Fiona tersenyum dengan mata berkaca-kaca menatap sepasang pengantin yang bersanding di atas pelaminan.
Mempelai prianya adalah laki-laki yang dulu selalu mengejarnya. Namun, selalu ia tolak karena menikah masih jauh dalam angannya. Namanya Teddy, seorang dokter spesialis anak yang merupakan teman sejawat adiknya sekaligus anak direktur rumah sakit tempat adiknya bekerja.
Berbagai cara Teddy lakukan untuk mendekatinya. Dan ia secara terang-terangan selalu menjauhi laki-laki itu. Suatu hari, Teddy tak pernah lagi muncul di hadapannya. Seharusnya ia merasa senang, tapi ternyata hal tersebut menciptakan sesuatu yang berbeda. Seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Ia merasakan kekosongan dalam hatinya. Bayang-bayang Teddy terus menghantui pikiran.
Sampai akhirnya ia baru menyadari sesuatu. Jika sebenarnya ia juga memiliki perasaan terhadap Teddy. Hanya saja karena belum siap menikah membuatnya tak menyadari perasaannya itu.
Ia pun mencoba memantaskan diri. Membenahi penampilan yang selalu terbuka itu menjadi lebih tertutup dengan pakaian syar'i. Banyak belajar lagi mengenai agama di sebuah pondok pesantren, supaya bisa menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslimah, istri, dan ibu dengan lebih baik, serta untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan memahami ajaran agama, istri bisa lebih memahami kewajibannya dalam beribadah, menjaga akhlak, mendidik anak, dan mengelola rumah tangga sesuai dengan syariat Islam.
Namun, Ia terlalu sibuk belajar, sampai membuatnya terlambat menyatakan cinta. Ia harus menerima kenyataan saat tak lagi bisa menggapainya melainkan hanya dapat menatapnya dari kejauhan bersanding dengan wanita lain. Teddy telah dijodohkan dengan wanita pilihan orangtuanya.
Bagaimanapun ia mencoba berlapang dada, namun tetap saja ada rasa sesak di dalam sana. Ternyata melupakan lebih sulit daripada menumbuhkan perasaan. Ia harus berusaha keras mengubur rasa yang sudah terlanjur tumbuh dalam hatinya.
"Semoga kebahagiaan selalu menyertai kalian berdua." Fiona menjauh dari aula pernikahan sambil mengusap sudut matanya. Tadinya ia ingin naik ke pelaminan, memberikan kado dan juga memberi selamat. Namun, urung karena ia takut tidak bisa menahan air matanya saat berhadapan dengan Teddy.
Ia menghampiri adik dan iparnya yang tampak sedang berbincang-bincang dengan beberapa para tamu.
"Ai, kakak titip kadonya sama kamu aja, ya."
"Loh, kenapa bukan kakak sendiri yang ngasih?" tanya Aidan.
Fiona melirik ke arah pelaminan, dimana terlihat masih banyak para tamu yang mengantri untuk memberi selamat pada kedua mempelai.
"Masih ramai, Ai. Kakak lagi buru-buru mau ke pondok, mau jemput ustazah Dian. Siang ini udah janji mau ikut ke pengajian di salah satu rumah teman ustazah Dian.
Aidan tersenyum. Ia menatap sang kakak penuh kekaguman. "MasyaAllah, sering-sering aja ikut ustazah Dian pengajian, kak. Biar lama-lama kakak juga jadi ustazah."
Fiona hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. Ia memberikan kado untuk pengantin pada adiknya, kemudian berpamitan pergi.
"Ai, Jihan, kakak duluan ya."
"Hati-hati di jalan, Kak."
*******
Adzan berkumandang ketika Fiona sampai di pondok. Ustazah Dian yang memang sudah menunggunya langsung mengajaknya untuk sholat berjamaah.
Usai sholat, kedua wanita berbeda generasi itupun lekas menuju tempat pengajian.
"Kenapa, Fio?" tanya ustazah Dian pada Fiona yang sedang mengemudi dan tampak sedikit melamun.
"Gak apa-apa, Ustazah. Cuma lagi sedikit galau aja," ujar Fiona diiringi senyuman tipis.
"Galau kenapa?"
Fiona menoleh sebentar menatap wanita yang seusia dengan mamanya itu.Wanita yang telah banyak membimbingnya selama belajar di pondok.
"Aku merasa, apa yang sedang aku usahakan untuk menjadi yang terbaik, rasanya jadi seperti sia-sia, ustazah."
"Segala kebaikan yang kita kerjakan, tidak ada yang sia-sia. Seperti halnya doa. Tidak ada doa yang sia-sia. Allah akan menjawabnya dengan 3 cara, dikabulkan, diganti dengan yang lebih baik, atau ditunda untuk kebaikanmu." Ustazah Dian mengembangkan senyuman tipis. Meski tidak paham tentang apa yang dimaksud Fiona, setidaknya ia bisa memberikan sedikit nasihat agar gadis itu tidak berputus asa.
"Sesungguhnya Allah lebih tahu segala perkara. Cukuplah meminta yang terbaik menurut-Nya, bukan yang terbaik menurut kita. Berserah lah pada Allah dan pada apapun keputusan-Nya," tambahnya lagi.
Fiona tersenyum. Ia sedikit merasa lebih tenang mendengar apa yang disampaikan ustazah Dian. Yah, seharusnya ia meyakini bahwa semua takdir telah tertulis di Lauh Mahfudz, termasuk perkara tentang jodoh.
"Ayo masuk," ajak ustazah Dian ketika sampai di tempat tujuan.
Fiona mengikuti ustadzah Dian memasuki rumah megah itu. Mereka pun disambut hangat oleh sang pemilik rumah. Seorang wanita paruh baya yang terlihat cantik meski usianya tak lagi muda.
"Ini siapa, Ustadzah?" tanya wanita paruh baya itu sambil melirik Fiona.
"Bisa dibilang salah satu santri di pondok. Cuma dia gak mondok," jawab ustadzah Dian sembari tersenyum. "Namanya Fiona," tambahnya.
"Masya Allah, nama yang cantik, secantik orangnya dan juga pasti cantik akhlaknya," puji wanita itu.
Fiona hanya diam mendengar pujian itu. Andai wanita itu tahu bagaimana kepribadiannya dulu, yang selalu tampil glamor.
"Oh ya, kebetulan Damar baru pulang dari luar negeri beberapa hari lalu." Wanita paruh baya itu memanggil putranya yang sedang menyalami beberapa tamu. Lelaki itupun mendekat.
"Masih ingat sama Damar, kan?" tanyanya menatap ustazah Dian.
"Masya Allah, Damar sudah sedewasa ini," ucap ustadzah Dian menatap lelaki di hadapannya.
"Assalamualaikum, Ustadzah," sapa lelaki itu sembari tersenyum.
"Waalaikumsalam, Nak. Apa sekarang sudah punya calon?"
"Itu dia masalahnya, Ustadzah. Damar ini susah sekali mau cari pasangan. Semua anak teman yang sudah saya kenalkan ke dia ditolak semuanya. Gak tahu mau cari yang bagaimana," imbuh wanita paruh baya itu.
"Belum ketemu yang pas, Ma." Lelaki itu mengulas senyum. Sesekali melirik wanita yang berdiri di samping ustadzah Dian.
Sadar sedang diperhatikan, Fiona segera mengalihkan pandangannya ke arah lain dan sedikit mundur dari samping ustadzah Dian.
"Memangnya kamu itu cari yang seperti apalagi, sih?" tanya sang mama dengan sedikit ketus. Selalu kesal mendengar jawaban putranya yang selalu berkata belum ketemu yang pas.
"Yang sederhana aja sih, Ma. Gak perlu cantik yang penting bisa menjaga penampilannya."
"Mana ada perempuan yang gak cantik, Damar. Semua perempuan itu cantik. Penilaian manusia yang membedakan," tegur sang mama.
"Ya kalau dapat yang cantik juga sholehah. Alhamdulillah, itu bonusnya, Ma," ujar Damar.
"Aamiin, semoga kamu dapat jodoh yang terbaik," sahut ustazah Dian.
"Aamiin, kabulkan lah ya Allah. Biar Mama senang dan gak jodoh-jodohin aku lagi," gurau Damar yang membuat ustadzah Dian tertawa pelan.
Fiona pun tampak menahan tawa mendengarnya. Namun, tak pula mengeluarkan suara. Ia hanya diam menjadi pendengar.
Damar pun beranjak untuk bergabung barisan para lelaki. Begitupun dengan Fiona dan ustadzah Dian yang bergabung ke barisan para wanita.
Acara pun berlangsung. Semua yang hadir mendengar tausiyah yang disampaikan dengan khidmat. Begitupun dengan Fiona, ia seakan larut pada setiap kalimat menyentuh yang disampaikan. Hingga tanpa ia sadari, seseorang yang duduk di barisan lelaki sesekali menatap ke arahnya.
Setelah pengajian selesai. Ustadzah Dian kemudian mengenalkan Fiona dengan beberapa temannya.
Mulanya Fiona merasa malu. Namun, ustadzah Dian selalu berada di sisinya hingga membuatnya benar-benar merasa nyaman.
Saat ustadzah Dian sedang berbicara dengan beberapa wanita, Fiona memilih beranjak dari sana. Ia pergi ke taman dan duduk di tepi kolam ikan hias, kemudian ia beri makan yang tersedia di tepi kolam.
Fiona tampak termenung. Bayangan Teddy bersanding di pelaminan dengan wanita lain masih melekat jelas dari ingatannya.
"Ya Allah, apa maksud dari semua ini? Apakah ini hukuman atas tindakanku? Dulu, dia yang selalu mengejar ku, tapi aku selalu berusaha menjauhinya. Dan di saat aku ingin membalas perasaannya, Engkau malah menjauhkan dia dariku. Jika semua ini sudah menjadi kehendak-Mu, maka aku mohon, hilangkan lah perasaan yang sudah telanjur tumbuh di hatiku," gumamnya dalam hati.
"Assalamualaikum."
Sapaan salam seseorang membuat Fiona terhenyak dari lamunannya. Ia segera menoleh, yang kemudian langsung berdiri begitu melihat ternyata Damar, anak pemilik rumah yang datang menyapanya.
"Waalaikumsalam," balasnya.
"Maaf, kalau boleh tahu, kamu siapanya Ustadzah Dian, ya? Soalnya saya gak pernah lihat kamu," tanya lelaki itu yang penasaran sejak tadi. Ia kenal betul dengan keluarga ustadzah Dian, terutama anak-anaknya.
"Bukan siapa-siapa. Tapi Ustadzah Dian adalah orang yang sangat berjasa bagi saya. Beliau sudah banyak membimbing saya dari apa yang tidak saya ketahui. Dan Alhamdulillah, beliau sangat baik pada saya."
Damar tersenyum. Dari apa yang disampaikan gadis itu, ia menyimpulkan bahwa dia adalah salah satu santri di pondok ustadzah Dian. "Sudah lama kenal Ustadzah Dian?" tanyanya lagi.
"Baru beberapa bulan," jawab Fiona.
Lelaki itu mengangguk paham. "Oh ya, kenapa sendirian di sini, gak ikut gabung sama yang lainnya?" Ia melirik ke arah rombongan para wanita. Dimana terlihat sang mama tampak sedang berbincang-bincang dengan ustadzah Dian dan beberapa wanita seusia lainnya.
Disaat yang bersamaan, wanita paruh baya itu juga menatap ke arah putranya. Terbit senyum tipis di bibirnya melihat putranya sedang bersama gadis yang datang bersama ustadzah Dian.
"Gak apa-apa, pengen di sini aja," kata Fiona.
"Ya sudah, kalau begitu saya tinggal dulu, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Ketika Damar beranjak pergi, sang mama segera menyusul. Wanita itu menarik lengan putranya dan membawanya menjauh dari keramaian.
"Ya ampun, Mama. Apa-apaan sih, main tarik-tarik aja!" kesal lelaki itu.
"Kalian tadi lagi ngobrolin apa?" tanya wanita itu tanpa menghiraukan raut kesal putranya.
Damar mengerutkan keningnya. Tidak paham dengan pertanyaan sang mama.
"Ya ampun, Damar. Tadi Mama lihat kamu nyamperin perempuan itu di Taman. Mama lihat kalian ngobrol, ngobrolin apa?" tanya wanita itu lagi dengan nada sedikit geram.
"Oh, santrinya Ustadzah Dian maksud Mama?"
"Iya, kalian lagi ngobrolin apa tadi?" tanya wanita itu tak sabar. Sebab apa yang dilihatnya tadi merupakan suatu momen yang langka. Ia tidak pernah melihat putranya bersama wanita apalagi mengobrol seperti tadi.
"Gak ngobrol apa-apa. Tadi aku cuma tanya dia siapanya Ustadzah Dian," jawab Damar.
"Kalian kenalan?"
"Enggak, tadi aku cuma tanya itu aja."
"Ya ampun, Damar. Gak bisa apa, basa-basi dikit. Nanya dia kerja apa kek, rumah dimana. Masa nyamperin dia cuma nahan siapanya Ustadzah Dian. Gak gentle banget sih kamu jadi laki." Wanita itu mendelik kesal pada putranya.
Damar mengulum senyum. Bisa-bisanya tadi ia lupa menanyakan siapa nama wanita itu. Tidak mungkin ia menghampirinya lagi hanya untuk menanyakan nama. "Mama tahu siapa namanya?" tanyanya kemudian.
"Bahkan namanya, kamu juga tadi gak tanya?" tanya sang mama.
Damar hanya bisa tersenyum sambil mengusap tengkuknya.
Wanita itu geleng-geleng kepala menatap putranya dengan mata yang sedikit melotot. "Namanya Fiona!" ujarnya ketus lalu pergi.
"Gimana mau punya menantu kalau anaknya aja begini," gerutunya.
Damar terkekeh mendengarnya. Setelah sang mama tak terlihat lag, ia bersandar di dinding sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Fiona, nama yang cantik," gumamnya. Tanpa sadar ia tersenyum. Kalau boleh jujur, ia terpanah saat pertama kali bersitatap dengan gadis itu. Mata indahnya seakan memiliki sihir yang membuatnya ingin terus menatapnya. Untuk yang pertama kali, ia memiliki kekaguman terhadap lawan jenis.
*****
"Gak mampir dulu?" tanya ustadzah Dian seraya melepas seat belt.
"Udah sore. Saya langsung pulang ya, Ustadzah. Insya Allah, besok pagi saya kesini bantu-bantu ngajar ngaji santri baru," ujar Fiona.
"Masya Allah, terima kasih, Fio."
"Justru saya yang harusnya berterima kasih. Saya diterima dengan baik di pondok ini, dan ustadzah sudah banyak membimbing saya."
Ustadzah Dian tersenyum. "Ya udah, kamu hati-hati di jalan, ya."
Fiona mengangguk. Setelah ustadzah Dian turun dari mobilnya, ia pun bergegas pergi. Melajukan mobilnya dan kecepatan sedang sembari sesekali melirik spion di sampingnya. Ia ingat, dulu mobil Teddy sering mengikutinya. Saat ia berhenti, lelaki itu langsung turun menghampirinya. Namun, ia abaikan dan langsung pergi begitu saja.
Andai waktu dapat diulang, ia tidak akan secuek itu pada Teddy. Mungkin lelaki itu telah lelah mengejarnya yang tiada kepastian, hingga menyetujui perjodohan itu dan akhirnya menikahi wanita pilihan orang tuanya.
"Astagfirullah." Ia beristighfar sembari mengusap dada. Tak seharusnya ia memikirkan lelaki itu lagi. Sekarang Teddy telah menjadi milik wanita lain, dan ia tidak pantas untuk memikirkan maupun menyesali yang telah terjadi.
Ia menambahkan kecepatan mobilnya. Sesampainya di rumah, ia langsung menemui kedua orang tuanya yang sedang bersantai di gazebo.
"Assalamualaikum, Pa, Ma," ucapnya lalu mencium punggung tangan mama dan papanya.
"Waalaikumsalam, baru pulang, Nak?" tanya mama Kiara.
"Iya, Ma," jawab Fiona seraya duduk. Ia menatap kedua orang tuanya. "Ada yang mau aku bicarakan."
"Apa?"
"Aku berencana untuk tinggal di pondok. Apa Mama dan Papa tidak keberatan?" tanya Fiona.
Sepasang suami-istri itu saling melempar tatapan.
"Papa gak keberatan. Justru itu adalah sesuatu yang baik. Kamu bisa memperdalam pengetahuan kamu tentang Agama. Tapi, Nak, kamu juga harus memikirkan masa depan kamu. Usia kamu sudah sangat matang untuk menikah. Sampai kapan kamu akan seperti ini terus," ujar papa Denis.
Fiona terdiam sejenak. Apa yang dikatakan papanya benar, sampai kapan ia akan terus seperti ini. Adiknya saja sekarang telah memiliki dua anak.
"Jika suatu hari nanti, datang sebuah niatan baik kepada Papa dan Mama untukku. Jika itu baik menurut Papa, Insya Allah aku akan siap menerima," ucapnya kemudian. Sudah seharusnya ia berpikir dewasa. Ia sudah tidak memiliki harapan pada orang yang telah ia kecewakan. Tak ada salahnya, ia mencoba menjalin hubungan dengan pilihan orang tuanya. Mana tahu itu adalah yang terbaik untuknya.
Sepasang suami-istri itu tersenyum menatap putri sulungnya. Akhirnya, mereka mendengar juga apa yang mereka dambakan sejak lama.
"Pantas saja kamu mau tinggal di Pondok. Di sini ternyata suasananya adem, tentram dan menenangkan," ucap mama Kiara begitu sampai di pondok. Ia dan suaminya memutuskan untuk mengantarkan putrinya yang ingin tinggal di pondok yang tak seberapa besar itu. Namun, suasananya benar-benar terasa tentram dan menenangkan.
"Baru di depan gerbang, loh, Ma, udah adem gitu ya suasananya. Apalagi kalau Mama udah masuk ke dalam, yakin deh, Mama juga pasti akan mau tinggal di sini," ujar Fiona sembari mengulum senyum.
"Jangan! Mama jangan ikut-ikutan Fio mau tinggal di sini. Nanti Papa tidur sama siapa kalau gak ada Mama," sahut papa Denis dengan cepat.
"Ah Papa," mama Kiara tersenyum malu-malu melihat reaksi suaminya. "Walaupun di sini suasananya nyaman, tentram dan menenangkan. Tapi tetap gak bakal senyaman bahu Papa buat bersandar."
Fiona hanya dapat tersenyum melihat keromantisan kedua orang tuanya. Semoga kelak, ia dan pendampingan hidupnya juga akan hidup rukun seperti papa dan mamanya.
Kedatangan mereka disambut hangat oleh ustadzah Dian. Mulanya wanita itu cukup heran melihat Fiona datang bersama kedua orang tuanya dengan membawa koper besar. Sebab, kemarin Fiona bilang hanya ingin membantunya mengajar santri baru untuk belajar ngaji. Dan ia sangat senang ketika Fiona mengutarakan niatnya yang ingin tinggal di pondok.
"Masya Allah. Saya senang sekali kalau Nak Fiona mau tinggal di sini. Semoga betah dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat."
"Ustadzah, titip anak kami, dan mohon bimbingannya agar dia bisa menjadi muslimah yang taat. Insya Allah, kami akan menjemputnya apabila telah datang hilal jodohnya," ujar papa Denis.
Fiona tersenyum mendengarnya. Kali ini ia sudah benar-benar memantapkan hati untuk menikah. Bila suatu hari datang seorang lelaki yang ingin meminangnya, ia akan siap menerimanya.
Kedua orangtua Fiona pun berpamitan setelah cukup lama berbincang-bincang.
Fiona mengantar mama dan papanya sampai ke depan gerbang. Setelah mobil kedua orang tuanya itu tak terlihat lagi, ia pun l
masuk dan langsung menuju mushola. Ustadzah Dian sudah berada di sana dengan beberapa santri baru untuk belajar mengaji. Ia pun turut membantu.
"Ustadzah, ustadzah," panggil seorang anak perempuan sambil berlari pelan, membuat ustadzah Dian dan Fiona serentak menoleh.
"Iya, Nak. Kenapa?" tanya ustadzah Dian.
"Ustadzah, ada kakak kakak ganteng bawa makan. Banyak banget," ucap anak perempuan itu, tampak heboh.
Ustadzah Dian dan Fiona saling melirik sambil terkekeh pelan.
"Terus, sekarang kakak kakak ganteng itu ada di mana?" tanya ustadzah Dian.
"Lagi ngobrol sama Ustadz Hilman di depan," jawab anak perempuan itu.
Ustadzah Dian tampak mengangguk, kemudian menatap santri-santri barunya. "Kita ngajinya sampai disini dulu ya. Nanti sore setelah Azhar kita lanjut lagi. Sekarang, semuanya berkumpul di depan," titahnya.
"Iya, Ustadzah."
Ustadzah Dian pun segera beranjak. Ia turut mengajak Fiona ke depan. Memang sudah biasa ada yang mengantar makanan untuk anak-anak pondok.
Melihat kedatangan ustadzah Dian dan Fiona. Lelaki yang sedang mengobrol dengan ustadz Hilman itupun menyapanya.
"Assalamualaikum, Ustadzah," ucapnya sambil melirik sekilas pada gadis di samping ustadzah Dian.
"Waalaikumsalam. Jadi, Nak Damar rupanya kakak kakak ganteng itu," ucap ustadzah Dian sambil melirik anak perempuan yang tadi memberitahunya.
Anak perempuan itu tampak tersenyum malu-malu dan langsung bersembunyi di balik temannya.
Damar terkekeh pelan dibuatnya.
Makanan pun dibagikan ketika semua anak-anak telah berkumpul.
Fiona turut membantu. Melihat keceriaan di wajah anak-anak itu membuat perasaannya menghangat. Menciptakan sebuah keinginan yang semakin kuat untuk memiliki pendamping hidup. Memulai hidup baru, dan memiliki anak seperti adiknya.
Ketika tatapannya tertuju pada Damar yang ternyata juga sedang menatapnya, ia langsung membuang pandangan dan memilih fokus untuk membagikan makanan pada anak-anak.
"Fiona, mau kemana?" tanya ustadzah Dian, saat Fiona hendak pergi.
"Mau ke kamar mandi sebentar, Ustadzah."
Damar terus menatap langkah gadis itu. Ustadzah Dian yang melihatnya, langsung mendekati lelaki itu sambil berdehem pelan.
Damar seketika salah tingkah. Tersenyum malu-malu sambil mengusap tengkuknya.
"Hem, ustadzah jadi curiga, nih. Jangan-jangan kamu kesini cuma alasan ya, buat...." Ia menjeda kalimatnya sambil melirik ke arah Fiona yang sudah cukup jauh.
Damar mengulum senyum. Saat tahu sang mama akan mengirim makanan ke pondok, ia langsung menawarkan diri untuk mengantarnya langsung, yang tentunya itu menjadi kesempatan untuknya bisa melihat gadis yang bernama Fiona itu.
"Sepertinya, do'a Mama kamu yang kepengen cepat punya menantu akan segera terkabul, nih," gurau ustadzah Dian.
"Kalau boleh tahu. Apakah Fiona itu sudah ada yang mengkhitbah atau belum ya, Ustadzah?" Damar memberanikan diri untuk bertanya. Sejak pertemuannya kemarin, ia dibuat penasaran dengan wanita itu.
Ustadzah Dian tersenyum. Sudah ia duga, Damar sepertinya jatuh hati pada Fiona.
"Fiona memutuskan untuk tinggal di pondok mulai hari ini. Tadi pagi, kedua orang tuanya yang mengantar. Dan mereka bilang, akan menjemput Fiona lagi ketika hilal jodohnya sudah datang."
"Jadi artinya, Fiona belum ada yang mengkhitbah?" tanya Damar memastikan.
"Iya," jawab ustadzah Dian yang membuat Damar tersenyum.
"Kalau kamu memang ada niatan, jangan ditunda-tunda. Bukankah niat baik itu harus disegerakan."
"Insya Allah, ustadzah. Kalau begitu, saya pamit. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Sesampainya di rumah, Damar langsung mengutarakan niatnya tersebut yang membuat sang mama sangat senang. Sudah lama wanita itu menunggu kabar baik ini, dan akhirnya putranya telah menjatuhkan pilihan pada seorang gadis.
"Siapa perempuan itu, Damar?" tanyanya antusias.
"Fiona, Ma," jawab Damar."
"Fiona?" Wanita itu tampak berpikir. Ketika teringat pada seseorang, ia seketika tersenyum lebar. "Oh, perempuan yang kemarin datang sama ustadzah Dian itu, ya?"
Damar hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Hem, jangan-jangan kamu tiba-tiba mau anter makanan ke pondok cuma alasan mau ketemu dia, ya?" tebak sang mama.
Lagi, Damar hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Dasar kamu itu." Wanita itu memukul pelan lengan putranya. Namun, tak dapat dipungkiri ia sangat senang putranya telah menemukan tambatan hatinya.
"Tapi, Ma. Bagaimana kalau Fiona gak mau sama aku?" Ekspresi wajah Damar seketika berubah. Tiba-tiba saja ia memiliki keraguan itu mengingat ia belum lama kenal dengan Fiona. Lebih tepatnya mereka memang belum pernah berkenalan secara langsung. Ia hanya jatuh hati pada gadis itu saat pertama kali melihatnya.
"Kamu jangan patah semangat dulu. Ya, gak ada salahnya kita coba dulu. Siapa tahu kan, ini memang jodohnya kamu." Wanita itu mengusap lembut lengan putranya.
Damar mengukir senyum yang nampak dipaksakan. Ia berharap, niat baiknya akan disambut baik oleh Fiona.
"Sekarang, Mama mau telepon ustadzah Dian dulu." Wanita itu beranjak menuju kamar dengan perasaan yang bahagia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!