Hujan turun deras membasahi kota Seoul sore itu. Di antara laju kendaraan dan lalu lintas manusia yang terburu-buru, berdirilah seorang gadis muda yang menggenggam map cokelat berisi surat lamaran kerja. Payung kecilnya sudah nyaris tak mampu menahan derasnya air. Tapi ia tetap melangkah mantap ke dalam gedung megah bertuliskan: HY GROUP.
Lee YN. 23 tahun. Lulusan terbaik dari Universitas S dengan jurusan manajemen bisnis. Yatim piatu sejak lima tahun lalu, dan sejak itu bekerja sambilan demi menyambung hidup serta menyelesaikan kuliah. Kini, ia berdiri di ambang pintu kesempatan terbesar hidupnya.
“Selamat siang. Saya ada jadwal wawancara untuk posisi staf administrasi,” ucapnya sopan kepada resepsionis.
Wanita itu menatapnya sekilas sebelum mengecek daftar. “Tunggu sebentar. Ruang 1202. Lantai 12. Pakai lift sebelah kanan.”
YN mengangguk, mengucap terima kasih, lalu menuju lift. Sementara itu, dari lantai paling atas, seorang pria tengah berdiri menatap keluar jendela besar dengan kedua tangan di saku celana. Setelan jas hitamnya sempurna membingkai tubuh tegap dan auranya yang dominan. Tatapannya tajam, dingin, dan tak terbaca.
Dia adalah Min Yoongi, CEO muda berusia 29 tahun yang mengambil alih HY GROUP setelah kepergian ayahnya. Di tangannya, perusahaan itu berubah drastis. Laba melonjak, nama perusahaan menanjak, dan reputasinya sebagai bos kejam tersebar ke seluruh pelosok kantor.
Tak ada yang berani menentangnya. Sekali salah, langsung dipecat.
“Pak Min, daftar final pelamar posisi staf sudah disetujui,” ujar sekretarisnya yang berdiri sopan di balik meja. “Wawancara tahap akhir sedang berlangsung.”
Yoongi hanya mengangguk tipis, lalu kembali pada berkas di tangannya. Hingga satu nama di sana menarik perhatian.
Lee YN.
IPK sempurna. Riwayat kerja sambilan di tiga tempat berbeda. Tidak memiliki koneksi. Tidak ada latar belakang keluarga… menarik.
---
Di ruang wawancara, YN duduk tegak namun gugup. Wajahnya yang cantik natural menarik perhatian dua pewawancara pria sejak awal. Tapi bukan itu yang mencuri fokus mereka—melainkan sikapnya yang sopan, tutur katanya yang terstruktur, dan caranya menjawab pertanyaan dengan jujur namun cerdas.
Hingga satu pertanyaan dilempar:
“Kalau suatu hari Anda harus bekerja langsung di bawah Pak Min Yoongi, apakah Anda yakin bisa bertahan?”
YN menatap pewawancara itu dengan tenang, meski hatinya bergemuruh. Semua tahu reputasi CEO mereka. Tapi ia tidak akan menyerah karena ketakutan.
“Saya yakin bisa bertahan, Pak. Selama saya bekerja dengan integritas dan belajar dari kesalahan, tidak ada alasan untuk tidak bertahan.”
Para pewawancara saling pandang. Sebelum mereka sempat bicara lebih, pintu terbuka.
Seorang pria tinggi, berwajah tajam dan berjas gelap, melangkah masuk tanpa ekspresi.
Sekejap, ruangan menjadi senyap.
“Keluar. Semua,” ucapnya datar.
Dua pewawancara segera berdiri dan keluar tanpa kata. Yoongi mendekat dan duduk di kursi pewawancara yang kosong, menyilangkan kaki, lalu menatap YN lurus-lurus.
“Lee YN.”
Suaranya dalam, dingin. Mampu membuat YN menegang dalam sekejap.
“Ya, Pak.” Suaranya bergetar sedikit.
Yoongi meletakkan satu tangan di meja. “Kenapa kamu memilih perusahaan ini?”
“Saya… ingin belajar dari lingkungan terbaik, dan HY Group punya reputasi kuat serta sistem kerja yang disiplin.”
Yoongi mendekatkan tubuhnya ke meja, tatapannya menusuk.
“Disiplin? Atau kamu hanya mau kerja di bawah perusahaan besar untuk CV kamu?”
YN terkejut. Tapi ia menelan egonya dan menjawab dengan tenang, “Saya tidak akan melamar jika tidak berniat bekerja sungguh-sungguh, Pak. Saya menghormati sistem, meski banyak yang bilang sistem di sini menakutkan.”
Sudut bibir Yoongi sedikit terangkat—hampir seperti senyum, tapi lebih seperti tatapan tertarik.
“Berani juga kamu,” gumamnya.
Lalu dia berdiri.
“Kamu diterima. Mulai besok.”
YN terpaku.
“A-apa? Langsung… besok, Pak?”
“Kenapa? Kamu sudah siap ‘kan bekerja di lingkungan disiplin dan… menakutkan?” katanya sambil berjalan menuju pintu.
“Tapi saya belum tanda tangan kontrak…”
Yoongi menoleh. Tatapannya setajam belati.
“Kamu ingin atau tidak?”
YN buru-buru berdiri dan membungkuk, “Saya ingin, Pak! Terima kasih!”
Yoongi mengangguk sekali dan keluar, meninggalkan aroma cologne maskulin yang tertinggal di ruangan.
---
Malamnya, YN duduk di kamar sempit kontrakannya, menatap surat penerimaan kerja sambil memegang dada.
“Ya Tuhan… aku bekerja di bawah CEO Min Yoongi…” bisiknya.
Ia tidak tahu apakah ini keberuntungan atau awal dari neraka.
Namun satu hal pasti—ia tidak akan mundur. Bukan setelah sejauh ini.
Di tempat lain, Yoongi duduk di ruang kerjanya yang sepi, menatap layar laptop yang memuat file pegawai baru.
Ia memperbesar foto YN dan memperhatikannya lama.
Wajah seperti boneka. Tapi sikapnya lebih dewasa dari pegawai yang sudah lama bekerja.
Yoongi memutar kursinya menghadap jendela.
Entah kenapa, dia merasa tertarik. Bukan karena kecantikan semata, tapi karena sesuatu yang lebih dalam.
Dan itu membuatnya kesal.
“Jangan menarik perhatianku, Lee YN. Aku tidak pandai menahan diri.”
---
Langit pagi di Seoul tampak cerah, seolah tak menyisakan jejak hujan semalam. Namun di dalam hati Lee YN, badai baru saja dimulai.
Dengan pakaian kerja barunya yang sederhana namun rapi, YN berdiri di depan pintu masuk HY Group. Napasnya ditahan, tangan menggenggam erat tali tas. Ia mencoba menguatkan diri sebelum melangkah masuk ke dunia yang katanya tak mengenal belas kasih.
Langkahnya berhenti di depan lift, tepat saat seorang pria tinggi dengan jas abu-abu gelap keluar dari dalamnya. Senyum ramah pria itu menebarkan pesona tak tertahankan.
“Staf baru?” tanyanya dengan suara hangat.
YN mengangguk sopan. “Ya, saya Lee YN. Hari ini hari pertama saya bekerja.”
Pria itu tertawa kecil. “Aku Park Jimin. Kepala divisi kreatif. Kalau kamu tersesat nanti, carilah aku.”
Senyum YN terbit tipis. “Terima kasih, Pak.”
“Aku tidak setua itu. Panggil saja Jimin.”
Dengan kedipan mata, Jimin meninggalkannya, menyisakan kehangatan sejenak sebelum YN melangkah ke lantai 15—divisi tempat ia akan bekerja.
Ruangannya besar dan bersih, didominasi warna putih dan abu. Rekan-rekan kerjanya sibuk, jarang bicara. YN disambut oleh seorang wanita bernama Han Seri, senior-nya yang akan membimbing.
“Kerjamu banyak. Tapi jangan buat kesalahan, terutama kalau laporanmu sampai ke tangan Pak Min.”
Mendengar nama itu, YN otomatis tegang. Ia hanya mengangguk pelan.
Sehari itu ia bekerja dengan semangat, mencatat, belajar, dan menghindari kesalahan. Tapi nasib kadang tak memihak. Saat sore hampir tiba, Seri menyodorkan sebuah map.
“Ini harus kamu antar langsung ke ruang CEO. Sekarang.”
“Ke Pak Min?” YN nyaris tersedak kata-katanya sendiri.
Seri mengangguk sambil tersenyum miring. “Sudah saatnya kamu kenal ‘neraka’ di lantai atas.”
---
Langkah YN menggema di koridor mewah lantai tertinggi. Pintu besar berwarna gelap berdiri angkuh di hadapannya. Ia mengatur napas, mengetuk tiga kali.
“Masuk.”
Suaranya dalam dan tegas, sama seperti kemarin.
YN membuka pintu perlahan. Di sana, Min Yoongi duduk dengan setelan jas rapi, jemarinya memainkan pena sementara mata tajamnya mengangkat pandangan menatapnya.
“Kamu.”
Bukan sapaan, bukan juga pertanyaan. Hanya pernyataan.
“Laporan dari divisi pemasaran, Pak,” ucap YN seraya maju dan meletakkan map di mejanya.
Yoongi tidak langsung mengambilnya. Ia berdiri, berjalan perlahan menghampiri sisi meja yang menghadap ke arah YN. Kini jarak mereka hanya satu meter.
“Siapa yang suruh kamu masuk ke kantor ini?”
YN mengerutkan dahi. “Maaf, Pak?”
“Paras seperti kamu tidak cocok di tempat seperti ini.”
Kata-katanya menusuk, tapi bukan karena maknanya. Tatapan matanya... menelanjangi. Seolah memindai setiap detail wajah YN tanpa ragu.
“Saya hanya ingin bekerja dengan baik, Pak,” jawab YN pelan.
Yoongi mendekat selangkah. Kini jarak mereka tak sampai sejengkal. Nafas YN tercekat. Aroma maskulin Yoongi memenuhi hidungnya—campuran kopi, kulit, dan ambisi.
“Lalu kenapa kamu terus menarik perhatianku?”
Pertanyaan itu membuat jantung YN hampir berhenti. Pipinya memanas, tubuhnya gemetar.
“Saya… saya tidak bermaksud menarik perhatian siapa pun, Pak.”
Yoongi menunduk sedikit, wajahnya nyaris sejajar dengan wajah YN. Mata tajamnya mengunci pandangan, membuat YN tak mampu berpaling.
“Kalau begitu, jangan tatap aku dengan mata seperti itu. Aku tidak suka kehilangan kendali.”
Suara itu seperti bisikan iblis, tapi terasa terlalu memikat untuk ditolak.
YN buru-buru menunduk, memundurkan langkah. “M-maaf, Pak. Saya permisi.”
Ia hampir lari keluar dari ruangan, meninggalkan Yoongi yang hanya diam, matanya mengikuti kepergian gadis itu.
---
Malamnya, YN duduk di meja kecil kontrakannya, menatap gelas teh yang sudah dingin. Kepalanya masih penuh dengan suara, aroma, dan tatapan Min Yoongi.
“Apa maksudnya… ‘jangan tatap aku seperti itu’? Apa aku terlihat aneh?”
Ia menepuk pipinya pelan, berusaha menghilangkan panas yang tertinggal.
Sementara itu di apartemen mewah Yoongi, pria itu berdiri di balkon dengan segelas wine di tangan. Tatapannya menerawang jauh, tapi pikirannya jelas tak berada di langit malam.
Ia memutar ulang momen pertemuan tadi. Wajah YN. Suaranya. Tubuhnya yang menggigil ketakutan… dan caranya tetap menatap tanpa lari.
“Apa yang membuatmu berbeda, Lee YN?” gumamnya pelan.
---
Keesokan harinya, kantor kembali sibuk. Namun ada satu hal yang tak biasa.
Selama bekerja, YN sadar bahwa Yoongi muncul lebih sering di lantai mereka. Setiap kali ia lewat, YN bisa merasakan tatapan yang sama—membakar, menuntut, dan... memiliki.
Dan yang lebih membuatnya bingung, Jimin juga tiba-tiba sering muncul di sekitar mejanya.
“Hari kedua dan kamu sudah jadi pusat perhatian,” bisik Seri sambil melirik ke arah Jimin yang sedang menyapa YN sambil membawakan kopi.
YN hanya tertawa gugup.
Namun tawa itu tak berlangsung lama. Karena saat ia berdiri dan menerima kopi dari Jimin, seseorang muncul dari balik pintu kaca ruangan.
Yoongi.
Tatapannya menusuk, tajam seperti pisau, tertuju langsung pada tangan YN yang menerima gelas dari tangan Jimin.
Dan tanpa kata, ia berbalik dan pergi.
YN berdiri kaku. Ada sesuatu di dalam dirinya yang tiba-tiba mencengkeram erat.
Apakah dia… marah?
---
Di dalam lift pribadi, Yoongi memandangi pantulan wajahnya yang tegang.
Ia menggenggam erat gagang payung yang tidak dipakainya hari itu.
“Aku tidak suka dilawan. Apalagi… jika yang melawan adalah milikku.”
---
HY Group di hari Rabu terlihat seperti sarang lebah. Para karyawan berlalu-lalang dengan langkah cepat, dan suara ketukan keyboard bersahutan di segala sudut. Namun di tengah hiruk pikuk itu, suara tawa ringan milik seorang gadis justru menjadi pusat perhatian.
“YN, kamu bikin presentasi ini semalam?” tanya seorang rekan kerja bernama Daehyun dengan nada kagum.
YN mengangguk sambil tersenyum. “Iya. Aku nggak yakin isinya bagus, jadi aku tambahkan beberapa referensi dari jurnal Korea Business Weekly juga.”
“Hebat. Serius deh, kamu itu kayak robot! Tapi versi cantik dan super ramah,” goda Daehyun disambut tawa rekan lain.
“Eh, tapi kamu masih manusia, kan?” ledek Sooah, rekan satu divisi yang terkenal galak. Tapi pada YN, dia tak pernah bisa bersikap kasar.
YN tertawa sambil meletakkan map laporan ke meja. “Tentu saja manusia. Tapi kalau aku diam seharian, nanti aku bisa kepikiran dan stres. Jadi mending sibuk kerja aja.”
Semua yang ada di ruangan itu setuju satu hal: kehadiran YN seperti vitamin. Gadis itu tak hanya rajin dan cerdas, tapi juga memiliki sikap rendah hati yang membuat semua orang nyaman di dekatnya. Tanpa sadar, dalam waktu hanya seminggu, ia sudah akrab dengan sebagian besar staf.
Namun, tidak semua mata memandang dengan rasa suka.
Dari balik pintu kaca ruangan eksekutif, sepasang mata gelap menatap ke arah tawa YN.
Min Yoongi.
Tangannya menyentuh dasi hitamnya pelan, seolah sedang mencoba mengalihkan perhatian dari suara tawa yang terus mengganggu fokusnya sejak pagi. Entah kenapa, semakin YN berbaur dengan orang-orang, semakin besar dorongan posesif dalam dirinya.
‘Kenapa dia harus tersenyum seperti itu ke semua orang?’
Ketuk. Ketuk.
Pintu ruangan Yoongi terbuka tanpa suara keras. Park Jimin masuk sambil membawa tablet.
“Yoongi, gue udah dapat proposal dari tim kreatif. YN juga bantuin nyusun ulang layout-nya,” ujar Jimin, duduk santai di sofa ruangan.
Yoongi menatapnya datar. “Dia sangat aktif ya.”
Jimin tertawa ringan. “Well, itu yang bikin dia beda. Dia punya sesuatu yang... nggak bisa dijelaskan.”
Yoongi berdiri, mengambil tablet dari tangan Jimin, matanya menelusuri dokumen digital. Sekilas, senyum kecil terbit di ujung bibirnya.
“Tak kusangka dia bisa mendesain flow seperti ini...”
“Kamu mulai tertarik?” tanya Jimin tiba-tiba, suaranya setengah bercanda tapi penuh makna.
Yoongi memalingkan wajah, menatap Jimin dengan ekspresi dingin. “Bukan urusanmu.”
---
Waktu istirahat siang, YN memilih makan di kantin bersama teman-temannya.
Sooah duduk di seberang, mulutnya penuh sambil tetap bergosip. “Kalian tau nggak? Katanya Jennie, kekasih Pak Min, bakalan datang minggu ini.”
“Jennie? Si model itu?” tanya Daehyun.
“Yap. Katanya, dia tuh tipe wanita yang suka tampil berkuasa. Nggak heran sih, CEO kita kan juga suka dominasi,” jawab Sooah sembari melirik YN.
YN hanya tersenyum tipis. Ia tak pernah tertarik membicarakan kehidupan pribadi atasannya. Tapi entah kenapa, nama Jennie membuat hatinya sedikit nyeri.
Apalagi sejak pertemuannya dengan Yoongi yang kedua, perasaan tak menentu mulai mengganggunya. Ia sadar kalau pria itu memiliki tatapan berbeda padanya. Tatapan yang... membuatnya takut tapi juga penasaran.
---
Sore harinya, YN diminta membantu persiapan presentasi di ruang konferensi lantai 20. Ia datang lebih dulu, menyalakan proyektor dan mengecek file presentasi.
Pintu terbuka, langkah kaki berat memasuki ruangan. Dan saat YN berbalik, tubuhnya refleks menegang.
Min Yoongi berdiri di sana, mengenakan kemeja putih yang digulung di lengan, dasi sudah dilepas. Rambutnya sedikit acak-acakan, tapi malah membuatnya terlihat semakin berbahaya.
“Sendirian?” tanyanya singkat.
YN mengangguk cepat. “I-iya, Pak. Saya sedang menyiapkan file presentasi.”
Yoongi melangkah maju, mendekat hingga jaraknya terlalu dekat bagi kenyamanan YN. Ia menatap layar proyektor sejenak, lalu menoleh ke YN.
“Kamu semakin membuatku sulit untuk tidak memperhatikanmu, Lee YN.”
Deg.
Kata-kata itu membuat jantung YN melesat. Ia menunduk, tak sanggup membalas tatapan itu.
“Saya tidak... bermaksud, Pak.”
“Begitu banyak orang di sekelilingmu. Tapi kamu tetap... membuat ruangan ini terasa sempit saat kamu ada.”
Tangan Yoongi menyentuh pipi YN. Sentuhan itu lembut tapi membuat napasnya tercekat. “Kamu punya sesuatu yang tidak mereka miliki. Aura yang menenangkan. Tapi juga memicu rasa ingin memiliki.”
“Pak...”
Yoongi menunduk, membisikkan kalimat terakhir dengan suara serak, “Jangan buat aku melangkah lebih jauh, YN. Aku tidak pandai menahan diri.”
Sebelum YN bisa berkata apa-apa, pintu ruangan terbuka. Jimin muncul dengan senyum cerah.
“Wah, kalian sudah mulai duluan?”
Yoongi menarik diri dengan cepat, memasang wajah datar seolah tak terjadi apa-apa.
YN hanya menunduk, berusaha mengatur napas.
Tapi dalam hatinya, ia tahu, dunia yang ia masuki… sudah bukan tempat yang sederhana lagi.
---
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!