NovelToon NovelToon

Kejamnya Mertuaku

bab 1

“Anjani, mana sarapan? Lama sekali!” bentak Bu Rina.

“Maaf, Bu. Ini sudah siap,” jawab Anjani, buru-buru menyajikan makanan.

Bu Rina mendengus. “Jangan lambat! Di rumah ini semua orang bekerja, bukan cuma makan saja!”

Dita menyeringai. “Iya, Kak. Jangan enak-enakan jadi istri Mas Adrian.”

Anjani menunduk, menahan perasaan. Ia melirik Adrian, berharap dibela, tapi suaminya tetap sibuk dengan ponselnya.

Pagi itu, setelah mencuci piring dan beres-beres rumah, Anjani duduk di dapur. Tangannya perih akibat sering kena deterjen tapi cucianya masih banyak.

Anjani, gadis desa sederhana yang tumbuh dalam keluarga penuh kasih sayang. Ayahnya hanya seorang petani, tetapi mereka hidup bahagia dengan kesederhanaan.

Parasnya begitu cantik—kulitnya putih mulus, rambutnya sedikit kemerahan, dan matanya berwarna biru jernih. Keindahan yang membuat banyak orang tak menyangka bahwa ia hanyalah gadis desa biasa.

Namun, kecantikannya justru menjadi awal dari perjalanan hidup yang penuh ujian. Ia menikah dengan pria yang dicintainya, berharap akan menemukan kebahagiaan.

Sayangnya, pernikahan itu tak seindah yang ia bayangkan.

Dita melempar baju tepat di depan wajah Anjani kaget. “Nih, Kak, cuci bajuku!” katanya dengan nada seenaknya.

Anjani menghela napas, menatap tumpukan baju yang masih harus ia selesaikan. “Dita, ini baju Ibu saja belum selesai. Kamu cuci sendiri, ya.”

Dita mendengus kesal. “Enak aja! Aku harus kerja, tahu! Mana sempat nyuci? Lagi pula, nanti tanganku bisa kapalan!”

Anjani terdiam. Hatinya semakin sesak. Di rumah ini, ia bukan hanya menantu, tapi juga dianggap seperti pembantu.

Tanpa bisa membantah, Anjani akhirnya mengerjakan cucian itu. Percuma melawan, karena tidak akan ada gunanya.

Ia hanya bisa menghela napas, menahan perasaan. Di rumah ini, suaranya tak pernah didengar.

Sore itu, Adrian pulang lebih cepat karena hari ini ia menerima gaji.

Anjani, yang ingin menyambut suaminya dengan baik, segera mandi dan berdandan sedikit. Ia memilih pakaian yang lumayan bagus agar terlihat rapi di hadapan Adrian.

Begitu Adrian tiba, Anjani segera menyuguhkan secangkir kopi hangat.

Adrian tersenyum dan menyerahkan sejumlah uang kepadanya. “Jani, ini bagian kamu.”

Hati Anjani terasa hangat. Setidaknya, hari ini suaminya masih mengingatnya. Namun, ia belum tahu bahwa kebahagiaan kecil ini tak akan bertahan lama.

“Terima kasih, Mas,” ucap Anjani dengan senyum bahagia.

Namun, sebelum ia sempat menyimpan uang itu, Bu Rina tiba-tiba datang dan langsung merampasnya dari tangan Anjani.

“Uang ini buat Ibu saja! Kamu sudah dikasih makan dan tempat tinggal di sini, jadi nggak perlu pegang uang!” katanya tajam.

Anjani hanya bisa terdiam, menahan rasa kecewa. Bahkan haknya sebagai istri pun tak dihargai di rumah ini.

"Mana bisa begitu, Bu? Jani juga punya kebutuhan," ucap Anjani, mencoba mempertahankan haknya.

Bu Rina mendelik tajam. "Kebutuhan apa? Kamu sudah dikasih makan dan tempat tinggal di sini! Jangan bilang kamu mau ngasih uang ini ke orang tuamu juga? Enak saja! Anak ibu yang kerja capek-capek, kamu dan keluargamu yang mau menikmati!"

Anjani terdiam, hatinya terasa semakin sesak. Ia hanya ingin sedikit kebebasan, tapi bahkan untuk memegang uang sendiri pun ia tak diizinkan.

Adrian segera berdiri dan merebut kembali uang dari tangan ibunya.

"Bu, jangan semuanya diambil," katanya dengan nada tegas. "Uang untuk Ibu sudah aku pisahkan."

Bu Rina mendengus kesal, wajahnya penuh ketidaksenangan. “Kenapa? Anjani itu nggak butuh uang! Dia di sini sudah dikasih makan, tinggal juga gratis! Jangan bilang kamu mau manjain dia?”

Adrian menghela napas, berusaha tetap tenang. "Bukan soal dimanjain atau enggak, Bu. Jani butuh uang buat belanja. Kalau dia nggak pegang uang, nanti kita makan apa?"

Anjani menatap Adrian dengan mata sedikit berkaca-kaca. Ini pertama kalinya suaminya membela dirinya di depan sang mertua.

Namun, Bu Rina tetap tak terima. “Belanja apa? Aku aja bisa belanja buat rumah ini! Atau jangan-jangan dia mau pakai uang ini buat ngirim ke keluarganya? Jangan mimpi, Jani! Anak laki-laki Ibu kerja banting tulang buat istri, bukan buat mertua!”

Anjani mengepalkan tangannya di balik punggung. Ia ingin membela diri, ingin menjelaskan bahwa ia tidak pernah berniat mengambil hak Bu Rina. Tapi ia tahu, percuma.

Adrian pun berusaha menenangkan ibunya. “Bu, sudahlah. Ini cuma uang belanja. Aku tetap kasih Ibu, kan?”

Bu Rina masih ingin berdebat, tapi akhirnya ia mendengus kesal dan mengambil bagian uang yang Adrian berikan padanya. “Huh! Dasar istri baru, sudah berani ambil hak mertua! Lihat aja, Anjani. Jangan macam-macam di rumah ini!”

Setelah ibunya pergi, Adrian menoleh ke arah Anjani. “Sudah, jangan dimasukkan ke hati.”

Anjani tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa sakit.

Tak lama, Dita muncul di depan pintu dengan wajah kesal. Tanpa basa-basi, ia langsung berteriak,

"Bang! Bagian Dita mana?"

Adrian menghela napas, merasa lelah dengan permintaan adiknya yang selalu sama setiap bulan. "Lo kan udah kerja, Dit. Kok masih minta Abang?"

Dita melipat tangan di dadanya, wajahnya cemberut. "Gaji Dita kecil, Bang! Mana cukup buat anak muda kayak aku? Aku harus tetap cantik, harus perawatan, harus beli baju baru! Masa aku kalah sama mbak Anjani?" katanya penuh keluhan.

Anjani hanya bisa menahan napas, menunduk tanpa ingin ikut campur.

Adrian menggeleng pelan, sebenarnya enggan menuruti keinginan adiknya. Tapi, melihat Dita terus merengek, akhirnya ia mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya dan menyerahkannya pada Dita.

"Udah, nih. Jangan boros," ucap Adrian dengan nada lelah.

Dita langsung merebut uang itu dengan wajah puas. "Makasih, Bang! Emang abangku paling baik!" katanya sambil tersenyum lebar, lalu melenggang pergi tanpa sedikit pun mempedulikan perasaan Anjani yang hanya bisa diam dan menerima keadaan.

Anjani menatap suaminya dengan kecewa. "Mas, uang segini mana cukup untuk sebulan?"

Adrian mendesah, lalu menatap Anjani dengan wajah datar. "Terserah Jani. Abang nggak mau tahu, segitu harus kamu cukupkan."

Anjani menggigit bibir, menahan rasa sedih yang mulai menggunung di dadanya. Dengan uang yang diberikan Adrian, ia harus mengatur segala kebutuhan rumah, sementara Dita dengan mudahnya meminta uang untuk keperluan pribadinya.

"Mas..." suara Anjani melemah. "Aku juga pengen beli baju baru. Selama menikah, aku belum pernah beli baju satu pun."

Adrian mengerutkan kening. "Baju kamu masih bagus, kan? Buat apa beli lagi?"

Anjani tersenyum pahit. Suaminya bisa dengan mudah mengeluarkan uang untuk adiknya, tapi saat istrinya meminta, alasan yang diberikan selalu sama: harus irit, harus cukup, harus mengalah.

Ia pun menunduk, menggenggam uang yang ada di tangannya erat-erat. Lagi-lagi, ia harus menerima kenyataan bahwa dirinya bukan prioritas bagi Adrian.

Untungnya, Anjani memang sudah cantik alami. Meskipun tidak pernah perawatan seperti Dita, wajahnya tetap glowing dengan kulit mulus dan bersih. Ia tidak butuh riasan tebal atau pakaian mahal untuk terlihat menawan.

Anjani menarik napas dalam, menatap uang di tangannya. Mungkin inilah takdirnya sebagai menantu di rumah ini.

Hari itu, Anjani bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Setelah selesai, ia bergegas mengambil uang belanja yang disimpannya di lemari kecil di kamar. Namun, saat membuka laci, hatinya langsung berdegup kencang.

Uangnya hilang.

Tangannya gemetar saat mengobrak-abrik laci, mencari di setiap sudut. Tapi hasilnya nihil. Anjani mulai panik. Itu satu-satunya uang yang diberikan Adrian untuk belanja sebulan penuh.

Dengan tergesa-gesa, ia keluar kamar dan mencari Adrian yang sedang bersiap berangkat kerja. "Mas, uang belanja Jani hilang!" suaranya bergetar.

Adrian menatapnya heran. "Hilang? Kok bisa?"

"Aku nggak tahu, Mas. Aku simpan di laci, sekarang nggak ada," jawab Anjani cemas.

Belum sempat Adrian merespons, tiba-tiba terdengar suara Dita dari ruang tamu. "Wah, ada yang mulai drama pagi-pagi!"

Anjani menoleh dan melihat Dita duduk santai di sofa, memainkan kuku yang baru saja dicatnya dengan warna merah terang.

"Kamu tahu sesuatu, Dit?" tanya Anjani curiga.

Dita mendengus, lalu berdiri. "Jangan asal tuduh ya !  kalau uang hilang,   kamu yang nggak hati-hati? Jangan-jangan itu hukuman karena terlalu boros!"

"Boros?" Anjani hampir tertawa miris. "Aku bahkan belum beli apa-apa!"

Bu Rina tiba-tiba muncul dari dapur dan ikut menyahut, "Udah, Anjani! Jangan ribut pagi-pagi! Kalau uang hilang, ya salah kamu sendiri. Makanya, kalau dikasih uang, langsung serahin ke Ibu biar aman!"

Anjani tercekat. Matanya memperhatikan wajah sang mertua, lalu beralih ke Dita. Ada firasat buruk di hatinya, tapi ia tidak berani menuduh secara langsung.

"Mas..." Anjani menoleh ke Adrian, berharap suaminya bisa membela dirinya.

Namun, Adrian hanya menghela napas panjang dan berkata, "Ya udahlah, Jani. Mungkin memang keteledoran kamu sendiri.

Anjani menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Lagi-lagi, ia yang disalahkan. Lagi-lagi, Adrian lebih percaya pada ibu dan adiknya dibanding dirinya.

Anjani menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh. Namun, di dalam hatinya, ada bara yang mulai menyala. Ini bukan pertama kalinya ia diperlakukan tidak adil, dan entah sampai kapan ia harus terus bersabar.

Dengan suara gemetar, ia berkata, "Mas, uang itu untuk belanja sebulan. Aku harus masak apa kalau uangnya hilang?"

Adrian mendesah, tampak tidak sabar. "Nanti aku kasih lagi, tapi jangan banyak nuntut, Jani. Aku juga harus bagi-bagi uang buat kebutuhan lain."

Anjani mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. "Kebutuhan lain? Maksud Mas buat Dita dan Ibu?"

Dita yang sejak tadi bersandar di sofa langsung mendengus. "Ih, mbak Anjani mulai kurang ajar, nih! Masa aku dan Ibu dibilang kebutuhan lain? Kalau nggak betah di rumah ini, ya pergi aja!"

Bu Rina menatap Anjani tajam. "Iya, Jani! Kamu tuh harus bersyukur punya suami yang baik. Jangan macam-macam deh, perempuan kok banyak maunya!"

Anjani tertawa kecil, tapi bukan karena senang. Tawanya penuh kepedihan dan amarah yang selama ini ia pendam.

"Jadi menurut Ibu dan Dita, aku ini apa? Pembantu yang tugasnya cuma nurut dan nggak boleh protes? Aku ini istri Adrian, bukan budaknya!" suaranya mulai meninggi.

Adrian langsung menegang “ Jani jangan mulai ‘’

"Tidak, Mas! Aku sudah terlalu lama diam! Aku selalu berusaha jadi menantu yang baik, istri yang sabar, tapi apa? Aku nggak pernah dihargai! Apa aku ini cuma tamu di rumah sendiri?"

Dita tertawa sinis. "Memangnya iya? Rumah ini rumah Mas Adrian, mbak. Kalau mau berkuasa, ya kerja! Jangan cuma mengandalkan uang suami!"

Anjani menoleh dengan mata merah. "Dita, kamu kerja tapi masih minta uang abangmu! Bukannya membantu, malah jadi beban! Kamu pikir uang Mas Adrian itu milikmu?"

"Jani!" Adrian membentak, suaranya tajam.

Tapi Anjani sudah terlanjur muak. "Mas selalu membela mereka! Kenapa Mas nggak pernah berpihak padaku? Aku ini istrimu, tapi kenapa aku selalu jadi yang terakhir?"

bab 2

PLAK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Anjani, membuatnya terhuyung mundur. Kejadian itu begitu cepat, bahkan Adrian pun tidak sempat mencegahnya. Anjani menatap mertuanya dengan mata membelalak, sementara pipinya panas dan perih.

"Kurang ajar kamu, Anjani!" Bu Rina berteriak, wajahnya merah padam karena marah. "Berani-beraninya kamu bicara seperti itu di rumahku? Kamu itu perempuan nggak tahu diri! Hidup numpang tapi mulut lebih besar dari badan!"“Anjani, mana sarapan? Lama sekali!” bentak Bu Rina.

“Maaf, Bu. Ini sudah siap,” jawab Anjani, buru-buru menyajikan makanan.

Bu Rina mendengus. “Jangan lambat! Di rumah ini semua orang bekerja, bukan cuma makan saja!”

Dita menyeringai. “Iya, Kak. Jangan enak-enakan jadi istri Mas Adrian.”

Anjani menunduk, menahan perasaan. Ia melirik Adrian, berharap dibela, tapi suaminya tetap sibuk dengan ponselnya.

Pagi itu, setelah mencuci piring dan beres-beres rumah, Anjani duduk di dapur. Tangannya perih akibat sering kena deterjen tapi cucianya masih banyak.

Anjani, gadis desa sederhana yang tumbuh dalam keluarga penuh kasih sayang. Ayahnya hanya seorang petani, tetapi mereka hidup bahagia dengan kesederhanaan.

Parasnya begitu cantik—kulitnya putih mulus, rambutnya sedikit kemerahan, dan matanya berwarna biru jernih. Keindahan yang membuat banyak orang tak menyangka bahwa ia hanyalah gadis desa biasa.

Namun, kecantikannya justru menjadi awal dari perjalanan hidup yang penuh ujian. Ia menikah dengan pria yang dicintainya, berharap akan menemukan kebahagiaan.

Sayangnya, pernikahan itu tak seindah yang ia bayangkan.

Dita melempar baju tepat di depan wajah Anjani kaget. “Nih, Kak, cuci bajuku!” katanya dengan nada seenaknya.

Anjani menghela napas, menatap tumpukan baju yang masih harus ia selesaikan. “Dita, ini baju Ibu saja belum selesai. Kamu cuci sendiri, ya.”

Dita mendengus kesal. “Enak aja! Aku harus kerja, tahu! Mana sempat nyuci? Lagi pula, nanti tanganku bisa kapalan!”

Anjani terdiam. Hatinya semakin sesak. Di rumah ini, ia bukan hanya menantu, tapi juga dianggap seperti pembantu.

Tanpa bisa membantah, Anjani akhirnya mengerjakan cucian itu. Percuma melawan, karena tidak akan ada gunanya.

Ia hanya bisa menghela napas, menahan perasaan. Di rumah ini, suaranya tak pernah didengar.

Sore itu, Adrian pulang lebih cepat karena hari ini ia menerima gaji.

Anjani, yang ingin menyambut suaminya dengan baik, segera mandi dan berdandan sedikit. Ia memilih pakaian yang lumayan bagus agar terlihat rapi di hadapan Adrian.

Begitu Adrian tiba, Anjani segera menyuguhkan secangkir kopi hangat.

Adrian tersenyum dan menyerahkan sejumlah uang kepadanya. “Jani, ini bagian kamu.”

Hati Anjani terasa hangat. Setidaknya, hari ini suaminya masih mengingatnya. Namun, ia belum tahu bahwa kebahagiaan kecil ini tak akan bertahan lama.

“Terima kasih, Mas,” ucap Anjani dengan senyum bahagia.

Namun, sebelum ia sempat menyimpan uang itu, Bu Rina tiba-tiba datang dan langsung merampasnya dari tangan Anjani.

“Uang ini buat Ibu saja! Kamu sudah dikasih makan dan tempat tinggal di sini, jadi nggak perlu pegang uang!” katanya tajam.

Anjani hanya bisa terdiam, menahan rasa kecewa. Bahkan haknya sebagai istri pun tak dihargai di rumah ini.

"Mana bisa begitu, Bu? Jani juga punya kebutuhan," ucap Anjani, mencoba mempertahankan haknya.

Bu Rina mendelik tajam. "Kebutuhan apa? Kamu sudah dikasih makan dan tempat tinggal di sini! Jangan bilang kamu mau ngasih uang ini ke orang tuamu juga? Enak saja! Anak ibu yang kerja capek-capek, kamu dan keluargamu yang mau menikmati!"

Anjani terdiam, hatinya terasa semakin sesak. Ia hanya ingin sedikit kebebasan, tapi bahkan untuk memegang uang sendiri pun ia tak diizinkan.

Adrian segera berdiri dan merebut kembali uang dari tangan ibunya.

"Bu, jangan semuanya diambil," katanya dengan nada tegas. "Uang untuk Ibu sudah aku pisahkan."

Bu Rina mendengus kesal, wajahnya penuh ketidaksenangan. “Kenapa? Anjani itu nggak butuh uang! Dia di sini sudah dikasih makan, tinggal juga gratis! Jangan bilang kamu mau manjain dia?”

Adrian menghela napas, berusaha tetap tenang. "Bukan soal dimanjain atau enggak, Bu. Jani butuh uang buat belanja. Kalau dia nggak pegang uang, nanti kita makan apa?"

Anjani menatap Adrian dengan mata sedikit berkaca-kaca. Ini pertama kalinya suaminya membela dirinya di depan sang mertua.

Namun, Bu Rina tetap tak terima. “Belanja apa? Aku aja bisa belanja buat rumah ini! Atau jangan-jangan dia mau pakai uang ini buat ngirim ke keluarganya? Jangan mimpi, Jani! Anak laki-laki Ibu kerja banting tulang buat istri, bukan buat mertua!”

Anjani mengepalkan tangannya di balik punggung. Ia ingin membela diri, ingin menjelaskan bahwa ia tidak pernah berniat mengambil hak Bu Rina. Tapi ia tahu, percuma.

Adrian pun berusaha menenangkan ibunya. “Bu, sudahlah. Ini cuma uang belanja. Aku tetap kasih Ibu, kan?”

Bu Rina masih ingin berdebat, tapi akhirnya ia mendengus kesal dan mengambil bagian uang yang Adrian berikan padanya. “Huh! Dasar istri baru, sudah berani ambil hak mertua! Lihat aja, Anjani. Jangan macam-macam di rumah ini!”

Setelah ibunya pergi, Adrian menoleh ke arah Anjani. “Sudah, jangan dimasukkan ke hati.”

Anjani tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa sakit.

Tak lama, Dita muncul di depan pintu dengan wajah kesal. Tanpa basa-basi, ia langsung berteriak,

"Bang! Bagian Dita mana?"

Adrian menghela napas, merasa lelah dengan permintaan adiknya yang selalu sama setiap bulan. "Lo kan udah kerja, Dit. Kok masih minta Abang?"

Dita melipat tangan di dadanya, wajahnya cemberut. "Gaji Dita kecil, Bang! Mana cukup buat anak muda kayak aku? Aku harus tetap cantik, harus perawatan, harus beli baju baru! Masa aku kalah sama mbak Anjani?" katanya penuh keluhan.

Anjani hanya bisa menahan napas, menunduk tanpa ingin ikut campur.

Adrian menggeleng pelan, sebenarnya enggan menuruti keinginan adiknya. Tapi, melihat Dita terus merengek, akhirnya ia mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya dan menyerahkannya pada Dita.

"Udah, nih. Jangan boros," ucap Adrian dengan nada lelah.

Dita langsung merebut uang itu dengan wajah puas. "Makasih, Bang! Emang abangku paling baik!" katanya sambil tersenyum lebar, lalu melenggang pergi tanpa sedikit pun mempedulikan perasaan Anjani yang hanya bisa diam dan menerima keadaan.

Anjani menatap suaminya dengan kecewa. "Mas, uang segini mana cukup untuk sebulan?"

Adrian mendesah, lalu menatap Anjani dengan wajah datar. "Terserah Jani. Abang nggak mau tahu, segitu harus kamu cukupkan."

Anjani menggigit bibir, menahan rasa sedih yang mulai menggunung di dadanya. Dengan uang yang diberikan Adrian, ia harus mengatur segala kebutuhan rumah, sementara Dita dengan mudahnya meminta uang untuk keperluan pribadinya.

"Mas..." suara Anjani melemah. "Aku juga pengen beli baju baru. Selama menikah, aku belum pernah beli baju satu pun."

Adrian mengerutkan kening. "Baju kamu masih bagus, kan? Buat apa beli lagi?"

Anjani tersenyum pahit. Suaminya bisa dengan mudah mengeluarkan uang untuk adiknya, tapi saat istrinya meminta, alasan yang diberikan selalu sama: harus irit, harus cukup, harus mengalah.

Ia pun menunduk, menggenggam uang yang ada di tangannya erat-erat. Lagi-lagi, ia harus menerima kenyataan bahwa dirinya bukan prioritas bagi Adrian.

Untungnya, Anjani memang sudah cantik alami. Meskipun tidak pernah perawatan seperti Dita, wajahnya tetap glowing dengan kulit mulus dan bersih. Ia tidak butuh riasan tebal atau pakaian mahal untuk terlihat menawan.

Anjani menarik napas dalam, menatap uang di tangannya. Mungkin inilah takdirnya sebagai menantu di rumah ini.

Hari itu, Anjani bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Setelah selesai, ia bergegas mengambil uang belanja yang disimpannya di lemari kecil di kamar. Namun, saat membuka laci, hatinya langsung berdegup kencang.

Uangnya hilang.

Tangannya gemetar saat mengobrak-abrik laci, mencari di setiap sudut. Tapi hasilnya nihil. Anjani mulai panik. Itu satu-satunya uang yang diberikan Adrian untuk belanja sebulan penuh.

Dengan tergesa-gesa, ia keluar kamar dan mencari Adrian yang sedang bersiap berangkat kerja. "Mas, uang belanja Jani hilang!" suaranya bergetar.

Adrian menatapnya heran. "Hilang? Kok bisa?"

"Aku nggak tahu, Mas. Aku simpan di laci, sekarang nggak ada," jawab Anjani cemas.

Belum sempat Adrian merespons, tiba-tiba terdengar suara Dita dari ruang tamu. "Wah, ada yang mulai drama pagi-pagi!"

Anjani menoleh dan melihat Dita duduk santai di sofa, memainkan kuku yang baru saja dicatnya dengan warna merah terang.

"Kamu tahu sesuatu, Dit?" tanya Anjani curiga.

Dita mendengus, lalu berdiri. "Jangan asal tuduh ya !  kalau uang hilang,   kamu yang nggak hati-hati? Jangan-jangan itu hukuman karena terlalu boros!"

"Boros?" Anjani hampir tertawa miris. "Aku bahkan belum beli apa-apa!"

Bu Rina tiba-tiba muncul dari dapur dan ikut menyahut, "Udah, Anjani! Jangan ribut pagi-pagi! Kalau uang hilang, ya salah kamu sendiri. Makanya, kalau dikasih uang, langsung serahin ke Ibu biar aman!"

Anjani tercekat. Matanya memperhatikan wajah sang mertua, lalu beralih ke Dita. Ada firasat buruk di hatinya, tapi ia tidak berani menuduh secara langsung.

"Mas..." Anjani menoleh ke Adrian, berharap suaminya bisa membela dirinya.

Namun, Adrian hanya menghela napas panjang dan berkata, "Ya udahlah, Jani. Mungkin memang keteledoran kamu sendiri.

Anjani menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Lagi-lagi, ia yang disalahkan. Lagi-lagi, Adrian lebih percaya pada ibu dan adiknya dibanding dirinya.

Anjani menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh. Namun, di dalam hatinya, ada bara yang mulai menyala. Ini bukan pertama kalinya ia diperlakukan tidak adil, dan entah sampai kapan ia harus terus bersabar.

Dengan suara gemetar, ia berkata, "Mas, uang itu untuk belanja sebulan. Aku harus masak apa kalau uangnya hilang?"

Adrian mendesah, tampak tidak sabar. "Nanti aku kasih lagi, tapi jangan banyak nuntut, Jani. Aku juga harus bagi-bagi uang buat kebutuhan lain."

Anjani mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. "Kebutuhan lain? Maksud Mas buat Dita dan Ibu?"

Dita yang sejak tadi bersandar di sofa langsung mendengus. "Ih, mbak Anjani mulai kurang ajar, nih! Masa aku dan Ibu dibilang kebutuhan lain? Kalau nggak betah di rumah ini, ya pergi aja!"

Bu Rina menatap Anjani tajam. "Iya, Jani! Kamu tuh harus bersyukur punya suami yang baik. Jangan macam-macam deh, perempuan kok banyak maunya!"

Anjani tertawa kecil, tapi bukan karena senang. Tawanya penuh kepedihan dan amarah yang selama ini ia pendam.

"Jadi menurut Ibu dan Dita, aku ini apa? Pembantu yang tugasnya cuma nurut dan nggak boleh protes? Aku ini istri Adrian, bukan budaknya!" suaranya mulai meninggi.

Adrian langsung menegang “ Jani jangan mulai ‘’

"Tidak, Mas! Aku sudah terlalu lama diam! Aku selalu berusaha jadi menantu yang baik, istri yang sabar, tapi apa? Aku nggak pernah dihargai! Apa aku ini cuma tamu di rumah sendiri?"

Dita tertawa sinis. "Memangnya iya? Rumah ini rumah Mas Adrian, mbak. Kalau mau berkuasa, ya kerja! Jangan cuma mengandalkan uang suami!"

Anjani menoleh dengan mata merah. "Dita, kamu kerja tapi masih minta uang abangmu! Bukannya membantu, malah jadi beban! Kamu pikir uang Mas Adrian itu milikmu?"

"Jani!" Adrian membentak, suaranya tajam.

Tapi Anjani sudah terlanjur muak. "Mas selalu membela mereka! Kenapa Mas nggak pernah berpihak padaku? Aku ini istrimu, tapi kenapa aku selalu jadi yang terakhir?"

Anjani merasakan napasnya tersengal, tapi ia menolak untuk menangis. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, menahan amarah yang kini meluap-luap.

"Ibu yang nggak tahu diri!" Anjani akhirnya bersuara, suaranya bergetar karena emosi. "Ibu selalu memperlakukan aku seperti pembantu! Apa aku ini bukan istri Adrian? Apa aku ini cuma alat untuk dimanfaatkan?"

Dita terkikik di belakang ibunya. "Ih, mulai ngelawan, nih! Awas aja nanti dicerai, baru tahu rasa!"

Anjani menatap Dita tajam. "Aku lebih baik diceraikan daripada terus diperlakukan seperti ini!"

Bu Rina menunjuk wajah Anjani dengan jari gemetarnya. "Coba saja! Aku tantang kamu! Berani nggak kamu keluar dari rumah ini? Kamu itu nggak punya apa-apa, Anjani! Tanpa Adrian, kamu bukan siapa-siapa!"

Anjani tersenyum miring, matanya menatap tajam ke arah mertuanya. "Ibu salah besar. Aku mungkin nggak punya apa-apa sekarang, tapi aku masih punya harga diri! Dan aku nggak akan membiarkan Ibu menginjak-injak aku lagi!"

Adrian yang sejak tadi diam akhirnya membuka mulut. "Cukup! Udah, Jani! Jangan bikin masalah tambah besar!"

Anjani menatap suaminya dengan kecewa. "Mas... sampai kapan Mas mau membiarkan aku diperlakukan seperti ini?"Adrian menunduk, tak bisa menjawab.

Malam itu, Anjani menangis dalam diam di dalam kamar. Pipinya masih terasa perih akibat tamparan Bu Rina, tapi hatinya jauh lebih sakit. Ia merasa sendirian, tak ada satu pun yang membelanya, bahkan suaminya sendiri.

Ia terjaga semalaman, merenungkan semuanya. Hingga akhirnya, saat fajar mulai menyingsing, ia memutuskan sesuatu.

Tanpa pamit, Anjani merapikan beberapa helai pakaian ke dalam tas kecil. Ia tak butuh banyak, hanya cukup untuk beberapa hari. Ia ingin pulang—pulang ke rumah yang benar-benar rumah baginya.

Dengan hati-hati, ia membuka pintu kamar. Rumah masih sepi. Adrian pasti masih tertidur lelap, begitu pula Bu Rina dan Dita. Ini kesempatan yang tepat.

Dengan langkah ringan, ia keluar dari rumah itu, berjalan menuju jalan raya yang masih diselimuti kabut pagi. Angin dingin menerpa wajahnya, tapi ia tetap melangkah.

Ia ingin bertemu orang tuanya. Ia ingin dipeluk ibunya dan menangis di sana.Rumah orang tuanya memang jauh, tapi tidak ada yang bisa menghentikannya.

Dengan uang tabungan belanjanya yang sedikit, Anjani naik bus menuju kampung halamannya. Perjalanan terasa panjang, tetapi hatinya sedikit lebih tenang. Setidaknya, ia akan bertemu dengan orang tuanya, tempat di mana ia selalu merasa dicintai.

Saat tiba di depan rumah sederhana itu, Anjani tertegun. Tidak ada yang berubah—pohon mangga di halaman masih berdiri kokoh, suara ayam berkokok terdengar dari belakang rumah, dan udara desa terasa jauh lebih menenangkan dibandingkan rumah mertuanya.

“Jani!” suara ibunya, Bu Sumarni, terdengar penuh kehangatan begitu melihat putrinya berdiri di depan pintu. Ia segera menghampiri dan memeluk Anjani erat. “Kamu pulang, Nak? Kok nggak bilang dulu?”

Anjani membalas pelukan ibunya, menahan air mata yang hampir jatuh. “Iya, Bu. Jani kangen.”

Ayahnya yang sedang duduk di kursi bambu ikut menyambutnya dengan senyum hangat. “Masuk, Nak. Istirahat dulu. Kamu pasti capek.”

Anjani tersenyum, lalu masuk ke dalam rumah. Ia ingin menikmati momen ini tanpa membawa kesedihannya. Ia tidak ingin orang tuanya tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangganya. Ia ingin mereka tetap berpikir bahwa ia bahagia.

Namun, ibunya tetaplah seorang ibu. Tatapan lembutnya meneliti wajah Anjani, seakan bisa membaca kesedihan yang disembunyikannya. “Kamu baik-baik saja, Jani?”

Anjani tersenyum tipis dan mengangguk. “Aku baik-baik saja, Bu.”

Malam itu, setelah makan malam bersama orang tuanya, Anjani duduk di teras rumah sambil menatap langit. Udara desa yang sejuk sedikit menenangkan hatinya, tetapi bayangan perlakuan Bu Rina dan Dita masih menghantuinya.

Ibunya datang membawa segelas teh hangat, lalu duduk di sebelahnya. “Jani, kamu nggak kelihatan seperti orang yang baik-baik saja,” ucap ibunya lembut.

Anjani terdiam, menggigit bibirnya. Ia ingin tetap kuat, tapi air matanya justru menggenang. “Bu... Jani capek,” lirihnya akhirnya.

Bu fatma mengelus punggung putrinya. “Kenapa, Nak? Ceritakan ke Ibu.”

Anjani menunduk, jemarinya meremas kain rok yang ia kenakan. “Bu... Jani nggak bahagia di sana,” suaranya bergetar. “Mertua Jani kejam, selalu mengambil semua uang gaji Mas Adrian. Dita juga selalu menyuruh-nyuruh Jani. Jani nggak dihargai di rumah itu...”

Bu fatma mengepalkan tangannya. “Apa Adrian nggak membelamu, Nak?”

Anjani menggeleng pelan. “Mas Adrian lebih mendengarkan ibunya. Jani sudah berusaha jadi istri yang baik, Bu... tapi mereka selalu memperlakukan Jani seperti pembantu.”

Mata Bu fatma mulai berkaca-kaca. Ia ingin marah, tapi hatinya juga sakit melihat putrinya yang selalu sabar ini disia-siakan.

Tiba-tiba, suara motor terdengar dari kejauhan. Anjani menoleh, jantungnya berdegup kencang saat melihat Adrian turun dari motor dengan wajah tegang.

“Jani! Kenapa kamu pergi tanpa izin?” suara Adrian menggema di halaman rumah.

Anjani terperanjat. Ibunya berdiri, menatap menantunya dengan tajam. “Adrian, kenapa kamu di sini?”

Adrian melangkah mendekat, suaranya sedikit melunak. “Bu, saya menjemput Jani. Dia istri saya, seharusnya dia ada di rumah bersama saya, bukan kabur seperti ini.”

Anjani mengeratkan genggaman tangannya. “Aku nggak kabur, Mas. Aku hanya ingin pulang ke orang tuaku, mencari ketenangan.”

Adrian menghela napas panjang. “Ayo pulang, Jani. Ibu sudah marah besar karena kamu pergi begitu saja.”

Mata Anjani memanas. “Ibumu marah? Pernahkah Mas bertanya apakah aku bahagia di rumah itu?”

Adrian terdiam.

Bu fatma maju selangkah, suaranya bergetar karena amarah. “Adrian, kalau kamu nggak bisa melindungi istrimu, untuk apa kamu menikahinya?”

Adrian terpojok. Ia tidak bisa membantah.

Anjani menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. “Aku nggak mau pulang kalau aku hanya dianggap sebagai menantu yang nggak berguna, Mas.”

Adrian mendekati Anjani, menatapnya dalam. “Jani, aku tahu aku salah. Aku belum bisa membelamu dengan baik... tapi aku mencintaimu,” katanya pelan, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.

Anjani masih ragu, tetapi hatinya bergetar mendengar kata-kata itu. “Mas bilang cinta, tapi Mas nggak pernah benar-benar membelaku di depan Ibu dan Dita…”

Adrian menggenggam tangan Anjani dengan erat. “Aku janji, aku akan berubah. Aku akan lebih memperhatikanmu, aku akan berusaha jadi suami yang lebih baik. Tolong jangan pergi dari aku, Jani.”

Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh di pipi Anjani. Ia lelah, kecewa, tapi ia juga mencintai Adrian.

Bu fatma menatap putrinya dengan khawatir. “Jani, kamu yakin?”

Anjani mengangguk pelan. Ia ingin percaya bahwa suaminya benar-benar akan berubah. “Aku akan pulang, Bu.”

Adrian tersenyum lega, lalu menuntun Anjani menuju motornya.detwlah pamit kepada kedua orang tua Anjani.

Namun, dalam hati kecilnya, Anjani masih merasa ragu. Apakah Adrian benar-benar akan menepati janjinya? Ataukah ini hanya janji manis yang akan kembali membuatnya terluka.

Setibanya di rumah, Anjani berharap segalanya akan membaik. Ia ingin percaya pada Adrian, ingin mencoba lagi demi pernikahan mereka. Namun, yang menyambutnya justru cemoohan.

“Akhirnya pulang juga, ya? Udah puas keluyuran?” sindir Bu Rina dengan tatapan tajam.

Anjani menarik napas dalam, mencoba bersabar. “Aku hanya ingin menemui orang tuaku, Bu.”

Dita menyeringai. “Alasan aja! Jangan-jangan kamu ngeluh di sana, ya? Bilang kalau di sini kamu ditindas?!”

Anjani menatap Dita dengan kekecewaan. “Aku nggak pernah bilang apa pun yang buruk tentang kalian.”

Bu Rina mendekat, menyilangkan tangan di dada. “Denger ya, mulai sekarang nggak ada lagi acara pulang ke rumah orang tuamu tanpa izin! Kamu itu sudah jadi istri Adrian, tinggal di rumah ini, jadi tahu diri! Jangan manja!”

Anjani menggigit bibirnya, menoleh ke Adrian. Namun, pria itu hanya berdiri di sudut ruangan, diam seperti patung.

Hati Anjani sakit. “Mas Adrian, aku cuma ingin sesekali bertemu orang tuaku…” suaranya lirih, penuh harap.

Adrian menghela napas, lalu berkata, “Jani, ibu benar. Kamu harus fokus jadi istri yang baik. Jangan sering-sering pulang.”

Kalimat itu menusuk hati Anjani seperti belati. Jadi, ini balasan dari suaminya?

Anjani melangkah masuk ke kamar dengan kasar, membanting pintu di belakangnya. Dadanya naik turun menahan emosi. Ia benar-benar tak percaya dengan semua ini.

“Kenapa aku sebodoh ini?” gumamnya, mengepalkan tangan.

Ia sudah berharap Adrian akan membelanya, tapi lagi-lagi, suaminya memilih berpihak pada ibunya. Kata-kata Bu Rina dan Dita masih terngiang di telinganya, seperti duri yang menusuk-nusuk harga dirinya.

Anjani menghempaskan tubuh ke atas ranjang, matanya menatap langit-langit kosong. Ia mengorbankan segalanya demi pernikahan ini, meninggalkan orang tuanya, dan mencoba menjadi menantu yang baik. Tapi apa balasannya? Penghinaan.

Pintu kamar terbuka perlahan. Adrian masuk dan menatapnya dengan wajah lelah. “Jani, jangan seperti ini. Ibu hanya khawatir…”

Anjani langsung duduk, menatap Adrian dengan mata penuh kemarahan. “Khawatir? Dia merampas semua hakku, Mas! Bahkan untuk bertemu orang tuaku saja harus seizin dia! Apa aku ini budak?”

Adrian mengusap wajahnya, tampak kesal. “Kamu jangan buat masalah, Jani. Aku capek kerja seharian, aku nggak mau ribut.”

Anjani tertawa sinis. “Oh, jadi aku ini masalah buat kamu, Mas?”

Adrian terdiam, tak tahu harus berkata apa.

Anjani bangkit berdiri, menatap suaminya penuh luka. “Aku ini istrimu, Mas. Aku butuh kamu di pihakku. Tapi kalau kamu terus begini… aku nggak tahu sampai kapan bisa bertahan.”

Pagi itu, Anjani terbangun dengan kepala berat dan perut terasa mual. Ia mencoba bangkit dari tempat tidur, tetapi tubuhnya lemas. Tangannya refleks memegang perut, merasakan sesuatu yang berbeda.

Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Kenapa aku merasa begini?” gumamnya pelan.

Saat itu, pintu kamar terbuka, dan Dita masuk tanpa mengetuk. “Eh, kok masih tidur? Jangan-jangan kamu malas lagi, ya?” ucapnya dengan nada mengejek.

Anjani menatapnya lemah. “Aku nggak enak badan, Dit.”

Dita malah tertawa sinis. “Alasan! Cepat bangun! Ibu nyuruh kamu masak!”

Anjani ingin membalas, tetapi tenaganya habis. Ia akhirnya memilih diam dan berusaha bangkit meski kepalanya masih berputar.

Ketika ia sampai di dapur, bau bumbu yang menyengat langsung membuat perutnya bergolak. Tak bisa ditahan lagi, ia berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya.

Dari luar, Bu Rina mendecak kesal. “Dasar menantu manja! Pagi-pagi sudah bikin ribut!”

Anjani menyeka mulutnya dengan punggung tangan, hatinya semakin sakit. Ia sadar, tak ada seorang pun di rumah ini yang peduli padanya.

Namun, satu hal terlintas di pikirannya—apakah ia hamil?

bab 3

Adrian yang baru masuk ke  kamar langsung menghampiri Anjani yang masih terduduk lemas di lantai kamar mandi. Wajah istrinya pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya.

"Kenapa kamu, Jani?" tanyanya dengan nada khawatir, berjongkok di sampingnya.

Anjani mengangkat wajah, matanya terlihat berkaca-kaca. "Aku nggak tahu, Mas... Dari tadi aku pusing dan mual..."

Adrian mengernyit, lalu tanpa berpikir panjang, ia menyentuh kening Anjani. "Kamu demam?"

Anjani menggeleng. "Nggak, Mas... Tapi aku merasa berbeda..."

Saat itu, pikiran Adrian mulai terhubung. Ia menatap Anjani lebih dalam, lalu bertanya dengan hati-hati, "Jani... kamu jangan-jangan..."

Anjani menelan ludah, matanya meredup. "Aku juga kepikiran, Mas... Aku mungkin hamil."

Adrian terdiam sejenak sebelum akhirnya menarik napas panjang. "Kalau begitu, kita ke dokter. Biar pasti."

Belum sempat Anjani menjawab, suara Bu Rina terdengar dari luar kamar. "Anjani! Bukannya masak malah bermalas-malasan di kamar? Dasar menantu nggak tahu diri!"

Dita ikut menimpali dengan suara mengejek. "Iya, Bang Adrian! Istri kamu tuh bawa sial, baru pagi udah bikin masalah!"

Anjani menutup matanya, merasakan sakit yang tak hanya datang dari tubuhnya, tapi juga hatinya. Bagaimana jika benar ia hamil?

Adrian segera membantu Anjani berdiri dan membawanya duduk di kursi. Ia menuangkan segelas air putih dan menyerahkannya ke tangan istrinya.

"Minum dulu, Jani," ucapnya lembut.

Anjani menerima gelas itu dengan tangan gemetar. Ia meneguknya perlahan, berharap rasa mualnya sedikit mereda.

"Kita ke dokter, ya?" kata Adrian, suaranya tegas. "Biar jelas kenapa kamu begini."

Anjani terkejut. "Tapi, Mas, kamu kan harus kerja…"

"Mas akan izin," potong Adrian. "Kesehatanmu lebih penting."

Belum sempat Anjani menjawab, suara ketukan keras di pintu terdengar, diikuti suara Bu Rina yang tajam.

"Adrian! Kamu mau kemana pagi-pagi begini? Jangan bilang kamu mau manja-manjaan sama istrimu itu lagi!"

Adrian menutup mata sejenak, menarik napas panjang sebelum menjawab. "Ma, Anjani sakit. Saya mau bawa dia ke dokter."

Bu Rina mendengus sinis. "Ah, paling-paling cuma cari perhatian! Nggak usah manja, Anjani! Kamu tuh istri, harus kuat, bukan dikit-dikit ngeluh!"

Dita ikut menyahut dari belakang. "Iya, Bang! Mending uangnya buat aku aja, buat beli skincare. Daripada buat periksa orang yang sok sakit."

Anjani menunduk, hatinya mencelos mendengar ucapan itu. Tapi sebelum ia sempat bicara, Adrian mengepalkan tangan dan berkata dengan dingin,

"Mama, Dita, cukup. Aku suaminya, dan aku yang akan bawa Anjani ke dokter. Jangan ikut campur."

Bu Rina membelalak tak terima. "Kamu mulai berani melawan mama mu sendiri, Adrian?!"

Adrian tidak menjawab. Ia hanya meraih tangan Anjani dan membantunya berdiri. "Ayo, Jani. Kita pergi sekarang."

Anjani menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Untuk pertama kalinya, Adrian benar-benar membelanya di depan keluarganya. Tapi sampai kapan?

Adrian tercengang mendengar ucapan dokter. "Anjani hamil?"

Dokter tersenyum sambil mengangguk. "Selamat, Pak Adrian. Usia kandungannya sudah empat minggu. Pastikan istri Anda cukup istirahat dan makan makanan bergizi."

Anjani menatap Adrian dengan mata berbinar, campuran bahagia dan cemas. Namun, ekspresi Adrian justru sulit ditebak. Ia terdiam beberapa saat, seolah pikirannya sedang berperang.

Setelah selesai, Adrian menggenggam tangan Anjani dan membawanya keluar dari klinik. Sepanjang perjalanan pulang dengan motor, Anjani sesekali melirik suaminya yang tampak gelisah.

"Mas, kamu nggak senang?" tanyanya hati-hati.

Adrian menghela nafas panjang. "Bukan gitu, Jani. Aku cuma mikir... Kita bakal butuh biaya lebih banyak. Kamu tahu sendiri, Ibu dan Dita selalu minta uang. Aku takut nggak bisa mencukupi kebutuhan kamu dan anak kita nanti."

Anjani menunduk, hatinya mencelos. Lagi-lagi, Adrian lebih memikirkan keluarganya daripada dirinya.

Sesampainya di rumah, mereka baru saja masuk ketika suara Bu Rina menggema.

"Kalian dari mana pagi-pagi begini?!"

Adrian menelan ludah, lalu berkata, "Anjani hamil, ma."

Seketika suasana hening. Tapi bukannya bahagia, Bu Rina justru melipat tangan di dada dengan ekspresi tidak suka.

"Hamil?!" Ia mendengus sinis. "Bagus, tambah beban baru di rumah ini!"

Anjani terkejut, tidak menyangka reaksi mertuanya akan seburuk ini.

"Ma, ini anak saya dan Anjani," Adrian mencoba menenangkan.

"Anak kamu?! Anak itu akan lahir dan cuma jadi tanggungan kamu!" Bu Rina menyentakkan tangannya ke udara. "Duit kamu aja udah pas-pasan buat ngasih mama dan adikmu! Sekarang mau ditambah beban baru?!"

Anjani menggigit bibir, matanya panas. Ia menatap Adrian, berharap suaminya membelanya lagi. Tapi kali ini, Adrian hanya diam.

"Mulai sekarang, Anjani nggak usah ke dokter lagi! Ngapain boros-boros?! Lahirnya nanti juga biasa aja!" Bu Rina melanjutkan dengan kasar.

Anjani mengepalkan tangan. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Ini anaknya, darah dagingnya, tapi mereka memperlakukannya seperti beban.

Adrian tetap diam. Tak ada pembelaan, tak ada ketegasan.

Hati Anjani kembali remuk. Ia sadar, ia harus melindungi anaknya sendiri—karena di rumah ini, ia tak bisa mengandalkan siapapun.

Anjani baru saja merebahkan tubuhnya di kasur setelah minum obat dari dokter. Rasa mualnya mulai berkurang, dan kantuk perlahan menyergapnya. Namun, belum sempat ia terlelap, suara pintu kamar dibuka kasar membuatnya tersentak.

"Anjani! Dasar menantu pemalas!" Suara lantang Bu Rina menggelegar di seluruh ruangan.

Anjani terlonjak kaget, buru-buru bangkit dari kasur. "A-ada apa, Bu?" tanyanya dengan suara lemah.

Bu Rina melangkah masuk dengan tatapan tajam. "Kamu pikir ini hotel?! Masak sana..udah sore juga bentar lagi malam kamu harus masak untuk makan malam , udah tiduran aja! Ibu dari tadi panggil-panggil, kamu malah enak-enakan tidur!"

Anjani berusaha menjelaskan, "Maaf, Bu... Saya tadi ke dokter, disuruh banyak  istirahat —"

"ISTIRAHAT?!" Bu Rina menyela dengan suara makin tinggi. "Hamil doang kok manja banget?! Zaman dulu, aku hamil tetap kerja! Jangan mentang-mentang hamil, kamu jadi malas!"

Dita tiba-tiba muncul di pintu, menyeringai puas melihat kakak iparnya dimarahi. "Iya, ma! Aku aja kerja tiap hari, nggak kayak Kak Jani, tahunya tidur doang!"

Anjani merasa dadanya sesak. "Tapi Bu, saya benar-benar lemas... Dokter bilang saya butuh istirahat—"

Plak!

Tangan Bu Rina melayang ke pipi Anjani.Dita tertawa kecil.

Anjani memejamkan mata sejenak, merasakan panas yang membakar di pipinya.

Perlahan, ia membuka mata dan menatap Bu Rina dengan penuh ketegasan. "Saya memang bukan siapa-siapa dibanding Ibu. Tapi saya bukan boneka yang bisa Ibu perlakukan sesuka hati."

Dita mengangkat alis, terkejut mendengar Anjani membalas. "Eh, berani juga sekarang," gumamnya.

Bu Rina mendengus. "Jadi kamu mau melawan saya?"

Anjani menarik napas dalam, lalu berkata dengan suara mantap, "Saya hanya ingin menegaskan satu hal, Bu. Kalau Ibu berpikir saya akan terus diam diperlakukan seperti ini, Ibu salah besar."

Mata Bu Rina membelalak, tak menyangka menantunya yang biasanya pasif kini berani melawan.

Mata Bu Rina membelalak. "Apa kamu bilang?!"

Dita terkejut melihat keberanian Anjani, tetapi ia justru menyeringai. "Wah, Kak Anjani sudah berani melawan, nih."

Anjani menegakkan bahunya, menatap langsung ke mata Bu Rina. "Saya menikah dengan Adrian karena saya mencintainya, bukan untuk jadi pesuruh di rumah ini. Tapi kalau Ibu terus memperlakukan saya seperti ini, saya nggak yakin saya bisa bertahan lebih lama."

Anjani berdiri di tengah ruang tamu dengan tubuh sedikit gemetar, bukan karena takut, tapi karena menahan amarah .

PLAK!

Tamparan kedua mendarat lebih keras. Kepala Anjani menoleh ke samping, bibirnya sedikit sobek, meninggalkan rasa asin darah yang meresap di lidahnya.

"Kurang ajar! Kamu pikir kamu siapa, hah?!" Bu Rina berteriak. "Berani-beraninya bicara seperti itu di rumah saya!"

Anjani mengepalkan tangannya. Nafasnya tersengal, bukan karena takut, tapi karena menahan gejolak di dadanya yang semakin mendidih.

Dita yang sedari tadi duduk santai di sofa hanya tertawa sinis. "Ya ampun, Kak, kamu ini menantu atau musuh sih? Kok malah melawan Mama? Dasar nggak tahu diri!"

Anjani menatap Dita dengan mata berkilat marah. "Dita, kamu pikir aku nggak tahu semua permainanmu? Kamu selalu menghasut Mama untuk membenciku, selalu memancing pertengkaran di rumah ini. Kamu nggak lebih dari benalu yang numpang hidup tapi sibuk menyusahkan orang lain!"

Dita melotot, wajahnya berubah merah. "Apa kamu bilang?!"

Bu Rina kembali menyela dengan suara tinggi. "Cukup! Kamu memang harus diajarkan sopan santun!"

PLAK!

Tamparan ketiga mendarat, kali ini lebih menyakitkan. Anjani hampir kehilangan keseimbangan, tapi ia bertahan. Air mata menggenang di matanya, bukan karena sedih, tapi karena hatinya benar-benar sudah hancur.

Tiba-tiba, pintu terbuka lebar.

Adrian berdiri di ambang pintu, matanya membelalak melihat istrinya yang sedang memegangi pipinya yang memerah. Tatapannya beralih ke ibunya dan adiknya yang masih dipenuhi amarah.

"APA YANG TERJADI DI SINI?" suara Adrian terdengar marah.

Bu Rina langsung menunjuk ke arah Anjani. "Istri kamu ini kurang ajar, Adrian! Dia melawan ibunya sendiri! Apa kamu masih buta dan nggak lihat kelakuannya?!"

Dita ikut menyahut, "Iya, Kak Adrian! Kak Anjani tuh sekarang jadi cewek sombong yang nggak tahu diri! Dia merasa lebih berhak atas kamu dibanding Mama!"

Adrian menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke Anjani. Matanya penuh keraguan, seakan sedang menimbang-nimbang siapa yang harus ia percayai.

Anjani menatap suaminya dengan luka yang lebih dalam dari tamparan yang ia terima. "Adrian..." suaranya bergetar, berharap meski hanya sekali saja, suaminya akan berdiri di sisinya.

Tapi yang keluar dari mulut Adrian justru kalimat yang menghancurkan hati Anjani sepenuhnya.

"Kamu nggak seharusnya bicara kasar ke Mama, Anjani..."

Deg.

Anjani merasa tubuhnya seakan lumpuh. Air matanya yang tadinya tertahan akhirnya jatuh begitu saja. Bukan karena lemah, tapi karena harapan terakhirnya telah benar-benar sirna.

Dengan tangan gemetar, ia menyentuh pipinya yang masih perih, lalu menatap Adrian dalam-dalam. "Jadi selama ini... aku hanya seorang istri yang harus tunduk, ya? Aku nggak boleh bicara, aku nggak boleh membela diri, karena di matamu, aku selalu salah?"

Adrian terdiam.

Bu Rina tersenyum puas, begitu juga Dita. Mereka merasa menang.

Anjani menarik napas dalam, lalu menghembuskannya dengan berat. Ia melangkah mundur, lalu tanpa ragu, ia melepas cincin kawinnya dan meletakkannya di meja.

"Aku sudah cukup bersabar, Adrian. Aku sudah cukup mengorbankan diriku untuk keluarga ini," katanya dengan suara tegas. "Tapi kalau kamu nggak bisa membela istrimu sendiri, aku nggak punya alasan lagi untuk bertahan."

Adrian menegang. "Anjani, tunggu..."

Tapi Anjani sudah berbalik, berjalan menuju pintu dengan langkah mantap. Ia tidak akan menoleh ke belakang lagi.

"Pergilah! Memang perempuan seperti kamu nggak pantas ada di keluarga ini!" suara Bu Rina terdengar penuh kemenangan.

Dita menambahkan, "Bye, Kak Anjani! Semoga beruntung di luar sana!"

Anjani tidak menjawab. Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu dan melangkah keluar, meninggalkan rumah yang selama ini hanya memberinya luka.

Hari ini, ia mungkin pergi dengan tubuh penuh luka. Tapi suatu hari nanti…..ia akan membalas nya.

Anjani berlari tanpa arah, air matanya terus mengalir di pipinya yang masih terasa panas akibat tamparan Bu Rina. Nafasnya tersengal, dadanya sesak, dan pikirannya kacau. Ia tidak tahu harus ke mana. Ia tidak punya teman di kota ini. Semua yang ia miliki telah direnggut darinya—keluarga, suami, dan bahkan harga dirinya.

Langit malam tampak kelam, angin dingin menusuk kulitnya, tetapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin menjauh sejauh mungkin dari rumah itu. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ia berlindung, tetapi justru menjadi neraka baginya.

Saat ia hendak berbelok di tikungan jalan, suara klakson panjang terdengar dari arah kanan.

TIINNN!!!

Anjani menoleh dengan mata membelalak. Sebuah mobil melaju kencang ke arahnya., dan suara gesekan ban dengan aspal menjerit di telinganya.

"BRAK!!"

Tubuhnya tersentak ke samping, terhempas ke trotoar dengan keras. Rasa sakit menjalar dari bahu hingga kakinya. Dunia seakan berputar, dan pandangannya mulai kabur.

Terdengar suara orang-orang berteriak. Beberapa orang berlari mendekat. Namun, suara mereka terdengar jauh, seperti bergema di dalam kepalanya.

"Astaga! Ada yang tertabrak!" "Panggil ambulans!" "Dia masih sadar nggak?"

Anjani mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi rasa sakit yang luar biasa membuatnya sulit bernapas. Ia melihat tangannya yang gemetar, ada darah mengalir dari pelipisnya. Pandangannya semakin buram, dan tubuhnya terasa semakin ringan.

Di antara rasa sakit itu, hanya satu hal yang terlintas di pikirannya.

"Apakah ini akhirnya? Apakah aku benar-benar tidak punya tempat di dunia ini?"

Air matanya mengalir lagi, bercampur dengan darah yang mengalir dari dahinya. Lalu, perlahan... semuanya menjadi gelap.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!