NovelToon NovelToon

Di Balik Kontrak

PROLOG

Cinta tidak menjadi satu-satunya alasan terjadinya sebuah pernikahan, bukan? Ya, aku tidak melakukan kesalahan apapun.

Briela meremas gaun pengantinnya. Meski hatinya tidak berdebar karena cinta, namun ia tetap saja merasakan gugup karena sebentar lagi akan mengucapkan janji sakral di hadapan Tuhannya.

Briela berdiri dengan gaun pengantin putih yang panjangnya menjuntai hingga ke lantai marmer yang mengkilap. Gaun indah yang menjadi impian setiap wanita, namun— bukan Briela orangnya. Ia bahkan tidak sekalipun membayangkan akan memakai gaun pernikahan.

Prosesi pernikahan berlangsung khidmat, semua mata tertuju padanya. Penampilan paripurna, juga senyum tipis yang ia paksakan menyamarkan kekosongan dalam hatinya.

Tidak ada degup jantung yang meronta mengiringi rasa cinta, tidak pula ada tatapan penuh makna yang terpancar di matanya. Yang ada hanyalah perjanjian di atas kertas, perjanjian kesepakatan antara dua buah perusahaan.

Baginya, kebahagiaan pernikahan hanyalah kisah dongeng pengantar tidur yang selalu dibacakan ayahnya sewaktu ia kecil. Dan Briela sudah cukup dewasa untuk mempercayai dongeng pengantar tidur.

Di sampingnya, Hadwin berdiri dengan setelan hitam yang membalut tubuh tegapnya. Ia tampak sempurna. Tenang— elegan, layaknya pria impian banyak wanita. Dan perlu digaris bawahi, Hadwin memiliki paras yang tampan. Menghipnotis semua yang memandangnya, setidaknya hal itulah yang selalu terkenang dalam ingatan Briela. Dan lagi— bukan Briela orangnya.

"Mulai hari ini kita adalah pasangan suami istri— kau bahkan sudah mengucap sumpah." Hadwin berucap pelan, namun tegas.

Briela menoleh. Menatap Hadwin lurus, tanpa senyum. "Tentu saja. Pasangan yang saling menguntungkan, bukan?"

Hadwin tidak menyahuti, hanya menatap wajah Briela. Wanita yang diam-diam sudah tinggal di hatinya sejak keduanya masih remaja. Hadwin mengenal Briela sebagai sosok yang cerdas. Selalu berpikir rasional dan terencana. Meskipun dulu cintanya hanya bertepuk sebelah tangan, namun Hadwin tidak pernah benar-benar melepaskan harapannya. Dan nyatanya, kini Briela berdiri di sampingnya. Menjadi partner sehidup-semati— setidaknya itu sumpah yang baru saja keduanya ucapkan.

"Ini hanya demi keuntungan." Briela berucap tanpa menoleh.

Hadwin mengangguk pelan. Ia tidak kecewa. Sejak awal ia tahu jika Briela setuju menikah dengannya hanya demi menyelamatkan perusahaannya yang sudah berada di ambang kehancuran. Tidak ada cinta untuknya.

Briela berdiri di samping Hadwin sepanjang acara, memainkan peran sebagai istri yang anggun. Berkali-kali Hadwin mencoba menggenggam tangan Briela saat tamu undangan mendekat untuk memberi selamat, namun berkali-kali pula Briela menarik kembali tangannya. Bukan karena ia membenci Hadwin, hanya saja Briela tidak ingin Hadwin masuk terlalu jauh dalam hidupnya.

"Terima kasih untuk hari ini," ucap Hadwin. Suaranya lembut, terdengar begitu tulus.

Keduanya kembali ke apartemen milik Hadwin sebagai rumah pengantin. Briela tidak menuntut rumah maupun apartemen baru untuk mereka tinggali. Baginya memanfaatkan apa yang dimiliki jauh lebih efisien. Ia hanya meminta kamar terpisah bagi keduanya, dan Hadwin setuju untuk itu.

"Kita bahas detail aturan dalam pernikahan ini besok pagi. Jika perlu kita bisa membuat kontrak pasca nikah." Briela berlalu meninggalkan Hadwin menuju kamarnya tanpa pamit.

"Tentu. Kau pasti lelah, istirahatlah!" seru Hadwin bertepatan dengan Briela yang membuka kenop pintu.

Briela masuk kamarnya tanpa menjawab, meninggalkan Hadwin yang masih duduk di ruang tengah yang sunyi. Hadwin menatap pintu kamar Briela yang tertutup. Hari ini cukup sampai di sini. Namun, esok masih ada hari-hari yang perlu di lewati. Ia akan membersamai Briela, bukan memaksa dan menuntut— ia akan menunggu.

Baginya, cinta bukan hanya perihal memiliki. Melainkan, bertahan meskipun tidak ada harapan. Menunggu Briela adalah pilihannya.

Cinta yang tumbuh secara perlahan dan jauh mengakar— itulah yang kuat.

Malam itu dari balik pintu yang tertutup, kedua hati itu sama-sama terbelenggu jarak yang jauh. Tidak satu pun dari keduanya yang sama-sama tahu, akankah waktu akan perlahan menghapus jarak antara keduanya. Ataukah waktu akan membuat keduanya semakin berjarak.

PERJODOHAN

"AYAH— " Teriak Briela begitu ia turun dari mobilnya.

Suara sepatu hak tinggi yang beradu dengan lantai marmer terdengar begitu tergesa-gesa. Senada dengan tubuh Briela yang juga tampak tergesa-gesa.

Wanita itu bahkan mengabaikan asisten rumah tangga yang semula menyapanya setelah membukakan pintu utama mansion mewah milik keluarga besar Turner.

Briela kembali berteriak dengan intonasi yang tak kalah nyaring dari sebelumnya. "AYAAAAAHH ... ." Lengkingan panjang yang memekakkan telinga.

Asisten rumah tangga yang sejak tadi mengikutinya mengernyit, mencoba meminimalisir sakit pada gendang telinganya yang berumur.

Wajahnya tidak menunjukkan keanehan ketika mendapati nona muda mereka datang dengan teriakan juga tanduk di kepalanya. Sepertinya hal itu memang sudah sering terjadi.

Briela jarang sekali pulang ke mansion keluarga Turner, hanya sesekali dan sebagian besar alasan kepulangannya tidak lain untuk protes pada Tuan Besar Turner.

"Apa lagi kali ini?" Mungkin begitu kira-kira pemikiran asisten rumah tangga itu.

Briela berbalik dengan tatapannya yang berkilat penuh amarah, asisten rumah tangga itu bergidik ngeri. Terkejut akan tindakan nona mudanya yang tiba-tiba.

"Dimana Turner tua berada?"

Wanita yang sudah mengabdikan dua puluh lima tahun hidupnya di kediaman Turner itu lagi-lagi dikejutkan oleh pertanyaan mendadak dari nona mudanya.

Sejak Briela berusia tiga tahun wanita itu sudah menjadi bagian dari keluarga Turner, bisa dibilang wanita itu juga yang mengasuh Briela kecil.

"Katakan dimana ayahku berada, Bibi Marie!" Briela kembali melontar pertanyaan, dan kilat di matanya belum berubah sama sekali.

"Selamat datang kembali Nona," suara rendah milik kepala asisten rumah tangga menarik perhatian Briela.

Pria paruh baya dengan seragam yang di dominasi warna hitam itu terlihat menghampiri Briela dan Bibi Marie. Pria itu tersenyum dan dengan tenang kembali berucap.

"Bibi Marie, kembalilah ke dapur! Sebentar lagi jam makan malam."

Briela mengangkat satu sudut alisnya, tidak senang dengan kalimat yang di ucapkan oleh pria paruh baya yang biasa ia panggil Paman Sam itu. Namun, Briela tidak bisa protes akan hal itu. Mengatur dan memerintah asisten rumah tangga dalam mansion itu adalah tugas Paman Sam selaku kepala asisten rumah tangga. Bahkan Briela tidak memiliki kewenangan untuk menentang hal itu.

"Jadi, dimana ayahku bersembunyi, Paman Sam?"

Briela menahan amarahnya, giginya saling beradu hingga menghasilkan bunyi gemerutuk.

"Beliau sedang berada di ruang kerja, Nona. Mari saya antar," ucap Sam, masih dengan nadanya yang tenang.

Briela gegas mengikuti langkah kaki Sam yang sudah berjalan mendahuluinya. Sam membuka pintu dengan kenop berwarna emas di depannya setelah mengetuk dan memberitahukan perihal kedatangan Briela.

Briela menghambur masuk tanpa perlu di komando.

"AYAH– "

"Akhirnya, putri kecilku pulang juga." Tuan Turner menarik Briela dalam pelukan.

Wanita bertanduk itu tidak akan pernah bisa lagi marah ketika berada dalam pelukan ayahnya.

"Ayah, aku dengar dari Stella jika ayah akan menjodohkanku? Benarkah?"

"Maaf, Briela— " Tuan Turner melepaskan pelukannya, ia duduk di sofa baca di samping Briela.

Paham akan ekspresi ayahnya, Briela duduk di samping Tuan Turner. Amarah yang semula memenuhi kepalanya kini telah luruh sepenuhnya. Meski masih kecewa, Briela mencoba mendengarkan apa alasan ayahnya.

"Jadi, katakan dengan siapa ayah berencana menjodohkanku?" Briela menunggu jawaban atas pertanyaannya, terlihat tenang.

"Lalu, apa alasannya?" imbuh Briela.

"Perusahaan kita sedang tidak baik-baik saja, Briela." Tuan Turner memasang wajah sedih.

Mata Briela membelalak, "Bagaimana mungkin? Aku akan lebih percaya jika alasanmu tidak lain selain ingin menimang cucu, seperti biasanya. Tapi ini— tidak mungkin, Ayah."

Briela mendecih tak percaya. Ayahnya membuat skenario baru. "Aku tahu Ayah ... Kau hanya ingin aku segera menikah, tapi Ayah— jangan membuatku tertawa! Aku membuang tenagaku untuk marah pada delusi Ayah."

Briela tertawa lepas, wanita itu menepuk-nepuk kakinya. Menertawakan dirinya yang semula percaya omong kosong yang diucapkan Stella. Briela memegangi perutnya yang terasa sakit, sudut matanya bahkan berair.

Tuan Turner menatap putri semata wayangnya dengan rasa bersalah. Wajahnya yang mulai dihiasi garis-garis keriput benar-benar menunjukkan keputusasaan.

Briela menghentikan tawanya yang mulai sumbang, ayahnya tidak menunjukkan ekspresi lain selain rasa bersalah. Briela sedikit curiga. Apakah tebakannya salah?

Tuan Turner diam dan akhirnya tersenyum kecut. "Aku sudah mengatur perjodohanmu dengan Arthur Davis direktur sekaligus pewaris utama Davis Group. Kau hanya perlu menemuinya beberapa kali sebelum menikah. Formalitas— anggap saja itu bentuk perkenalan kalian!" Tuan Turner beranjak ke meja kerjanya.

"Satu hal lagi, perihal perusahaan kita ... Ayah sama sekali tidak berbohong akan hal itu. Jadi, lakukan saja sesuai apa yang Ayah katakan!" lanjut pria berumur itu dengan serius.

Briela diam memroses setiap kata yang ayahnya ucapkan. Wajah ayahnya tidak akan seserius itu, jika hal itu bukanlah sebuah kenyataan. Tapi— pernikahan?

Bagai di hantam palu seberat satu ton, Briela merasakan gejolak perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

"Jadi, Ayah berencana menjual putri sendiri demi menyelamatkan perusahaan?"

"Bukan begitu, Briela. Perusahaan merupakan peninggalan ibumu. Dia membangunnya dari nol, kau tahu sendiri betapa ibumu sangat mencintai Zoya & Co. Dia mencurahkan hampir seluruh hidupnya di sana. Ayah begitu mencintai mendiang ibumu begitu juga denganmu—" Tuan Turner menjeda kalimatnya. Kata-katanya tercekat di leher pria yang masih tampan meski di telan usia, ia bahkan menitikkan air mata. Merasa benar-benar putus asa.

"Apa tidak ada jalan lain, Ayah? Selain pernikahan, mungkin kita— "

Tuan Turner menyela kalimat Briela sebelum putri kesayangannya mengakhiri kalimat dan membuat hati tuanya semakin hancur.

"Kemungkinan perusahaan bertahan tanpa adanya pernikahan itu hanya lima persen Briela. Hutang kita sudah terlalu banyak. Meski dalam delapan tahun terakhir kau sudah banyak berkontribusi pada perusahaan, namun semua itu belum cukup Briela. Perusahaan kita sudah berada dalam krisis sejak sepuluh tahun terakhir. Maafkan Ayah, saat ibumu meninggal Ayah terlalu terpuruk dan mengabaikan perusahaan."

"Meski hanya satu persen ... Tidak, meski hanya nol koma satu persen kemungkinan kita bertahan— aku akan mencari jalan keluarnya, Ayah." Briela bertekad, wanita cantik itu berdiri dari duduknya. Ia melangkah menuju pintu.

"Percayalah Briela, pernikahan itu satu-satunya jalan keluar. Arthur Davis bersedia menanggung semua hutang kita bahkan berjanji akan membantu memulihkan perusahaan."

Briela berhenti melangkah, sejenak diam namun tidak sekalipun ia menoleh pada ayahnya. Wanita itu perlu menenangkan pikirannya yang kacau. Ia kembali melangkah.

"Pikirkan lagi soal pernikahan! Aku sudah menitipkan jadwal pertemuanmu dengan Arthur melalui sekertarismu— Stella." Tuan Turner kembali berkata.

Briela tidak peduli, ia kembali melangkahkan kaki meninggalkan mansion keluarganya. Briela lelah— bahkan, lelah tubuhnya yang baru saja selesai melakukan perjalanan bisnis tidak ada apa-apanya dengan pikirannya yang kacau.

Sebelumnya, Briela dengan percaya diri berbicara akan mencari solusi. Namun, saat ini ia sendiri bahkan meragukan kalimat itu. Haruskah Briela mengikuti saran ayahnya?

PERTEMUAN PERTAMA

"Apa jadwalku selanjutnya, Stella?" Briela membuka kaca mata anti radiasi yang menjadi andalannya saat harus terus-menerus menatap layar komputer.

Meregangkan sedikit otot tubuhnya agar kembali rileks, wanita itu menatap tak sabar pada sekertas wanita yang sudah delapan tahun membersamai karirnya di dunia fashion.

"Jadwal pekerjaan Anda sudah selesai. Namun, Anda masih punya satu jadwal penting lainnya nanti pukul delapan malam?" Stella menutup notebook yang ia jadikan panduan jadwal Briela.

"Jadwal penting?" Briela menaikkan satu sudut alisnya. Pasalnya tidak ada jadwal penting lain selain urusan pekerjaan baginya. Namun, mengapa sekertarisnya mengatakan jika hal itu termasuk jadwal penting.

"Ya, bertemu dengan calon suami Anda di Sky Lounge di Royal Hotel tepat pukul delapan malam. Setelah itu jadwal Anda benar-benar selesai." Stella membetulkan letak kacamatanya yang melorot. Wajahnya masih sama seriusnya seperti sejak mulai bekerja.

"Anda harus datang dan berdandan sebaik mungkin. Itu pesan Tuan Turner, Nona," lanjut Stella.

Briela memijit pelipisnya, kepalanya tiba-tiba terasa berdenyut.

Aku bisa gila.

"Pekerjaanmu sudah selesai. Pulang dan beristirahatlah!"

"Kalau begitu saya permisi." Stella membungkuk, lalu meninggalkan ruangan yang kini hening.

Briela mengacak rambutnya, pikirannya yang kacau menuntunnya melakukan tindakan impulsif. Briela belum mendapatkan solusi atas masalahnya dan kini ayahnya kembali mendesak perihal pernikahan bahkan mengatur jadwal pertemuan dengan pria yang ayahnya jodohkan.

Meski Briela tahu, pernikahan yang ayahnya atur demi perusahaan peninggalan ibunya— Perusahaan yang Briela sendiri sangat mencintainya.

Briela belum mendapatkan solusi apapun mengenai perusahaan dan akhirnya mau tidak mau ia harus mengikuti solusi yang diberikan oleh ayahnya.

"Selamat malam Nona Briela. Ternyata Anda jauh lebih cantik dari yang diceritakan Tuan Turner."

Arthur mengulurkan tangan, Briela menyambut uluran tangan Arthur dan menjabatnya. Arthur menatap Briela lekat-lekat, bahkan memperhatikan setiap detail dari ujung rambut sampai batas yang dapat terjangkau matanya. Tatapan yang membuat Briela tidak nyaman. Briela segera menarik tangannya.

"Jadi, sesuai kesepakatan yang sebelumnya dibahas— Anda akan mendapatkan semuanya langsung setelah kita menikah," ucap Arthur begitu keduanya duduk.

Briela menaikkan sudut alisnya. "Bukankah tidak perlu terburu-buru Tuan Davis." Briela menekan intonasinya begitu mengucap nama belakang Arthur.

"Hmm. Bagus, aku memang suka pendekatan yang alami. Tapi, bukankah perusahaanmu yang tampaknya sedang terburu-buru." Arthur mengelus dagunya, tampak angkuh. Bahkan pira itu tidak lagi merasa perlu untuk berbicara formal.

Pertemuan keduanya berakhir dengan berbagai macam alasan Briela. Tentu saja Briela hanya ingin untuk bisa segera menjauh dari sumber yang membuatnya tidak nyaman.

Ini baru permulaan dan Briela sudah sangat tidak tahan. Bagaimana nanti jika keduanya jadi menikah? Briela tidak sanggup untuk membayangkannya.

Briela menggelengkan kepalanya, ia menghalau segala bayangannya tentang masa depan bersama Arthur. Meraih ponsel dan menghubungi sahabatnya untuk bertemu di bar langganan mereka. Briela butuh menenangkan pikirannya.

"Sudah menunggu lama?" Seorang wanita dengan pakaian modis dengan corak warna-warni menyapa Briela yang sedang duduk di meja counter.

Briela mengulas senyum, lalu memainkan gelas koktailnya.

"Tumben sekali kamu memakai gaun? Dan— riasan." Wanita dengan rambut keriting itu mengomentari penampilan Briela yang tidak seperti biasanya.

"Berhenti mengomentariku! Pesan minumanmu sendiri!"

Briela mengangkat gelas koktail yang isinya tinggal setengah, lalu meneguk isinya hingga tandas. Briela memanggil bartender untuk meminta minuman yang sama dengan tiga gelas yang sudah ia habiskan sebelumnya.

"Kau tahu, Jen?" Briela kembali berbicara pada wanita bernama Jennifer yang merupakan seorang model dan sekaligus sahabat Briela. "Ayahku mengatur perjodohan dengan Arthur Davis, Pria dari Davis Group itu." Briela menatap wajah sahabatnya.

"Siapa yang dijodohkan?" Jennifer melempar pertanyaan yang membuat Briela tertawa.

"Tentu saja aku, Jen. Kau pikir ayahku akan menikah dengan Arthur Davis? Jangan konyol!" Briela kembali meneguk koktailnya hingga tandas.

"Hei, ceritakan dulu detailnya! Jangan terlalu banyak minum!"

Jennifer menarik tangan Briela yang kembali meminta gelas koktail pada bartender. Briela menatap wajah sahabatnya lalu kembali tertawa.

"Perusahaan kami sedang krisis, Jen," ucap Briela lirih.

"Bagaimana mungkin? Bukankah selama ini baik-baik saja?" Jennifer nampak keheranan.

"Hanya luarnya saja, Jen. Tapi di dalamnya, perusahaan kami sudah membusuk sejak sepuluh tahun lalu. Dan parahnya lagi aku baru mengetahuinya." Briela meneguk koktail milik Jennifer tanpa meminta izin, bahkan pemiliknya sendiri belum menyentuh minumannya sejak bartender memberikannya beberapa saat lalu.

"Aku baru saja bertemu dengan Arthur Davis dan kau tahu apa yang dia ucapkan pada pertemuan pertama kami, Jen?" lanjut Briela, ia juga kembali tertawa bahkan kali ini sudut matanya berair.

"Apa yang dia ucapkan?"

"Dia langsung membahas perihal keuntungan yang akan kami terima jika aku menikahinya. Itu membuatku kesal, tapi— parahnya aku bahkan tidak bisa melakukan apa-apa." Briela menitikkan air mata.

"Satu hal lagi, dia menatapku dengan tatapan angkuh. Bahkan berani menilai penampilanku dengan mata keranjangnya itu," lanjutnya.

"Benarkah Arthur Davis, pria yang seperti itu?" Jennifer mengernyit.

"Dan kau pikir aku akan berbohong padamu?" Briela menatap Jennifer dengan matanya yang masih memerah. "Aku merasa sedang menjual diriku demi uang, Jen. Aku benar-benar merasa buruk hari ini."

Jennifer menatap Briela dengan iba. "Baiklah, mari minum sepuasnya malam ini dan mari lupakan semuanya."

Jennifer mengangkat tangan pada bartender yang saat itu sedang menyerahkan satu gelas koktail pada pelanggan pria yang duduk di samping mereka.

Jennifer meminta dua gelas koktail namun Briela meralatnya, ia butuh yang lebih kuat dari sekedar koktail. Dia benar-benar harus melupakan kejadian hari ini, setidaknya meski hanya sesaat. Briela memesan sebotol tequila.

Briela meneguk minumannya ditemani Jennifer yang akhirnya ikut meminum tequila, sama seperti Briela. Pada gelas kelima Jennifer tumbang di atas meja, kepalanya terasa berat.

Briela menggoyang-goyangkan tubuh Jennifer yang tertidur, sambil meracau tidak jelas. Briela sudah tidak peduli lagi pada sekitarnya. Bahkan saat sepasang mata menatapnya.

Briela merasakan panggilan alam, ia berjalan gontai menuju toilet. Gaun panjang juga high heels yang ia pakai terlihat sangat mengganggu.

Beberapa saat setelah menuntaskan hajatnya, Briela keluar dari toilet. Kepalanya terasa berat dan berputar, pandangannya mulai kabur. Sepertinya toleransinya pada alkohol sudah sampai pada batasnya.

Briela berjalan sempoyongan, tangannya meraba-raba dinding, mencari pegangan agar tidak terjatuh. Namun sayang, gaun panjang Briela tidak bisa diajak bekerja sama.

Briela menginjak ujung gaunnya, tubuhnya semakin tidak seimbang. Ia hampir saja mencium lantai jika tidak ditangkap oleh tangan kokoh seseorang.

Briela menatap tangan itu lalu beralih pada wajah sang pemilik tangan. Namun sayang, matanya terlalu kabur untuk sekedar memeriksa wajah pemilik tangan yang menangkapnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!