Senja menyelimuti langit kota dengan rona jingga yang lembut, sementara cahaya keemasan menembus jendela suite hotel mewah tempat Shanaira Monard menginap. Di kamar yang dihias bunga putih dan nuansa krem elegan, Shanaira duduk di depan meja rias, mengenakan gaun santai berbahan sutra. Di tangannya tergenggam undangan pernikahan berlapis emas, dengan nama yang begitu dalam di hatinya: Ethan Renault.
Esok pagi, tepat di ballroom hotel ini, ia akan mengucap janji suci. Ethan adalah sahabat kecilnya, tetangga yang sejak dulu menjadi pelindung, penghibur, dan kini… belahan jiwanya.
Pintu kamar diketuk pelan. “Oma?” panggil Shanaira, mengenali ketukan itu.
Aini Monard, melangkah masuk, mengenakan kebaya biru langit. Wajahnya lembut, penuh keriput kehidupan, namun matanya tetap menyala penuh kasih.
“Masuk, Oma,” ucap Shanaira, langsung bangkit dan memeluk omanya erat-erat.
Mereka duduk di sofa dekat jendela. Oma Aini menatap cucunya sejenak, lalu berkata pelan, “Besok kamu akan jadi istri seseorang yang mencintaimu dengan tulus. Oma sangat bahagia untukmu.”
Shanaira menggigit bibirnya, senyum kecil mengembang, tapi matanya menyimpan sesuatu.
“Oma,” bisiknya, “boleh jujur?”
Oma Aini mengangguk, menggenggam tangan cucunya.
“Aku… kadang masih merasa bersalah,” katanya pelan.
“Ayah selalu bilang, kalau aku nggak lahir… ibu nggak akan meninggal waktu itu.”
Wajah oma mengeras sejenak, lalu melembut. “Itu bukan salahmu, Shana. Itu takdir. Dan kamu tidak bisa terus dihukum karena sesuatu yang bukan pilihanmu.”
Shanaira menunduk, suaranya tercekat. “Tapi aku benar-benar merasa tidak pernah diterima. Ibu tiriku… dia sering menyuruhku kerja ini-itu sejak aku kecil, seakan aku bukan anak di rumah itu. Dan adik tiriku… dia selalu menertawakanku, menyebutku anak pembawa sial.”
Oma Aini mengusap pipi Shanaira dengan jemarinya yang gemetar tapi hangat. “Kau sudah cukup kuat bertahan selama ini. Tapi besok… kamu akan masuk ke keluarga baru. Yang mencintaimu. Yang menghargaimu. Yang melihat siapa kamu sebenarnya, bukan bayangan masa lalu.”
Shanaira menatap neneknya, matanya mulai berkaca. “Oma pikir… aku pantas bahagia?”
“Sayang,” jawab oma Aini, tersenyum dengan mata berkaca-kaca, “Kamu pantas mendapatkan cinta yang tulus. Dan Tuhan tidak memberi Ethan padamu tanpa alasan. Dia dikirim untuk menunjukkan bahwa hidupmu lebih dari luka lama itu.”
Untuk pertama kalinya malam itu, Shanaira tertawa kecil. Bukan karena semuanya telah sempurna, tapi karena akhirnya… hatinya merasa bebas.
Besok, ia akan berjalan menuju hidup baru. Bukan sebagai gadis yang terus dihantui masa lalu, tapi sebagai perempuan yang akhirnya menemukan tempatnya di dunia—di sisi seseorang yang selalu melihatnya sebagai cahaya, bukan bayangan.
***
Sementara di lantai yang berbeda, di sisi lain hotel mewah itu, suasana jauh lebih riuh.
Lampu remang-remang bar pribadi memantulkan cahaya hangat ke dinding marmer, sementara gelas-gelas bersulang dan tawa bersahutan. Ethan Renault duduk di tengah-tengah kerumunan kecil sahabat-sahabat lamanya, tapi meskipun suasana penuh sorakan dan tepuk tangan, sorot matanya sesekali melayang ke arah jam tangan.
“Bro, tenang, ini malam terakhirmu sebagai lelaki bebas!” seru salah satu temannya sambil menepuk bahunya.
Ethan hanya tertawa kecil, lalu mengangkat gelas. “Lelaki bebas yang dari dulu cuma terpaku sama satu perempuan. Jadi... tidak banyak yang berubah.”
Leluconnya mengundang tawa riuh.
Namun begitu tawa mereda, Revan—sahabatnya sejak kuliah—mencondongkan tubuh ke arahnya. “Kau yakin? Besok pagi, tidak ada jalan mundur.”
Ethan mengangguk pelan, tatapannya lembut. “Aku yakin seratus persen. Aku sudah tahu sejak kecil, Van. Sejak aku melihat dia duduk di ayunan belakang rumahnya, dengan wajah penuh luka tapi tetap tersenyum... Aku tahu, aku ingin menjaga senyuman itu.”
Revan terdiam sejenak, menatap Ethan dengan hormat.
“Kau tahu,” lanjut Ethan sambil menggulir layar ponselnya, menatap foto Shanaira dengan mata teduh, “dia tumbuh dalam keluarga yang nggak pernah benar-benar melihat nilainya. Aku selalu di sana, tapi aku cuma bisa melihat dari luar pagar. Sekarang, aku ingin jadi rumahnya. Tempat dia merasa aman.”
Beberapa temannya mulai diam, suasana berubah tenang dan lebih intim. Suara musik masih mengalun, tapi kini terasa seperti latar bagi sebuah pengakuan tulus.
Revan menepuk bahu Ethan. “Kau bukan cuma beruntung karena akan menikahi dia, Eth. Dia juga beruntung karena akhirnya akan hidup dengan seseorang yang tidak akan pernah meninggalkannya.”
Ethan mengangguk. Di matanya, tak ada keraguan sedikit pun. Hanya cinta yang penuh keteguhan.
Ia mengangkat gelas lagi, kali ini lebih pelan, lebih dalam. “Untuk dia. Untuk Shana. Dan untuk hari esok… ketika semuanya akhirnya jadi seperti yang seharusnya.”
Dan di tengah riuh tawa serta obrolan hangat, Ethan tetap merasa satu hal paling penting malam itu: detak jantungnya berdetak menuju seseorang. Seseorang yang, sejak kecil, sudah menjadi alasan terbesarnya untuk pulang.
***
Malam menjelang larut. Lantai bar sudah mulai sepi, suara musik berubah menjadi bisikan samar, dan lampu-lampu mulai diredupkan.
Ethan berjalan tertatih keluar dari bar, langkahnya tidak lagi seimbang. Jasnya sedikit terbuka, dasinya longgar, dan matanya berat akibat terlalu banyak minum—satu gelas demi satu gelas yang semula untuk merayakan kebahagiaannya, namun perlahan membawa pikirannya terombang-ambing pada hal-hal yang jauh lebih dalam.
Ia menekan tombol lift, tertawa kecil sendiri, lalu menyandarkan tubuhnya pada dinding lift sambil berbisik, “Shana… besok kita menikah, ya... akhirnya…”
Pintu lift terbuka di lantai tempat suite-nya berada. Ia menyeret langkah pelan, menyusuri lorong, matanya setengah terbuka. Di satu titik, ia terhenti. Sosok perempuan berdiri di depan pintu kamarnya—wajahnya samar di antara cahaya lampu dinding yang temaram.
“Shana?” Ethan bergumam, separuh sadar, separuh yakin.
Perempuan itu menoleh. Rambut panjang, tubuh ramping, mata yang nyaris sama—terlalu mirip.
Claira Monard berdiri kaku, mengenakan gaun malam sederhana berwarna krem. Dia baru saja kembali dari mencari udara segar setelah merasa sesak melihat semua orang di hotel berbicara tentang pernikahan kakaknya. Ia tidak tahu mengapa langkahnya membawanya ke lantai ini. Mungkin hanya ingin melihat… atau mungkin hati kecilnya membisikkan sesuatu.
Mata Claira sedikit membelalak saat melihat Ethan mendekat. “Ethan?” sapanya ragu.
Tapi Ethan sudah mendekat, senyum miring di wajahnya. “Kau datang juga, ya? Aku tadi nyari kamu. Aku... kangen.” Suaranya berat dan mabuk, matanya tidak fokus. “Aku... cinta kamu, Shana…”
Claira menahan napas. Ada jeda. Luka lama yang selama ini ia kubur dengan sikap dingin dan senyum sinis tiba-tiba mencuat ke permukaan. Ia ingin menyangkal, ingin mengingatkan bahwa ia bukan Shanaira, tapi hatinya membeku saat Ethan menyentuh pipinya dengan lembut, seperti menyentuh sesuatu yang ia sayangi dengan sepenuh jiwa.
“Selalu... selalu dari dulu, aku cuma ingin kamu bahagia…” Ethan berbisik.
Claira menahan napas. Itu bukan untuknya. Tapi hatinya retak karena ia tahu—ia juga ingin mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang dulu ingin ia curi tapi tak pernah ia minta.
“Ethan, aku—”
Tapi Ethan sudah terjatuh pelan ke pelukannya, mabuk dan lelah. Nafasnya berat tapi damai. “Kita... nikah besok, kan? Akhirnya...”
Claira berdiri kaku. Matanya mulai panas. Tangannya refleks menopang tubuh Ethan, dan untuk sesaat, ia berpura-pura.
Pura-pura menjadi sosok yang dicintai Ethan.
Pura-pura menjadi gadis yang dia sendiri pernah ejek dan tindas karena iri dan tidak ingin mengakui bahwa cinta masa kecil itu—seharusnya bisa jadi miliknya, kalau saja ia cukup berani sejak dulu.
Pintu kamar terbuka perlahan karena Ethan sempat membukanya dengan kartu yang tergantung di sakunya. Claira menarik nafas dalam-dalam, menuntunnya masuk ke dalam kamar, membaringkannya hati-hati di tempat tidur.
Ruangan suite itu sunyi. Hanya suara detik jam di dinding dan dengungan samar dari luar jendela yang terdengar. Claira duduk di tepi tempat tidur, memandangi Ethan yang mulai gelisah dalam tidurnya. Ia masih belum bergerak, belum berani meninggalkan kamar itu. Masih setengah terjebak dalam kebingungan dan sesal karena membiarkan dirinya memeluk kebohongan tadi.
Tiba-tiba, Ethan mengerang pelan. Matanya terbuka—masih merah, berat, dan buram oleh alkohol. Ia menatap Claira.
“Shana… jangan pergi…”
Claira tercekat.
“Ethan, aku bukan—” Tapi kata-katanya terhenti. Ethan telah bangkit, tangannya menyentuh wajahnya lembut, matanya berkaca-kaca.
“Aku takut kehilanganmu…”
Claira berusaha menarik diri, “Ethan, kau salah orang—aku Claira—”
Tapi Ethan tidak mendengar. Dalam pikirannya, satu-satunya wajah yang ia lihat adalah Shanaira. Satu-satunya nama yang menggema adalah nama itu. Dan dalam kekacauan pikirannya, ia hanya tahu satu hal: ia ingin memeluk cinta hidupnya.
Pelukan berubah jadi ciuman. Claira sempat mendorong pelan, tapi sentuhan itu menggores sisi rapuh dalam dirinya—sisi yang selama ini iri, terluka, haus akan kasih sayang. Sisi yang ingin merasakan dicintai walau hanya sekali. Bahkan jika itu bukan untuk dirinya.
Air matanya jatuh, dan ia membiarkan Ethan melanjutkan—karena di matanya, Ethan tidak sedang mencintai Claira malam itu.
Ia hanya sedang merindukan Shanaira.
---
Pagi datang terlalu cepat.
Sinar matahari pagi menembus tirai tipis, menyinari ruangan yang tenang. Ethan menggeliat pelan, lalu membuka mata. Seketika, tubuhnya menegang. Pikirannya mencoba mengingat—dan apa yang ia lihat membuat jantungnya nyaris berhenti.
Claira duduk di tepi tempat tidur, mengenakan kembali gaun malamnya dengan tangan yang gemetar. Matanya merah. Wajahnya kosong.
“Claira…?” bisik Ethan.
Claira menoleh perlahan. “Sekarang kau sadar?”
Ethan langsung duduk, napasnya mulai sesak. “Tunggu… apa yang… aku—aku pikir—”
“Shanaira?” Claira menyelesaikannya. Senyumnya hambar. “Ya. Aku tahu.”
Ethan memejamkan mata, memukul dahinya dengan telapak tangan. “Tuhan… Claira, aku—aku tidak tahu apa yang kulakukan. Aku... mabuk… aku benar-benar—”
Claira berdiri. “Sudah, Ethan. Aku tahu. Kau tidak mencintaiku. Malam ini... bukan untukku. Hanya sebuah kesalahan yang tak sengaja kau buat.”
Pintu tertutup pelan.
Ethan terduduk di tepi ranjang, matanya menatap kosong ke karpet. Tangannya terkepal di wajah.
***
Kamar pengantin dihiasi elegan dengan nuansa putih gading dan sentuhan bunga peony segar. Cermin besar berdiri di sudut ruangan, memantulkan sosok Shanaira Monard yang sedang bersiap mengenakan gaun pengantinnya. Matanya teduh, namun bayang kelelahan tampak samar di bawahnya—malam sebelumnya ia nyaris tidak bisa tidur, bukan karena gugup, melainkan karena hatinya terus berdebar tak karuan.
Di sisi kursi panjang, duduk Oma Aini yang memandangi cucunya dengan senyum penuh haru. Tangannya gemetar sedikit saat membenarkan selendang renda tipis di bahu Shanaira.
“Kamu cantik sekali, Nak...” suara Oma Aini nyaris berbisik, serak oleh emosi. “Akhirnya kamu bisa mulai hidupmu sendiri, tanpa perlu tunduk pada keluarga yang tak pernah menghargaimu.”
Shanaira mengangguk pelan, tak berkata apa-apa. Ia hanya menggenggam tangan omanya erat-erat.
Namun ketenangan itu segera terusik oleh suara tumit tinggi yang mengetuk lantai marmer dan aroma parfum tajam yang familiar menusuk hidung. Refina, ibu tiri Shanaira, melangkah masuk tanpa undangan. Di belakangnya, berdiri Claira, diam dan dingin.
“Wah, wah… akhirnya anak durhaka ini menikah juga,” ucap Refina dengan senyum tajam. “Kupikir tidak akan ada lelaki waras yang mau dengan anak pembawa sial.”
Oma Aini berdiri dari kursinya. “Refina, ini bukan waktunya—”
“Tenang saja, Ma. Aku cuma ingin memastikan kalau gaunnya pas. Tak lucu kalau dia terlihat murahan di altar nanti.”
Shanaira tetap diam. Ia sudah terbiasa. Bertahun-tahun telinganya ditempa kata-kata seperti itu. Tapi kali ini, ada sesuatu yang lain. Pandangannya bertemu dengan Claira yang berdiri tak jauh darinya.
Mata Claira tampak gelap, penuh dendam dan pergolakan batin. Dia menatap Shanaira seolah menyimpan sesuatu yang tidak bisa dia ucapkan. Ketegangan itu terasa aneh. Biasanya Claira akan ikut menyindir, tapi hari ini... dia hanya diam.
“Kau tidak akan pernah pantas jadi bagian dari keluarga ini, Shanaira,” gumam Refina sambil memutar bola mata. “Tapi untunglah, mulai besok kau akan berganti nama. Tidak perlu membawa-bawa nama Monard lagi.”
Shanaira menatap Refina dalam diam. Lalu ia tersenyum. Tipis, tenang.
“Benar. Aku tidak akan membawa nama kalian lagi. Dan untuk pertama kalinya... aku merasa ringan.”
Oma Aini mendekat, menggandeng tangan Shanaira. “Ayo, sayang. Jangan dengarkan mereka. Hari ini milikmu. Fokuslah pada kebahagiaanmu.”
Shanaira menoleh sekali lagi pada Claira. Mata mereka bertemu.
Claira ingin mengatakan sesuatu. Tapi yang keluar hanya gumaman lirih, “Kau benar-benar tidak tahu apa-apa, ya...”
Shanaira mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?”
Claira membuka mulutnya, tapi membatalkannya. Tatapannya berubah tajam. “Lupakan. Selamat atas pernikahanmu, Kak.”
Ia berbalik dan keluar ruangan tanpa menoleh lagi.
Shanaira berdiri membeku, perasaan tidak nyaman mulai merayap di dadanya. Ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang disembunyikan. Tapi ia belum tahu apa.
Dan waktu terus berjalan.
Hari bahagianya akan segera dimulai.
Tapi akankah tetap bahagia… jika kebenaran terungkap?
***
Ruang ganti pengantin pria dipenuhi aroma parfum maskulin dan suara riuh para sahabat Ethan yang sedang membantu merapikan dasinya. Namun, Ethan hanya berdiri diam di depan cermin. Matanya yang biasanya cerah kini buram, menatap pantulan dirinya sendiri seperti tak mengenal siapa yang ia lihat.
“Bro, tenang aja. Lo bakal jadi pengantin paling keren hari ini,” ujar salah satu sahabatnya sambil menepuk punggungnya. “Gue udah liat calon istri lo. Cantik gila.”
Ethan memaksakan senyum. “Iya... makasih.”
Begitu sahabat-sahabatnya keluar meninggalkan ruangan untuk memberikan waktu bagi Ethan bersiap sendiri, keheningan menyergap. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melepaskannya dengan berat.
Tangannya terangkat, menyentuh kerah kemeja putih yang sudah rapi, tapi dadanya terasa sesak. Sangat sesak.
Bayangan malam tadi terus menghantui.
Claira.
Ia tidak ingat semua detail. Tapi cukup untuk menyadari—ia melakukan sesuatu yang tidak seharusnya ia lakukan. Ia telah mengkhianati perempuan yang ia cintai, dan yang lebih menyakitkan… ia bahkan tidak melakukannya dengan sadar.
Ethan duduk di ujung bangku panjang, menyandarkan siku ke lutut dan memegang kepalanya.
“Apa yang harus gue lakuin…” bisiknya pelan.
Ia ingin jujur. Tapi jika ia jujur… akankah Shanaira masih mau menikah dengannya? Akankah ia menghancurkan seluruh hari yang seharusnya menjadi milik mereka berdua?
Bayangan wajah Shanaira muncul dalam pikirannya. Senyumnya. Matanya yang selalu hangat setiap kali menatapnya.
Dan lalu... wajah Claira menyusup diam-diam. Tatapan terakhirnya sebelum meninggalkan kamar tadi pagi. Bukan hanya marah. Tapi penuh luka yang dalam. Luka yang mungkin tak akan bisa ditebus.
Ethan berdiri, melangkah ke jendela. Dari atas, ia bisa melihat taman tempat pernikahan mereka akan berlangsung. Kursi-kursi putih tertata rapi. Tenda hias terbentang. Semua terlihat sempurna.
Kecuali hatinya.
Ponselnya berdering. Nama "Claira" muncul di layar.
Ethan menatap layar itu lama… lalu mematikannya.
Ia memejamkan mata.
“Kau harus tetap berdiri hari ini, Ethan…” bisiknya sendiri. “Untuk Shanaira. Meski kau merasa tak pantas.”
Tapi di hatinya, ia tahu—kebohongan tak pernah bisa tinggal lama. Dan cepat atau lambat… luka ini akan terbuka.
Aula pernikahan dipenuhi tamu yang berdiri dari kursinya, bersiap menyambut kehadiran pengantin wanita. Musik lembut mengalun dari kuartet gesek di sudut ruangan. Lampu kristal bergemerlap di atas kepala, menyinari setiap wajah yang tersenyum menanti.
Ethan berdiri tegap di depan altar, jas putih gading membalut tubuhnya sempurna. Namun di balik senyum tipisnya, jantungnya berdegup kacau. Tangannya dingin. Ia menarik napas dalam-dalam, menahan kegelisahan yang tak kunjung reda.
Beberapa langkah dari aula, di balik tirai yang memisahkan lorong utama, Shanaira berdiri sambil menggenggam lengan Oma Aini. Gaun putihnya menjuntai anggun, wajahnya dirias lembut, dan sorot matanya menenangkan… namun tak berlangsung lama.
“Sayang, kau siap?” tanya Oma Aini dengan suara lembut.
Shanaira mengangguk, tapi tangannya mulai melemah. Pandangannya terasa berputar. Suara tamu di dalam aula terdengar seperti gema jauh, dan musik perlahan memudar dalam telinganya.
“Aku…” gumamnya, “kenapa rasanya… pusing…”
Oma Aini langsung menoleh, “Shana? Shanaira?”
Tubuh Shanaira limbung. Sebelum sempat memberi peringatan, seluruh tubuhnya ambruk ke lantai, gaun putihnya mengembang tak berdaya di marmer dingin.
“Astaga! Tolong! Seseorang bantu!” teriak Oma Aini panik.
Panik menyebar. Dua bridesmaid segera berlari menghampiri, sementara staf hotel tergopoh membawa air dan memanggil petugas medis. Musik berhenti seketika, digantikan oleh gumaman bingung para tamu.
Di dalam aula, Ethan merasakan dadanya mencelos. Saat mendengar kekacauan di luar tirai, langkahnya spontan maju, wajahnya pucat.
“Ada apa?” tanyanya keras. “Shanaira kenapa?!”
Claira yang berdiri di dekat kursi depan menunduk, wajahnya sulit dibaca. Ia tahu… dan hatinya berdenyut sakit karena ini semua bukan hanya tentang Ethan atau Shanaira—tapi juga tentang apa yang telah ia biarkan terjadi.
Shanaira masih tak sadarkan diri, wajahnya pucat seperti kertas. Oma Aini memeluknya erat, air matanya tumpah tanpa bisa dicegah.
Ethan menerobos keluar altar, melempar jasnya, dan berlari menuju arah kerumunan di balik tirai.
“Shanaira!!!”
Saat ia melihat tubuh gadis itu tergeletak, Ethan nyaris kehilangan napas. Ia jatuh berlutut di sampingnya, menggenggam tangan Shanaira yang dingin.
“Maafkan aku…,” bisiknya lirih, bahkan sebelum Shanaira bisa mendengarnya.
Tapi dia tahu…
Momen hari ini telah berubah. Bukan lagi tentang cinta yang sempurna. Tapi tentang luka yang belum selesai.
***
Ruang medis hotel dipenuhi ketegangan yang menggantung pekat di udara. Shanaira masih terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang, wajahnya pucat, napasnya pelan dan stabil di bawah pengawasan perawat.
Oma Aini duduk di sampingnya, menggenggam tangan cucunya yang dingin. Wajahnya penuh kekhawatiran, tapi ia tetap kuat. Ia harus kuat, karena hanya ia yang Shanaira miliki.
Seorang dokter wanita keluar dari ruang konsultasi, membawa hasil pemeriksaan lengkap. Ia menghampiri Nenek Aini, diikuti Ethan yang baru datang bersama kedua orang tuanya, Hazard Renault dan Daisy Renault.
“Bagaimana keadaan cucu saya, Dok?” tanya Oma Aini cepat.
“Secara umum, kondisi fisiknya stabil. Dia hanya kelelahan dan kurang tidur,” jawab sang dokter hati-hati. “Tapi kami menemukan sesuatu dalam hasil pemeriksaan. Shanaira sedang hamil—sekitar empat minggu.”
Suasana seketika membeku. Semua mata terarah pada dokter, lalu ke arah ranjang tempat Shanaira masih tak sadar.
Ethan menegang. “Apa...?”
Daisy menoleh dengan sorot tajam. “Apa maksudnya ini, Ethan? Dia hamil? Sebelum menikah? Ini memalukan!”
Hazard menggeram pelan. “Kau menyentuhnya sebelum sah?”
Ethan mundur setengah langkah, wajahnya kehilangan warna. “Tidak! Aku... aku bahkan belum pernah bersama dia… aku—aku baru...”
Dan di tengah keterkejutan itu, Claira melangkah masuk perlahan. Di belakangnya, Refina berdiri dengan senyum tipis di wajahnya. Claira mengenakan gaun pesta biru muda, rambutnya tergerai sempurna, dan wajahnya sangat mirip dengan Shanaira—cukup untuk mengelabui siapa pun di malam yang kelabu.
Ethan menatap Claira dengan sorot mata hancur. “Claira… malam itu…”
Claira tidak menjawab, hanya menatapnya balik dengan pandangan rumit—campuran dari kemenangan, luka, dan cinta yang tak pernah tersampaikan.
Refina akhirnya angkat suara. “Mungkin ini jalan Tuhan. Tidak jadi menikah, tapi dapat calon cucu. Bukankah itu menggembirakan, Daisy?”
Daisy berbalik menatap Refina dengan tatapan menusuk. “Kau jangan ikut campur! Ini masalah keluarga kami!”
“Masalah yang melibatkan anakku juga,” ujar Refina kalem, tangannya menyentuh bahu Claira. “Mungkin sekarang kau sadar, siapa perempuan yang lebih layak berdiri di altar bersama putramu.”
Ethan memejamkan mata, kepalanya tertunduk. Rasa bersalah menyesakkan dadanya. Shanaira—perempuan yang ia cintai sejak kecil—terbaring tak sadar, tubuhnya mengandung kehidupan, dan semua orang kini saling menuding di sekitarnya… seolah dia biang dari segala kekacauan ini.
Tapi dia tahu, kebenaran itu belum seluruhnya terungkap.
Dan luka ini baru saja mulai berdarah.
***
Gemuruh suara para tamu di aula mulai berubah menjadi bisik-bisik tajam yang menyebar seperti api. Kabar bahwa sang pengantin wanita pingsan dan untuk sementara pernikahan di undur sampai sang pengantin wanita sadar telah menyebar cepat. Dan di tengah itu semua, seseorang baru tiba dengan langkah cepat dan wajah memerah karena emosi.
Ansa Monard—ayah Shanaira.
Pria paruh baya itu mendorong pintu ruang medis dengan kasar, napasnya memburu, wajahnya merah padam. Tatapannya langsung tertuju pada tubuh putrinya yang terbaring lemah di ranjang.
“APA YANG TELAH DIA LAKUKAN?!” teriaknya, membungkam seisi ruangan.
Oma Aini berdiri dengan marah. “Ansa, turunkan suaramu! Ini bukan waktunya—”
“Bukan waktunya? Dia memalukan keluarga kita di depan ratusan orang!” Ansa menunjuk ke arah tubuh putrinya. “Dia hamil sebelum menikah! Apa yang akan kukatakan pada para tamu? Apa yang akan dikatakan pejabat, rekan-rekanku, orang-orang itu—tentang Monard yang tak bisa mengurus anak perempuannya sendiri?”
Daisy Renault mendekat, menyilangkan tangan. “Kami juga tidak bisa menerima ini. Maaf, tapi pernikahan ini tidak akan dilanjutkan. Putra kami tidak bisa menikahi gadis yang... membawa aib seperti ini.”
Hazard Renault mengangguk, tegas. “Ethan akan menikah dengan perempuan yang lebih layak. Perempuan dari keluarga yang baik—dan yang bisa menjaga kehormatan diri.”
"Bagaimana kalau Claira saja yang menikah dengan Ethan? Daripada pernikahan ini batal dan mempermalukan keluarga." Usul Refina tiba-tiba.
Semua mata lalu perlahan berpindah ke arah Claira, yang berdiri sedikit di belakang ibunya. Gadis itu menunduk, tapi senyumnya kecil, samar, menyelinap di sudut bibir.
Refina menyentuh pundaknya berbisik. “Claira... sudah waktunya kau mengambil tempat yang memang seharusnya untukmu.”
Ethan menoleh dengan cepat. “Apa maksud kalian? Aku dan Shanaira bisa tetap menikah setelah Shanaira menggugurkan kandungannya.”
Hazard menatap putranya dengan dingin. “Kau akan bertanggung jawab, Ethan. Kau ingin keluarga kita malu dan tidak mungkin kau membiarkan skandal ini memburuk. Berapa lama kita harus menunggu Shanaira menggugurkan kandungannya? Dan apakah dia mau? Tidak mungkin kita memberitahu semua ini kepada tamu undangan."
"Mau di taruh di mana muka keluarga kita! Pokoknya Claira akan menjadi istrimu. Hari ini!”
Darah Ethan mengalir turun. “Tidak… Ayah, aku tidak bisa. Aku—aku mencintai Shanaira!”
“Cinta tidak ada artinya dibandingkan kehormatan keluarga,” desis Daisy. “Kita tidak akan membiarkan keluarga Renault jadi bahan gunjingan hanya karena emosi remaja.”
Ethan mundur setapak, wajahnya panik, matanya kembali melirik ke arah Shanaira yang masih tak bergerak di ranjang. Ia bahkan belum tahu. Ia belum bisa membela dirinya sendiri.
Claira melangkah maju, suaranya tenang. “Aku… bersedia,” katanya sambil menatap Ethan dalam-dalam. “Kalau itu bisa menyelamatkan semua pihak… aku tidak keberatan.”
Dan dengan kalimat itu, nasib yang awalnya dipersiapkan untuk Shanaira, kini direbut oleh bayangan dirinya—adik tiri yang selama ini memendam rasa dan dendam dalam diam.
Sementara di ranjang, Shanaira tetap terbaring dalam ketidaksadaran, tidak tahu bahwa takdirnya telah direbut… oleh darah dagingnya sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!