NovelToon NovelToon

Mengejar Cinta Daddy

MCD 1

Setelah tau jika dia bukan putri kandungnya, Lea Amara tidak merasa kecewa maupun sedih. Akan tetapi sebaliknya, dia justru bahagia karena dengan begitu tidak ada penghalang untuk dia bisa memilikinya lebih dari sekedar seorang ayah.

Perasaannya mungkin dianggap tak wajar karena mencintai sosok pria yang telah merawatnya dari bayi, dan membesarkan nya dengan segenap kasih sayang. Tapi itu lah kenyataan yang tak bisa dielak. Dia mencintainya tanpa syarat, tanpa mengenal usia, waktu, maupun statusnya sebagai seorang anak.

Dia sudah berusaha menampik jika perasaannya itu salah. Sudah dengan berbagai cara mencoba untuk menghilangkan perasaannya itu, tapi tetap saja gagal. Dan sialnya, dia kian tersiksa oleh perasaan yang disimpannya rapat-rapat selama ini.

Apakah sudah saatnya dia mengungkapkan perasaan tak wajarnya itu?

Lea celingukan, dan begitu menemukan keberadaan sosok yang dia cari senyumnya langsung terbit. Tekadnya sudah bulat untuk mengutarakan perasaannya saat ini juga.

Tapi bagaimana jika dia menolak cintanya? Langkah Lea perlahan melamban hingga berhenti ditengah jalan. Keraguan kini menyelimuti pikirannya. Pilihannya hanya lanjut atau berbalik saja.

Lea menarik nafas dan dihembuskan perlahan guna menetralisir nafasnya yang tiba-tiba sesak.

'Kamu tidak akan pernah tau jawabannya jika belum mencobanya. Bukan kah kamu pemberani? dan apa pun jawabannya nanti kamu harus sudah siap menghadapinya'. Hatinya berbicara seolah menyemangati agar tetap melanjutkan langkahnya.

Sekali lagi, Lea menarik nafasnya lebih dalam, dan dengan segenap keberanian yang telah kembali terkumpul, dia meneruskan langkahnya.

Begitu mendekat, Lea perlahan menurunkan bo-kong nya di samping sosok pria yang saat ini sedang berkutat didepan layar sebuah laptop.

Saat menyadari kedatangan Lea, pria itu melirik sekilas tanpa senyuman, kemudian kembali melihat pada layar laptop dengan wajah serius.

"Sibuk?" Lea tak tau harus memulainya dari mana. Dia begitu gugup hingga me re mas jari jemari. Keberaniannya mendadak sirna setelah berdekatan dengan sosok yang dicintainya ini.

Pria disampingnya tersenyum tipis tanpa berpaling dari layar." Seperti yang kamu lihat." Saat berkata itu, jemarinya yang besar-besar bergerak lincah di atas keyboard.

Suasa hening sesaat hingga suara pria disamping Lea terdengar lagi." Tumben duduk di dekat Daddy?"

Lea tersentak mendengar pertanyaan bernada sindiran dari pria yang menyebut dirinya Daddy. Dia tersenyum canggung. Memang, ini kalinya dia duduk disamping daddy setelah dua bulan menjaga jarak dan bicara seperlunya saja seolah menjauhinya.

Sejujurnya, Lea bukan menjauhinya setelah tau jika dia bukan putri kandungnya. Tapi, dia hanya berusaha mencegah perasaannya agar tak semakin dalam. Karena itu, dia menjaga jarak dan bersikap sewajarnya.

Tapi ternyata tingkah lakunya yang tak seperti biasanya disalah artikan. Pria yang dicintainya mengira dia membencinya karena telah menyembunyikan sebuah rahasia besar hingga belasan tahun lamanya.

Awalnya, rahasia besar itu tak akan pernah diungkapkan sampai kapan pun. Tapi karena kecurigaan Lea, dan gadis itu mendesaknya terus menerus, akhirnya dia tak mampu lagi menutupinya.

"Ma-maaf ganggu Daddy." Lea terdiam saat tangan pria disampingnya menahan kepergiannya.

"Kamu duduk saja sebentar lagi Daddy akan selesai," pintanya.

Bak gayung bersambut, Lea mengangguk senyum kemudian duduk seperti semula.

Lea duduk manis agar keberadaannya tak mengganggu konsentrasi pria di sampingnya.

Dalam diam, dia menatap lamat-lamat wajah tampan yang seolah tak termakan usia di sampingnya itu. Terhanyut dalam lamunan hingga dia tak sadar jika pria disampingnya telah menyelesaikan pekerjaannya.

"Kamu sudah tidak marah lagi pada Daddy, kan?"

Lamunan Lea buyar dan dia segera meluruskan pandangannya dengan sikap salah tingkah.

"Ti-tidak. Aku tidak pernah marah pada Daddy," jawabnya gugup.

Pria itu menghembuskan nafas besar seakan melepas beban berat yang dipikulnya." Syukur lah. Daddy senang kalau kamu tidak marah lagi pada Daddy."

Dia menyentuh punggung tangan Lea dan dibawanya ke atas pa ha nya yang setengah terbuka. Di elusnya pelan membuat jantung Lea seakan melompat-lompat. Apalagi cara pria itu menatapnya yang begitu dalam, seakan jantung Lea berhenti berdetak saat ini.

"Maafkan Daddy ya sayang. Satu hal yang harus kamu tau. Meskipun kamu bukan darah daging Daddy, tapi Daddy akan selalu sayang sama kamu. Kamu adalah putri Daddy dan akan selalu menjadi putri Daddy."

Deg

Jantung Lea berdentam hebat. Hatinya menolak dan berteriak keras 'tidak bisakah Daddy menyayangiku sebagai mana mestinya menyayangi seorang wanita dewasa, bukan menyayangiku sebagai putri daddy?'

Pria itu mengecup punggung tangan Lea dengan begitu lembut. Tapi hal itu tak membuat hati Lea senang. Apa yang dilakukannya justru semakin membuat dadanya sesak, karena kenyataan nya dia hanya menganggapnya tak lebih dari putrinya sendiri.

"A-apa aku boleh tanya sesuatu, dad?" Seraya menahan sesak di dadanya, Lea mencoba bicara. Saat ini yang ada di dalam otaknya, dia harus berkata jujur.

Dibelainya rambut Lea. Sikap lembutnya itulah salah satu yang Lea sukai darinya, dan karena kebiasaan lembutnya itu, benih-benih cinta tumbuh begitu saja di hatinya." Boleh dong. Katakan saja kamu mau tanya apa, hem?"

Lea diam berpikir. Dia harus memilih kata-kata yang tepat agar tak terlalu mencolok dan membuatnya Daddy nya shock. Meski sebenarnya dia sudah tak sabar ingin segera mengungkapkan perasaannya secara to the point.

"A-apa aku boleh tau tipe wanita yang Daddy sukai itu seperti apa?" Lea menggigit bibir setelah bertanya itu.

"Memangnya cinta harus pakai tipe?" Pria itu menjawabnya tenang dan tanpa melepas belaiannya dari rambut Lea.

Lea tersenyum, namun pria itu tak menyadari arti senyuman Lea.

"Ya mungkin saja. Soalnya kalau Daddy tidak punya tipe wanita yang Daddy sukai lalu kenapa Daddy tidak menikah-menikah?" Setelah mengatakan itu, Lea menunduk dan meringis. Bibir bawahnya di gigit-gigit agak keras tapi tak menimbulkan rasa sakit.

Ada rasa khawatir saat tak mendengar respon pria di sampingnya. Khawatir dia akan tersinggung oleh kata-katanya yang di luar kontek sebenarnya.

Tapi diluar dugaan Lea, sang Daddy justru tertawa kecil setelah diam beberapa detik.

"Tumben kamu menanyakan hal itu, Sayang." Pria itu menarik nafas panjang sebelum lanjut bicara." Daddy mu ini tidak punya kekasih bagaimana Daddy bisa menikah, hem."

Entah hanya candaan semata atau sungguhan, yang pasti Lea seakan mendapat angin segar mendengarnya. Dia langsung mengangkat wajahnya, menatap pada pria itu dengan wajah serius." Kalau begitu bagaimana kalau Daddy menikah denganku saja? kita tidak memiliki hubungan darah, kan? selain itu, kita sudah saling mengenal satu sama lain. Daddy tau bagaimana aku dan aku tau bagaimana daddy."

Pria itu seketika terdiam.

Lea meraih tangannya dan membalas tatapan pria yang saat ini hanya menatapnya dengan tampang bengong.

"Dad, aku ingin Daddy tau kalau aku sebenarnya cinta sama Daddy. Aku sayang sama daddy. A-aku, aku ingin menikah dengan Daddy, aku ingin jadi istri Daddy, aku ingin menjadi ibu dari anak-anak Daddy, aku ingin menemani sepanjang usia Daddy. Please.....nikahi aku, dad, ya?"

"Hahahaha.........." Tawa pria itu seketika meledak, dan disela tawanya dia berkata," Lea, Lea. Mana mungkin Daddy menikahi gadis kecil yang dari bayi hingga umur lima tahun Daddy yang memandikannya, menyebokinya, mengelap ingusnya, memakaikan pakaiannya, menyuapinya. Daddy bukan seorang pedofil, Lea. Hahaha......"

MCD 2

Dia tersenyum dan mengusap-usap sebuah foto berukuran kecil. Foto seorang pria muda menggendong seorang bayi perempuan yang menggemaskan. Sebuah foto yang diambil dari sembilan belas tahun yang lalu, dan selalu disimpannya di dalam dompet kesayangannya, agar bisa dibawa kemana pun dia pergi.

"Kamu sangat lucu dan menggemaskan sekali waktu kecil, Lea. Tapi kenapa setelah dewasa kamu sangat menjengkelkan Daddy?" gumamnya.

Dia menghela nafas panjang begitu teringat tawaran menikah beberapa waktu yang lalu. Sempat terpikir mungkin saja putrinya hanya becanda, tapi entah mengapa kata-katanya itu selalu mengusik pikirannya di setiap waktu dan membuatnya tak tenang.

Dia berdiri dan berjalan ke arah jendela besar di ruangannya. Menatap keluar dimana di bawah sana terlihat kendaraan yang hilir mudik. Hanya sebuah gedung berlantai tujuh, namun dia bangga memilikinya karena didapat dari hasil kerja kerasnya sendiri bukan dari warisan.

Dia adalah Varen Andreas. Pria matang tapi tampan, berusia empat puluh dua tahun, seorang pemimpin sebuah perusahaan yang bergerak di bidang IT, dan seorang investor di sebuah sektor pendidikan.

Bertubuh tinggi, dengan perangai santai tapi berwibawa. Setiap gerak-geriknya memancarkan aura yang mampu memikat para wanita, terutama wanita matrealistis pemuja harta dan tahta.

Sebagai pria yang ditunjang dengan fisik nyaris sempurna, dan didukung oleh tubuh atletisnya, tak membuat Varen mudah jatuh cinta pada lawan jenis, meski tatapan kagum dan memuja dari kaum hawa sudah biasa dia terima.

Karena sulit jatuh cinta, Varen meminta Rey, asistennya untuk mencarikan wanita demi terhindar dari tawaran gila putrinya itu. Dengan memiliki seorang kekasih mungkin Lea akan berhenti berharap padanya. Karena walau bagaimana pun dia tak mungkin menikahi gadis kecil yang sudah dianggap anaknya sendiri dan tidak lebih dari itu.

Tapi sudah sekian banyak wanita yang Rey rekomendasikan, tak satu pun diantara mereka yang mampu memikat hatinya. Justru sebaliknya, dia dibuat muak oleh kelakuan mereka.

Tok

Tok

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Varen. Dia berseru," masuk." Lalu berjalan ke arah kursi kebesarannya dan duduk.

"Selamat siang, Tuan !" Rey menyapa setelah pintu terbuka dari luar.

"Apa ada wanita lagi yang mau kamu kenalkan padaku?" Tanya Varen.

"Ada, Tuan." Rey menjawab pertanyaan Varen sembari masuk semakin ke dalam. Saat ini pria itu telah berdiri di hadapan Varen dan meja sebagai penghalang.

"Kapan dan jam berapa?"

"Apa tidak sebaiknya Tuan melihat foto dan biodata nya terlebih dahulu? ini saya_

"Tidak perlu." Varen mengibaskan tangannya, menolak Rey memberikan berkas yang akan diberikan padanya. Dia sama sekali tidak berminat untuk melihatnya, karena dia pikir pasti sama saja seperti perempuan-perempuan sebelumnya.

Rey menghela nafas pelan dan kembali menurunkan tangannya. Entah harus berapa banyak lagi kesabaran yang dibutuhkan menghadapi sikap sang bos yang angin-anginan. Jika bukan atasannya mungkin dia sudah mencaci maki pria itu karena kerja kerasnya selalu tak dihargai.

"Kamu katakan saja siapa nama panggilan nya? usianya? kapan? dan dimana harus ku temui? kamu tau bukan kalau aku tidak suka kalimat yang bertele-tele," imbuh Varen.

"Namanya Selly. Usia 40 tahun. Tanggal 5, jam empat sore. Di restauran tulip," jawab Rey sesingkat-singkatnya. Siapa juga yang ingin bicara panjang lebar dengan bos kurang normal pikir Rey. Bahkan, Rey sempat berpikir apakah bos nya itu seorang gay yang sedang berusaha kembali pada kodratnya. Dia tak terlalu tau banyak tentang kehidupan pribadi Varen, karena dia baru enam bulan bekerja dengannya menggantikan asistennya yang mati kecelakaan.

Selly? Varen memicingkan mata mencoba mengingat-ingat nama yang sepertinya tak asing baginya. Tapi, dia segera menyangkal pemikirannya itu.

"Okey. Kau boleh pergi."

"Baik, Tuan. Tapi...."

Kening Varen mengkerut melihat Rey belum beranjak dan terlihat seperti ragu-ragu." Ada apa lagi?"

"Sa-saya harap wanita ke dua puluh ini sesuai dengan kriteria dan cocok menurut hati Tuan. Karena saya sudah capek dan tidak tau harus mencari model perempuan seperti apa lagi yang Tuan inginkan. Permisi." Setelah berkata itu, Rey langsung keluar tanpa ingin mendengar jawaban atau melihat mimik muka sang Tuan yang tampaknya sedang menahan kesal karena ucapannya.

"Dasar asisten tidak punya akhlak. Apa dia pikir hanya dia saja yang capek. Ck, dia saja yang tidak becus mencarikan wanita yang cocok untuk ku makanya pilihannya selalu ku tolak," gerutu Varen.

Sebenarnya bukan Rey yang tak becus tapi hatinya lah yang bermasalah. Kurang apa asistennya itu? dia sudah menyuguhkan sembilan belas wanita dengan berbagai rupa dan latar belakang yang tentu saja bukan dari kalangan wanita biasa. Tapi wanita-wanita cantik dan berkelas itu sama sekali tak menarik di matanya apalagi menarik hatinya.

"Nomer antrian 50 A."

Sementara di lain tempat, Lea tersentak begitu mendengar nomer antriannya disebut oleh seorang staf sebuah restauran siap saji.

Lea menghela nafas lega." Finally....." diiringi senyuman tipis, dia bergegas mendekat untuk mengambil pesanannya.

"Terima kasih." Setelah mengucapkan itu, Lea mengangkat nampan berisi beberapa potong ayam crispy, rice bowl, kentang goreng, minuman dingin dan es krim sebagai menu makan siangnya.

Tapi begitu berbalik, dia ditabrak oleh seorang wanita dewasa sehingga nampan yang akan dibawa itu jatuh dan berserakan di lantai." Ya tuhan....." pupil mata Lea membulat karena terkejut atas kejadian yang tak terduga itu.

"Brengsek. Apa kau tidak punya mata, hah?" bentak wanita yang menabrak Lea.

Lea membuang nafasnya kasar. Dia tak terima dibentak oleh orang yang jelas-jelas salah tapi melempar kesalahannya pada dirinya yang tak salah.

"Helloooo anda bicara apa tadi? yang tidak punya mata itu aku apa Tante ya? Tante yang menabrak kenapa Tante yang sewot?"

Plak.

Lea memegang pipinya yang terasa kebas dan perih ulah tamparan keras wanita itu.

"Berani-beraninya kau mengatai ku," ucap wanita itu dengan mata melotot besar.

Dada Lea bergemuruh. Dengan tangan yang masih menangkup di pipi, ekor matanya melirik penuh dendam pada wanita itu.

Wanita bar bar itu benar-benar menyulut emosi Lea. Dia tak hanya menjatuhkan makanannya, tapi juga menjatuhkan harga dirinya karena telah menamparnya di depan banyak orang.

"Apa? kau tidak terima ku tampar?" Wanita itu berkacak pinggang seperti menantang Lea.

Tanpa ba bi bu, Lea melakukan gerakan secepat kilat. Dia menjambak rambut wanita itu tanpa bisa dihindari. Ditariknya kuat-kuat dan di putar kebelakang sampai wajah wanita itu terangkat ke atas.

Wanita itu berteriak dan berusaha melepaskan rambutnya dari cengkraman kuat tangan lentik Lea.

"Apa anda pikir aku tidak bisa berbuat lebih kasar dari anda tante gila?" ujar Lea dengan begitu sengit.

"Lepaskan rambutku. Tolong, tolong...." teriak wanita itu.

Lea menyeringai, membuat orang-orang yang tadinya hendak mendekat mendadak diam di tempat dan kini hanya menjadi penonton aksinya saja.

"Dasar perempuan sialan. Lepaskan rambutku !!" Makiannya tak dihiraukan. Lea segera menyeretnya ke arah toilet.

Wanita itu meronta-ronta dan terus berteriak meminta tolong selama diseret. Tapi, tak ada satupun yang berani menolongnya.

Setelah berada di dalam toilet, Lea langsung mengguyur kepalanya dengan air kran yang biasa digunakan untuk cebok sambil berkata," sekali lagi anda membuat masalah denganku, bukan hanya air toilet ini saja yang ku siramkan, tapi air comberan. Paham?"

Selanjutnya, Lea mendorong wanita itu dengan kasar hingga tubuhnya membentur pada tembok ubin." Aaakk..." jeritnya, lalu berbalik menghadap pada Lea. Wajahnya terlihat merah padam, mata menyalang, dan dada kembang kempis seperti menahan amarahnya yang bergejolak.

Lea tersenyum puas, kemudian bergegas keluar dan menutup pintunya dengan kasar.

Brak.

"Dasar perempuan sialan. Aku tidak terima penghinaan ini. Lihat saja akan ku balas kau...."

Lea hanya tersenyum mendengar teriakan dari dalam toilet, lalu melenggang santai keluar dari restauran tersebut.

MCD 3

Lea menyeret kakinya ke sebuah restauran yang tak begitu jauh dari restauran pertama.

Tetapi begitu masuk, dia dikejutkan oleh keberadaan tiga orang gadis yang selalu berulah padanya.

Dia memperhatikan tiga gadis yang sedang makan sambil bergurau itu. Mungkin hari ini merupakan hari kesialan Lea. Di restauran sebelumnya, dia dikacaukan oleh keberadaan wanita gila yang tak dikenalnya. Dan disini dia bertemu dengan para musuh bebuyutan nya. Kenapa hidupnya tak pernah tenang?

"Tuh lihat siapa yang datang?"

Lea tersentak ketika salah satu dari mereka melihat ke arahnya dan memberitahu pada kedua temannya. Padahal, dia baru saja hendak berbalik untuk meninggalkan restauran tersebut.

Kedua temannya menoleh serempak pada Lea dan terlihat terkejut.

Lea perlahan mundur, lalu berbalik dan langsung pergi dengan langkah cepat. Bukan takut, hanya saja dia sedang tidak ingin berurusan dengan ketiga gadis tersebut.

"Ayok kita ikuti dia...." seru salah satunya.

Lea melihat ke belakang. Terlihat tiga gadis tersebut tergopoh-gopoh mengejarnya. Karena tak ingin terkejar, dia mempercepat langkahnya. Tapi begitu menoleh kebelakang lagi, dia melihat ketiga gadis itu tak lagi mengejarnya melainkan memandangi seorang pria yang melintasi mereka dengan langkah gagah berwibawa.

Langkah Lea ikut berhenti dan memperhatikan pria gagah tersebut dari samping. Meski jaraknya lumayan jauh, tapi penglihatannya cukup tajam.

"Itu seperti Daddy !!" dan saat pria itu menoleh ke arahnya, Lea segera memalingkan wajahnya ke arah lain. Tapi begitu dia menoleh lagi, pria yang mirip sekali dengan Daddy nya sudah tak tampak lagi.

"Pria tadi bukan kah itu Varen Andreas investor terbesar di kampus kita?"

"Kamu benar. Wah, baru kali ini aku melihatnya dari jarak yang sangat dekat. Dia benar-benar tampan sekali."

"Ck, dasar. Pria mana sih yang tidak kamu bilang tampan. Hampir semua laki-laki kamu bilang tampan."

"Tidak juga. Kalau Tuan Varen ini lain. Dia benar-benar tampan meskipun usianya sudah tidak lagi muda. Dia Om tertampan yang pernah kita temui ya tidak Clara?"

Gadis yang ditanya hanya diam mematung dengan arah pandang ke arah menghilangnya pria tadi. Entah apa yang gadis itu pikirkan.

"Clara !!"

Gadis yang bernama Clara tersentak kaget begitu dipukul pelan pundaknya." Ya, dia dia sangat tampan dan dia target ku. Ya sudah ayok kita cari si anak sialan itu."

Kedua gadis itu saling tatap, seakan matanya saling berbicara. Kemudian, mereka segera menyusul gadis bernama Clara yang sudah pergi lebih dulu.

Lea menghela nafas lega setelah ketiga gadis tersebut menjauh. Tanpa mereka sadari, orang yang mereka cari ada dibelakang mereka. Dia bersembunyi di balik dinding penyekat dan mendengar obrolan mereka.

"Dasar pe rek. Dia calon suamiku. Apa kalian pikir calon suamiku bakal naksir sama kalian? ck, mimpi." Lea tersenyum mengejek, lalu bergegas mencari keberadaan pria yang mirip sekali dengan Daddy nya.

Tapi begitu di hadapkan oleh dua arah, Lea kebingungan karena dia tak melihat arah kepergiannya ke arah kiri atau ke arah kanan. Setelah berpikir sejenak, Lea akhirnya memilih arah kanan meski tak yakin.

Lea celingukan dan memasang mata jeli mencari targetnya di sebuah tempat yang sepi. Tak ada aktifitas manusia di sana, yang ada hanya tumpukan barang bekas yang menggunung dan di mana-mana. Dia baru sadar tak mungkin Varen ke tempat seperti ini. Ini pasti salah arah mestinya ke kiri bukan ke kanan.

Tapi saat Lea hendak meninggalkan tempat tersebut, dia di hadang oleh dua orang preman berbadan besar dan penuh dengan tatto. Tak hanya badannya tapi juga wajahnya.

Lea bergidik melihat tubuh dua preman tersebut terlebih melihat ekspresi mesum mereka.

"Ada santapan enak nih," ujar salah satu preman dengan tatapan lapar.

Preman satunya menjilat-jilat bibir bawahnya yang terlihat hitam legam dan pecah-pecah.

"Benar sekali. Tanpa dicari santapan sedap datang sendiri dan kita tinggal menyantapnya. Kita benar-benar beruntung hari ini kawan," sahut si preman satunya diikuti tawa kecil.

Nafas Lea memburu karena takut. Tapi, dia berusaha agar tetap tenang.

"Ma-mau apa kalian?" Lea memberanikan diri bertanya meski sudah tau jika mereka memiliki niat jahat padanya.

Kedua preman tersebut saling menatap, lalu melihat lagi pada Lea dan tertawa.

"Hahahah....."

"Kami hanya ingin bersenang-senang saja dengan mu nona cantik."

Lea mengerti apa yang dimaksud dengan 'bersenang-senang'. Dia berkata," oh. Kalau begitu jangan di sini. Di sini sangat panas dan tempatnya tidak nyaman. Gimana kalau kita bersenang-senangnya di sana saja." Lea menunjuk ke suatu bangunan seperti gudang dan letaknya tak jauh dari arah jalan keluar.

Kedua preman tersebut saling menatap seakan berunding melalui isyarat tatapan." Baiklah," putus keduanya.

Lea tersenyum samar meski tak yakin rencananya akan berhasil atau tidak. Tapi alangkah baiknya mencoba dulu dari pada tidak sama sekali. Meski dia berontak atau berteriak tak akan ada yang menolongnya karena tempat itu benar-benar sepi.

Diikuti kedua preman itu, Lea berjalan ke arah bangunan kecil dan masuk ke dalamnya dengan sikap tenang dan berusaha tak menaruh kecurigaan.

Karena calon mangsanya seolah penurut, mereka percaya jika Lea akan menyerahkan tubuhnya secara suka rela tanpa paksaan.

"Tidak perlu di tutup pintunya," cegah Lea saat melihat salah satu preman hendak menutup pintu. Dia berkata lagi sebelum si preman curiga." Aku tidak bisa bersenang-senang di tempat yang pengap. Jadi biarkan dibuka supaya angin bisa masuk. Lagi pula tempat ini sepi jadi tidak akan ada yang melihat kita."

Preman tersebut percaya dan membiarkan pintunya terbuka lebar.

"Siapa yang mau duluan?" Tanya Lea pada kedua preman tersebut.

"Aku." Kedua preman itu menjawabnya serempak lalu saling pandang.

"Aku duluan."

"Tidak bisa. Aku duluan."

"Aku duluan karena aku yang pertama kali melihat keberadaan nona cantik ini."

"Stop," teriak Lea.

Kedua preman itu terdiam dan melihat pada Lea.

"Jangan berdebat aku tidak suka. Begini saja bagaimana kalau kalian fight dulu. Siapa yang menang dia yang duluan. Tapi tenang saja yang kalah pun akan kebagian," usul Lea.

Keduanya saling tatap dan diam. Tampaknya mereka sedang menimang-nimang.

"Baiklah aku setuju."

"Aku juga setuju."

Setelah keduanya sepakat, fight pun di mulai. Lea menyaksikan pertarungan yang cukup sengit itu sambil berpikir caranya keluar dari tempat tersebut.

Kedua preman itu saling menyerang satu sama lain. Saling memukul, menonjok, menendang persis seperti sebuah pertarungan diatas ring.

Disaat kedua preman itu semakin loyo akibat pertarungan tersebut, Lea perlahan mundur mendekati pintu keluar.

"Dasar preman kampung mau saja ku bodohi. Bertarung lah kalian sampai mati," ujar Lea dalam hati, lalu menutup pintu itu perlahan dan menguncinya dari luar.

Lea dapat mendengar makian dan sumpah serapah dari dalam sana. Tak hanya itu, pintu gudang itu pun terlihat bergoyang-goyang. Tampaknya kedua preman itu sedang berusaha membukanya.

Dia bergegas lari sebelum mereka berhasil mendobrak pintunya. Begitu lolos dari gudang tersebut, Lea berhenti dan mengatur nafasnya yang ngos ngosan imbas lari-larian.

"Itu dia..."

Teriakan itu mengejutkan Lea. Ternyata kedua preman itu telah berhasil keluar dan kini mengejarnya.

"Sial." Lea mengumpat kesal. Dia segera berlari lagi menghindari kedua preman yang kini berlari ke arahnya untuk menangkapnya.

Brugh

Dan sialnya, Lea tersungkur imbas menyandung sebuah batu ukuran genggaman tangan yang tergeletak disembarangan.

"Cepat kejar dia? Jangan sampai lolos."

Mendengar seruan itu, Lea segera bangkit dan meninggalkan tempat itu dengan tertatih-tatih.

Lea melihat ke belakang, kedua preman itu semakin mendekat. Sambil menahan rasa sakit, dia terus menyeret kedua kakinya.

Tiba-tiba, seseorang membekap mulut Lea dan membawanya ke sebuah ruangan kecil.

"Ssssst. Jangan berteriak!"

Suara itu? otot Lea seketika mengendur mendengar suara yang tak asing. Dia diam tak lagi memberontak terhadap sosok yang ternyata sedang berusaha menyelamatkan nya dari dua preman itu.

"Kemana dia larinya?"

"Sepertinya ke sana."

"Kau yakin."

"Ya aku yakin."

"Baiklah. Ayok kita ke sana."

Hening.

Tangan besar yang membekap mulut Lea perlahan mengendur. Gadis itu lantas mendongak.

"Daddy ?" lirih Lea. Matanya berkaca-kaca.

"Dasar anak nakal. Kenapa kamu bisa ada disini dan sampai di kejar preman?" Varen berbicara tanpa membalas tatapan Lea. Dia menghindari kontak mata dengan Lea karena tak sanggup menatap matanya yang berkaca-kaca itu.

Lea tak menjawab, dia meletakkan wajahnya pada dada bidang Varen dan tubuhnya bergetar.

Sekuat apapun Varen menahan diri untuk tak menyentuh Lea, tapi kenyataannya dia tak bisa menahannya. Dia memeluk Lea dan dipastikan pelukan nya ini bukan karena cinta tapi karena kasihan.

"Kita pulang sekarang," ajak Varen setelah Lea tenang.

Lea mengangguk tanpa sepatah kata.

Begitu menyadari jalan Lea tak normal, Varen segera mengangkat tubuh Lea dan membawanya ala anak koala. Sekali lagi dia pastikan ini bukan karena cinta, tapi karena kasihan putrinya sedang terluka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!