NovelToon NovelToon

Unforgotten Memories

EP: 1

Sambaran petir memecah keheningan malam, membelah langit gelap pekat dengan kilatan cahaya menyilaukan. Cahayanya menerangi seluruh penjuru sebelum kembali ditelan kegelapan. Rintik hujan sebesar biji kacang mulai turun, mengetuk kaca jendela vila dengan irama tajam, sementara udara lembap memenuhi setiap sudut kamar.

"Apa sebenarnya yang kamu mau?!" Teriakan Ethan yang mabuk menggema, mengguncang ruang yang sunyi. Tubuhnya yang tinggi besar menghimpit Violet ke dinding marmer mewah. Tangan kasarnya menekan bahu Violet yang lemah, hampir menghancurkannya.

Mengapa wanita ini begitu buta terhadap kenyataan? Sejak awal, Ethan tak pernah mencintainya. Satu tahun menikah, tak sekalipun ia menyentuh Violet. Tapi wanita itu masih juga tak mengerti?

"Aku mau kamu!" isak Violet, air mata membasahi wajahnya yang pucat.

"Ethan, aku hanya menginginkanmu... hanya kamu!"

"Menginginkanku?!" Ethan menatapnya tajam, dingin.

"Baik. Kalau itu yang kamu mau, akan kuberikan! Sampai kamu tidak menginginkannya lagi."

Baru saja kata-kata itu meluncur, tangan Ethan langsung merobek pakaian Violet dengan kasar.

Tubuh Violet terbuka di tengah hawa lembap kamar. Punggungnya ditekan ke dinding dengan brutal. Violet menggeleng, tubuhnya gemetar.

"Ethan, kenapa kamu memperlakukanku seperti ini?"

"Bukankah ini yang kamu inginkan?" Tatapan mata Ethan keji, setajam pisau. Ia memasuki tubuh Violet dengan paksa, tanpa belas kasih.

"Ugh..." Violet mengerang. Rasa sakit menjalari tubuhnya seperti disayat. Ia berusaha mendorong dada Ethan, tapi percuma.

"Kamu bilang ingin aku, bukan?" Ethan terus menekannya, mengabaikan segala tangis dan rengekannya. Nafasnya berat, gerakannya makin liar, memperlihatkan sisi paling gelap dirinya.

"Kenapa... harus begini..." lirih Violet, memandangi pria yang kini tak dikenalnya. Ia menyerah, menutup mata, membiarkan air matanya menetes tanpa henti.

Violet tak pernah menyangka, di hari tahunnya, hadiah dari suaminya adalah penyiksaan seperti ini.

Dulu Ethan memang dingin, tapi tak pernah sekejam malam ini. Kini, ia terlihat seperti iblis.

"Kenapa..." gumam Violet berulang-ulang, menatap kosong ke lampu kristal yang menggantung di langit-langit kamar.

Namun Ethan tak menjawab. Ia hanya terus menyalurkan amarah dan gairahnya tanpa belas kasihan. Kekasaran itu hampir membuat Violet pingsan.

Setelah waktu yang entah berapa lama, Ethan menghentikan aksinya. Ia menerima telepon dari seorang wanita, lalu pergi begitu saja, tanpa sedikit pun menoleh ke Violet.

Violet terbaring, menatap langit-langit kosong. Air matanya telah kering.

Saat itu juga, ia akhirnya sadar. Ethan tidak pernah mencintainya. Ia hanya memanfaatkannya, menikah untuk mendapatkan perusahaan, dan untuk menyingkirkan ibu tiri dan adik tirinya. Sekarang, semua sudah ia dapatkan. Ia tak membutuhkan Violet lagi.

Hati Violet hancur. Seperti debu. Seperti abu yang tertiup angin.

Ia bangkit perlahan, menatap surat cerai yang tergeletak di meja. Dengan tangan gemetar, ia mengambilnya.

Semua sudah dijelaskan dalam surat itu, termasuk pembagian harta. Ethan bahkan memberikan hak milik Violet tanpa banyak syarat.

Violet tersenyum pahit. Kalau ia peduli pada harta, ia tidak akan seporak-peranda itu.

Dengan tangan yang masih bergetar, ia menandatangani surat itu. Lalu berdiri, meninggalkan kamar tanpa alas kaki. Ia bahkan tidak melirik cek bank yang tergeletak di meja.

 

Empat tahun kemudian…

Di vila megah milik keluarga Wijaya, lantai marmer putih memantulkan cahaya bagaikan cermin. Meja-meja berlapis taplak merah tertata rapi, dipenuhi hidangan mewah. Para tamu berdatangan, pengusaha elite dan tokoh-tokoh bergengsi, obrolan dan tawa mereka menciptakan riuh yang elegan.

Tak semua orang bisa memilih kembali nama lamanya. Tapi ia memilih untuk meninggalkan segalanya.

Violet, nama yang menyimpan terlalu banyak luka, kini telah terkubur.

Kini, ia adalah Irish.

Malam itu, Irish melangkah anggun di antara keramaian pesta, mengenakan gaun putih sederhana namun memikat. Potongannya mengikuti lekuk tubuh rampingnya dengan sempurna, dihiasi rantai emas di pinggang dan sulaman bunga lembut di ujung kain. Seolah ia bukan tamu biasa, melainkan bunga dari taman lain yang nyasar ke dunia gemerlap ini.

Segelas wine berwarna rubi berputar perlahan di tangannya. Sorot matanya tajam, menyapu kerumunan tamu elit yang memenuhi aula besar. Hari ini adalah pesta ulang tahun Dion, putra keluarga Wijaya, pemilik perusahaan perhiasan terbesar di negeri ini.

Kehadirannya di tempat ini adalah sebuah kebetulan yang mengejutkan. Irish, desainer baru dari Perusahaan Garment milik keluarga Handoko, seharusnya tak punya tempat di pesta sekelas ini. Tapi karena rancangan terbarunya memikat perhatian manajer pusat, ia dipindahkan dari cabang Kota ke pusat di Kota Bahkan proyek penting sudah menantinya, tinggal menunggu akhir masa magang.

Empat tahun lalu, Irish pergi membawa putranya, Nathan, dan memulai hidup baru. Ia bekerja keras di kota yang asing, berjuang tanpa bantuan siapa pun. Kini ia kembali, lebih kuat, lebih siap, demi masa depan anaknya.

Namun di kota itu bukan hanya tempat kerja baru. Ini juga kota yang menyimpan satu bayangan lama. Ethan Mahardika.

Irish masih ingat hari saat mereka bercerai. Ethan menikah lagi dengan Carisa tak lama setelah itu. Pesta mereka gemerlap, tapi kabar terakhir yang didengarnya, Carisa belum juga mengandung.

Dan satu kekhawatiran Irish di hatinya.

Jika Ethan tahu tentang Vivi dan Nathan... apakah pria itu akan merebut anak-anaknya darinya?

Tidak. Irish menggenggam gelasnya erat. Ia takkan membiarkan itu terjadi. Vivi dan Nathan adalah seluruh hidupnya.

Ia menarik napas dalam, menenangkan gelombang cemas yang menekan dadanya. Kota ini luas. Kemungkinannya bertemu Ethan sangat kecil, bukan?

“Irish, kenapa melamun?” suara Wakil Direktur Hendra menyentaknya kembali ke dunia nyata. “Ayo ikut saya. Para direktur sedang menunggu.”

“Maaf, Pak. Baik pak,” jawabnya cepat.

Hendra meliriknya sejenak. Dalam benaknya, tak bisa dipungkiri, gadis ini punya pesona yang sulit diabaikan.

Mereka bergerak mendekati sekelompok pria bersetelan rapi yang sedang berbincang. Irish memperbaiki posturnya, menebar senyum manis yang terlatih.

“Direktur Anton! Sudah lama tak bertemu!” sapaan ceria Hendra menyambut pria paruh baya berwajah bulat itu.

Namun mata Direktur Anton hanya tertuju pada satu hal, Irish.

Wajah mungil itu, mata bulat yang tenang, dan senyum yang nyaris malu-malu, cukup untuk menghentikan waktu sejenak.

“Wakil Direktur Hendra,” gumamnya, matanya masih terpaku. “Siapa wanita ini...?”

...****************...

Violet 5 tahun lalu, sebelum berubah menjadi Irish..

EP: 2

"Ini adalah desainer baru di perusahaan kita. General Manager Roby sangat menyukai desainnya sejak pertama kali melihat, dan menunjuknya secara langsung untuk menghadiri pesta ini," kata Wakil Manajer Hendra. Dengan sekali pandang, ia menyadari bahwa Direktur Anton tampak tertarik pada Irish, maka ia segera menyingkir, memberi isyarat agar Irish mendekat.

"Halo, Direktur Anton, saya Irish," sapa Irish sambil tersenyum dan menjulurkan tangan untuk berjabat tangan.

"Direktur Anton adalah distributor kain terbesar bagi perusahaan kita," Wakil Manajer Hendra memperkenalkan dengan sopan.

Irish tersenyum ramah, mengangguk memahami, lalu maju bersulang dengan Direktur Anton. "Semoga kita dapat terus bekerja sama dengan baik, Direktur Anton."

Melihat senyum merekah di wajah penuh kerutan itu, Wakil Manajer Hendra pun cepat berkata, "Silakan mengobrol. Saya akan menyapa yang lain sebentar."

Begitu Wakil Manajer Hendra pergi, Direktur Anton maju mendekat hingga hampir menempel ke Irish, menyerahkan kartu namanya sambil berkata, "Nona Irish, ini kartu saya."

Aroma tubuh Irish, segar dan lembut, seolah menggelitik hati Direktur Anton.

"Terima kasih, Direktur Anton," ucap Irish sambil tersenyum manis. Ia menerima kartu nama itu dan langsung menyimpannya, lalu secara halus mundur selangkah tanpa terkesan canggung, menjaga jarak sopan.

Dalam perbincangan mereka, Irish dengan cekatan membuat Direktur Anton memahami keunggulan Perusahaan Garment Keluarga Handoko. Tak hanya terpikat penampilannya, Direktur Anton mulai mengakui kecerdasan Irish.

Setelah cukup lama berbincang, Irish pamit dengan hormat, lalu kembali ke arah Wakil Manajer Hendra.

"Huh..." Irish menghela napas sambil meletakkan gelas wine. Usahanya tidak sia-sia!

"Bagaimana hasilnya?" tanya Wakil Manajer Hendra penuh harap.

"Sejauh ini cukup baik," jawab Irish merendah. "Direktur Anton mengatakan bila perusahaan kita menambah kuota pembelian, ia bersedia menurunkan harga hingga 30%."

"Bagus!" seru Wakil Manajer Hendra puas. "Perusahaan kita memang sedang memperluas produksi. Ini akan sangat menguntungkan."

Ia menepuk bahu Irish ringan. "Mulai sekarang, urusan dengan Direktur Anton aku serahkan padamu."

Malam itu, Irish mengikuti Wakil Manajer Hendra bertemu beberapa bos besar lainnya. Ia tampil sopan dan luwes, tahu kapan harus maju dan mundur.

Setelah hampir semua orang penting ditemui, Irish merasa kepalanya berat akibat minum beberapa gelas wine. Ia tersenyum kaku karena terlalu lama bersosialisasi. Setelah meminta izin, ia pergi ke kamar mandi untuk membetulkan riasan.

Di lantai dua vila keluarga Wijaya...

Di kamar mandi pribadi keluarga Wijaya, Ethan panik menepuk punggung Carisa yang muntah terus-menerus.

"Carisa, apa kamu sudah merasa baikan?" tanyanya khawatir.

"Uhuk..." Carisa hanya mampu menjawab dengan muntahan yang menyayat hati. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca, bibir mungilnya kehilangan rona.

"Ethan, jangan terlalu cemas. Carisa hanya sedikit tidak enak badan," kata Zayn, sepupu Carisa sekaligus manajer pemasaran Perusahaan Keluarga Mahardika. Ia mencoba menenangkan Ethan meski rautnya sama gelisah.

"Aku yang salah... Seharusnya aku memintanya istirahat di rumah," sesal Ethan, menggenggam bahu Carisa lebih erat.

"Tidak apa-apa..." Carisa memaksa tersenyum meski wajahnya pucat.

"Aku... sudah baikan, Ethan... Uhuk!"

Belum selesai bicara, Carisa kembali muntah. Dadanya berguncang keras, tubuhnya tampak begitu rapuh.

Karena kelelahan semalam dan makanan pesta yang beragam, kondisi Carisa yang sudah lemah semakin memburuk.

"Setelah ini, kita pulang. Aku akan panggilkan dokter," kata Ethan dengan penuh perhatian.

"Tidak perlu..." kata Carisa lemah.

"Ini pesta sahabatmu. Aku tidak mau merusak suasana."

Zayn ikut menimpali, "Benar. Ini hari penting. Carisa sebagai istrimu, sudah sewajarnya hadir."

Namun Ethan tampak keras kepala, ia menggeleng, "Aku tetap khawatir. Carisa, ayo kita pulang, ya?"

Sebelum Carisa bisa menjawab, suara ketukan hak sepatu bergema.

Irish, yang mabuk berat dan tidak tahan antre di lantai satu, terseok-seok ke lantai dua. Matanya buram menangkap bayangan tiga orang di dalam kamar mandi.

Ethan, terlalu sibuk memperhatikan Carisa, tak memerhatikan kehadiran orang baru. Ia hanya memberi isyarat pada Zayn untuk mengusir tamu tak diundang itu.

Zayn segera menghampiri Irish.

"Nona, ini kamar mandi pribadi. Tolong keluar," katanya tegas.

"Eh? Kenapa malah ada pria di kamar mandi?" Irish mengerjap dengan mata mabuk, lalu menunjuk Zayn dengan manja.

"Yang seharusnya keluar itu kalian."

Dari kejauhan, Carisa yang lemah memandang Irish, rasa tidak senangnya terpancar jelas. Ia menatap Ethan dengan mata berkaca, berkata dengan manja, "Ethan, sepertinya dia tidak mau pergi."

Ethan membelai punggung Carisa lembut. "Aku akan mengusirnya."

Wajah Ethan berubah dingin seketika. Ia berbalik dan melangkah menuju Irish.

Sebelum sampai, suara dinginnya sudah terdengar. "Silahkan pergi."

Namun Irish hanya terkekeh kecil, menatapnya dengan berani. Dengan suara mabuk namun jelas, ia bertanya, "Kalau aku tidak pergi, bagaimana?"

Detik itu juga mata mereka bertatapan. Wajah yang familiar sekaligus asing menyerbu masuk ke dalam pandangan.

Rasanya tidak sama, tapi kenangan yang sama kembali menyeruak keluar dari dalam memori mereka.

Perbuatan Ethan yang begitu tega dan tak berperasaan 4 tahun lalu membuat hati Irish yang bergejolak kembali dipenuhi kebencian. Rasa sakit dari kukunya yang tertancap di telapak tangan membuatnya tersadar dari kekagetannya.

Ethan, selamanya ia tak bisa memaafkan pria itu, hanya saja ia tak ingin memprovokasi. Lebih baik kalau mereka berdua tak saling bertemu lagi. Kalaupun kelak mereka tak sengaja bertemu lagi, mereka tak lebih daripada orang asing saja!

Dalam sekejap, Irish berpikir banyak sekali.

Akhirnya, ia menatap Ethan sekilas dengan tatapan datar, lalu segera beranjak pergi.

Tentu saja, Ethan juga terkejut pada detik mereka bertatapan itu. Irish sudah berubah. Pipi tembemnya saat ia berusia 20 tahun saat dinikahinya dulu sudah hilang tak berbekas. Wajahnya yang sudah cantik ditambah dengan riasan tipis pun tampak makin menawan.

Yang paling utama adalah, aura Irish telah berubah. Kalau 4 tahun lalu Irish masih sekuntum bunga lili dengan butir air bercahaya, maka Irish yang sekarang adalah teratai merah yang memesona semua orang. Hanya dengan menggoyangkan kelopaknya saja, ia bisa membuat mata yang memandangnya terkesima.

Hanya saja, sepasang mata Irish yang menyorotkan kebencian itu membuat Ethan mematung, bagaimanapun, ialah yang bersalah. Pada malam 4 tahun lalu itu, ia memaksa Irish untuk meninggalkannya, dan saat ia pergi, ia tidak membawa sepeser pun.

Selama 4 tahun ini, Ethan beberapa kali teringat akan senyum bodoh di wajah Irish, juga saat Irish membuatkan sup pereda mabuk untuknya, terlebih ia teringat akan malam hujan 4 tahun lalu.

Ia menyakitinya, itu benar.

Terkadang Ethan berpikir, kalau saja Irish membawa uang ganti rugi perceraian itu, apakah ia bisa melupakannya semuanya dan tidak akan merasa bersalah?

Detik berikutnya, Irish memutuskan untuk pergi. Melihatnya pergi, Ethan seketika melangkah maju.

"Ethan!"

Saat itu juga, Carisa tiba-tiba muncul di samping Ethan, tangannya yang pucat dan kurus menggamit lengan kekar Ethan.

Carisa menyadari keganjilan pada diri Ethan. Saat matanya tertuju pada seorang wanita, paling lama tak lebih dari 10 detik.

Namun kali ini, Carisa mendapati bahwa tak hanya matanya yang menatap wanita itu lama-lama, tapi perasaannya juga sangat dalam.

Carisa mengalihkan pandangannya ke arah Irish, namun ia hanya melihat sosoknya yang buru-buru pergi. Carisa mendapati kalau postur wanita ini bagus juga, gaya berpakaiannya modern. Dilihat dari belakang, wajahnya pasti cantik!

Karena Ethan tidak pernah menyebut tentang Irish dan menghapus semua jejak tentangnya setelah ia menandatangani surat cerai, Carisa pun tak pernah berjumpa dengan Irish. Jangankan sosoknya dari belakang, kalaupun Irish berdiri di hadapannya, Carisa pun tak akan mengenalinya.

Tapi, walaupun Carisa tak mengenal Irish, sorot matanya tetap menjadi muram, meskipun ada banyak gadis yang berusaha menggoda Ethan, tapi Carisa tahu kalau Ethan tetap menjaga kesetiaannya. Tapi kenapa wanita tadi bisa menarik perhatian Ethan dengan mudah?

Carisa menoleh menatap Ethan dan bertanya seakan-akan tidak terjadi apapun, "Ethan, kamu kenapa?"

"Tidak, tidak apa-apa," Ethan segera menoleh dan menggenggam tangan Carisa di lengannya sambil tersenyum lembut.

"Wanita barusan itu, apa kamu kenal?" Carisa menatap Ethan sambil mencari tahu.

Ethan terdiam sesaat, lalu menggeleng, "Tidak."

Lima tahun yang lalu, Ethan dan Irish menikah. Demi tak membuat ia sakit hati, pernikahan itu tidak dipublikasikan, media pun tak tahu. Carisa hanya pernah mendengar tentang nama Irish saja, namun mereka belum pernah saling bertemu.

Kini mereka bertemu tanpa sengaja. Ethan tidak berencana memberitahunya tentang hal itu. Ia tahu kalau Carisa adalah orang yang mudah curiga dan sensitif. Kondisi kesehatannya sudah tak baik, akan gawat kalau sampai keadaannya memburuk karena terlalu banyak pikiran.

"Baiklah," Carisa mengangguk-angguk dan tak bertanya lagi. Hanya saja, matanya masih mengikuti arah perginya Irish.

"Ethan, lebih baik aku antar Carisa pulang terlebih dahulu. Bagaimanapun ini adalah pesta ulang tahun Tuan Dion, tidak baik kalau kau meninggalkan acara duluan," saran Zayn.

"Tapi Carisa..."

"Ethan, aku tidak apa-apa," Carisa menggoyang-goyangkan lengan Ethan dengan penuh pengertian, "Kalau tidak aku akan menahannya sampai pesta selesai. Bagaimanapun sangat tidak baik kalau kau meninggalkan acara lebih dulu."

"Tapi kondisi badanmu juga tidak memungkinkan!" Zayn sedikit panik. Ia maju selangkah dan berkata pada keduanya, "Sesuai kataku saja, Ethan di sini, dan aku akan mengantar Carisa pulang untuk beristirahat."

Ethan berpikir sejenak, lalu akhirnya mengangguk, "Hanya bisa begitu."

Ethan juga tak ingin Carisa memaksakan diri. Ia mengelus pipi Carisa, lalu berkata pelan, "Pulanglah dan jangan lupa beristirahat."

"Iya, jangan khawatir," Carisa mengecup pipi Ethan, "Sampaikan permintaan maafku kepada Dion."

"Carisa, Dion sudah tahu, kau tak usah khawatir."

"kalau begitu aku pergi dulu," Carisa tersenyum pada Ethan. Matanya yang indah dipenuhi rasa cinta.

Setelah berpamitan dengan Ethan, Carisa pun pergi dengan dituntun Zayn.

Setelah menuntun Carisa sampai ke limusin Rolls-Royce, Zayn tidak duduk di kursi kemudi, melainkan duduk di samping Carisa.

Zayn melihat sekelilingnya, lalu menarik pundak Carisa dan bertanya dengan penuh perhatian, "kenapa tiba-tiba lambungmu sakit? Apakah sekarang sudah lebih baik?"

"Cepat singkirkan tanganmu, sekarang kita sedang berada di luar!" Tubuh Carisa bergetar, ia segera menepis tangan Zayn dari pundaknya.

"Bukankah tak ada orang di sekitar sini?!" Zayn menoleh dan menatap sekelilingnya. Melihat tangannya disingkirkan oleh Carisa tanpa ragu, ia berkata dengan nada amat sedih dan kecewa.

"Tidak boleh juga! Kalau sampai dilihat orang, matilah kita berdua!" Wajah Carisa yang awalnya pucat jadi sedikit memerah karena tegang, "Zayn, kau harus hati-hati sedikit."

"Carisa, apa kamu tahu betapa menderitanya aku? Aku melihatmu sakit namun tak bisa menjadi yang pertama untuk memedulikanmu, apa kamu tahu betapa sedihnya diriku? Demi kamu, aku harus berpura-pura menjadi kakak sepupumu. Setiap hari aku melihatmu bermesraan dengan Ethan, namun aku tak bisa melakukan apa-apa, aku sangat menderita!" Zayn menatap wajah cantik Carisa yang juga tampak pucat itu, lagi-lagi ia menggenggam pundak Carisa dengan emosi yang menggebu-gebu.

"Aku sudah bilang, selamanya kita tak akan mungkin bersama. Aku juga sudah pernah memberitahumu, kalau kamu tidak ingin berada di sampingku, kamu boleh pergi!"

...****************...

Ethan Mahardika..

EP: 3

"Carisa, kamu tahu aku tak bisa meninggalkanmu!" Zayn menatap Carisa dengan tatapan penuh rasa sakit, alisnya terangkat seakan membentuk lembah gunung.

"Kalau begitu, diamlah! Jadilah kakak sepupuku yang baik! Jadilah manajer perusahaan yang bisa di andalkan, dan pengurus vila yang becus Nikmati saja kehidupan mewahmu itu!" Carisa memelototi Zayn dengan mata penuh kebekuan, suaranya tajam dan dingin.

Zayn memandang wajah Carisa yang tanpa ekspresi itu, dan perlahan menundukkan kepala. Sudah empat tahun sejak Carisa menikah dengan Ethan. Selama empat tahun itu, setiap hari ia melihat bagaimana Carisa dan Ethan hidup saling melekat satu sama lain, penuh cinta, hingga rasanya seperti ada yang sobek dalam hatinya.

Meski ia bisa mencuri waktu saat Ethan pergi untuk menghabiskan waktu bersama Carisa, kemesraan sesaat itu tidak pernah cukup untuk mengobati sakit hati yang ditimbulkan oleh Carisa dalam empat tahun terakhir ini.

Apa yang lebih hebat dari Ethan? Ia dan Carisa baru bertemu di bangku kuliah, sementara dirinya sudah melindungi Carisa sejak ia mengenal dunia! Ia melihat Carisa tumbuh dari sekolah dasar, sekolah menengah, hingga kuliah. Dia selalu ada di sampingnya, melindungi, mencintainya.

Sedangkan Ethan? Selain kaya, berkuasa, dan tampan, apa lagi yang dimilikinya? Kenapa Ethan bisa membuat Carisa menerima segala kepahitan?

"Zayn, jangan buat aku kesulitan, ya?" Nada suara Carisa sedikit melunak saat melihat tatapan sedih di mata Zayn. Ia meraih wajah Zayn dengan kedua tangannya, menatap matanya dalam-dalam. "Zayn, kamu sudah berjanji padaku untuk melindungiku seumur hidup. Apa pun yang aku inginkan, kamu pasti memberikannya."

"Ya, aku pernah berjanji padamu, dan aku akan menepatinya," jawab Zayn dengan suara penuh kepedihan. Dia mencintai Carisa sejak kecil, bahkan jika dia memintanya untuk mati, dia rela melakukannya.

Jadi, kenapa masalahnya jika Carisa bersama pria lain? Setidaknya, dia masih bisa melihat gadis itu.

Dengan perasaan yang sedikit lebih tenang, Zayn menarik napas panjang dan memaksakan senyuman, "Carisa, maafkan aku tadi. aku terlalu terbawa emosi."

"Tidak apa-apa," Carisa menggoyangkan kepalanya sedikit.

"Aku tahu kamu begitu karena peduli padaku," ujarnya, memberi pengertian.

"Ya, aku akan mengantarmu pulang ke vila untuk beristirahat!" Zayn mengangguk-angguk, lalu turun ke kursi kemudi.

Carisa duduk di kursi belakang, bibirnya sedikit tersenyum, puas melihat Zayn yang bergegas mengantarnya pulang.

Begini juga baik. Ada seorang pria yang rela mati untuknya, dan seorang pria lain yang ia sukai. Ditambah lagi dengan pria kaya dan berkuasa yang memeliharanya. Apa lagi yang perlu dikejarnya?

Namun, seiring ia teringat akan kehangatan yang diberikan Ethan padanya, hati Carisa dipenuhi rasa puas.

Tapi tiba-tiba, sosok wanita di kamar mandi itu muncul di pikirannya, wanita yang tampaknya telah menarik perhatian Ethan.

Meski Carisa tidak bisa mengingat dengan jelas wajah wanita itu, melihat Ethan yang tampak melamun membuat Carisa tak bisa mengabaikannya.

Carisa menggertakkan giginya. Dia merasa perlu untuk mengantisipasi ini. Jika wanita itu sudah menarik perhatian Ethan, maka, demi menjaga posisinya, langkah terbaik adalah memastikan wanita itu tidak pernah muncul di depan Ethan lagi.

Dengan tatapan tajam, Carisa menatap Zayn yang sedang fokus menyetir, lalu berkata, "Zayn, kamu masih ingat wanita yang barusan kita lihat di kamar mandi?"

"Wanita yang mana?" Zayn mengernyitkan dahi, tidak ingat akan wanita itu. Selama ini, baginya hanya ada Carisa.

"Wanita yang memaksa masuk saat aku sakit perut tadi," jawab Carisa, matanya berbinar, menyiratkan sesuatu yang tak biasa.

Zayn teringat sedikit, "Oh, ya, ingat sedikit. Kenapa?"

"Bantu aku mengurusnya. Karena Ethan tampaknya melihatnya dengan tatapan berbeda, aku harap wanita itu tak pernah muncul lagi di hadapan Ethan."

Di wajah Carisa yang cantik itu muncul ekspresi yang tidak biasa, penuh kebencian, seolah tak sesuai dengan sifat biasanya. Biasanya, ia tak akan mengambil tindakan terhadap wanita yang mendekati Ethan, tapi wanita ini berbeda.

"Carisa, jangan terlalu berlebihan," Zayn menatap wajah cantik Carisa lewat kaca spion. Ia berpikir, apakah dalam hatinya, Ethan begitu penting baginya?

"Zayn, kamu baru saja berkata, apa pun yang aku minta, kamu akan melakukannya," Carisa menekan, memandangnya dengan tatapan penuh harapan. "Apa itu semua hanya omong kosong?"

Mendengar nada kecewa Carisa, Zayn pun panik. "Carisa, bagaimana aku bisa membohongimu? Kamu tahu aku selalu berusaha untuk kebaikanmu."

"Kalau begitu, bantu aku kali ini. Bantu aku mengusir wanita itu dari kota H!" Carisa berkata dengan tegas.

Zayn menarik napas panjang, mengangguk pelan. "Baik, setelah aku mengantarmu ke vila, aku akan segera mengurusnya."

"Jelaskan dulu apa rencanamu," Carisa masih belum merasa tenang dan meminta penjelasan rinci.

Zayn membasahi bibirnya dan menjawab dengan pasrah, "Sama seperti dulu, aku akan memeriksa tempat kerja wanita itu, lalu memberitahu atasan mereka bahwa Ethan ingin dia pergi."

Zayn berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, "Aku juga akan mengirimkan informasi ke perusahaan-perusahaan lain. Semua perusahaan yang terkait dengan desain pakaian harus menghindari mempekerjakannya. Sebaiknya, kita memaksa wanita itu untuk keluar dari kota H."

Mendengar penjelasan Zayn, Carisa akhirnya merasa sedikit lega.

"Terima kasih, Zayn," ucapnya dengan senyuman.

Zayn hanya mengangguk ringan, tidak mengucapkan apapun. Ia hanya menanggapi ucapan terima kasih Carisa dengan desahan halus.

---

Setelah Ethan selesai melayani beberapa bos yang ingin berbicara dengannya, ia pun mencari sudut ruangan yang sepi untuk duduk dan menikmati anggur dalam diam.

Tatapannya melayang, mengikuti orang-orang yang berlalu-lalang. Namun, pikirannya masih terfokus pada kondisi Carisa.

Pada saat yang sama, kenangan akan pertemuannya dengan Irish di kamar mandi kembali menghantui benaknya.

Empat tahun sudah berlalu.

Malam itu, dalam keadaan marah dan mabuk, ia melukai Irish. Sejak saat itu, Irish menghilang dari hidupnya.

Baginya, pernikahannya dengan Irish hanya satu kata, memanfaatkan.

Namun, perlahan ia mulai menyadari, tak peduli seberapa dinginnya sikapnya pada Irish, gadis itu selalu menghadirinya dengan senyum cerah yang sulit untuk tidak dicintai.

Saat ia memberikan surat perceraian kepada Irish, ia tidak bisa melupakan wajah sedih dan kecewa gadis itu. Perasaan sesal mulai memenuhi dadanya ketika ia kembali ke vila dan menemukan surat cerai yang sudah ditandatangani, bersama dengan cek yang disertakan.

Empat tahun kemudian, hari ini, Irish telah menjadi orang asing baginya. Orang asing yang membencinya.

"Biarlah, kita tetap jadi orang asing saja," pikir Ethan, menetapkan keputusan ini dengan perasaan campur aduk, entah itu kerinduan pada Irish atau penyesalan yang menggerogoti hatinya.

"Hei, bos besar kita ini sedang apa sedang apa? sepertinya pikirannya sedang penuh." suara Dion, manajer umum Perusahaan Wijaya menyadarkannya. Dion mengenakan jas biru muda yang mencolok dan memegang segelas cocktail biru muda. Ia berjalan mendekat ke arah Ethan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!