NovelToon NovelToon

Transmigrasi Ke Istri Buta Sang CEO

Bangunnya Sang Ahli Racun

Suasana kamar rumah sakit itu sunyi, hanya ditemani suara detak alat medis dan lembutnya hembusan AC. Namun, di atas ranjang putih yang bersih, kelopak mata seorang gadis perlahan bergetar. Jari-jarinya menegang. Napasnya mulai teratur.

Gadis itu adalah Kaira Frost yang akhirnya terbangun dari komanya. Namun, saat matanya terbuka, yang dilihatnya hanyalah ... gelap.

“Kenapa?” bisik Kaira lirih. “Kenapa aku tidak bisa melihat?”

Gelap total. Tak ada bayangan, tak ada cahaya. Hanya kegelapan pekat yang menyelimuti seluruh pandangannya.

Seketika suara langkah kaki terdengar. Pelan tapi mantap. Pintu kamar terbuka dengan pelan, disusul aroma parfum maskulin yang tajam.

Suara pria rendah dan dingin itu memecah keheningan.

“Jadi ini caramu menarik perhatianku, Kaira?” katanya datar. “Bunuh diri dengan melompat dari gedung sekolah. Drama yang cukup mengesankan.”

Kaira terdiam sejenak. Ia mengenal suara itu. Leonel Frost—suaminya. Pria yang menikahinya hanya karena alasan bertanggung jawab dan tak pernah benar-benar memandangnya sebagai manusia, apalagi istri.

Namun, kali ini, bukan Kaira yang lama yang ada di dalam tubuh itu.

Dengan suara tenang dan dingin, Kaira menjawab, “Kalau aku memang ingin mati, aku tak akan memilih cara serendah itu. Dan untuk menarik perhatianmu?” Ia tertawa kecil. “Percayalah, kamu bukan orang yang pantas untuk itu.”

Leonel terdiam. Mata tajamnya menyipit. Gadis itu ... berbicara dengan cara yang berbeda. Biasanya Kaira hanya akan menunduk, gemetar, tak berani membalas.

“Apa maksudmu?” tanyanya curiga. “Kaira, kau—”

“Jangan panggil aku Kaira.” Ia menoleh ke arah suara itu, meski matanya tetap tak melihat. “Setidaknya, bukan Kaira yang kamu kenal.”

Leonel mendekat dengan langkah pelan, aura dinginnya menyeruak. “Apa yang terjadi padamu?”

Kaira menyeringai kecil. “Kau tidak akan percaya, Leonel. Tapi aku juga tak peduli.”

Kaira mengangkat tangannya, meraba sekitar, lalu menggenggam selimut erat. Ada sesuatu dalam dirinya—jiwa baru, kekuatan baru. Bukan hanya karena ia telah bangkit, tapi karena sebelum ini, seseorang datang padanya ... di antara batas hidup dan mati.

Dalam ruang kesadaran gelap itu, sebelum ia membuka mata, sosok lemah mendekatinya. Wajah pucat dengan mata kosong. Kaira yang asli. Tubuhnya bergetar saat berkata:

"Tolong ... bantu aku ... Aku tidak kuat lagi ... Ambil tubuh ini, ambil semuanya ... tapi tolong ... jangan biarkan mereka menang ...."

Dan Nova—ahli medis dan racun yang bahkan para mafia pun segani—menerima permintaan itu.

Nova membuka mata di tubuh Kaira, dan sejak saat itu … permainan baru dimulai.

Leonel tersadar dari sikap terkejutnya lalu berkata, “Aku akan memanggil dokter. Sepertinya ... kau kehilangan akal sehatmu.”

Kaira yang jiwanya telah diisi oleh Nova membalas, “Tidak. Justru sekarang aku waras, lebih dari sebelumnya. Dan kau, Leonel ... akan jadi saksi bagaimana Kaira yang baru akan mengubah segalanya.”

Leonel mematung sejenak di hadapan Kaira. Kata-kata tajam gadis itu masih bergema di telinganya—tajam, dingin, menusuk harga diri.

Itu ... bukan Kaira yang ia kenal.

Dengan tatapan tak terbaca, ia berbalik dan melangkah keluar kamar. Pintu kamar VVIP tertutup pelan di belakangnya.

Di luar, seorang pria bersetelan hitam langsung berdiri tegak dan memberi hormat.

"Tuan."

Leonel tidak menoleh. "Panggil dokter. Suruh mereka periksa Kaira. Sekarang."

"Siap," jawab Joni, tangan kanan sekaligus pengawal pribadinya yang paling setia. Ia segera bergerak tanpa bertanya lebih jauh. Leonel, sementara itu, hanya berdiri diam di lorong, pikirannya dipenuhi tanda tanya.

Sementara itu di dalam kamar, Kaira menarik napas pelan, mendengarkan keheningan yang menyelimuti ruang itu. Tangannya terulur, menyentuh perban di sekitar matanya. Gelap. Sunyi.

Namun di dalam hati dan ingatannya, luka-luka Kaira asli mulai terkuak satu per satu—seolah menyatu dengan pikirannya sendiri.

Tertawa sinis. Desakan keras. Kata-kata kasar. Sepatu yang menginjakkan diri di mejanya. Air kotor disiramkan ke kepalanya hanya karena ia diam. Karena ia buta. Karena ia berbeda.

Kaira tak bisa melihat, tapi bukan berarti ia tak merasa.

Dan lebih menyakitkan dari semua itu adalah kenyataan bahwa kebutaannya … berasal dari Leonel sendiri.

Kecelakaan itu. Suara rem yang terlambat. Benturan keras. Dan saat semua orang menjerit menyalahkan, Leonel seorang putra keluarga Frost yang sempurna—menenangkan media dengan satu kalimat:

“Saya akan bertanggung jawab … dengan menikahinya.”

Bukan karena cinta. Bukan karena peduli. Tapi karena citra keluarga.

Nova mengepalkan tangan di atas selimut. "Kau tragis sekali, Kaira ...." bisiknya sendiri. "Tapi sekarang ... aku di sini. Dan tidak akan ada lagi yang bisa menginjak kita seperti debu."

Wajah-wajah mereka mulai muncul di benaknya—para penindas di sekolah, ibu tiri yang bermuka dua, saudari tiri yang iri, hingga ... Leonel Frost, sang suami yang tak pernah benar-benar peduli.

Kaira mengangkat wajahnya ke langit-langit gelap, seolah berbicara pada gadis yang kini telah pergi.

"Istirahatlah dengan tenang, Kaira. Biarkan aku yang menyelesaikan semuanya untukmu."

*****

Cahaya lampu kamar temaram, menyinari ruangan VVIP yang sunyi. Di atas ranjang, Kaira duduk bersandar, tubuhnya tampak tenang, tapi pikirannya bergejolak.

Malam ini, pikirannya kembali ke satu titik yaitu sebuah ledakan.

Dentuman keras, suara kaca pecah, panas yang membakar kulit. Nova ingat segalanya. Bagaimana dia berlari mencoba menyelamatkan formula terakhirnya. Obat yang akan menyembuhkan penyakit langka … dan malah menjadi penyebab kematiannya.

“Ironis.” Ia tersenyum kecil. Tapi senyuman itu tak sempat bertahan lama.

Tap!

Tap!

Tap!

Langkah kaki mendekat di luar pintu. Bukan Leonel.

Hidung Nova menangkap aroma parfum murahan, manis menusuk, berbeda jauh dari wangi segar dan mahal milik Leonel. Ada suara derit pintu, lalu bunyi langkah menyusup masuk ke dalam ruangan.

"Masih hidup rupanya," gumam seorang wanita setengah berbisik namun sengaja dikeraskan. Suaranya sinis. Terasa ringan, tapi mengandung racun.

Nova tidak bergerak, hanya diam mendengarkan.

"Sudah buta, masih nyusahin. Untung masih ada sisa makanan tadi siang," lanjutnya.

Wanita itu, pelayan keluarga Frost, jelas bukan datang membawa kasih sayang. Tangannya terdengar mengobrak-abrik kantung plastik sebelum akhirnya membuka tutup Tupperware dengan bunyi khas klik.

"Ini, makan! Jangan buang-buang makanan, sudah dibawakan juga syukur," katanya sambil menyeret kursi kasar, duduk, dan langsung menyodorkan sendok ke arah wajah Kaira.

Nova tetap diam. Tidak menunduk. Tidak menerima.

Sendok itu menyentuh bibirnya dengan kasar, hampir menusuk.

"Hei! Aku bilang makan, dasar bodoh. Kau pikir status istri muda bisa membuatmu spesial? Kalau bukan karena rasa kasihan tuan Leonel, kau sudah dilempar ke luar sejak lama."

Dan saat itu, Nova bergerak.

Tangannya yang halus tapi terlatih menangkap pergelangan tangan pelayan itu dengan cekatan. Cengkeramannya kuat, mencengangkan si pelayan yang tak menyangka gadis buta itu bisa bereaksi begitu cepat.

"Kau pikir aku buta, jadi aku lemah?" ucap Kaira pelan, tapi setiap katanya menampar.

Pelayan itu tertegun. “A—apa ....”

Nova menarik sendok itu perlahan dari tangannya, lalu meletakkannya ke meja kecil di samping ranjang. Lalu dia membalikkan kepala ke arah suara pelayan itu, tepat sasaran meski matanya melihat gelap gulita.

"Kau datang ke sini membawa makanan sisa, melemparkan hinaan, lalu mencoba menyuapi aku seperti binatang. Sekali lagi kau lakukan itu—"

Nova tersenyum tipis. "Aku bersumpah, kau akan menyesal masih memiliki lidah untuk mencibir orang lain."

Pelayan itu membeku. Untuk sesaat, suasana terasa membeku juga. Aura dingin dari Kaira yang baru membuat seluruh ruangan terasa menyesakkan.

Dengan suara gemetar, pelayan itu berkata, "A—aku hanya menjalankan perintah—"

"Keluar," potong Kaira tajam. "Dan jangan kembali kecuali kau bisa memperlakukan majikanmu dengan sopan."

Pelayan itu menggertakkan giginya, tapi tidak berani membantah. Dengan cepat, ia berdiri, merapikan Tupperware dengan kasar, lalu pergi terburu-buru sambil membanting pintu pelan.

Begitu keheningan kembali, Kaira menyandarkan kepalanya ke bantal.

"Tubuh ini mungkin buta," bisiknya pelan, "tapi aku? Aku melihat segalanya dengan lebih jelas dari sebelumnya."

Tanaman Belladonna

Pagi menyelinap masuk lewat celah jendela besar kamar VVIP rumah sakit. Cahaya matahari menyinari lantai putih yang bersih, namun di sudut ruangan, suasana justru mengisyaratkan bahaya.

Kaira Frost baru saja selesai membersihkan diri. Rambut hitamnya dibiarkan terurai, perban masih melingkari kepalanya. Namun langkahnya ringan, pasti. Gerakannya terarah, seperti seseorang yang tahu persis di mana letak setiap benda di sekitarnya.

Dengan ketajaman indera Nova yang mengendalikan tubuh ini, meski matanya buta, dunia tetap bisa "terlihat" olehnya, dari getaran, aroma, hingga suara sekecil napas.

Cklek!

Pintu terbuka pelan. Seorang suster muda masuk, membungkuk sopan seperti biasa.

"Selamat pagi Nona," sapa suster itu dengan suara yang dibuat-buat polos.

Di tangannya, ia membawa sebuah pot tanaman kecil dengan daun hijau segar yang tampak baru disiram.

Suster itu berjalan ke sudut ruangan, menggantikan pot tanaman yang mulai menguning.

Kaira berdiri di tengah ruangan, diam. Namun aroma tajam yang familiar langsung menusuk hidungnya.

“Belladonna .…” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Tapi napasnya langsung berubah pelan dan dingin.

Tanaman itu bukan sekadar hiasan biasa. Ia tahu, karena ia sebagai Nova Spire lah yang menciptakan ratusan jenis racun dari tanaman semacam itu. Belladonna, jika dipaparkan secara perlahan, akan melemahkan sistem saraf, membuat tubuh kehilangan energi sedikit demi sedikit … hingga akhirnya mati seolah karena penyakit.

“Tiga kali paparan sudah cukup untuk membunuh pasien dengan kondisi lemah,” bisiknya, dan jari-jarinya langsung mengepal.

Langkah Nova cepat, nyaris tak bersuara. Suster itu belum sempat meletakkan pot sepenuhnya saat tiba-tiba ….

Grep!

"Arrgghh!" suster itu terkejut dengan mata melotot.

Tangan Kaira mencengkeram leher sang suster dengan kuat, mendorong tubuh sang suster menempel ke dinding.

Brugh!

Prang!

Pot tanaman terjatuh dan pecah di lantai. Wajah suster itu pucat ketakutan.

“Siapa yang menyuruhmu?” suara Kaira tenang, namun mengandung ancaman mematikan.

Suster itu meronta. “Apa maksud Nona?S—saya tidak tahu! Ini hanya ... hanya tanaman biasa!”

“Berhenti berpura-pura bodoh. Kau kira aku tidak tahu jenis racun yang menempel di daun itu?” cecar Kaira, semakin mempererat cengkeramannya.

Mata suster itu membelalak, napasnya tersendat. “T—tolong … aku hanya—dapat kiriman dari kurir! Aku disuruh mengganti tanaman itu dua bulan sekali! Aku tidak tahu siapa yang mengirim!”

Kaira menyipitkan mata di balik perbannya. “Sudah berapa kali kau menggantinya?”

“Ini ... ini yang ketiga! Karena Nona koma selama enam bulan ... aku ... aku hanya mengikuti instruksi .…”

Mata Kaira terlihat dingin, namun mendengar suara suster tersebut. Sepertinya suster ini tidak berbohong.

“Dengar baik-baik.” Suara Kaira seperti bisikan dingin yang menghujam. “Kalau kau berani menyentuh ruangan ini lagi tanpa seizin langsung dariku, aku pastikan kau tak akan bisa bicara selama sisa hidupmu. Mengerti?”

Suster itu mengangguk cepat, tubuhnya gemetar ketakutan. Nafasnya mulai memburu dan sesak.

"B—baik!"

Jari-jari Kaira mulai mengendur. Detak jantung suster itu melemah di bawah genggamannya. Ia tahu betul kapan harus berhenti—tepat di batas antara luka dan kematian. Namun baru saja ia ingin melepaskannya, tiba-tiba...

Cklek!

Pintu kamar terbuka dengan cepat, diiringi langkah sepatu kulit yang mantap dan tegas.

“Apa yang kau lakukan?” suara dingin itu bergema di ruangan. Datang dari pria yang bahkan tak perlu memperkenalkan dirinya, Leonel Frost.

Di belakangnya, Joni berdiri tegak seperti bayangan gelap, matanya tajam mengamati situasi.

Tanpa terburu-buru, Kaira menoleh ke arah sumber suara. Lalu, seolah tak terjadi apa-apa, ia perlahan melepaskan cengkeramannya.

Bruk!

Suster itu terjatuh dengan tubuh gemetar, tangannya segera memegangi leher yang memerah bekas cekikan. Nafasnya tersengal, namun ia tak berani mengeluarkan suara.

Kaira berdiri tegak, menepuk-nepuk bajunya dengan ringan, lalu menghadap ke arah Leonel. Kepalanya masih tertutup perban, tapi sikapnya tenang, bahkan terlihat matanya … sedikit polos.

“Kupikir ada pencuri.” Suaranya datar, tidak tergesa-gesa. “Tiba-tiba dia masuk dan berjalan tanpa suara, aku kaget.”

Kaira menoleh sedikit ke arah suster itu, seolah benar-benar buta dan hanya menebak posisi. “Benar begitu, kan, Suster? Hanya kesalahpahaman.”

Suster itu menegang. Tatapan Leonel menusuknya tajam, menuntut jawaban.

“I—iya … iya, Tuan Frost,” jawabnya cepat. “Saya ... salah. Saya yang ceroboh.” Suaranya gemetar, tubuhnya sedikit bergetar karena rasa takut yang belum hilang.

Leonel memicingkan mata, menatap Kaira penuh curiga. Ada sesuatu yang terasa … berbeda. Gerak-geriknya, sikapnya, nada bicaranya. Kaira yang ia kenal biasanya akan langsung menangis atau meminta maaf.

Tapi yang ini? Terlalu tenang. Terlalu terkontrol. Namun ia menahan diri. Matanya kemudian beralih ke suster yang masih terpojok di lantai.

“Kau boleh keluar.”

Suster itu segera berdiri dan berlari keluar ruangan secepat mungkin, seperti dikejar bayangan maut.

Kaira kembali duduk di tempat tidur dengan anggun, lalu mengangkat wajahnya ke arah Leonel. “Apa kau pikir aku cukup kuat untuk menyerangnya, Leonel?”

Nada suaranya datar, seperti menyindir dan meminta jawaban jujur sekaligus.

Leonel menatapnya dalam diam beberapa detik, sebelum akhirnya berkata datar, “Kau terlalu lemah untuk melukai siapa pun.”

“Benar, kan?” jawab Kaira ringan, tersenyum samar. “Jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Leonel mendengus pelan, lalu berbalik. “Joni, periksa rekaman kamera di lorong. Pastikan tak ada orang asing yang masuk tanpa izin.”

“Siap, Tuan.”

Kaira menyandarkan punggungnya ke bantal dengan tenang. Ia tahu kamera dalam ruangan tidak diaktifkan atas permintaan keluarga Frost sendiri—mereka menghargai privasi “istri sah” sang pewaris.

Setidaknya ... itu yang dikatakan pihak rumah sakit yang di dengar oleh Kaira semalam.

Tapi Kaira atau Nova akan selalu siap dengan kemungkinan terburuk.

“Permainanmu menarik, Leonel Frost,” bisiknya dalam hati. “Tapi aku juga tahu cara bermain lebih licik darimu."

Joni akhirnya keluar dari ruangan VVIP itu, meninggalkan dua orang dalam keheningan.

Kaira kembali berjalan berpura-pura meraba-raba sesuatu agar tidak tertabrak benda di depannya. Lalu perlahan-lahan duduk di sofa dekat jendela.

Leonel masih memperhatikan gerak-gerik sang istri yang menurutnya terlihat biasa saja. Namun, menurut Leonel sangat mencurigakan.

Kaira memulai sarapannya, sendok di tangannya bergerak anggun menyuapkan bubur ke mulutnya.

Tak ada ketegangan di wajahnya. Seolah insiden tadi hanyalah mimpi sejenak di antara tidurnya yang panjang.

Leonel masih berdiri tak jauh darinya, dengan kedua tangan di balik punggung, lalu mengalihkan pandangannya ke lantai saat melihat Kaira mulai sarapan. Ia tampak menunggu sang asisten.

"Apa kau tidak ingin sarapan, Leonel?" tanya Kaira basa-basi.

"Tidak! Kau saja," balas Leonel dingin.

Kaira mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Terserah saja," gumamnya.

Tak lama, suara ketukan pintu terdengar.

Tok!

Tok!

Tok!

Diawasi

Pintu terbuka. Joni masuk dengan langkah cepat dan ekspresi serius.

“Tuan, saya sudah cek. Kamera pengawas di ruangan ini tidak aktif.”

Leonel menoleh cepat, ekspresinya mengeras. “Apa maksudmu tidak aktif?”

Joni sedikit menunduk. “Menurut bagian teknis rumah sakit, ruangan ini memang tidak dipasangi kamera aktif … atas permintaan pribadi keluarga Frost. Khususnya, permintaan langsung dari Tuan Besar Frost.”

Suasana ruangan seketika hening.

Leonel mengerutkan kening, jelas ia sendiri tidak tahu soal itu. Ia melirik ke arah Kaira yang tampak menikmati sarapannya dengan santai, seperti tak peduli pada percakapan yang terjadi.

Kaira tersenyum kecil, seolah bisa merasakan tatapan Leonel padanya.

“Ah ... jadi tidak ada rekaman?” tanyanya ringan tanpa menoleh. “Sayang sekali. Padahal aku ingin tahu juga, bagaimana ekspresiku saat kaget tadi. Setidaknya meski aku tidak lihat, aku ingin kau mengomentari ekspresi terkejutku.”

Nada bicaranya begitu tenang, hampir terdengar seperti ejekan halus.

Leonel mengepalkan rahangnya. Ia tak suka perasaan seperti ini, seolah sedang diatur oleh seseorang yang tampak lemah dan tak berdaya.

“Kau terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja nyaris mencelakai orang lain.”

“Atau mungkin aku terlalu tenang untuk seseorang yang tahu dia hampir dibunuh,” balas Kaira sambil menaruh sendok di mangkuknya.

Kaira menoleh pelan ke arah suara Leonel, dan menyambung ucapannya, “Aku hanya ingin bertahan hidup, Leonel. Bukan salahku kalau suster itu yang salah gerak.”

Leonel diam. Ucapan Kaira membuat sesuatu bergetar dalam benaknya, sebuah ketidakyakinan bahwa perempuan ini adalah gadis buta polos yang dulu ia nikahi karena rasa tanggung jawab.

Ada sesuatu yang berubah. Terlalu tajam. Terlalu ... dewasa. Namun dia memilih mundur.

“Joni, atur agar CCTV diaktifkan mulai hari ini,” titah Leonel dengan suara dingin.

“Baik, Tuan.”

Leonel melangkah keluar tanpa berkata lagi. Setelah pintu tertutup, Kaira menyandarkan tubuhnya santai.

“Bagus. Sekarang aku tahu siapa yang tidak bisa kupercaya,” gumamnya.

Kaira meraba pot tanaman kecil yang pecah di lantai, lalu tersenyum tipis. “Dan siapa yang akan kubuat menyesal telah mencoba membunuhku dalam tidur.”

****

Sudah lima hari berlalu sejak Kaira—atau lebih tepatnya Nova dalam tubuh Kaira—terbangun dari komanya.

Di luar, kabut pagi menggantung di balik jendela besar kamar VVIP rumah sakit, menyelimuti kota dengan embun tipis. Di dalam ruangan, Kaira berdiri tenang di dekat jendela dengan mata tertutup, wajahnya menghadap ke arah matahari terbit.

Tangan kirinya memegang tongkat penuntun, tapi tidak digunakan. Sebaliknya, tubuhnya bergerak pelan, meregangkan lengan dan memutar bahu perlahan. Gerakannya begitu terkontrol dan seimbang, seperti penari yang hafal setiap gerakannya meski tak bisa melihat.

“Satu ... dua ... tiga ... tarik napas ... tahan.” Ia membisikkan hitungan kecil, menenangkan pikirannya.

Kaira atau Nova, telah membiasakan diri dengan tubuh mudanya. Meskipun tubuh Kaira sebelumnya lemah karena koma dan trauma, Nova tahu cara memperkuat otot-otot kecil dengan teknik pernapasan dan peregangan dalam diam.

Kaira tahu ia sedang diawasi. Kamera mungkin tak menyala di kamar, tapi telinga dan mata tersembunyi bisa saja datang dari mana saja, terutama dari keluarga Frost.

Di depan pintu, seorang perawat tampak melirik dari celah. “Aneh ... dia bisa berdiri lama tanpa goyah .…” gumamnya pelan, lalu mencatat sesuatu di ponselnya.

Di dalam ruangan, Kaira berbalik perlahan dan berjalan ke arah tempat tidur, tongkatnya menyeret pelan lantai marmer.

Begitu sampai di tepi ranjang, ia duduk dan membuka mulut pelan.

“Kukira mereka akan mencoba lagi hari ini.”

Tidak ada orang lain di ruangan, tapi Nova terbiasa berbicara dengan dirinya sendiri. Itu membantunya menganalisis situasi.

“Tanaman beracun, makanan dengan dosis halus, bahkan mungkin obat dalam cairan infus.” Ia mendesah, lalu mencibir. “Begitu putus asanya mereka ingin mengusirku dari dunia ini.”

Tiba-tiba, pintu terbuka.

Seorang suster masuk dengan wajah ramah, membawa nampan sarapan. “Selamat pagi, Nona Kaira. Semoga tidurnya nyenyak.”

Kaira menoleh ke arah suara, senyum tipis terukir di bibirnya. “Tidurku seperti orang mati. Tapi sayangnya, aku bangun lagi, ya?”

Suster itu tertawa kecil, meski rautnya sempat kaku mendengar ucapan Kaira.

“Saya taruh makanannya di meja ya, seperti biasa.”

“Letakkan di sisi kanan, lima langkah dari tempat tidur. Seperti kemarin,” ujar Kaira dengan nada pelan, tapi pasti.

Suster itu membeku sejenak. Ia tidak pernah menyebutkan jaraknya sebelumnya.

“Tentu, Nona.” Ia buru-buru menaruh nampan dan keluar.

Begitu pintu tertutup kembali, Kaira berdiri dan bergerak pelan ke kamar mandi. Di dalam, ia mengunci pintu lalu menarik napas panjang. Tangannya menyentuh dinding dingin, lalu ia mulai bergerak—push-up ringan, squat, latihan pernapasan dalam.

“Tubuh ini masih muda, tapi lemah. Kurang latihan.” Ia mengepalkan tangan. “Tapi sebentar lagi ... aku akan menguasai semuanya.”

Lima belas menit berlalu, ia keluar kembali, menyeka peluh di dahinya.

Ketika duduk kembali di ranjang, ia menyentuh sendok dari sarapannya tapi bukan untuk makan. Ia hanya mencium aroma makanannya, mendeteksi jejak bahan kimia atau racun.

“Tidak hari ini,” gumamnya. “Tapi bukan berarti besok tidak.”

Dengan tenang, Kaira menyuapkan sesendok bubur ke mulutnya, senyumnya tenang.

Di sisi lain, di lantai tertinggi gedung Frost Corporation, sebuah ruangan tersembunyi dengan dinding kaca hitam dan perlengkapan teknologi canggih menyala redup.

Di tengah ruangan, layar besar menampilkan rekaman CCTV dari kamar VVIP di rumah sakit. Tampak sosok gadis buta sedang duduk santai di dekat jendela, perlahan meregangkan tubuhnya, mengangkat tangan lalu menarik napas dalam.

Leonel Frost berdiri dengan tangan menyilang di depan dada, mata elangnya menatap layar tanpa berkedip. Di sampingnya, Joni, sang asisten pribadi, memegang tablet kecil yang juga tersambung ke rekaman yang sama.

“Sudah lima hari,” gumam Leonel dingin. “Dan tidak ada gerakan mencurigakan ... hanya peregangan setiap pagi. Terlalu rutin. Terlalu bersih.”

Joni menoleh ke arah layar dan mengangguk pelan. “Saya rasa itu justru normal, Tuan. Setelah enam bulan koma, tubuh siapa pun akan kaku. Terutama ... kalau ia tidak bisa melihat.”

Leonel tidak menjawab, hanya mengerutkan kening. Matanya bergerak ke sudut lain layar, memperhatikan pola gerakan Kaira—ke arah kamar mandi yang cukup lama setiap harinya.

“Kamar mandi. Dia selalu masuk setidaknya lima belas menit. Terlalu lama.”

Joni membalik layar tabletnya dan menampilkan catatan waktu.

“Memang agak lama, tapi sekali lagi ... wajar. Nona Kaira buta. Dia pasti bergerak pelan. Dan ....” Joni ragu sejenak sebelum menyambung, “Dia juga harus memastikan pakaiannya rapi. Dia seorang istri CEO. Bahkan dalam ketidakberdayaannya, dia tetap menjaga wibawa.”

Leonel melirik Joni. “Kau menyukainya?”

Joni langsung tegak. “Tentu tidak, Tuan. Maksud saya ... saya hanya mengamati dari sisi logis.”

Leonel mengalihkan pandangannya kembali ke layar. Kaira tampak tenang, bahkan terlalu tenang.

“Dia berbeda.” Leonel akhirnya berkata. “Kaira dulu ... selalu tertunduk. Diam. Tak pernah menjawab saat aku bicara. Tapi sekarang ... dia balas bicara. Dengan kalimat tajam.”

“Mungkin karena koma itu mengubahnya, Tuan. Trauma bisa mengubah seseorang,” sahut Joni hati-hati.

Leonel mendesah pelan. Tangannya mengusap dagunya yang mulai ditumbuhi bayangan halus.

“Atau ada yang lebih dari itu ....” ucapnya lirih.

Joni mencoba tersenyum. “Setidaknya, sekarang dia tidak lagi mencoba melompat dari atap sekolah.”

Leonel menoleh tajam, tatapannya menggelap. “Itu bukan candaan, Joni.”

“Maaf, Tuan.”

Keduanya kembali menatap layar.

Kaira di dalam kamar VVIP itu—tersenyum kecil sambil menyentuh daun tanaman kecil di meja. Seolah tahu dirinya sedang diperhatikan.

Leonel menyipitkan mata. “Lanjutkan pengawasan. Dan ... pasang kamera tersembunyi di kamar mandi. Aku ingin tahu kenapa dia betah lama di sana.”

"Tapi Tuan, itu privasi—"

Mata tajam Leonel langsung menghunus ke arah Joni. "Dia istriku! Aku berhak, meski melihat tubuhnya."

Joni terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Baik, Tuan.”

Leonel membalikkan badan dan berjalan ke arah jendela besar ruangan itu, menatap kota yang mulai sibuk pagi hari.

“Kalau dia menyembunyikan sesuatu, aku akan menemukannya. Dan kalau dia bukan Kaira yang dulu ... aku akan mencari tahu siapa dia sebenarnya.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!