NovelToon NovelToon

Dendam Anak Kandung

Part 1

Ke Ibu Kota

Pandangan mata Lila tertuju ke pintu kamar Mira yang tidak tertutup rapat. Lila melangkah mendekat, dilihatnya Mira sedang bersimpuh di atas sajadah, berdoa dan terus terisak menangis. Lila tahu betul kalau bundanya sampai saat ini masih mencintai ayahnya. Bukan sekali dua kali Lila mendapati bundanya menangis, hal itu rutin dilakukan Mira sejak pria bernama Husien itu memutuskan pergi demi wanita bernama Farah

“Husien ! Aku bersumpah akan membalas setiap tetes air mata bunda,” batin Lila seraya meremas kuat ujung lengan baju kaosnya, lalu bergegas menjauh dari kamar Mira.

Lila Syafira, kini sudah dewasa, dia bukan gadis manja lagi yang bisa merengek minta dibelikan sesuatu kepada Mira. Lila tumbuh dan dibesarkan oleh Mira dalam hidup yang serba kekurangan, kini dia menjadi gadis cantik berkulit putih, dengan wajah melankolis. Gadis yang hidup kekurangan harta, tapi tak kekurangan kasih sayang itu sudah membulatkan tekad untuk mencari ayahnya di kota.

Mira bekerja keras untuk biaya pendidikan Lila, hingga Laila menjadi alumni lulusan Akutansi dari salah satu Universitas di Riau Sumatra ini.

“Bunda, Ijinkan Lila ke ibu kota.”ujar Lila seraya menyerahkan nilai ujian sarjananya yang begitu membanggakan.

Lila belajar dengan tekun dari SD hingga perguruan tinggi, dia selalu menjadi yang nomor satu dengan nilai-nilai yang sangat memuaskan, cita-citanya dari awal ingin berpetualang ke ibu kota.

Hari ini gadis penyuka abu-abu dan memiliki lesung pipit itu akan meninggalkan kota bertuah tempat lahirannya. Lila ke luar dari kamar, seraya menarik gagang travel bag, sambil mencantolkan tas tangan di bahunya.

"Bunda! Lila pamit,” ujarnya mencari Mira di ruang tengah.

"Kamu hati-hati di sana. Nak!" Mira menatap putrinya intens, lalu merengkuh dalam peluk kan, kalau boleh jujur, dia sangat keberatan melepas putri si mata wayangnya itu.

"Doakan Lila, biar dapat kerjaan yang bagus, dan bisa membawa bunda ke Jakarta,” ucap Lila dengan lugas, lalu melonggarkan pelukan Mira.

Mira tersenyum, lalu menyentuh kedua pipi putria nya, dia tidak ingin terlihat rapuh di depan Lila, dia harus terlihat ikhlas melepaskan putrinya pergi.

"Jika kerjamu di sana kurang nyaman, kamu balik lagi ke Riau, bisa bantu bunda mengurus bisnis bolu kemojo kita,” ujar Mira yang masih mengharapkan kalau putri semata wayangnya itu berubah pikiran.

Kini Mira menekuni kuliner khas Riau. Bagaimana menghancurkan kehidupan Mira. Saat Husien dengan tegas dan kejam meninggalkannya demi wanita lain. Mira yang hanya lulusan SMA, waktu itu tak punya keahlian apa-apa untuk mencari pekerjaan yang layak.

Pada saat itu Lila baru berumur 6 tahun, Mira terpaksa menjadi buruh cuci dari pintu ke pintu untuk menghidupi Lila dan dirinya, sampai akhirnya dia bekerja di rumah salah seorang berhati baik, yang memiliki usaha kuliner bolu kemojo.

Mira diijinkan oleh ibu Denada untuk bergabung, beberapa tahun kemudian karena kegigihan dan ketekunan Mira, membuat ibu Denada mempercayainya dan memberikan modal pada Mira untuk membuka usaha kemojo secara mandiri. Dengan modal itu Mira membuka usaha bolu kemojo di tempatnya.

Mira sangat bahagia dan berterima kasih kepada ibu Denada, berkat bantuannya Mira kini memiliki usaha sendiri yang sudah berkembang pesat, hingga dia mampu membiayai kuliah putrinya sampai mendapat gelar sarjana.

Tit…Tit.

Bunyi klakson mobil online yang dipesan Lila sudah sampai dan parkir di depan rumah bercat abu muda. Lila menyalami dan mencium punggung tangan Mira. Mira kembali memeluk erat putri satu-satunya. Dengan setengah hati dia terpaksa melepas kepergian Lila, kerena putri cantiknya itu memiliki cita-cita ingin bekerja di perusahaan besar dan bonafit yang ada di ibu kota.

Lila meregangkan pelukan Mira, lalu memperbaiki cantolan tas tangan di bahu, seraya melangkahkan kaki dengan mantap menuju pintu utama, diiringi dengan langkah berat Mira. Lila membuka pintu mobil, lalu memutar tubuhnya sejenak menatap Mira, melambaikan tangan dan menutup pintu mobil, Mobil bergerak membawa Lila perlahan meninggalkan rumah kelahirannya. Mira menatap kepergian putrinya hingga mobil yang ditumpangi Lila menghilang ditikungan.

“Pergilah. Nak! Gapai cita-cita yang kau inginkan. Doa bunda menyertaimu” Gumam Mira seraya menyeka air mata yang bergulir disudut netranya, lalu dia memutar tubuhnya masuk ke rumah, duduk di sofa dan menangis di sana.

“Bunda, maafkan Lila.” Batin Lila seraya menoleh ke belakang. Namun rumahnya sudah tak terlihat.

Lila tahu persis, bagaimana perasaan wanita yang melahirkannya itu, saat dia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan pergi merantau. Walaupun bundanya terlihat sangat tegar, tapi senyuman dan tatapan mata Mira tak bisa berbohong. Lila tahu itu.

“Bunda! Lila berjanji, akan membuat laki-laki bernama Husien itu bertekuk lutut di depanmu.” Geram Lila dendamnya begitu membara, dia menyesap buliran kristal yang sempat menetes di sudut matanya. Masih segar dalam ingatannya, bagaimana Husien mendorong Mira hingga terjerembab ke aspal yang mengakibatkan luka di lutut dan dahi Mira.

"Ayah jahat." teriak Lila waktu itu dan melemparkan tas sekolah ke wajah Husien.

Plak, plak dua tamparan mendarat di pipi Lila, dia terhuyung dan luruh ke lantai, setelah itu tak sadarkan diri.

"Bajingan! laki-laki itu tak pantas disebut ayah." kecam Lila geram.

"Husien! tunggu kedatanganku."

******

Satu jam kemudian Lila sampai ke bandara sulthan syarif kasim, karena tadi ada beberapa ruas jalan terhalang macet. Setelah membayar ongkos dan mengucapkan terima kasih, Lila keluar dari mobil, pelan tapi pasti dia melangkah masuk ke bandara, setelah menunggu lebih kurang satu jam. Pesawat yang membawa Lila pun terbang mengudara, ini merupakan pengalaman pertama Lila naik pesawat. Dua jam tiga puluh menit pesawat pun itu mendarat.

"Lila!" teriak Ismara dari jarak sepuluh meter seraya berlari.

Ismara teman SMA Lila, sebulan sebelum memutuskan untuk berangkat ke kota metropolitan itu. Lila sudah menghubungi Ismara. Berbagai drama saat menyampaikan hasratnya pada Mira, baru dia mendapat ijin. Bukan tanpa alasan dia menapakkan kaki ke Jakarta. Selain untuk mencari pekerjaan dan pengalaman, dia ingin menemukan pria yang bernama Husien yang telah menggores luka batin dalam hidupnya.

“Ismara! Akhirnya impianku memijakkan kaki di ibu kota menjadi kenyataan.” Seru Lila, dia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya, tak perduli orang disekitar menatapnya tersenyum. Dua sahabat yang sudah lima tahun berpisah itu berpelukan beberapa saat, saling melepas rindu.

Ismara sudah memilik usaha di ibu kota, dia meneruskan bisnis ibunya. Dan sekarang Ismara menjadi seorang desainer yang handal. Ismara menjemput Lila dan membawa ke apartemen nya.

“Ayok masuk.”

“Apartemen mu bagus sekali.” Ujar Lila berdecak kagum seraya memindai ruangan yang didesain interior klasik. Ismara hanya tertawa menanggapi kekaguman Lila.

“Sambil menunggu lamaran kerjamu diterima, bagaimana kalau kamu kerja di butikku dulu.” Ujar Ismara seraya menyodorkan segelas teh manis.

Lila menyetujui usulan Ismara, dia memang sudah memasukkan beberapa lamaran ke berbagai perusahaan secara online, sampai hari ini Lila belum mendapat email balasannya.

"Kalau kamu lapar, aku sudah siapin makanan buat kamu di dapur, atau kamu bisa masak yang lain, jika kamu tidak suka, di kulkas banyak bahan mentah,” ujar Ismara sambil mencantolkan tas tangan di bahu.

"Baiklah teman, tidak usah khawatirkan aku,” ujar Lila, dia bersyukur sekali mempunyai sahabat sebaik Ismara. Dan di hari pertama sampai ke Jakarta, dia mau istirahat dulu.

Ismara berangkat ke butik. Sementara Lila masih berbaring di sofa, menghilangkan lelah, Lila kemudian menelpon bundanya, dan mengabarkan kalau dia sudah sampai.

******

Di butik

Ini hari kedua Lila di Jakarta, berbekalkan alamat dari Ismara, Lila pergi sendiri ke butik, tadi pagi Ismara mendadak pulang ke Bandung kerena ibunya sakit. Lila turun dari ojek online yang mengantarnya ke pusat perbelanjaan ibu kota, Lila bergegas menuju sebuah lift, berdiri di depan pintu lift, mata Lila focus menatap pintu lift, saat Lift terbuka, seorang pria berumur lima puluhan ke luar sambil menatap serius pada layar ponsel, hingga tidak memperhatikan di sekelilingnya, Sejenak Lila sempat memperhatikan pria brewok dan berkaca mata hitam itu keluar.

"Dompet.” batin Lila saat kakinya melangkah masuk, mata Lila tertuju pada sebuah benda berwana hitam yang menyentuh ujung kakinya.

"Pasti dompet pria tadi,” gumam Lila. Karena tidak ada orang lain yang ada di lift saat pria itu keluar dan begitu pula saat Lila masuk. Lila memungut dompet itu.

Sebelum Pintu lift tertutup, Lila menahan tombol hold door, lalu dia keluar dari lift dan berlari ke pintu utama mall. Sekilas dari kejauhan Lila melihat pria itu. Namun kemudian pandangannya tertutup oleh lalu lalang mobil yang keluar masuk parkir. Tanpa pikir panjang Lila berlari ke parkir di samping mall.

"Pak! pak!" Lila berteriak.

Terlambat, pria itu sudah masuk ke mobil ferrari putih, Lila mencari akal supaya tidak kehilangan jejek, dia berlari menyelip dari mobil ke mobil yang terparkir, sela mobil itu cukup dilewati oleh tubuhnya yang ramping, menuju arah pintu ke luar parkir, lalu menunggu mobil sang pria lewat. Lila berdiri ditengah jalan, Mobil yang ditumpangi pria itu berhenti, Lila mendekat dan mengetuk kaca mobil.

"Maaf saya menemukan dompet bapak tadi di dalam lift." Lila mengangkat benda yang terbuat dari kulit itu, agar orang yang berada di dalam mobil melihatnya, perlahan kaca mobil di turunkan pemiliknya.

"Benar sekali, ini dompet Tuan.” ujar sang supir seraya menoleh kebelakang.

Pria yang duduk di bangku belakang supir, perlahan menurunkan kaca mobil, mengambil dompet dari tangan gadis itu dan memeriksanya, setelah memastikan kalau itu memang dompetnya, Pria itu mengeluarkan selembar kertas.

"Besok temui saya dikantor." ujarnya tegas.

"Sekarang saya lagi buru- buru." ucap pria itu lagi sambil melemparkan sebuah kartu nama, Kesannya sangat terlihat angkuh, pria itu sama sekali tak melihat ke arah Lila.

Sambil mengibaskan tapak tangannya, memberi isyarat agar Lila menjauh. Pria itu menutup kembali kaca mobil dan meluncur meninggalkan Lila yang mundur beberapa langkah.

"Sombong sekali dia, siapa juga yang mau menemui mu." batin Lila, seraya berjongkok mengambil kartu nama yang jatuh tergeletak di atas kakinya.

"Dasar orang kaya tak ada akhlak!" maki Lila lagi.

"Sudah ditolong bukannya terima kasih." Gumamnya lagi sekilas menatap kartu nama yang sudah berada ditangannya.

"Husien Harahap." Lila mengeja nama yang tertera di kartu itu.

"Seperti nama ayah." Batinnya. Dia tersenyum dan berpikir bahwa Tuhan sedang berpihak padanya.

Apakah benar Husien ayah Lila

Lanjut ke Part 2

Part 2

Mencari Kebenaran

Keesokan harinya setelah meminta ijin kepada Ismara, bermodalkan sedikit informasi dari teman Ismara, Lila pergi ke kantor Husien Harahap dia ingin memastikan, apakah pemilik kartu nama yang diterimanya semalam, benar pria yang telah meninggalkan dia dan bundanya dua puluh tahun yang lalu.

Tidak susah bagi Lila untuk melacak keberadaan kantor laki-laki itu, karena perusahaan Husien cukup bonafid dan terkenal dari kalangan bawah hingga kalangan atas.

"Kak kita sudah sampai." driver ojek online itu menghentikan motornya. Lila merogoh saku kemeja mengambil kartu nama itu, sejenak dia menatap kartu, sesuai dengan alamat yang tertera di kartu itu, Lila turun dari ojek yang mengantarnya, setelah membayar ongkos dan mengucapkan terima kasih Lila memasuki area perkantoran.

Lila berhenti melangkah, dia memandang takjub pada gedung bertingkat yang berdiri gagah di depannya.

"Aku harus bisa bekerja di sini." batin Lila, lalu dengan mantap melanjutkan melangkahnya berjalan mendekati security, memastikan kalau dia tidak salah alamat.

"Apa nona sudah buat janji?" Tanya security menilik nya penuh curiga.

"Semalam beliau memberikan kartu nama ini pada saya dan menyuruh saya menemuinya hari ini di kantor,” jawab Lila secara memperlihatkan kartu nama di genggamannya.

Lila menyodorkan kartu nama itu ke security. Saat melihat Lila membawa kartu nama bosnya, security itu mengajak Lila menemui seorang resepsionis dan memberi penjelasan. Resepsionis itu kemudian menelpon seseorang, entah apa yang dibicarakannya Lila tak bisa mendengar dengan jelas.

"Silakan nona ke lantai delapan, jumpai ibu Nora." Titah resepsionis itu, sambil menutup percakapannya di telepon. Resepsionis itu memberikan sebuah kartu, dan menunjukkan arah lift.Sebelum Lila beranjak.

Sambil mengantongi kartu yang bertulisan nomor angka tiga Lila masuk ke dalam lift, menekan tombol angka delapan. Lila menatap kartu yang diberikan resepsionis tadi, seperti nomor antri. Pintu lift terbuka di lantai delapan. Lila keluar, lalu memandang kiri dan kanan koridor kantor, sepi tak ada tempat untuk bertanya. Sekilas dilihatnya seorang office girl keluar dari sebuah ruangan.

"Hay kak!" Lila memanggil seorang office girl yang sedang membawa nampan berisi dua gelas kopi. Office girl itu menghentikan langkah dan menoleh kearahnya.

"Ruangan ibu Nora di mana?" Tanya Lila.

"Terus jalan depan, sepuluh meter dari sini belok kiri.” Jawab office girl itu sambil menggerakkan tangannya sesuai ucapannya.

Lila mengucapkan terima kasih, lalu membalikkan tubuh ingin melanjutkan jalannya. Namun, langkahnya terhenti.

"Eh tunggu! apa kamu sudah bawa nomor antri." Office girl itu berbalik dan memanggilnya.

"Apakah ini,” Lila menunjukkan kartu yang bertulisan angka tiga. Office girl itu mengangguk.

"Hati-hari! ibu Nora selalu galak dengan orang baru,” ujar Office girl itu, lalu menghilang di balik pintu. Lila melanjutkan langkahnya sesuai petunjuk yang di dapat. Sepuluh meter melangkah, Lila mengalihkan pandangannya ke kiri, seorang gadis muda sedang duduk di kursi tunggu menatap kerahnya.

"Hay, apa kamu peserta wawancara juga?" Gadis itu menyapa Lila ramah, sambil bertanya dia tersenyum manis ke arah Lila. Lila tidak menjawab pertanyaan gadis itu, dia hanya memperlihatkan nomor kartu di tangannya, menunjukkan kearah gadis itu.

"Antrian dua." Terdengar suara seseorang memanggil dari dalam. Gadis itu beranjak, tiga puluh menit kemudian gadis itu keluar dengan senyum bahagia dan mengatakan kalau dia diterima kerja.

"Sekarang giliran mu, semangat ya,” ujar gadis yang belum dikenalnya sama sekali. Lila mengangguk ragu, dia heran saja, karena dia ke sini ingin menemui Husien , bukan untuk wawancara.

“Antrian tiga,” terdengar lagi panggilan dari dalam. Lila beranjak masuk.

"Selamat pagi bu." Sapa Lila begitu sudah berada di ruangan wanita yang bernama Nora. Lila bisa membaca id card wanita itu. Nora Ainunnisa sekretaris wakil direktur.

Sambil membungkukkan badannya tanda hormat, Lila menatap kearah wanita itu. Nora wanita dewasa dan sangat berwibawa, tidak terlalu tua dan tidak muda juga, dari penampilannya terlihat terlihat sedikit judes dan keras, itu penilaian pertama Lila.

"Duduk! anda perlu apa menemui saya?" Nora menatap tajam ke arah Lila yang sudah duduk dihadapannya.

Lila merasa ngeri melihat tatapan Nora, Lila menunduk, lalu menceritakan berawal dari penemuan dompet, dan disuruh datang ke kantor ini dengan orang yang memberi kartu nama yang sedang dipegangnya. Lila menyodorkan kartu nama itu.

"Tuan Husien ." gumam Nora. Dia menatap kartu nama yang disodorkan Lila, tuan Husien jarang sekali memberikan kartu mana, kecuali pada orang penting dan tertentu.

"Gadis ini salah satu orang tertentu yang beruntung. Apa gadis ini salah satu simpanan Tuan Husien." batin Nora. Nora sudah lama mendengar rumor kalau Husein suka dengan gadis-gadis belia.

"Cantik dan Manis." gumam Nora seraya menilik wajah dan tubuh Lila.

"Pantas saja Tuan Husien memintanya ke sini."

Tidak mau berurusan dengan Husien yang terkenal bengis dan kejam pada orang yang mencampuri urusannya. Nora meraih gagang telepon, lalu menekan dua tombol angka, dia menelepon asisten pribadi Husien dan menanyakan apakah Tuan Husien bisa menerima tamu, setelah mendapat jawaban. Nora beranjak dari kursi dan meminta Lila mengikutinya, Nora mendorong dinding pembatas yang terbuat dari kaca.

"Tuan! Ada seseorang ingin bertemu dengan anda."

"Siapa?"

"Seorang gadis yang menemukan dompet anda semalam."

"Suruh dia masuk."

Nora meminta Lila masuk, setelah itu dia kembali ke ruangannya. sedikit gugup Lila melangkah masuk, pria didepannya sedang focus menatap layar laptop, seakan cuek dan tak memperdulikan kehadirannya. Lila mendekati dan memindai ruangan kerja pria itu. Mata Lila membulat, saat melihat foto keluarga yang tergantung di belakang meja kerja Husien .

"Benar pria ini ayahku, wanita itu tante Farah, dan gadis itu, pasti anak mereka,” batin Lila, ada nyeri diujung hatinya.

Dulu Husien tidak brewok wajar saja semalam Lila tak mengenalinya, kerena ada jenggot dan kacamata yang menghiasi wajahnya, hingga Lila tidak bisa mengenalinya dengan jelas.

"Keluarga yang sangat bahagia." gumam Lila dengan hati teriris.

Iri? Tentu saja Lila sangat iri dan sekarang iri itu telah berubah menjadi sakit hati, dengki dan dendam membara.

"Berapa anda meminta bayaran untuk penemuan dompet saya?" Pertanyaan Husien seperti ledakan menggelegar di telinga Lila, seketika Lila sadar dari lamunan, Lila terkejut, spontan dia mengalihkan pandangannya ke arah pria itu yang kini sudah berdiri di hadapannya.

"Apa pria ini tidak mengenaliku sama sekali" batin Lila, dia tidak menjawab pertanyaan Husien.

Tentu saja Husien tak akan mengenalinya, dia kini telah tumbuh menjadi gadis cantik dan anggun Karena saat pria itu meninggalkannya dan Mira, usia Lila baru enam tahun. Enam belas tahun yang lalu Lila masih cengeng dan imut, sekarang dia sudah dewasa.

"Ini sepuluh juta, ambillah!" Pria itu meraih tangan Lila dan meletakkan uang tunai sepuluh juta itu.

Lila mundur dua langkah, secara bergantian dia menatap uang yang sepuluh juta yang baru diletakkan Husien di tangannya, kemudian dia mengalihkan pandangan ke wajah pria yang sekarang juga sedang menatapnya.

"Sepuluh juta, belum cukup kau membayar penderitaanku dengan bunda." batin Lila, bibir bergetar menahan amarah yang mulai membuncah.

“Kau akan membayarnya berlipat-lipat lebih dari itu. Dasar pria sombong dan angkuh.” itu yang terlintas di kepala Lila.

Melihat Lila hanya diam menatapnya, Husien beranjak menarik laci meja dan mengeluarkan sepuluh juta lagi.

"Jika kurang, ini ku tambah sepuluh juta lagi." ujar pria itu, dia kembali meletakkan uang itu di atas tumpukan uang yang ada di tangan Lila.

"Aku tidak butuh uang Tuan!" ujar Lila dengan suara parau, spontan dia meraih tangan Husien dan menyerahkan tumpukan uang itu.

Husien terkesima, dia sama sekali tidak menduga kalau wanita muda itu akan menolak pemberiannya.

"Tuan! saya memang butuh uang, tapi saya tidak mau menerimanya, kalau Tuan berikan secara cuma-cuma."

"Sekarang apa yang kau inginkan." Husien mulai tertarik dengan gaya kepolosan Lila.

"Beri saya pekerjaan Tuan!"

"Di kantor saya tidak ada lowongan."

"Tolong Tuan! saya mohon Tuan, saya... hiks, hiks, hiks." Lila tidak kuasa meneruskan ucapannya, dadanya bergemuruh terasa ingin meledak. Tiba-tiba hatinya sedih, mengingat perjuangan bundanya pasca ditinggal pria yang sekarang ada di depannya. Dia terisak menangis.

"Bagaimana pun caranya, pria ini harus menerimaku.” batin Lila dalam tangisnya.

"Jangan menangis di hadapanku, aku sudah biasa menghadapi wanita murahan sepertimu,” bentak Husien , tatapannya menukik kearah Lila sangat tajam.

Tatapan tajam Husien menghujam tepat di ulu hati Lila, bayangan wajah Mira seketika menari. Gejolak dendam membara di dadanya, rasanya dia ingin sekali berteriak kencang meluapkan seluruh isi hati.

“Sabar Lila, belum waktunya.” Gumamnya dalam hati.

"Ambil saja uang dua puluh juta ini dan pergi dari hadapanku." Pria itu kembali meraih tangan Lila, dan meletakkan uang dua puluh juta itu.

"Tidak tuan! tolong berikan saya pekerjaan.” Ucap Lila, kali ini dia meletakkan uang dua puluh juta itu di atas meja kerja Husien, lalu memberanikan diri menatap pria bengis dihadapannya.

“Tolong beri saya pekerjaan saja Tuan! saya ingin membiayai pengobatan ayah saya yang sekarang sedang berada di rumah sakit jiwa. Tuan!” ucap Lila seraya menangkupkan kedua tangannya di dada, air mata mengalir deras membasahi kedua pipinya.

Melihat Husien tidak bergeming dengan dramanya, Lila berjongkok memohon dan menyentuh ujung sepatu Husien.

“Kali ini tak apa aku mengalah dan merendah, lain kali akan ku buat kau yang berlutut di kaki ku dan bunda." batin Lila.

"Saya mohon tuan, saya sangat menyayangi ayah saya, dia lelaki paling baik yang saya punya, hiks, hiks, hiks." Tangisan Lila semakin kencang, dia mendekap erat kedua kaki Husien.

"Hay, kamu gila, sama seperti ayahmu." teriak Husien , seraya menarik kakinya dari dekapan tangan Lila.

"Benar tuan, saya akan lebih gila, jika tuan tidak menerima saya bekarja di sini." Rengek Lila tak melepaskan pegangannya. Namun dengan kuat Husien menyentakkan kakiknya, hingga pegangan Lila terlepas.

Husien menendang tubuh Lila yang berusaha meraih kembali kakinya lagi, Lila terjerembab di lantai. Lila tak perduli, pikirannya sekarang bagaimana dia bisa masuk ke perusahaan ini.

"Kau menyumpahi dirimu sendiri pria sombong." batin Lila berdecak penuh dendam, bongkahan kemarahan di dadanya sudah membuncah.

Lila tersenyum dalam hati, saat mendengar Husien mengatai dirinya dan ayahnya. Andai saja pria paroh baya itu tahu, bahwa yang dimakinya adalah dirinya sendiri. Entah bagaimana ekspresi wajah Husien.

Lila bangkit dan kembali memohon dengan berbagai cara, sesekali dia mengiba, sesekali dia memuji dan menyanjung Husien.

"Tuan! hanya tuan yang bisa menolong saya, saya sudah mencari pekerjaan kemana-mana, tapi tak ada yang mau menerima saya. tadi di luar saya mendengar dari karyawan tuan, kalau tuan adalah orang kaya yang sangat baik dan dermawan." puji Lila, entah dari mana Lila dapat kata-kata itu, dia terus bersimpuh di kaki Husien dan tak akan bangun sebelum Husien menerimanya

"Bangunlah! kamu saya terima." Husien kehilangan akan menghadapi Lila, saat mendengar sanjungan dan pujian Lila membuat hati Husien luluh. Karena dia memang gila sanjungan dari seorang wanita, apa lagi wanita secantik Lila.

"Terima kasih tuan! saya bersedia kerja apa saja, hanya tuan harapan saya satu-satu,” ujar Lila lagi seraya menyesap air matanya dan melirik wajah Husien yang ekspresinya sudah tidak segalak tadi. Lila tersenyum penuh kemenangan.

Benar kata Ismara kalau Husien itu paling senang dipuji. Sebelum datang ke kantor Husien, Lila sudah menggali banyak informasi tentang ayahnya itu dari teman Ismara yang bekerja sebagai menejer pemasaran di perusahaan cabang Husien.

"Tuan benar-benar Bos yang baik hati." puji Lila lagi sembari menyentuh lengan pria itu.

Sejenak Husien terkesima dia baru menyadari, kalau gadis yang sekarang berdiri di sampingnya memiliki lekuk tubuh yang seksi, pikiran kotor mulai bersarang di otaknya.

“Cantik dan manis.” Gumam Husien sambil memegang brewoknya dia tersenyum penuh arti.

Apakah Lila akan terjebak dalam perangkap ayahnya

Baca lanjutannya di part 3

Part 3

Awal Bencana

*******

"Ini awal bencanamu Husien." batin Lila seraya melirik Husien.

Lila bersorak di dalam hati, langkah pertama sudah berhasil, dia akan melanjutkan langkah ke dua. untuk sementara Lila harus bisa dulu menempatkan dirinya di hati Husein.

"Benar tuan? Tuan menerima saya!" Seru Lila, lalu mengembangkan kedua tangannya, memeluk tubuh Husien sangat erat. Bukan tanpa sadar dia melakukan itu.

"Terima kasih Tuan! Tuan baik sekali."

Berkali-kali Lila mengucapkan terima, dia menyandarkan kepalanya di dada bidang pria itu. Lila sengaja melakukan itu untuk menggoda ayahnya. Andai saja pertemuan ini merupakan pertemuan ayah dan anak yang saling merindukan. Tentu keadaannya akan berbeda.

"Mulai sekarang aku harus memainkan peranku dengan baik." Lila kemudian melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Husien.

"Hay, lepaskan! menjauh dariku,” bentak Husien menjaga imagenya. Karena dia melihat ada bayangan seseorang menuju ruang kerjanya.

Husien mendorong tubuh mungil Lila, karena tubuh Lila tak seimbang dia pun oleng. Bersamaan dengan itu seorang pria muda dengan sigap menangkap tubuh Lila, hingga Lila masuk dalam pelukan pria itu.

"Ada apa ini?" pria itu terkejut dengan kejadian yang tiba-tiba.

"Ma-maaf tuan! sa-ya tak sengaja tersenggol ujung sofa." Bohong Lila tergagap. Lila memasang senyum manis pada pria yang baru saja menyelamatkannya.

Sekilas Lila melirik, pria itu lumayan gagah dan tampan, dari rahangnya yang tegap, dia pasti seorang pekerja keras. Itu penilaian Lila sementara.

Reflek pria itu menepis tubuh Lila agar sedikit menjauh darinya, lalu dia menatap Lila dari kaki hingga ujung rambut.

"Sangat cantik, apa jangan-jangan dia..." gumam Vito dalam hati, dia menduga-duga kalau Lila salah satu gadis simpanan papa mertuanya.

"Vito! ada apa kau ke sini?" pertanyaan Husien otomatis mengalihkan pandangan Vito dari Lila.

“Pa! apa dia…” Vito tidak menjawab pertanyaan Husien, dia malah balik bertanya. Namun ucapannya menggantung, dia menatap intens Husien.

Bukan tanpa alasan kalau Vito menaruh curiga pada papa mertuanya itu, dia sering mendengar ibu mertuanya marah-marah, karena sering mendapati Husien memanjakan gadis-gadis belia dengan membelikan barang-barang mewah, terlepas apakah gadis itu menjual diri atau hanya sekedar menikmati uang Husein.

“Dia memanggil Husien papa. Apa dia anak Husien juga.” Batin Lila dia kembali menilik pria muda yang berdiri disampinya, lalu menatap foto keluarga yang tergantung.

"Difoto itu tidak ada pria ini." gumam Lila sambil mereka-reka siapa sebenarnya pria yang sekarang berdiri di sampingnya.

"Apa pria ini anak dari selingkuhan Husien dari wanita yang lain." pikiran Lila mulai merambah ke mana-mana.

"Vito, bawa gadis ini ke kantormu, beri pekerjaan yang cocok untuknya." titah Husien tegas, awalnya Husien ingin menjadi Lila caddy agar bisa mendampinginya saat bermain golf. Namun, karena keburu ketahuan Vito, untuk menutupi kecurigaan menantunya itu, dia meminta Vito membawa Lila ke perusahaan anak cabang yang dikelola Vito.

"Jadi cleaning servis, saya juga mau Tuan." Lila nyeletuk di antara perbincangan dua pria itu, dia tidak ingin Vito menolaknya

"Baiklah kalau begitu, besok kamu bisa ke kantor saya.”

“Terima kasih Tuan!” Lila mendekat ingin menyalami pria itu. Namun ditepis oleh Vito.

“Anak dan orang tua sama-sama sombong dan angkuh.” Batin Lila

Sementara Vito menyetujui permintaan Husien, hanya berniat ingin menjauhkan Lila dari ayah mertuanya, dia sama sekali tidak berminat menerima Lila bekerja.

"Sekarang kamu buatkan kopi untuk saya dan papah." titah Vito seraya menarik kursi di depan meja kerja Husien lalu menghempaskan bokongnya.

"Tidak apa-apa di perusahaan tuan Vito, yang penting aku bisa menyelidiki, siapa saja yang berada di rumah ayah." batin Lila, dia melangkah keluar dari ruangan Husien.

Suasana kantor yang masih sangat asing dan baru membuat Lila kebingungan, dia menatap lurus koridor perusahaan yang sepi, karena semua karyawan bekerja di ruangannya masing-masing. Lila menoleh ke kiri dan ke kanan, tapi tak mendapat petunjuk pantry ada di sebelah mana. Tiba-tiba Lila melihat sesosok bayangan seseorang yang baru keluar dari lift.

"Hay kak!" teriak Lila sambil berlari kearah wanita itu.

Spontan wanita yang dipanggil Lila membalikkan tubuhnya, dengan mengibas sebuah kipas, wanita itu memandang jijik ke arah Lila. Wanita muda yang berpakaian mewah dan glamor itu merasa sangat terusik dengan keributan yang dibuat Lila.

"Kamu memanggilku." ujar wanita itu sambil menunjuk dadanya.

"Iyalah, kan nggak ada orang lain selain kita berdua." jawaban Lila.

"Kak! ruang pantry di mana ya?" tanya Lila, dia tak memperdulikan pandangan sinis wanita itu.

"Ihs... apaan sich kamu. Dasar sampah!" tiba-tiba wanita itu mendorong bahu Lila dengan kipasnya seraya melotot ke arah Lila.

"Saya hanya bertanya. Kenapa kakak mendorong saya." Lila memperbaiki kembali posisi berdirinya.

Plak... sebuah tamparan mendarat di pipi Lila. Lila terkejut dia sama sekali tak menduga akan diperlakukan seperti ini. Lila mengusap pipinya yang terasa panas, lalu melangkah maju.

"Apa! emang kamu siapa? berani sama saya." teriak wanita itu, dia semakin kesal saat melihat gerakan Lila yang menantangnya.

Tangan Lila melayang di udara, dia siap membalas perbuatan wanita itu. Namun, tiba-tiba seseorang menarik tangan Lila dan membawa Lila menjauh.

"Hay.. kamu mau ke mana. Awas ya masalah kita belum selesai." teriak Yura geram karena kekesalannya belum terlampiaskan.

"Jangan sembarang sama nona Yura." ternyata yang menarik tangan Lila adalah official girl yang tadi membantunya menunjukkan ruang Nora.

"Lepaskan biar ku hajar dia." ujar Lila penuh emosi.

"Jangan! jika kamu ingin bekerja di perusahan Tuan Husien, hindari bermasalah dengan wanita itu."

"Semua karyawan di kantor ini tak ada yang berani bicara padanya, karena kita dianggap tak selevel dengan nona Yura." panjang lebar office girl itu menjelaskan

"Emang dia siapa?" tanya Lila penasaran.

"Dia itu Nona Muda, putri Tuan Husien."

"Owh." Hanya itu yang keluar dari mulut Lila, putri dari pemilik perusahaan ini, begitu dihormati dan disegani.

Lila menyebut tiga nama, Husien, Vito, Yura, dia mengingat ke tiga wajah yang akan jadi targetnya.

"Tadi tuan Vito meminta saya membuat kopi untuknya dan tuan Husien , Pantry di mana ya?" Tanya Lila kembali ke tujuan awal.

"Yuk ikut aku, aku juga mau ke pantry ambil minum."

Sambil berjalan menuju pantry Lila berkenalan dengan office girl yang ternyata bernama Mia, gadis itu sudah dua kali menolongnya.

"Kopi untuk Tuan Vito gulanya cukup satu sendok, sedang Tuan Husien dua sendok." Mia memberitahu Lila.

"Sepertinya kamu sangat tahu kebiasaan Tuan Vito dan Tuan Husien."

"Selama ini saya yang membuat kopi untuk semua yang ada di kantor ini."

"Cepat kamu antar kopinya. Tuan Vito tidak suka kopinya dingin." ujar Mia lagi, Lila pun bergegas beranjak dari pantry.

Lima belas detik kemudian, Lila sampai di depan ruang kerja Husien. Dari pintu ruang kerja Husien yang terbuka separoh membuat Lila leluasa melihat aktifitas yang terjadi di dalam. Lila tidak langsung masuk, dia berdiri di depan pintu seraya menatap gadis yang tadi menamparnya sedang bermanja dengan Vito. Sekilas Lila mendengar Yura memanggil Vito dengan sebutan sayang.

"Oh.. Jadi Vito suami Yura. Bagus." Gumam Lila, dia tersenyum penuh arti, dan mulai mengalihkan target utamanya dari Husien ke Vito.

"Pah! malam ini aku berangkat ke Hongkong." Yura beranjak menjauh dari Vito menuju ke arah Husien, lalu melingkarkan tangan di bahu Husien. itu memang cara Yura untuk membujuk papanya, agar Husien memberinya ijin.

"Malam ini? kenapa begitu mendadak!" Hasien menatap putrinya tidak senang.

"Yura mungkin lupa memberitahu papa, karena dia sibuk kerja di kantor." Vito memberikan alasan untuk membela istrinya.

"Benar sekali. Papa kan tahu kalau aku sekarang sedang memegang proyek besar." Kali ini kedua tangan Yura melingkar dileher Husien.

"Baiklah.. papa ijinkan kamu pergi."

"Terima kasih papa." Yura melonjak girang, dia mencium pipi kanan Husien, lalu kembali duduk di samping Vito.

"Permisi tuan, ini kopinya."

Hampir dua menit Lila berdiri di depan pintu, menyaksikan gerak gerik Yura dan mendengar semua ucapan mereka. Lila merasa mual jika terlalu lama melihat gaya Yura yang begitu alay.

"Hay, kamu!" Yura beranjak dari duduknya, lalu menjambak rambut Lila yang sedang meletakkan gelas kopi di meja Husien.

"Ma-maf Non! tadi sa-ya.."

Plak... Belum sempat Lila melanjutkan ucapannya, satu tamparan mendarat di pipinya. Lila memegang pipinya yang terasa panas, kalau bukan karena misi sudah Lila balas berkali-kali tamparan ini. Reflek Lila berjongkok sambil menangkupkan kedua tangan di dada dia bersimpuh di hadapan Yura.

"Ma-maafkan saya Non! saya mengaku salah." ujar Lila, dia berusaha berakting sebaik mungkin untuk menghadirkan rasa iba, Lila memelas sesedih hingga meneteskan air mata hanya untuk menarik perhatian Vito.

"Memaafkan mu, tidak akan!" Yura malah mengambil segelas air kopi yang masih panas mengepul dan menumpahkannya ke tangan Lila.

"Yura! apa-apaan kamu! kamu sangat keterlaluan" Vito menyentak kasar tangan Yura, agar Yura menghentikan perlakuannya.

"Vito! kau!.." teriak Yura kencang, dia tak terima Vito membela Lila, lalu Yura melemparkan gelas yang sedang di pegangnya ke wajah Vito.

Lila tersenyum melihat drama kecil yang baru dimulainya.

Apakah Lila berhasil memprovokasi Vito?

Baca selanjutnya di part 4

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!