Awal yang Tak Begitu Buruk
Yang Xian memandangi Zhong Yao yang tampak sibuk memeriksa barang-barang di ruangannya. Baru saja tadi, Zhong Yao memukuli seorang pelayan yang kebetulan lewat di depan rumah—perilaku yang jelas tak masuk akal. Pria dingin yang dulu dikenal tenang itu, kini berubah seratus delapan puluh derajat menjadi seseorang yang… yah, aneh.
Zhong Yao adalah saudara seibu Yang Xian, tapi ayah mereka berbeda. Ayah Yang Xian adalah seorang pejabat tingkat dua, sementara ayah Zhong Yao adalah seorang bangsawan, Adipati Xun.
Kisah cinta antara Adipati Xun, Penasihat Yang (ayah Yang Xian), dan ibu mereka, Nyonya Xiao Yu, adalah legenda lokal yang sering disebut warga sebagai drama dinasti penuh dosa. Konon, Nyonya Xiao Yu dulunya gadis tercantik di Dinasti Han—perebutan antar lelaki hanya masalah waktu.
Awalnya, Xiao Yu dijodohkan dengan Penasihat Yang, dan dari pernikahan itu lahirlah Yang Xian. Namun, saat bepergian ke selatan, ia diserang perampok dan diselamatkan oleh seorang jenderal gagah—yang belakangan dikenal sebagai Adipati Xun. Sayangnya, ia jatuh dari tebing, kehilangan ingatan, dan... jatuh cinta pada jenderal penyelamatnya. Dari hubungan itu lahirlah Zhong Yao.
Setahun kemudian, Adipati Xun kembali ke medan perang, dan Nyonya Xiao Yu memutuskan mencarinya karena rindu. Tapi takdir berkata lain—di tengah perjalanan, ia jatuh dari kuda, kepalanya terbentur, dan ingatannya kembali. Ia langsung kabur entah karena malu telah menikahi dua pria, atau karena takut mereka saling bunuh.
Sampai sekarang, tidak ada yang tahu apakah Nyonya Xiao Yu masih hidup. Upaya pencarian dilakukan, namun hasil nihil. Sementara itu, Penasihat Yang dan Adipati Xun, yang sama-sama mencari perempuan yang sama dengan potret yang sama, akhirnya bertemu… dan bertengkar sampai hampir membakar habis kota Xi Zhou.
Untunglah, Kaisar—yang juga kakak Adipati Xun—turun tangan, menengahi pertikaian, dan memutuskan untuk membawa kedua anak hasil cinta segitiga ini ke istana, menemani sang putra mahkota, Jin Heng.
Yang Xian, Zhong Yao, dan Jin Heng pun tumbuh bersama. Saat berusia 16, Zhong Yao kembali ke selatan. Dua tahun kemudian, ia kembali ke istana sebagai pelajar. Tapi ia bukan lagi Zhong Yao yang dikenalnya. Kini ia dingin, tak peduli, dan seolah melupakan masa lalu.
Yang Xian tentu kecewa. Tapi semuanya memuncak dua bulan lalu ketika mereka bertarung di Laut Timur. Yang Xian, yang tak rela kalah demi kehormatan keluarga, menggunakan jurus terlarang hingga membuat Zhong Yao koma. Merasa bersalah, ia membawa Zhong Yao pulang dan merawatnya.
Selama dua bulan, Zhong Yao tak menunjukkan tanda-tanda sadar. Tabib bilang tubuhnya pasif. Namun, satu hari lalu, ia tiba-tiba terbangun... dan kehilangan seluruh ingatannya.
Begitu membuka mata, kalimat pertama yang ia ucapkan sungguh di luar dugaan:
"Yang Xian, kamu menyebalkan! Kenapa aku semiskin ini?!"
Yang Xian menoleh, kebingungan.
"Kau sangat kaya. Kenapa kau pikir kau miskin? Kau satu-satunya penerus Adipati Xun!" jawabnya tak kalah bingung.
Zhong Yao ternyata bukan lagi Zhong Yao. Ia adalah Bai Hua, seorang pria dari dunia modern yang pernah memainkan game berlatar Dinasti Han. Ia masuk ke dalam tubuh karakter Zhong Yao, anak dari karakter sampingan di bab tambahan game tersebut.
Masalahnya? Game itu sudah tamat.
Ia kesal. Tak ada plot yang bisa diikuti. Tak ada misi. Tak ada ending. Bahkan tak ada jalan keluar. Ia hanya bisa memandangi Yang Xian—yang, sialnya, adalah anak dari karakter utama.
"Yang Xian… di mana ibu kita?" tanyanya, penasaran.
Yang Xian mengunyah sepotong kue, lalu duduk di kursi kayu ulin.
"A-Zhong, kita berdua belum pernah melihat ibu kita," jawabnya santai.
Zhong Yao mendengus. "Dih, pelacur…!"
Yang Xian sampai tersedak kue.
"Ucapanmu bisa mengguncang dunia! Kau tahu, ayahku dan ayahmu hampir membakar habis kota Xi Zhou hanya karena perempuan itu!"
Zhong Yao mendesah. Dunia ini lebih absurd dari sinetron pagi hari.
---
Zhong Yao menelan air liurnya, lalu menyesap air dari cangkir di atas meja. Ia mengangkat cermin perunggu di meja rias dan menatap wajahnya.
“Hmm... cukup tampan,” gumamnya, tidak terlalu terkejut.
Bai Hua, di dunia asalnya, adalah artis terkenal berusia 35 tahun. Ia memulai karier sejak usia 16, setelah diambil dari panti asuhan oleh seorang master misterius dan diserahkan kepada seorang sutradara muda. Sutradara itu baik hati—bukan tipe yang suka melempar naskah ke kepala pemain—dan membuatnya jadi artis besar. Sayangnya, sutradara itu meninggal delapan tahun lalu.
Bai Hua memenangkan 345 penghargaan, tapi semua pencapaian itu tak bisa menyelamatkannya dari rasa lelah yang menumpuk. Awalnya, ia hanya ingin hidup tenang, tetapi justru berakhir tragis—diracun oleh wanita yang mengaku sebagai ibunya, dan meninggal sendirian di rumah mewah tanpa seorang pun yang tahu. Hidupnya dihabiskan hanya untuk bekerja; tak ada teman, keluarga, atau bahkan hewan peliharaan. Ia bahkan tak sempat menghubungi siapa pun saat ajal menjemput.
Kini ia terbangun dalam tubuh yang berbeda—di dunia yang asing, namun terlalu nyata untuk disebut mimpi, novel, atau game.
Ia berdiri, menatap cermin lagi dan berdecak kagum pada wajahnya sendiri.
“Bibir atas tipis, bawah sedikit lebih penuh. Bukan tebal, tapi ada garis tengah yang manis. Rahang tegas, alis tajam, mata teduh tapi dominan. Seratus enam puluh lima sentimeter? Tidak... tinggi ini jelas 190 cm, berat 140 jin. Ideal,” gumamnya sambil mengangguk puas.
"Pelayan! Kenakan pakaian!" perintahnya.
Dua pelayan wanita masuk dengan gugup. Mereka memakaikannya pakaian dalam diam-diam terpukau. Jubah dengan sulaman emas dan pinggang dihiasi tali sutra tampak mewah. Rambut panjangnya ditata menjadi sanggul kecil, dihiasi tusuk rambut berbentuk daun.
“Zhong Yao... kau bukan seperti biasanya? Apa kau habis bermeditasi dalam dimensi lain?” tanya Yang Xian bingung.
Zhong Yao menoleh dan tersenyum tipis. “Bukankah pria dalam hanfu seharusnya terlihat mempesona? Tusuk rambut ini... elegan, bukan?”
Yang Xian hanya bisa menggeleng putus asa. Biasanya Zhong Yao membenci hal-hal mencolok, tapi kini...
“Apakah aku tampan?” tanya Zhong Yao penuh percaya diri.
“Tentu saja,” jawab Yang Xian cepat, seperti anak magang yang ditanya bos-nya, “sangat tampan.”
Mereka berjalan menuju pengadilan. Yang Xian masih belum sepenuhnya percaya apa yang sedang terjadi, tapi memilih diam.
“Salam, Tuan Muda Xun,” sapa seorang menteri.
Zhong Yao hanya mengangguk dan berjalan terus.
Menteri Yu menoleh, berbisik ke rekannya, “Apakah Tuan Muda Xun tidak memakai topengnya hari ini?”
“Wajah itu... luar biasa tampan!” celetuk seorang pejabat lain.
Semua mengangguk setuju, seperti juri ajang pemilihan pangeran tampan. Mereka pun masuk mengikuti Pangeran Ketujuh, Jin Heng.
---
Di istana, Lu Yu duduk di hadapan Kaisar sambil meletakkan bidak catur dengan cermat.
“Kau menang lagi dariku... padahal usiamu baru 23 tahun, tapi otakmu seperti pria 40,” puji Kaisar sambil tersenyum.
“Hamba tak berani,” jawab Lu Yu merendah dengan gaya klasik "aku rendah hati tapi ya, memang pintar".
Lu Yu adalah master teh, tak jago berkelahi, tapi otaknya lincah. Ia dulunya pelajar miskin, lalu entah kenapa dua tahun lalu bisa masuk istana. Tak ada yang tahu caranya, mungkin juga ia ikut giveaway.
“Bagaimana pendapatmu tentang Zhong Yao?” tanya Kaisar tiba-tiba.
“Aku tak punya kesan khusus, hanya dengar dia pendiam. Kita juga tak tahu dia berdiri di pihak siapa,” sahut Lu Yu sambil meletakkan bidak cepat-cepat—mungkin berharap Kaisar lupa topik sebelumnya.
Tiba-tiba seorang kasim datang terburu-buru.
“Paduka! Ada kabar mengejutkan! Tuan Muda Zhong sudah sembuh dan kini hadir di pengadilan bersama Yang Xian!”
Kaisar menatap Lu Yu dengan ekspresi terkejut setengah tak percaya.
“Zhong Yao?” tanya Lu Yu, menyipitkan mata.
“Ya, Tuan. Dan... ia bahkan tak memakai topeng.”
Di ibu kota, ada empat pria dijuluki "Rembulan di Dahan Perak". Julukan ini diberikan pada pria-pria tampan dari keluarga terhormat.
Nomor empat: Yang Xian.
Nomor tiga: Tang Ziyu.
Nomor dua: Zhong Yao.
Nomor satu: Lu Yu sendiri.
Saat mereka masuk ke ruang pengadilan, Lu Yu melihat Zhong Yao—yang memanyunkan bibir seperti anak kecil disuruh nunggu lama di minimarket.
Lu Yu diam-diam melirik. Jantungnya sedikit terhenti.
“Ini...?”
Namun ia tetap menyembunyikan ekspresinya.
Zhong Yao menyadari lirikan itu, lalu memandang Lu Yu penuh harap.
“Ini... Sutradara Li?” tanyanya ragu.
Lu Yu mengernyit. “Apa maksud Anda?”
“Paman Li... ini aku, Bai Hua.”
Zhong Yao menyentuh bahunya dengan akrab, seperti reuni dadakan. Lu Yu buru-buru merapikan ekspresi.
“Tuan Muda Zhong... kita bicarakan ini nanti.”
Zhong Yao menunduk kecewa. Tapi wajahnya tetap cerah—seperti anak kecil yang yakin sudah menemukan mantan guru TK-nya.
Sepanjang rapat, Zhong Yao tidak memperhatikan satu pun pembahasan. Pandangannya terus tertuju pada Lu Yu, wajahnya berbinar-binar seperti penggemar melihat idolanya dari jarak dekat.
Lu Yu berkali-kali merasa terganggu, bahkan ingin protes—tapi ia juga merasa sedikit gugup. Entah karena tatapan itu... atau karena ia tak bisa mengalihkan pandangannya juga.
---
Zhong Yao berlari keluar dari gedung pengadilan, mengejar Lu Yu yang hendak menaiki keretanya.
“Sutradara Li! Ini aku, Bai Hua!” serunya penuh harap.
Lu Yu menoleh dengan ekspresi netral, lalu menepuk tempat duduk di sampingnya, “Tenanglah... duduk dulu dengan baik, seperti orang normal.”
Zhong Yao duduk—meski dengan wajah setengah tersinggung.
“Aku bukan orang yang kau sebut ‘Sutradara Li’. Jadi, ada urusan apa kau kejar-kejar aku seperti penagih utang?”
Nada suara Lu Yu terdengar tenang, tapi dingin seperti sup semalam yang lupa dipanaskan.
Zhong Yao terdiam, kesal. Ia baru sadar—ini dunia lain. Mana mungkin ada Sutradara Li di sini? Bodohnya ia tadi sempat berharap.
Ia berdiri dan berbalik tanpa sepatah kata, wajahnya muram seperti habis ditolak saat melamar kerja... padahal dia bosnya.
Ia berjalan keluar dari gerbang istana, sendiri. Tak satu pun wajah yang dikenalnya. Dunia ini benar-benar asing.
Tepat di luar gerbang, ia melihat seorang pria berpakaian jerami menangis tersedu-sedu. Beberapa orang lainnya duduk lemas. Wajah mereka penuh kesedihan. Sepertinya ini bukan audisi sinetron, tapi benar-benar masalah nyata.
Zhong Yao melirik seorang gadis yang berdiri dengan gagah, menenteng genderang. Sepertinya dia pemimpin kelompok ini.
“Apa yang terjadi?” tanyanya.
Gadis itu menatapnya tajam. “Kau terus bertanya seolah dunia ini indah? Kau pasti anak orang kaya, ya? Mana paham derita kami! Ternak hilang, panen dirampas. Para tuan tanah gila minta separuh hasil panen kami! Separuh! Kami bahkan belum makan separuh nasi kami sendiri!”
Zhong Yao sempat ternganga, tapi langsung mengangguk mengerti.
“Lalu, kalian mau bagaimana?” tanyanya penasaran.
“Kami menunggu gerbang dibuka,” gumam si gadis sambil menggenggam genderangnya, kesal.
Zhong Yao mengangguk. “Menurutku... pejabat-pejabat itu tuli. Kita harus teriak sekencang mungkin nama hakimnya.”
Si gadis memandangnya, tercengang. “Itu... ide bagus.”
Lalu dengan semangat empat lima, Zhong Yao mulai berteriak:
“HAKIM YANG!!! KELUAR!!! DENGAR KELUHAN KAMI!!! JANGAN SOK MULIA KAU ITU, KAU HANYA PEGAWAI DENGAN JUBAH! DASAR HAKIM SIALAN, PENYIKSA PETANI! KALAU KAU TAK DENGAR AKU... AKU AKAN DOAKAN KAU MANDUL!!!”
Beberapa warga yang tadinya lesu kini ikut bersemangat. Makian bergema seperti paduan suara rakyat yang tak punya saluran TV untuk curhat.
Si gadis menatapnya dengan wajah bingung. “Saudara, kenapa kau... ikut-ikutan kami?”
“Aku sedang terapi batin,” jawab Zhong Yao, nyengir.
---
Di tempat lain, Yang Xian panik mencari Zhong Yao. Ia berpapasan dengan Lu Yu yang baru saja lewat.
“Apakah Zhong Yao bersama Anda?” tanyanya dengan napas terengah.
Lu Yu menggeleng dengan datar, lalu berlalu tanpa penjelasan. Yang Xian makin bingung.
Saat ia kembali ke pengadilan, terdengar keributan dari luar.
“Pei Zuo, suara apa itu?” tanya Yang Xian.
“Rakyat mengadu karena ternak mereka hilang,” jawab Pei Zuo dengan ekspresi ragu.
Namun suara teriakan makin menggila:
“HAKIM YANG!!! AKU BERSUMPAH AKAN MENYUMBAT TELINGAMU DENGAN JAGUNG BUSUK!!!”
Yang Xian langsung menegang. Ia mengenali suara itu.
Ia melongok ke luar jendela kecil, mengintip...
“Zhong Yao???” gumamnya kaget. Ia sampai tidak bisa berkata-kata.
“Bagaimana bisa...?”
---
Sementara itu, dari kejauhan, Lu Yu yang keretanya baru berbelok, mendengar keributan juga. Ia menoleh, matanya menangkap pemandangan yang ganjil: seorang pria berwajah tampan luar biasa, mengenakan jubah hijau sutra, rambut bersinar dan senyum mematikan... sedang maki-maki pejabat seperti preman pasar.
Lu Yu turun dari kereta, mendekat, diam-diam mengamati.
Zhong Yao, yang mulai kelelahan setelah dua jam orasi penuh semangat, menghampiri si gadis yang tadi ia ajak bicara.
“Eh, saudari... siapa namamu?” tanyanya sambil duduk di atas batu.
“Hua Jia,” jawab si gadis, wajahnya memerah malu.
“Bawa aku ke desa kalian. Mungkin kita bisa tangkap si maling itu,” ucap Zhong Yao santai seperti menawarkan bantuan cari kucing hilang.
“Kami sudah coba. Nihil,” ujar Hua Jia lesu.
“Lebih nihil kalau kalian cuma duduk di sini. Hakim yang itu tampangnya seperti kolektor pajak hantu. Tenang saja, aku punya uang. Kita cari malingnya.”
Warga yang mendengar tawarannya langsung menyala lagi semangatnya. Hua Jia mengangguk dan memimpin rombongan pulang ke desa... kini dengan satu anggota VIP: Zhong Yao.
Dari kejauhan, Lu Yu mengamati mereka hingga menghilang dari pandangan.
“Zhu Xin,” panggilnya pelan.
Seorang pria berbaju gelap muncul dari bayangan.
“Ikuti mereka. Lindungi Zhong Yao,” titahnya.
Zhu Xin mengangguk dan pergi dalam senyap.
Lu Yu berdiri sejenak, memandang langit.
“Zhong Yao tak pernah peduli dengan rakyat. Bahkan jika seseorang mati di depannya pun, wajahnya datar seperti batu nisan. Tapi sekarang... dia berubah.” Ia menghela napas.
“Apa yang terjadi padamu. _? "
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!