"Sudah pagi, bos."
Sandra menyingkap tirai kamar. Mempersilakan cahaya matahari masuk menyinari sebagian tempat tidur yang tampak berantakan. Sama seperti pria yang masih enggan bangun dari peraduannya.
Sandra sendiri sudah rapi dan bersiap bekerja, di sebelah gedung apartemen yang di tempatinya sekarang.
"Hari ini saya tidak ada meeting penting yang harus saya pimpin jadi saya masih bisa istirahat, Sandra."
Damian menutup wajah dari silaunya cahaya matahari yang mengenainya. Rasanya masih begitu nyaman berada di atas kasur empuk yang menjadi penghilang segala lelahnya.
"Memang tidak ada, bos. Hanya saja Papa mertua bos sedang dalam perjalanan menuju kantor."
Sandra menyerahkan ponsel Damian, memperlihatkan pesan yang dikirimkan Papa Noval. Damian menerimanya lalu dengan malas beringsut duduk di tepi tempat tidur. Kembali menyerahkan ponselnya pada Sandra sembari menatapnya.
"Kau itu seperti obat tidur."
Senyum lebar terbit dari wajah cantik Sandra. "Saya senang bos bisa istirahat dengan baik."
Kemudian Damian bangkit, mendekati Sandra lalu berdiri tepat di depannya. "Untuk semua yang kau miliki, sungguh sangat sempurna."
Sandra hanya tersenyum puas atas pujian bos Damian sekaligus senyum menahan geli akibat tangan Damian yang sudah meremas bokongnya. Pria itu segera menghilang di balik pintu kamar mandi. Karena dia tidak bisa mengabaikan kedatangan Papa mertuanya.
Burger dan segelas teh hangat dicampur madu sudah siap di meja makan. Menyambut kedatangan Damian yang langsung duduk di hadapannya.
"Kau tidak ikut sarapan?."
"Nanti saja di kantor, sayang kalau harus membuang sarapan yang selalu dibuat Leo."
"Kau sangat jujur, itu yang sangat saya suka. Kau bisa menghargai orang lain tanpa harus menerima perasaan pria itu."
Sandra hanya tersenyum samar.
Mereka pun keluar apartemen bersama, tapi kemudian mereka berpisah di lantai yang berbeda. Sebab Sandra harus sarapan di kantin bawah bersama Leo. Sandra tersenyum saat melihat pria baik itu sudah menunggunya.
"Sudah lama?."
Leo menggeleng sembari tersenyum tanpa ada yang ditutupi. "Baru tiga puluh menit."
Sandra merasa tidak enak hati. "Itu sudah lama, bukan baru."
Kemudian Sandra membuka kotak bekal makan yang sudah ada di hadapannya. Lalu mulai memakannya dengan sangat lahap.
"Seperti biasa, makanan yang kau buat selalu luar biasa lezat."
Leo tersipu malu karena pujian perempuan yang sangat dicintainya. "Aku senang kau menyukainya."
Sandra mengangguk bersemangat. "Hmmm."
*
"Juwita mengeluh padaku kau sudah jarang pulang ke rumah. Ada apa dengan hubungan kalian? Kalau ada apa-apa kau bisa bicara padaku."
Papa Noval mendapatkan pengaduan dari putri tersayangnya perihal Damian yang sudah mulai jauh dari keluarga. Sebagai seorang Papa, tentu saja menginginkan yang terbaik untuk putrinya. Papa Noval harus turun tangan mengembalikan kebahagiaan dan keharmonisan keluarga putrinya.
"Hubungan kami baik-baik saja, tapi memang aku jarang pulang karena pekerjaan proyek baru yang minggu lalu masuk. Aku harus fokus mempelajarinya jadi aku menginap di kantor."
Tentu saja itu merupakan suatu kebohongan belaka yang tidak mungkin terendus oleh Papa mertuanya. Sebab dia sudah menyimpan rapat hubungannya bersama Alexandra yang sudah berjalan enam bulan. Dan karena juga Papa mertuanya orang yang sangat mempercayainya melebihi pada putrinya sendiri.
"Iya, kau benar. Proyek itu memang memakan banyak waktu, tenaga dan pikiran. Jadi pantas saja kau harus bekerja keras dan lebih fokus lagi."
Memang Papa Noval yang memberikan proyek itu jadi dia sangat paham dengan apa yang terjadi pada menantunya. Kemudian Papa Novel pamit pulang setelah memastikan hubungan menantunya dan putrinya tidak ada masalah yang berarti. Ini hanya putrinya saja yang menginginkan perhatian lebih dari suaminya yang sedang sibuk bekerja. Dan masih bisa diatasi dengan komunikasi yang baik.
Damian bisa bernapas dan langsung meminta Sandra ke ruangannya. Tidak berselang lama perempuan itu datang membawa catatannya.
"Nanti malam aku tidak pulang ke apartemen."
"Baik, bos."
Lalu Damian memasang wajah kesal karena Sandra selalu bicara formal saat di kantor walau hanya ada mereka berdua saja. "Di sini tidak ada orang lain, tidak perlu bersikap formal begitu."
Sandra tersenyum tipis. "Tapi ini kantor, bos. Saya tidak ingin mengambil resiko."
Bukannya mengerti dengan alasan Sandra, jutsru Damian semakin merajuk dengan meminta jatah untuk melakukan adegan di dalam ruangan kerja itu. Tentu saja Sandra menolaknya, bagaimana juga dia tidak mau mengotori tempat mencari rezekinya.
Kembali Damian merajuk, membujuk Sandra supaya luluh dan bertekuk lutut menuruti keinginannya. "Sekali saja, Sandra. Saya jamin tidak akan ada mengetahuinya."
Tapi Sandra perempuan yang cukup berpegang teguh pada prinsip dan pendiriannya. Damian hanya bisa gigit jari saat Sandra menggelengkan kepala, menolak mentah-mentah keinginannya.
Yang terjadi di dalam ruangan kerja Damian menjadi hening setelah penolakan Sandra. Tidak lama pintu pun ada yang mengetuk.
Tok Tok
"Masuk!."
Lantas Leo masuk membawa beberapa berkas di tangannya. Berjalan melewati Sandra yang ada di sana. Mengabaikan rasa perih di hatinya karena dia tahu hubungan spesial Sandra dengan bos mereka.
"Ini keuangan yang Pak Damian minta."
"Oke, kau bisa kembali bekerja."
"Baik, Pak."
Leo pun pergi dari sana tanpa menoleh pada Sandra.
"Kalau tidak ada yang lain, saya pamit."
Damian menatapnya tajam. "Kau mau menyusulnya?."
"Iya."
Sandra tidak main-main dengan ucapannya. Dia segera berjalan setengah berlari supaya bisa mengejar Leo.
Dari kursi kebesarannya Damian melihat punggung Sandra yang menghilang di balik pintu. Baginya, Sandra tidak lebih dari perempuan yang dapat menghilangkan rasa penatnya. Mampu memenuhi kebutuhan biologisnya tanpa adanya ikatan.
*
"Papa..."
Sambutan hangat disertai suara nyaring didapatkan Damian dari putri kecilnya, Aurora.
Senyum Damian pun begitu lebar, menyambut tubuh mungil yang berlari ke arahnya. Menangkapnya lalu memeluknya. "Sayang..."
Juwita yang datang menyusul Aurora memasang wajah semringah karena suaminya pulang. Akhirnya mereka bisa menghabiskan waktu bersama di atas tempat tidur.
"Kau senang Papa pulang?."
Juwita mengusap rambut panjang putrinya yang dikepang dua.
"Iya, Mama."
"Papa sudah pulang dan sekarang kita ke kamar Aurora, katanya ada yang mau kau tunjukkan pada Papa."
Aurora tersenyum sembari mengangguk. Setibanya mereka di kamar, Aurora turun dari gendongan sang Papa. Membuka laci meja belajar, mengambil sesuatu dari sana lalu menujukkannya pada Papanya.
Sebuah gambar yang terdiri dari tiga orang, Papa Damian, Aurora dan Mama Juwita. Mereka bertiga bergandengan tangan dengan wajah penuh kebahagiaan.
"Aku juara satu, Papa."
"Kau akan menjadi seorang pelukis terkenal, sayang."
"Terima kasih, Papa."
"Iya, sayang."
Papa dan anak itu kembali berpelukan dan Juwita meninggalkan mereka berdua untuk menyiapkan makan malam romantis bersama suaminya.
Pelukan mereka terlepas, Aurora memegangi tangan Papanya kuat-kuat. "Terima kasih, Papa. Karena sudah sangat menyayangiku walau Papa tahu aku ini bukan putrimu."
Deg
Sejenak Papa Damian tertegun, menatap wajah putrinya yang begitu polos tanpa dosa. Bagaimana bisa anaknya mengetahui rahasia yang sudah disimpannya selama enam tahun ini. Rahasia yang terus menggerogoti hatinya hingga dia sangat membencinya istrinya. Bahkan dia sampai melakukan perselingkuhan dengan Alexandra. Membenarkan perbuatannya karena rasa sakit hatinya yang tidak kunjung sembuh. Padahal, Juwita adalah perempuan pertama yang teramat sangat dicintainya setelah kepergian Mamanya.
Lamunan itu segera sirna kala tangan kecil Aurora menyentuhnya lembut. Pandangannya kembali fokus pada sang putri.
"Papa tidak salah dengar?."
Aurora menggeleng. "Tidak, Papa."
Kemudian anak berusia enam tahun itu menundukkan wajahnya. "Aku mendengar pembicaraan Mama dan dokter Anna. Mereka membicarakannya kalau aku bukan anak Papa.
Aurora terdiam, pun dengan Papa Damian. Yang kemudian Aurora kembali bercerita. "Mama sendiri tidak mengetahui keberadaan Papa biologisku, jadi Mama terpaksa dan sengaja mengakui aku sebagai putri Papa."
Papa Damian yang tersentuh dan terenyuh dengan kata-kata anaknya, langsung saja dia membawa tubuh mungil itu ke atas pangkuannya. Memeluknya sangat erat, mengecup pucuk kepalanya dengan sayang, mereka pun kini saling bersitatap.
"Walau begitu, kau akan tetap menjadi putri kesayangan dan menanggung Papa."
"Terima kasih, Papa."
"Dan ingat, jangan katakan apapun pada Mamamu. Anggap saja kau tidak mengetahuinya."
Aurora mengangguk kecil dalam pelukan Papanya.
*
Damian sudah berada di dalam kamar bersama sang istri. Juwita sudah berdandan sangat cantik untuk menggoda Damian. Kembali membawa pria itu ke atas tempat tidur yang sudah terasa sangat dingin semenjak kesibukan kantor mengambil alih Damian.
"Masih ada waktu sebelum kita makan malam, sayang."
Tapi seperti yang sudah-sudah Damian selalu memberi jarak kepadanya.
"Kau mengatakan pada Papa bahwa hubungan kita baik-baik saja. Tapi apa yang aku dapat sekarang? Aku sangat menginginkan dirimu tapi kau menolaknya. Apa harus aku telepon Papa dulu untuk mendapatkan apa yang aku inginkan?."
Juwita berjalan ke arah meja rias, terakhir kali di sana dia menaruh ponselnya. Belum sempat dia menghubungi Papanya, sudah lebih dulu Damian menarik pinggang rampingnya hingga mereka saling berhadapan. Lalu setelahnya...
Cup
Damian mencium bibir istrinya dengan sangat kasar namun Juwita tidak proses, malah sangat menyukainya. Dengan senang hati Juwita membalas ciuman kasar dari suaminya. Tangannya tidak tinggal diam, kini melepaskan pakaiannya sendiri dan ikut membantu melepaskan pakaian Damian.
Hubungan suami istri yang sangat diinginkannya pun terjadi. Maklum saja sudah hampir satu bulan ini Juwita tidak mendapatkannya. Nama besar Papanya sangat turut serta mewujudkan malam penuh gairah bersama suaminya. Sampai-sampai mereka melupakan makan malam mereka. Membiarkan Aurora makan ditemani pengasuhnya.
Setelah sangat puas, Juwita bangkit dari atas tubuh suaminya. Namun tidak pergi ke mana-mana. Dia merebahkan tubuh polosnya yang masih mengkilap karena keringat di samping Damian. Napasnya masih sedikit tersengal-sengal. Malam ini seperti malam pertama mereka dulu, yang sanggup melakukan hubungan intim sebanyak tiga kali dalam kurun waktu yang relatif singkat. Seperti biasa Damian sungguh sangat luas biasa perkasa.
"Aku sangat bahagia."
Tapi Damian diam saja, memendam kemarahannya. Tidak bisa menolak keinginan istrinya karena membawa nama Papa Noval. Orang yang sudah sangat berjasa besar dalam hidupnya, terlebih hidupnya pun milik Papa Noval.
"Aku tahu kau pasti sedang memiliki masalah, tapi kenapa kau tidak menceritakannya padaku?."
Tanpa kata pria itu bangun, turun dari tempat tidur lalu menuju kamar mandi. Di dalam sana dia memukul dinding kamar mandi guna melupakan kemarahan yang tadi ditahannya.
Sedangkan di tempat lain, Sandra masih asyik berbincang santai dengan Leo. Di sebuah taman yang tidak jauh dari tempat tinggal Leo.
"Kau suka taman ini?."
"Iya, di sini aku merasa tenang walau terlihat sangat ramai. Karena seperti yang kau lihat, di jam segini saja masih saja ada yang berdatangan.
"Apa kau selalu kesepian?."
Segera Sandra menggeleng. "Tidak juga, hanya sesekali saja."
Kepala Leo sedikit mengangguk, karena semua orang terkadang akan merasa kesepian. Dirinya pun terkadang seperti itu, mengingat perasaannya yang sampai detik ini selalu bertepuk sebelah tangan. Leo pun melirik jam tangannya, sudah tengah malam.
"Aku antar kau pulang."
"Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri."
"Tidak apa-apa, sampai lobi saja."
Sandra tidak bisa menolak lagi dan mereka berjalan meninggalkan taman. Setibanya di lobi, Leo mempersilahkan Sandra untuk masuk lift dan dia pun menuju rumahnya. Karena dia merupakan anak rumahan yang tidak bisa jauh dari keluarganya.
Pintu apartemen sudah tertutup, Sandra duduk di sofa. Menatap setiap sudutnya, di mana dia telah menghabiskan banyak waktu dan gaya bersama Damian. Kebodohan yang masih saja terus dilakukannya hingga sekarang ini. Dia masih sangat berat untuk pergi melepaskan pria kedua yang sangat dicintainya setelah cinta pertamanya.
Pasti rasa sepi ditemuinya setiap kali Damian tidak bersamanya. Dia akan sangat bersedih, memikirkan pria itu sedang berbahagia bersama anak istrinya. Andai saja hatinya mau menerima Leo, mungkin ceritanya akan berbeda. Dia akan sangat bahagia bisa dicintai pria sesempurna itu.
Ponselnya pun terabaikan, sama seperti dirinya. Dia hanya orang lain dalam hidup Damian, tidak pernah berarti apa-apa dan tidak akan pernah. Dia tidur dalam keheningan dengan perasaan terluka yang semakin menyiksa.
Keesokan paginya.
Sandra dan Damian tiba di kantor dalam waktu yang bersamaan. Mereka berdua berada dalam satu lift yang sama dengan posisi Damian berada di samping Sandra namun cukup berjarak.
"Kau tidak tidur?."
Sandra segera memegangi wajahnya lalu balik bertanya. "Apa itu terlihat?."
"Tidak terlihat, tapi saya mengetahuinya."
Sandra tersenyum kecil.
"Apa karena saya tidak ada di apartemen?."
Tanpa malu Sandra pun mengangguk. Tidak perlu berpura-pura tidak mencintainya karena setiap malam dia selalu mengungkapkan perasaannya pada Damian yang tidak berbalas.
Kemudian Damian menasehatinya. "Jangan dibiasakan seperti itu, tidak baik untuk kesehatan dirimu. Apalagi kau seorang pekerja profesional, jadi kesehatan itu sangat penting."
"Iya."
Lantas keduanya keluar dari lift, berjalan menuju ruangan masing-masing. Baru juga Sandra akan memasuki ruang kerjanya, sebuah perintah sudah didapatnya. "Kau langsung ke ruangan kerjaku saja."
"Baik, bos."
Kembali Sandra melanjutkan langkah kakinya sampai mereka tiba di dalam ruangan Damian. Tanpa ada aba-aba, Damian mencium lembut bibir Sandra yang berwarna merah setelah menutup pintu secara otomatis. Ciuman lembut itu tidak dapat ditolak Sandra, karena dia sangat menginginkannya. Bibir Sandra terlepas dari bibir Damian, lalu menyusuri rahang tegas dan berakhir di area leher Damian yang dipenuhi tanda merah yang telah dibuat oleh istrinya.
"Kenapa berhenti?."
"Ada banyak tanda merah yang istri bos tinggalkan sana."
Damian pun berjalan mendekati cermin dan leher itu sudah penuh dengan jejak percintaan mereka semalam.
Berulang kali Sandra membuang pikiran jelek yang sanggup merusak moodnya pagi ini. Hanya karena tanda merah di leher bosnya, tidak ada yang salah karena itu dari istrinya. Kalau dirinya yang buat baru itu merupakan suatu kesalahan yang sudah sering dilakukannya. Sandra menarik napas dalam-dalam lalu perlahan membuangnya. Dia pun mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan yang sebenarnya sudah diselesaikan.
Tok Tok
Pandangan Sandra tertuju pada benda persegi panjang itu. "Masuk!."
Muncullah Shasa sembari membawa berkas lalu duduk di depan meja kerja Sandra dengan wajah senyum penuh kebahagiaan. Mengundang tanda tanya besar bagi Sandra.
"Kenapa kau tersenyum?."
"Aku membawa proposal persiapan perayaan ulang tahun pernikahan bos Damian dan ibu Juwita."
Jujur saja Sandra tidak menyukai berita itu tapi apalah daya dia bukan siapa-siapa bagi Damian. "Apa dirayakan besar-besaran?."
"Tentu saja, sebuah villa mewah yang ada di Bali menjadi tempat mereka merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ketujuh."
Shasa menjadi salah seorang yang berantusias menyambut pesta perayaan ulang tahun pernikahan bos Damian dan istrinya. Sebab baginya itu akan menjadi ajang mencari jodoh dari kalangan orang kaya seperti bosnya. Siapa tahu ada yang tertarik padanya yang masih jomblo sampai detik ini.
"Kau tidak tertarik?."
"Lebih baik aku tidak ikut karena pekerjaanku masih banyak."
"Tapi ini sifatnya wajib bagi seluruh karyawan yang bekerja di sini. Berarti kau juga harus ikut."
Sandra terdiam, akan sia-sia saja kalau dirinya mencari alasan untuk tidak ikut.
Drt
Sebuah pesan masuk, Sandra melihatnya dan itu pesan singkat dari Damian. Kemudian dia menatap pada Shasa yang masih betah berada di ruang kerjanya.
"Kau masih mau di sini atau sudah selesai?."
Kemudian Shasa bangkit berdiri. "Kau mau pergi?."
"Hmmm, ada pekerjaan lain."
"Oke."
Mereka pun keluar ruangan bersama-sama, tapi Sandra tetap melanjutkan langkahnya menuju lift yang mampu membawanya ke apartemen. Sandra sudah tiba di apartemen tapi tidak langsung menemukan pria yang memintanya datang ke sana.
"Bos, kau di mana?."
"Aku di sini."
Sandra menoleh ke arah luar, di mana bosnya sedang berenang di siang bolong seperti ini. Dia pun berjalan menghampirinya.
"Cepatlah bergabung bersama saya di sini!."
"Tapi..."
"Saya tidak mau di bantah, Sandra!."
"Baik, bos."
Senyum semringah ditunjukkan Damian, dia selalu berhasil membuat Sandra mengikuti semua perintah sekaligus keinginannya. Perempuan itu mulai melucuti pakaiannya satu demi satu, menjatuhkan ke atas kursi, hingga menyisakan underwearnya saja.
"Lepas semuanya, Sandra!."
"Tapi..."
Sandra melepaskan underwearnya kala melihat gelengan kepala dari bosnya. Pertanda dia tidak boleh menolaknya, semuanya harus berjalan sesuai kemauannya. Tanpa mengenakan apapun Sandra mulai melangkah mendekati kolam renang. Menerima uluran tangan bosnya yang terulur.
Air kolam tidak sanggup menutupi kepolosan tubuh mereka berdua, mereka pun saling merapatkan tubuh. Menimbulkan gelenyar-gelenyar rasa yang sama-sama mereka inginkan, kepuasan.
Setiap inci dari tubuh Sandra tidak ada yang terlewat dari lidah nakal Damian. Pria itu sungguh sangat pandai membawa lawannya untuk terbang lebih dahulu. Pun dengan Sandra yang sudah mahir memainkan bibir dan lidahnya di atas kulit Damian. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Damian untuk menyusul Sandra terbang ke awan.
"Kita tidak perlu kembali ke kantor."
"Tapi semua orang sedang sibuk menyiapkan pesta ulang tahun pernikahan..."
Cup
Sebuah ciuman lembut berhasil membungkam Sandra yang sedang bicara. Damian sendiri tidak pernah suka membicarakan kehidupan rumah tangganya bersama Juwita dengan siapa pun. Terlebih dirinya sedang bersenang senang.
"Tidak ada orang lain dari pihak saya atau dirimu yang akan kita bicarakan saat kita berdua."
"Tapi itu pekerjaan yang harus segera diselesaikan."
"Saya tahu, tapi bukan kau yang harus menyelesaikannya tapi orang lain. Kau paham?."
Sandra mengangguk. "Iya."
Kemudian untuk yang kesekian kalinya mereka bercinta di dalam air tanpa takut ada yang melihat.
Sedangkan di tempat lain, kekecewaan tengah ditunjukkan Juwita saat mengetahui suaminya tidak ada di kantor.
"Aku sudah feeling, pasti ada yang sedang disembunyikan Damian."
Irena, sahabat dari Juwita bertanya. "Tapi apa? Apa mungkin menyiapkan kejutan ulang tahun pernikahan kalian?."
"Tidak mungkin, Damian sudah tidak seromantis sewaktu kami pacaran."
"Lalu apa?."
Juwita menggeleng, dia pun tidak tahu apa yang sedang disembunyikan suaminya dari dirinya.
Kemudian Irena buka suara dengan memperlihatkan wajah kekhawatirannya. "Apa kau pernah berpikir jika seorang perempuan yang sedang disembunyikan Damian?."
Segera Juwita mengangguk, karena itu pun selalu memenuhi kepalanya. Tapi belum ada bukti yang mengarah ke sana. Papa Noval sendiri tidak menemukan kalau Damian telah mengkhianatinya.
"Kau sudah mencari informasi?."
"Sudah tapi belum ada yang bisa membuktikannya."
"Kau sudah tanya orang-orang kantor?."
Juwita mengangguk tapi belum ada yang memberinya informasi apapun mengenai Damian bersama perempuan lain.
Keduanya pun diam, tampak berpikir keras.
*
"Kau menunggu siapa, Leo?."
"Kau lihat Sandra, Sha?."
"Tidak, tapi setahu aku dia ada kerjaan di luar tapi tidak ada pulang lagi ke sini."
"Sendiri atau berdua bersama bos?."
"Tadi sih berangkat sendiri."
Leo segera mengeluarkan ponselnya, menghubungi Sandra. Dia begitu khawatir pada Sandra, takut masih harus bekerja di luar sana. Dengan senang hati dia akan membantunya tanpa diminta.
Sudah berulang kali menghubungi Sandra namun masih tidak ada respon. Rasa khawatirnya semakin besar dan dia pun segera mencari informasi pada yang teman kantor yang lain.
Sementara yang sedang dikhawatirkan Leo sedang berada di atas tubuh bosnya. Mengejar kenikmatan yang sebentar lagi mencapai puncak.
"Ahhhh..."
Suara serangan keduanya menandakan mereka telah mencapai puncak bersama-sama. Dengan napas yang masih tersengal-sengal Sandra hendak turun dari atas tubuh Damian tapi segera di tahan, menahan pinggang Sandra untuk tetap berada di atasnya.
"Paling si Leo yang terus menelepon dirimu."
"Iya, aku harus meneleponnya balik."
"Tidak perlu, kau di sini saja."
"Untuk apa lagi? Kita sudah sama-sama puas."
Seketika raut wajah Damian begitu sangat kesal. Damian melepaskan pegangannya pada pinggang Sandra, mendorong tubuh polos Sandra hingga terlepas dari atas tubuhnya.
"Kalau kau peduli padanya kenapa tidak menerimanya?."
Sandra meraih jubah lalu mengenakannya, menutupi tubuh polos yang sudah banyak tanda merah. Hampir sama dengan tubuh Damian.
"Mungkin suatu saat nanti, aku akan menerimanya dan kami akan hidup bahagia."
"Kenapa harus menunggu nanti?."
Sandra tidak lagi menghiraukan kata-kata Damian, dia lebih memilih untuk masuk ke kamar mandi setelah sebelumnya membawa ponselnya. Dia segera menelepon balik Leo saat melihat ada banyak panggilan tidak terjawab dan pesan yang bernada sangat mengkhawatirkannya.
"Aku sudah di apartemen."
"Aku senang kau sudah di apartemen."
"Terima kasih kau selalu mengkhawatirkan aku, tapi itu tidak perlu karena..."
"Aku tahu kau aman bersama Pak Damian."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!