya.

Mendengar pujian dari putrinya, Isabella tersenyum lembut. "Makanlah yang banyak. Pesan Mom, jaga kesehatan, dan jangan sampai telat makan. Hindari makan pedas, dan jangan banyak meminum soda. Ingat, kau ada penyakit lambung. Jika, kau sakit tidak ada yang mengurusi-mu." Itulah yang dikhawatirkan Isabella, putrinya kerap menunda makan apalagi ketika sibuk bekerja.

Joana tersenyum lembut, "akan aku ingat semua pesanmu, Mom. Jangan terlalu mencemaskan-ku, ingat kesehatanmu."

"Pukul berapa keretamu berangkat?" tanya Nichole.

"Pukul 8. Nanti sebelum ke stasiun, aku akan mengantarmu lebih dulu."

Nichole menggeleng cepat, menolak diantar. "Itu tidak perlu, kau bisa terlambat ke stasiun jika mengantarku dulu. Lagipula, stasiun dan sekolahku berlawanan arah."

"Alasan. Bilang saja kau ingin berangkat ke sekolah bersama dengan Alan." Kelakar Joana yang senang sekali menggoda Adiknya yang sedang kasmaran.

"Perlukah di perjelas?"

Joana terkekeh, tidak menjawab pertanyaan sang adik. "Rajinlah belajar, dan kurangi waktu bermain-mu Nichole."

"Baik, saudariku yang cantik. Aku akan rajin belajar, agar aku bisa hebat, sepertimu."

"Kau harus lebih hebat dariku." Ujar Joana

"Hmm.. Aku juga punya pesan untukmu."

"Katakan."

"Dengarkan aku." Nichole menatap Joana dengan memasang wajah serius, "bukalah hatimu jika ada seorang pria baik yang ingin mendekatimu. Mau sampai kapan kau akan bertahan dengan statusmu sekarang ini? Tunjukkan kepada si brengsek itu jika kau sudah move on." Ujar Nicole menggebu-gebu.

Joana terkekeh geli melihat ekspresi Adiknya. Terlihat sekali, jika Nichole masih kesal dengan Raymond, mantan kekasih Joana. Padahal, Joana sudah melupakan perbuatan pria itu. Lalu mengenai kandasnya hubungan Joana dengan Raymond , itu karena Raymond mengkhianati Joana. Selain itu, Raymond suka jajan sembarangan di luar. Faham kan maksudnya. Beruntung, Joana bisa menjaga diri dari tipu muslihat Raymond. Pria tampan bermulut busuk bukan bermulut manis.

"Kenapa kau tertawa? apa kau pikir aku sedang bergurau?" Nichole melayangkan protes, tidak terima ditertawakan oleh Joana. Ia sedang mode serius.

Joana melipat bibirnya, menahan tawanya supaya tidak lepas lagi. "Kenapa kau sensitif sekali? apa kau sedang datang bulan? "

"Tidak, tidak apa-apa." Jawab Nicole melahap lagi sandwich-nya. Mendadak ia terdiam, tertunduk merasakan sesak di dadanya.

Seperti yang dirasakan Ibunya, Nichole juga sedih harus berpisah dengan Joana. Bagi Nichole, Joana adalah Kakak terbaik yang penuh perhatian, dan juga asik diajak berbicara. Kepada Joana, ia bisa menceritakan apapun termasuk hubungannya dengan Alan.

Jadi, sebenarnya alasan utama Nichole tidak ingin diantar Joana, karena yang dikhawatirkan ia akan menangisi kepergian Kakaknya. Membayangkannya saja sudah membuatnya bersedih, bagaimana ia menyaksikan kepergian Kakaknya. Ia tidak akan sanggup.

"Aku berharap, aku mendapatkan kakak ipar yang sangat baik, tampan, dan juga mapan. Agar kau tidak perlu bekerja lagi." Kata Nichole yang menjadi saksi bagaimana perjuangan Kakaknya sampai sekarang ini. "Dan tentunya, mencintaimu dengan tulus." Lanjut Nicole.

"Aamiin, " Isabella menyahuti ucapan putri keduanya itu. Sedangkan Joana, gadis itu hanya tersenyum, menanggapi ucapan adiknya.

"Segeralah habiskan sarapan dan susumu, sebelum Alan datang."

◉ 2

Sementara itu di kota Bern, nampak Mobil mewah berlogo kuda berhenti di depan lobi. Seorang pria paruh baya menuruni anak tangga, lalu membukakan pintu mobil tersebut. "Selamat pagi, Tuan." Gabriel menyambut baik atasannya.

Sosok yang disapanya hanya mengangguk, dengan ekspresi datar. Dia adalah Nathan Klemens, pria tampan dengan sepasang mata berwarna biru itu sangat terlihat mempesona. Rambutnya berwarna coklat, garis rahangnya tegas serta tubuh atletisnya sanggup membuat kaum hawa terpesona padanya.

Nathan, CEO sekaligus pemilik NK Group yang memiliki IQ tertinggi. Ia sosok pekerja keras. Berkat ketekunannya, ia telah berhasil membuat perusahaannya berkembang dengan pesat sehingga menjadi perusahaan furnitur terbesar di Swiss.

So, sudah bisa terbayangkan bukan, setajir apa seorang Nathan Klemens.

Nathan segera turun dari mobilnya. Dengan gagah, Ia memasuki gedung pencakar langit miliknya.

Seluruh karyawan yang berada di sekitar lobi, menunduk saat berpapasan dengannya. Tak sedikit karyawan berjenis wanita mencuri kesempatan untuk melihat ke arahnya. Menatap dengan tatapan kagum kepada pria blasteran Swiss-Spanyol itu secara terang-terangan.

Bukannya tidak mengetahui jika Ia menjadi pusat perhatian, namun Nathan bukan type pria yang memanfaatkan ketampanannya untuk tebar pesona. Pria workaholic itu selalu menunjukkan sikap dinginnya. Terlihat sekali jika pria itu membatasi diri dengan membangun dinding yang sangat tinggi.

"Bagaimana perkembangan penjualan bulan lalu?" Tanya Nathan kepada Gabriel ketika mereka masuk ke dalam lift pribadi, yang hanya bisa di naiki olehnya, dan juga kaki tangannya, Gabriel.

"Sesuai dengan target anda, Tuan. Kenaikan mencapai 25% dari bulan sebelumnya. Bahkan, Tuan Alexius berencana memesan furnitur untuk hotel yang baru di bangunnya."

Mendengar itu, tidak cukup membuat seorang Nathan merasa puas. Nathan ingin meningkatkan kualitas lagi produk furnitur miliknya. Baru-baru ini, Nathan bekerjasama dengan pengusaha kayu di Indonesia. Rencananya, ia akan mengimport bahan baku untuk furnitur yang terbuat dari kayu jati grade A dari Indonesia yang memiliki kualitas tertinggi.

"Setelah pertemuan nanti, kau hubungi Tuan Ardi. Katakan padanya, awal bulan depan aku akan mengunjunginya."

"Baik, Tuan." Patuh Gabriel.

Pintu lift terbuka di lantai 12, kedua pria yang terpaut 10 tahun itu keluar menuju aula, untuk melakukan pertemuan dengan beberapa tim divisi.

"Oh ya, Tuan."

"Ada apa Gabriel?"

"Nona Joana sudah dalam perjalanan menuju Bern, dan saya juga sudah menyampaikan pesan anda, meminta Nona Joana untuk datang ke kantor besok pagi." Terangnya.

Nathan mengangguk, "apa kau sudah mencarikan tempat tinggal untuknya?"

"Sudah, Tuan."

"Kerja yang bagus," Nathan tak segan melayangkan pujian kepada orang kepercayaan itu yang sudah bekerja dengannya selama 9 tahun.

Sebelum memasuki ruang rapat, Nathan merapikan lagi penampilannya. Ia mengenakan setelan jas hitam, sepatu kulit mengkilap, serta jam Rolex yang melingkar di pergelangan tangannya ikut serta dalam menambah aura mahal dari sang direktur utama.

Saat Nathan memasuki ruang rapat, direktur dari berbagai divisi berdiri menundukkan kepala memberi hormat. Nathan melanjutkan langkah, pria itu duduk di kursinya. Sedangkan Gabriel berdiri tidak jauh dari Nathan.

Rapat pun dimulai. Victor dari ketua tim desain menjelaskan detail furnitur yang akan diproduksi dengan menggunakan kayu jati. Nathan memperhatikan desain klasik yang dibuat Victor. Kali ini, furnitur yang didesain memiliki detail ukiran yang sangat indah. Sesuai dengan harapan Nathan.

"Luar biasa. Aku tidak meragukan kemampuanmu Victor. Awal bulan depan, kau ikutlah denganku ke Indonesia. Kita akan menemui Tuan Ardi."

"Baik, Tuan Nathan."

Rapat yang memakan waktu dua jam itu akhirnya selesai. Nathan menempati ruang kerjanya, dan memeriksa berkas yang berada di atas meja. Dering ponsel membuat konsentrasi Nathan teralihkan. Nathan mengeluarkan ponsel dari saku jas, ia menghela napas panjang, ketika melihat siapa yang menghubunginya. "Menganggu saja, " dan Nathan memilih mengabaikan panggilan itu.

.

.

.

Kaki jenjang berbalut sepatu kets berwarna putih itu nampak melangkah cepat keluar dari kereta yang di ditumpanginya. Sambil menarik koper menuju pintu keluar, Joana mengedarkan pandangannya. Ia melihat orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya.

"Akhirnya sampai juga." Batinnya.

Merasakan getaran dari dalam tasnya, Joana mengeluarkan benda pipih itu dan menerima panggilan. Kenz yang menghubunginya.

"Halo, Tuan Kenz," sapa Joana.

"Maafkan saya, Nona. Saya terjebak macet karena ada kecelakaan. Apa Nona tidak masalah, jika menunggu?"

"No problem, Tuan. Aku akan menunggu di lobi." Jawab Joana.

Begitu panggilan berakhir, Joana masuk ke cafe yang berada di stasiun. Kebetulan hari sudah menjelang siang. Joana memesan ayam tepung, dan kentang goreng untuk di makannya nanti ketika ia sampai di apartemen. Tak lupa, ia juga membelikannya untuk Kenz.

Butuh 10 menit menunggu, hingga akhirnya pesanannya selesai. Joana menepati kursi yang berada di lobi. Sambil menunggu Kenz, ia memainkan ponsel, memberi kabar kepada Ibunya, jika ia sudah sampai.

"Nona Joana."

Suara bariton itu membuat Joana mengalihkan tatapannya pada sosok pria berjas yang berada di depannya. Pria berkacamata itu tersenyum, sambil mengulurkan tangannya.

Joana ikut tersenyum membalas senyuman pria itu. "Tuan Kenz? " tanya Joana. Kenz mengangguk. Joana mengulurkan tangannya juga, membalas uluran tangan pria itu.

"Maaf telah membuat Anda menunggu lama." Kata Kenz merasa tidak enak hati karena membuat Joana menunggu.

"Tidak masalah, Tuan Kenz." Joana lantas berdiri. Ia hendak meraih kopernya, namun pergerakannya kalah cepat. Kenz lebih dulu meraih koper Joana.

"Saya yang akan membawa koper anda, Nona. Ayo ikuti saya."

Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, mereka sampai di sebuah apartemen. Kenz memberikan kartu akses apartemen kepada Joana.

"Terimakasih, Tuan Kenz."

Kenz hanya mengangguk. "Besok pagi, saya akan datang menjemput anda, Nona. Jika anda membutuhkan sesuatu, anda bisa menghubungi saya."

"Baiklah, Tuan"

"Kalau begitu saya permisi, Nona. Selamat siang."

"Selamat siang, Tuan Kenz." Balas Joana

Usai kepergian Kenz, Joana membuka pintu apartemennya, lampu unit otomatis menyala. Joana tidak langsung masuk, ia berdiri di ambang pintu terkesima dengan interior ruangan apartemennya. Ada lampu led ring kristal yang menggantung di langit-langit. Sofa panjang beserta furnitur dengan warna senada dengan dinding. Lalu, lantai mengkilat yang dipijaknya berbahan marmer dengan kualitas terbaik. Bahkan apartemen tersebut dilengkapi dengan berbagai barang elektronik.

"Bukankah ini terlihat sangat berlebihan?" Batinnya. "Pasti harga sewanya sangat mahal. Aku harus mencari apartemen lain, untuk menghemat pengeluaran-ku."

Joana mengayunkan kakinya menuju dapur. Diletakkannya paper bag berisi box makanan di atas meja bar. "Wow, dapurnya sangat luas bahkan luasnya melebihi kamarku."

Setelah melihat keseluruhan dapur, Joana mencuci tangan sebelum ia menyantap makan siangnya. Sambil menikmati makan siang, ia memikirkan apa yang harus dilakukannya hari ini, karena besok ia sudah mulai bekerja.

Hari berlalu sangat cepat. Saat malam tiba, Joana membuka matanya. "Astaga aku ketiduran." Joana menggeliat di bawah selimutnya. Dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul 7 malam. Gadis itu segera bangun, dan membersihkan diri.

Beberapa saat kemudian, Joana keluar dari apartemennya. Dengan berjalan kaki, ia menuju cafe yang direkomendasikan Kenz yang lokasinya tidak jauh dari apartemen.

Hanya melewati beberapa bangunan, Joana pun akhirnya sampai di cafe yang nampak ramai. "Ck.. kenapa ramai sekali."

◉ 3

"Ck.. kenapa ramai sekali." Perasaannya tak nyaman saat ia menggenggam handle pintu. Secepatnya, Joana menepis perasaan itu.

Begitu pintu terbuka, ia menjadi pusat perhatian. Ada yang menatap kagum karena kecantikannya, dan ada pula yang menatap dirinya aneh. Aneh karena ia hanya memakai kaos over size, celana pendek, serta sendal karet, dan ya rambut coklatnya di kuncir secara asal. Penampilan sederhana ala-ala anak rumahan.

Ditatap seperti itu, apakah Joana merasa canggung? jawabannya tidak. Ia sudah sangat lapar dan Ia lebih mementingkan perutnya daripada tatapan mereka. Dengan sedikit mengangkat kepalanya, Joana merengsek masuk dengan langkah yang penuh percaya diri

Joana masuk semakin ke dalam. Melihat meja kosong yang berada di sudut ruangan, Joana mempercepat langkahnya. Ia duduk, bersamaan itu ada seseorang yang juga melakukan hal serupa. Sontak membuat Joana mengangkat kepalanya. Begitu juga pria itu.

Pria menawan, dengan sepasang mata berwarna biru. Sepasang mata yang mengagumkan, membuat siapa saja yang menatapnya akan tenggelam. Dan itulah yang dirasakan Joana.

"Eghm.. Ini tempat ku, Nona!" Hingga suara bariton pria itu menarik kesadaran Joana. Suara bariton, pelan namun terdengar tegas itu sanggup menambah tempo detak jantungnya.

Joana mengerjapkan mata. "A-apa yang anda katakan, Tuan?" Sahut Joana dengan gugup. Oh tatapan pria itu sangat memukau.

"Ini tempatku. Sebaiknya, kau carilah tempat lain."

"Aku yang menemukan meja ini lebih dulu, Tuan. " Timpal Joana masih bisa bersikap setenang mungkin. Barangkali pria itu akan mengalah, atau mengajaknya duduk bersama, itu akan menjadi rejeki untuknya.

"Aku yang lebih dulu." Nathan menyambar buku lalu melihat-lihat daftar menu tidak perduli dengan gadis yang masih duduk di depannya.

"Kenapa kau masih disini?" Tanya Nathan, matanya melirik ke arah Joana. "Pergilah!" Nathan mengusir secara elegant. Gayanya yang sok cool, terlihat menyebalkan. Seketika Joana menyesal memuji pria itu.

"Kau mengusirku?!" Joana meninggikan suaranya satu oktaf membuat pria itu kembali menatapnya. Berani-beraninya pria itu mengusirnya. Memangnya siapa dia? apa dia seorang bos?? atau dia anak presiden? atau anak sultan. Apapun status pria itu, Joana tidak perduli.

"Ya, aku mengusir-mu." Ulang Nathan dengan acuh.

Efek lapar dan kesal, Joana tidak bisa mengendalikan lagi emosinya. Ia berdiri sambil mengebrak meja. "Brakkk..." Sontak, tindakannya tersebut mengundang rasa penasaran para pelanggan. "Aku tidak mau!" Tolak Joana bersikeras. Jika pria itu tidak mau mengalah, pun demikian juga dengannya. Harga diri segalanya, genk.

"Akulah yang mendapati tempat ini lebih dulu." Tambah Joana. Persetan dengan wajah rupawan bak pangeran, Joana tidak terima diperlakukan buruk seperti pria itu lakukan terhadapnya.

Apa yang dilakukan pria itu, telah menjatuhkan harga dirinya. Ini tidak bisa dibiarkan, dan tidak bisa di maafkan.

"Kau sangat berani sekali." Pujinya dengan nada mengejek. Nathan menarik satu sudut bibirnya, menatap Joana dengan tatapan menilai. Ia bisa melihat amarah yang ditunjukkan gadis itu.

"Tentu saja, jangankan menggebrak meja. Aku bisa menarik-mu sampai ke puncak gunung Alpen lalu mendorongmu hingga kau terjatuh dan bertemu dengan malaikat kematian!"

Mendengar itu, Nathan tergelak. Ucapan gadis itu cukup menghiburnya. "Leluconmu lucu sekali, Nona. Apa kau seorang pelawak, hmm? " satu alisnya terangkat, serta sudut bibirnya tertarik keatas.

"Tutup mulutmu, urusan kita belum selesai Tuan."

"Urusan selesai, jika kau pergi dari sini Nona. Huss."

"Kau pikir aku ini seekor ayam!"

"Ada apa ini? Tuan, Nona. " Dari belakang Joana, nampak seorang pria berjalan mendekati mereka. Yang bertanya adalah sang pemilik cafe.

Keduanya kompak menoleh ke sumber suara itu. Joana tersenyum, kemudian ia membuka suaranya. "Tuan ini... telah membuat masalah, Tuan." Katanya sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arah pria itu.

Joana pun mulai menceritakan yang terjadi, berharap penuh jika sang pemilik cafe membelanya. "Aku lebih dulu menemukan meja ini. Dan Tuan ini, telah mengklaim, mengatakan bahwa dia yang menempati meja ini lebih dulu."

"Memang aku duluan yang menemukan tempat duduk ini, " timpal Nathan. "Lihatlah, aku yang duduk disini."

"Kau!!" hidung Joana kembang kempis. Menatap pria itu dengan tatapan laser. Hampir saja ia mengeluarkan kalimat makian dari mulutnya. Tapi akhirnya ia berhasil menahan diri.

"Begini saja Tuan, Nona." Sang pemilik cafe mencoba untuk menengahi. "Karena kalian sama-sama sendiri, bagaimana jika kalian duduk bersama?"

"Tidak mau!" Jawab keduanya serempak.

"Aku tidak sudi, duduk satu meja dengannya." Tambah Joana.

"Aku juga, " timpal Nathan.

Sang pemilik cafe nampak berpikir, dia bimbang harus berbuat apa. Di satu sisi, Nathan adalah pelanggan tetap cafenya, di sisi lain Joana adalah pelanggan barunya.

"Nona sebaiknya anda mengalah." Akhirnya keputusan itu menguntungkan Nathan, dan merugikan Joana. Lihatlah pria itu tersenyum senang karena merasa menang, dan menambah rasa jengkel Joana.

"What!!" seru Joana kesal karena keputusan sang pemilik cafe yang menurutnya tidak adil. Joana menghembuskan napasnya dengan gusar, selera makannya menghilang seketika.

"Saya akan memberikan potongan harga, sebagai kompensasinya, Nona. Bagaimana?"

"Aku sudah tidak berselera." Joana menghentakkan kakinya, menuangkan amarahnya. Namun naas, saat melakukannya, kaki Joana terkilir membuatnya terjatuh tepat diatas pangkuan Nathan dengan posisi menyamping. Ea..

Joana, dan Nathan saling melempar pandang. Sialnya, Joana kembali terhipnotis dengan pesona pria itu, dan jantungnya memacu dengan sangat cepat.

"Sepertinya, kau memilih duduk diatas pangkuanku." Kelakar Nathan yang di iringi gelak tawa pelanggan cafe yang memerhatikan mereka sejak tadi.

"Apa? " Joana masih duduk diatas pangkuan Nathan, bahkan satu tangannya berada diatas bahu pria itu.

"Apakah senyaman itu duduk diatas pangkuanku, Nona? sehingga kau tidak beranjak." Bisiknya di dekat bibir serta napasnya berhembus menyapu wajah gadis itu.

"Aaaaa!!" Seru Joana, tersentak. Ia bangun, dan mundur beberapa langkah, menjauhi pria itu. Astaga, bisa-bisanya ia tidak menyadarinya.

Sial, benar-benar sial. Untuk pertama kalinya ia mengalami kejadian memalukan dalam hidupnya. Semua karena pria itu. Ya pria menawan itu pembawa sial. Pasti itu penyebabnya.

Joana menyapu pandangannya, rasa-rasanya ia ingin menenggelamkan dirinya ke dasar laut atau bersembunyi di dalam hutan Amazon. Sungguh, ia menyesal mendatangi cafe ini. Sudah mendapatkan perlakuan tidak baik, tidak mendapatkan pembelaan dari sang manager cafe, dan sekarang orang-orang menertawakannya karena kecerobohannya.

Joana menatap pria itu, pria tampan minim akhlak. Penilaian Joana tentang pria itu. Seandainya, pria itu tidak ada disini, ia tidak akan mengalami hal yang memalukan. Pengalaman yang akan sulit dilupakan sepanjang hidupnya. "Aku berharap, semoga kita tidak bertemu lagi, Tuan."

"Perlukah aku mengamini harapanmu agar terkabul?"

"Whatever." Sahut Joana acuh. Dalam keadaan marah, Ia melangkah sangatlah cepat mengabaikan rasa sakit di area kakinya.

Joana mengayun kakinya diatas trotoar sambil menggerutu. Ia teringat lagi kejadian yang baru saja dialaminya. Bagaimana pria itu meledeknya, senyuman sang manajer cafe. Bahkan, orang-orang yang melihat kejadian tadi, menertawakannya. Joana berjanji pada dirinya sendiri tidak akan menginjakkan kakinya disana lagi meskipun ditraktir sekali pun.

"Sebaiknya, aku pulang ke apartemen dan menghubungi Mom." Perutnya tiba-tiba berbunyi, ia pun memeganginya. "Hais, kenapa aku jadi lapar lagi. Oh Mom, putrimu yang cantik sangat merindukan masakanmu."

.

.

.

▣ VISUAL CAST AKU N NATHAN.. EH 😜

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!