.
.
Mata hitam sang gadis itu terus menelusuri kata demi kata yang terpampang pada ‘smartphone’ miliknya. Membaca dengan teliti setiap lowongan kerja yang tertera pada sebuah aplikasi pencari kerja yang selama ini dia gunakan sebagai harapannya semunya.
Walaupun itu hanya berujung kosong.
Walaupun itu hanya tidak menghasilkan sama sekali.
Tapi....
Entah kenapa dia masih berharap jika, ada sebuah titik keajaiban yang terjadi di sana.
Setelah beberapa menit berlalu, pada akhirnya gadis itu menyerah. Meletakkan ‘smartphone’ tua itu kepada meja kayu yang ada di depannya itu sembari menyenderkan tubuh pada kursi yang berdecit kuta menahan tubuhnya, sembari menghela nafas panjang.
Ingin rasanya menyerah untuk melakukan apa pun hal yang tengah dia lakukan saat ini.
Ingin pula dia berteriak lepaskan apa pun yang ada di dalam hati dan pikirannya untuk saat ini.
Namun dia tahu betul....
Jika, dia melakukan itu.
Orang-orang di sekitarnya hanya akan semakin menyalakan dirinya, membentaknya, ataupun menyakitinya tanpa mau tahu.
“apa lagi yang harus aku lakukan...” bisik gadis itu dengan perkataan yang selalu saja sama setiap kalinya. Kini pandangannya pun hanya menatap lurus kepada dinding bercat biru pada kamarnya.
Beberapa menit lainnya dia hanya termenung di sana tidak melakukan apa pun, tidak tahu harus melakukan apa pun.
Menit demi menit berlalu, keheningan di siang hari itu terus memenuhi ruangan pribadi miliknya itu, sampai pada akhirnya rasa lapar berhasil menghantamnya cukup kuat untuk kali ini.
Sudah berapa lama dia melamun?
Entahlah sudah berapa lama dia tenggelam pada perasaan tidak menentu dalam memikirkan kehidupannya itu.
Gadis itu bangkit dari duduknya berjalan ke arah pintu kayu kamar miliknya itu, dan berusaha sepelan mungkin untuk membuka pintu. Seakan takut jika suara yang dirinya hasilkan lebih kuat dari pada seharusnya akan mengakibatkan kesalahan fatal untuk dirinya.
Sedikit mengintip kepada ruangan selanjutnya, memastikan tidak ada orang lain yang akan melihat yang akan dia lakukan saat ini.
Setelah merasa aman dengan situasi hening di ruangan utama itu, gadis itu segera mungkin melangkah menuju tujuan utamanya yaitu dapur. Berniat untuk mendapatkan sedikit makanan yang dapat menghilangkan rasa laparnya ini.
Saat berhasil mencapai tujuannya, gadis itu sesegera mungkin mengambil apapun yang tersedia di sana.
Namun sayang, walaupun gerakannya telah secepat mungkin dirinya tetaplah seorang yang gagal.
Bahkan dalam melakukan hal sekecil ini saja dia tetaplah seorang yang gagal.
“baru mau makan?” tanya seorang wanita yang baru saja melangkah masuk ke dapur itu.
Dengan tubuh yang sedikit terkejut akan suara wanita paru baya itu, sang gadis dengan cepat menatap ke sumber suara tersebut. Mendapati sang ibu, dengan ekspresi tak terbaca yang sudah tak asing baginya lagi itu mendekat ke arahnya.
“ya...” balas sang gadis itu sedikit kaku. Segera kembali melakukan segala aktivitasnya lagi, berusaha secepat mungkin pergi sebelum percakapan mereka menjadi ke arah yang tidak dia sukai.
“bagaimana dengan hari ini?” tanya wanita itu lagi. “apa sudah ada panggilan pekerjaan lainnya?”
Sejenak gadis itu kembali berhenti.
“belum ada...”
Wanita yang kini berdiri di sampingnya menghela nafas panjang, tidak ragu menutup rasa kecewa yang tidak tertutupi sama sekali. “mau sampai kapan kamu terus begini?” gumam sang ibu lagi.
Walaupun dengan nada yang -terdengar lembut- tapi dia dapat mendengar jelas pula jika wanita itu sedang kesal kepadanya.
Ingin sekali dirinya menjawab, jika dia sudah berusaha semaksimal mungkin.
jika memang nyatanya keadaan yang tengah di hadapinya bukanlah kesalahannya.
Tapi....
Apa mungkin mereka akan mendengarkan semua perkataannya?
Dan dia tahu benar jawaban untuk pertanyaan yang bergema dalam kepalanya itu adalah ‘Tidak’
Diam adalah jalan yang terbaik selama hidupnya ini.
“kan sudah ibu bilang, pergilah keluar sana untuk mencari pekerjaan. jika kamu terus berada di dalam rumah bagaimana kamu bisa mendapatkannya!” kali ini suara sang ibu terdengar lebih tinggi lagi.
Dan itu berhasil membuat sedikit banyak dirinya menjadi panik, walaupun dia yakin mimik wajahnya sendiri tidak banyak berubah.
Gerakannya menjadi sedikit lebih cepat, mengangkat piring miliknya itu, segera mungkir keluar dari ruangan dapur kembali kepada tempat yang teraman untuknya.
Saat dirinya sampai kembali pada ruangan pribadinya bernuansa biru tua itu, gadis itu segera meletakkan makan siangnya pada meja belajarnya dan kembali memeriksa ‘smartphone’ miliknya, sembari menikmati suasana hening yang selalu tampak suram walaupun hari masih begitu cerah.
Membuka salah satu sosial media, berusaha mencari-cari informasi terkini tentang apa yang tengah terjadi di luar sana, dengan mulut yang juga mengunyah makanan sederhana.
Dengan hal-hal begini saja...
Bagi dirinya sudah lebih dari cukup.
Mata hitam miliknya itu kembali menelusuri kata demi kata, dan gambar demi gambar yang tertera pada benda kecil yang tergeletak tidak jauh dari piring yang kini setengah kosong miliknya.
Beberapa darinya sebuah berita tentang keadaan yang menunjukkan jika, kondisi ini benar-benar tidak baik-baik saja, mengenai politik, ekonomi, bahkan tentang perselisihan agama. Beberapa lainnya tidak lebih sebuah lelucon ironi, yang sengaja di buat oleh orang-orang untuk menertawakan hidup mereka yang entah baik ataupun buruk.
Untuk beberapa menit keheningan dirinya terus melakukan aktivitas yang sama, sampai akhirnya dia berhenti pada suatu berita mengenai perusahaan ternama yang akan datang ke dalam negeri dan akan menjadi investor.
Itu berarti akan ada peluang pembukaan lapangan pekerjaan.
Gadis itu membetulkan posisi duduknya berusaha memfokuskan tatapannya pada kalimat-kalimat yang tertera itu.
Perusahaan yang bergerak di beberapa bidang pengelolaan sumber daya alam dan energi, juga berjalan dalam bidang jasa dan teknologi.
Entah kenapa untuk beberapa saat, gadis itu merasakan sebuah hembusan angin yang berhasil membuat dirinya merasakan sebuah harapan.
Harapan sebuah masa depan cerah yang mungkin saja bisa menjadi miliknya.
Walaupun dia sadar jika, itu bukan hanya sebuah jalan kecil yang akan menjadi cabang-cabang yang mungkin tidak akan dia dapati pula.
Namun setidaknya ada harapan...
Dia kembali melahap suapan terakhir pada makan siangnya itu.
Sebelum kembali fokus mencari tahu informasi yang lebih mendetail lagi tentang berita ini.
Tapi sangat di sayangkan hasilnya nihil.
Jadi dirinya kembali menghela nafas, sebelum mengambil gelas plastik berisi air putih dan meminumnya sampai habis.
Menaruh piring miliknya itu sedikit pada sudut meja miliknya, sebelum bangkit dari kursinya dengan tangan yang masih memegang ‘smartphone’ itu, lalu terbaring pada kasur di dekatnya itu.
Kini pandangannya menatap langit-langit bercat biru pada kamarnya itu kembali. Pikirannya tidak beraturan dan detak jantungnya berdegup kencang tidak beraturan pula.
.
.
.
Perasaan ini....
Perasaan yang selalu terjadi kepadanya, dan dia tidak bisa berbuat banyak akan hal ini....
Karena....
Karena jika dia melakukan ataupun mengatakan apapun apa yang sedang terjadi pada dirinya seperti saat ini, maka mereka hanya akan tidak percaya kepada mereka.
.
.
.
Dia mengalami Panick Attack.
.
.
.
Dengan perlahan namun pasti, kedua matanya itu mengeluarkan tetes-demi tetes air mata.
Dengan perlahan namun pasti juga nafas semakin memburu seakan oksigen di sekitar dirinya terasa semakin menipis.
Tubuh gadis itu bergetar merasakan perasaan membeludak tidak menentu. Berusaha membaringkan tubuhnya berusaha mencari posisi yang lebih nyaman untuknya, dan lagi itu berujung nihil.
Air mata itu semakin deras, dengan pelan -sepelan mungkin dia mengeluarkan suara dari mulutnya yang masih berusaha tertekan menutup rapat itu.
.
.
.
Dia tidak tahu harus bagaimana lagi....
Dia tidak tahu harus melakukan apa lagi dengan kondisinya yang seperti ini....
Merasa terkurung dan tertekan dengan kuat tanpa bisa melangkah lebar untuk keluar....
Tapi dia menyadari dengan jelas jika waktunya semakin lama semakin menepis....
Tapi apa yang harus dia lakukan lagi
Dengan semua keterbatasan dan rasa tidak berdaya yang menggerogotinya setiap saatnya ini....
.
.
.
Tuhan tolonglah dirinya....
Tolonglah dirinya walaupun sedikit saja....
Sedikit saja...
.
.
.
.
.
Terlihat hari begitu berwarna kuning yang terik.
Beberapa kali angin bertiup kencang berhasil mengangkat sampah dan daun pada jalanan yang tidak terlalu ramai, di sertai pasir dan debu yang ikut beterbangan.
Gadis itu menghembuskan nafasnya panjang, menundukkan tubuhnya di depan salah satu mini market itu. memegang botol air mineral yang dingin, sebelum meminumnya untuk menghilangkan rasa dahaga yang luar biasa itu.
Sudah berapa lama dia berada di luar berjalan-jalan tidak menentu?
Dia tidak tahu...
Setelah menghabiskan setidaknya setengah dari isi botol itu, padangan gadis itu kembali lurus, menatap sebuah mobil yang begitu hitam mewah tengah terparkir rapi dan terlihat begitu arogan untuk di sekitarnya yang sekarang seperti begitu kumuh.
Tanpa sadar dia menaikkan salah satu alisnya, menatap bingung bertanya-tanya pada dirinya sendiri siapa pemilik mobil semewah ini di wilayah yang telah dia tempati selama dua puluh empat tahun lamanya.
Itu benar-benar terlihat tidak seperti hal yang tidak seharusnya berada di sini.
Dia tahu jika wilayah yang di tinggalinya itu jauh dengan pusat kota, namun juga tidak menunjukkan jika orang-orang di wilayah ini juga memiliki finansial yang berlebihan untuk membeli mobil seperti ini.
Bisa di bilang ini adalah wilayah diaman orang-orang berada di menengah akan tinggal.
Ini tidak seperti mobil-mobil mewah yang sering dia lihat berlalu-lalang untuk wilayah ini...
Mobil ini tidak terlihat seperti mobil untuk orang awam.
‘sejenis.... Rolls Royce?’ gumamnya dalam pikirannya sendiri. Masih dengan mata hitam miliknya yang masih menatap dalam mobil di hadapannya itu, pikiran-pikirannya kembali melayang-layang tidak menentu arah seakan secara otomatis menganalisis apa pun yang tengah dia lihat.
‘apa mungkin orang kaya baru? Jika dia membeli sesuatu di tempat ini, kemungkinan pemiliknya adalah orang perumahan ini? Ya mungkin saja.... jika pemiliknya berasal dari perumahan lainnya untuk apa dia membeli sesuatu di sini, jika mini market di sana juga lebih besar di bandingkan di sini?’ gadis yang masih tenggelam dalam pikirannya itu tersentak kuat saat mendengar suara pintu terbuka pada balik punggungnya.
Dengan cepat dia sedikit menoleh, mendapati sosok pria asing begitu tinggi menggunakan baju jas hitam formal keluar dari tempat yang begitu tidak di sangka, membawa sebungkus plastik putih di salah satu tangannya yang terlihat besar.
‘orang luar negeri?’ tanpa sadar gadis itu bangkit.
“Ah.... maafkan aku nona, aku tidak bermaksud untuk membuatmu terkejut....” ucap pria asing itu dengan bahasa Indonesianya yang terdengar kaku luar biasa.
Seketika itu pula perasaan malu dan panik menyatu.
“y-ya... tidak apa-apa....” balas gadis itu begitu gugup.
Dia tidak tahu harus berkata menggunakan bahasa Indonesia atau menggunakan bahasa inggris untuk membalas pria asing itu. “I'm also sorry for seeming to get in your way, s-sir...” lanjut gadis itu terdengar begitu bergetar pada setiap kalimat yang keluar dari mulutnya.
Sial...
Sial....
Apa yang kamu lakukan gadis bodoh....!
Seharusnya kamu langsung melangkah pergi dari situ!
“it’s fine miss...” balas pria itu lagi, kali ini memberikan senyuman sekilas sebelum melangkah pergi menuju mobil hitam yang terparkir di depannya itu.
Dia berkedip beberapa kali seakan berusaha memproses apa yang tengah terjadi beberapa waktu yang lalu.
Lalu tanpa sadar mulut perempuan itu terbuka membentuk huruf O.
Seakan dia telah berhasil menyambungkan satu titik ke titik lainya, dengan hanya melihat pria asing berambut pirang kusam yang kini tengah membuka salah satu pintu penumpang mobil itu.
Melihat hal itu, dan lagi membuat kedua alis sang gadis terangkat dengan mimik wajah sedikit takut dengan apa yang dia sadari. ‘benar-benar orang kaya ternyata...’
Lanjutnya kini dirinya sendiri berjalan mendekati sepeda miliknya yang terparkir yang tidak jauh dari posisinya berdiri saat ini.
Meletakan botol air mineralnya pada rangka yang ada di sepeda miliknya itu, bersiap untuk melanjutkan hal apa pun yang dia lakukan sebelum dia memutuskan untuk beristirahat di tempat ini.
Menghela nafas panjang, merapikan beberapa kabel yang entah kenapa terlihat melilit pada setang sepeda miliknya, dan terakhir menaikkan cagak sepeda itu.
Sebuah tepukan pelan terasa pada pundak sang gadis.
Yang kembali berhasil membuat dirinya terkejut.
“Nona...” panggil suara berat yang beberapa waktu lalu dia dengar, dan dia ketahui jika pemilik suara itu adalah milik sosok pria asing itu.
Lagi gadis itu menoleh dengan cepat kepada pria itu, yang kini tengah berdiri dengan tegap di dekat dirinya, membuat ia harus sedikit menadahkan kepalanya keatas agar dapat melihat wajah pria yang lebih tinggi darinya itu.
“iya tuan...?” balas sang gadis dengan bahasa formal juga.
Pria itu tersenyum sekilas, lalu merogoh saku jasnya, dan mengeluarkan sebuah kartu nama.
“maafkan atas tindakan tidak sopan ini nona... sebelumnya perkenalkan nama saya adalah Tobito, dan Tuan saya memerintahkan saya untuk memberikan Anda kartu namanya....” jawab pria asing itu masih dengan senyumannya.
“huh?....” tanpa sadar mata sang gadis terbelalak tidak percaya dengan apa yang dia dengar. “Apa maksud kamu tuan?” dia tidak tahu jika ini adalah sebuah keberuntungan, atau sebuah hal yang ingin merendahkan harga dirinya.
Dan dengan terang-terangan dia menunjukkan rasa tidak sukaannya dengan apa dari hasil pemikiran-pemikirannya.
“Ah... itu....?”
“apa kamu berpikir aku seorang....-“
“tidak-tidak nona... tentu saja tidak... tolong, jangan berpikiran seperti itu...” lanjut pria bernama Tobito itu. Sang gadis masih terdiam seakan menunggu kelanjutan penjelasan pria itu. “Sendari tadi Tuan saya memerhatikan Anda, yang menatap ke arah kendaraan miliknya.... dan beranggapan jika....-“
“apa yang salah dengan hal itu!” kali ini sang gadis menjawab memotong penejalasan pria dengan sedikit memekik kesal. Dan hal itu cukup berhasil menarik perhatian beberapa orang yang juga berada di sana.
Kenapa bisa jadi seperti ini?
Apa yang ku lakukan bisa sampai berakhir seperti ini!!!
Ya Tuhan!!!!
“Nona... Tuan saya beranggapan, jika Anda mungkin memerlukan sedikit bantuan. Maka dari pada itu Tuan saya, berinisiatif memberikan kartu namanya kepada Anda... Mungkin Anda memerlukan suatu bantuan seperti menemukan seorang relasi? “
“huh...?” Dan untuk kedua kalinya sang gadis hanya memberikan pandangan tak percaya, dengan ekspresi kemarahan yang dia tahu itu terukir dengan jelas pada wajahnya. Dan entah kenapa itu berhasil membuat pria yang dia tahu jauh lebih kuat dari dirinya itu tampak takut dan gugup kepadanya walaupun itu tertutup dengan sempurna pada wajah yang masih tersenyum itu.
Gadis itu tidak berkata banyak, namun mata hitamnya mengambil kertas kecil yang berada di antara jari sang pria Tobito itu.
Kini tatapannya terpaku kepada mobil hitam yang pintu penumpangnya masih terbuka itu. Sebelum menghela nafas panjang dan menaiki sepedanya.
Sejenak sang gadis menatap kembali kepada pria pirang yang masih berdiri di sampingnya itu.
“Baiklah tuan... terima kasih atas tawarannya” tutup gadis itu mengambil posisi mengayuh pedal sepeda miliknya. Meninggalkan tempat itu dengan perasaan bercampur aduk.
.
.
.
Dia benar-benar kehilangan rasa untuk berada di dunia luar saat ini...
.
.
.
.
.
Ini telah pukul setengah empat sore...
Dan dirinya masih dalam posisi yang sama terduduk di lantai dingin di ruang belakang tempat tinggal miliknya. Pintu kayu itu terbuka menampilkan pemandangan belakang rumah miliknya yang masih di penuhi pohon dan rumput lebat, serta suara cicitan burung yang sedikit banyak berhasil menghibur dirinya.
Hari ini...
Hari ini dia kembali terjebak dalam argumen di antara keluarganya lagi.
Jika pun itu bisa di katakan sebuah argumen, karena faktanya hanya orang tuanyalah yang terus menerus memberikan kata-kata menusuk kepadanya. Dan dia hanya bisa diam, diam dan diam.
Tidak banyak yang bisa dia lakukan hari ini.
Seperti hari-hari sebelumnya juga dia tidak banyak melakukan apa pun.
Hanya di penuhi dengan hal-hal yang semakin lama semakin membuatnya rasanya tidak menentu.
Sudah dua hari yang lalu sejak kejadian yang di alaminya di mini market itu, dan dia tidak bercerita kepada siapa pun mengangeni apa yang telah dia alamin hari itu.
Bukan dirinya tidak ingin bercerita.
Bukan... bukan itu....
Faktanya argumen yang terjadi di hari ini adalah dasar dari dirinya ingin sedikit bercerita kepada keluarganya.
Tapi....
Inilah hasilnya...
Sejujurnya kejadian singkat itu sedikit banyak terus menerus berputar dalam pikirannya. Dan itu juga berhasil membuatnya tidak bisa tertidur dalam beberapa hari belakangan.
Gadis itu menghela nafas panjang, menikmati semilir angin senja hari itu, berhasil menerbangkan rambut hitam panjang yang terikat berantakan di atas kepalanya.
Tidak jauh dari sana, secercik ketas kecil tergeletak pada lantai tak jauh dari ujung kaki yang dia lipat mendekat dada yang tertutupi baju kebesaran yang dia kenakan.
.
.
.
Flauza Evangrandene.
Owner Evangrandene Company.
.
.
.
Entah untuk ke berapa kalinya dia membaca kartu itu.
Dan entah untuk ke berapa kalinya terbesit untuk mencoba menelepon nomor-nomor asing yang tertera dalam kartu itu.
Namun keraguan dan rasa panik, takut miliknya lebih besar dari pada rasa penasaran yang terus menerus menghantuinya itu.
Kalau saja....
Kalau saja ada seseorang yang mengatakan untuk mendukungnya mencoba sedikit saja. Memberikan sedikit saja keberanian untuk mencoba.
Mungkin dirinya akan memberanikan dirinya sendiri.
.
.
.
Tapi
Sampai kapan kamu akan seperti ini terus menerus?
Dia tidak tahu!
Pekiknya pada dirinya sendiri dalam kepalanya.
Ini adalah kesempatan yang besar!
Tapi mungkin saja ini adalah sebuah jebakan!
Rasa sakit kepala itu menyerangnya bertubi-tubi, membuatnya tidak tahu apakah dia sedang berada di dunia nyata atau tidak. Dia berusaha menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan kuat.
Tidak ada salahnya mencoba....
Tapi bagaimana jika itu adalah orang jahat!
Tuhan! Bisakah hentikan suara-suara yang terus bersahut-sahutan yang berada di dalam kepalanya!
Langkah kaki yang datang berasal dari arah ruang sebelah, berhasil menyadarkan dirinya.
Tanpa dia sadari dengan cepat dia mengambil kartu nama itu dan menyembunyikannya pada saku celana sebelum berusaha mengembalikan mimik mukanya kembali normal.
Berusaha menunjukkan semua baik-baik saja.
Itu adalah sesosok pria paru baya berambut pendek yang sudah berubah.
Sang ayah.
Dalam beberapa waktu dia masih terdiam pada posisinya, menatap ayah berjalan masuk entah melakukan apa pun di ruangan yang sama dengan dirinya.
Dirinya tidak tahu.... dan dirinya tidak mau tahu apa yang ingin di lakukan sang ayah berada di sana.
Melihat pria paru baya itu semakin mendekat ke arahnya sontak membuat sang gadis itu bergerak tidak nyaman sebelum perlahan dia bangkit dari posisi duduknya yang berada di lantai, berjalan dengan cepat namun diam keluar dari ruangan itu.
Dia....
Dia tidak suka berada di satu ruangan yang sama dengan sang ayah.
Dia tidak suka....
Dia tidak suka sama sekali....
Langkah kakinya memelan, dan kini terfokus kembali ke tempat di mana dirinya selalu merasa nyaman. Yaitu di kamar pribadinya.
Kamar yang tidak terlalu luas dengan nuansa biru yang membuatnya sedikit lebih gelap. Saat dia berhasil menginjakkan kakinya di sini, menutup pintu kayu itu, melemparkan pelan tubuhnya kepada kasur yang ada di sana.
Ah ya....
Ini adalah tempat teramannya.
Memiringkan kepalanya sejenak, dengan tangannya yang meraba-raba mencari Smartphone miliknya. Dengan kembali harapan semu jika, ada suatu kabar bahagia yang tersampaikan dalam benda kecil yang tampak telah usang itu.
Tapi...
Tapi tidak ada apapun di sana.
Bagaimana jika mencoba untuk menghubungi nomor itu?
Dan lagi pikiran-pikiran itu bergumam di kepalanya. Tangannya yang lain berusaha meraba-raba lembut saku celananya, mencari lebaran kecil itu, dan mengeluarkannya.
Iris hitam miliknya menatap lurus pada kedua benda yang kini berada di genggaman tangganya.
Apakah ini benar-benar hal yang baik?
Jika tidak mencoba kamu tidak akan tahu hasilnya...
Tapi bagaimana jika itu menjadi hal yang buruk?
Selalu saja begitu....
Selalu saja ragu untuk melangkah ke depan... jika seperti ini terus mau sampai kapan kamu akan berjalan di tempat terus?
Salah satu tangannya yang menggenggam smartphone kini menekan beberapa menu, menunjukkan menu panggilan dengan nomor-nomor yang seakan siap untuk menerima perintah dari sang pemilik. Dirinya kembali menatap kartu nama itu, melihat nomor telepon yang tertera cukup besar di sana.
Dan dengan perlahan dia menekan tombol-tombol itu mengikuti tiap nomor yang tertera, namun itu berhenti sebelum dia menekan tombol terakhir yang menjadi satu-satunya jalan untuk menghubunginya dengan apa pun yang tengah menunggunya di balik angka-angka itu.
Apa ini benar-benar sebuah kesempatan untuk dirinya?
Mungkin saja ini adalah jebakkan seperti yang sering dia dengar dari berita-berita yang beredar pada sosial media.
Lagi pula dari hal singkat yang terjadi padanya tempo hari yang lalu, orang yang memberikan benda ini kepadanya seperti orang yang benar-benar kaya. Dan kebanyakan orang-orang kaya itu... memiliki hal-hal yang aneh kaum awan seperti dirinya ini.
Jika kamu tidak mencobanya, kamu tidak akan pernah tahu akan hasilnya.
Kamu tahu aku memiliki firasat yang cukup baik untuk kali ini....
Maka cobalah... cobalah kesempatan untuk kali ini saja...
Dia bisa merasakan betapa lambatnya dirinya hanya untuk menekan tombol sambungan itu telepon itu, dan saat dia berhasil menekan itu, kini dia merasakan betapa lambatnya pula panggilannya terhubung kepada pihak seberang sana.
Atau mungkin tidak akan di angkat?
Ini baru beberapa detik berlalu.... bersabarlah sedikit....
Tapi hatinya berdegup kencang di antara ragu, gugup dan juga kepanikan yang semakin memuncak.
Bunyi Tut....- Tut....- itu seperti detakkan jantung yang setiap saat berhasil membuat nyalinya semakin menciut.
Beberapa menit sudah berlalu, dan ujung seberang sana juga tidak memberikan jawabannya.
Aahh... sepertinya semua ini terasa percuma saja...
Seperti yang selalu terjadi...---
“Hallo...” Seketika gadis itu bangkit dengan cepat dari posisi duduknya, saat dia mendengar suara berat dari panggilan seberang sana.
Sial
“H-Hallo...” balasnya dengan nada gugup yang begitu kentara.
“Ya... Who is this?” jawab suara di seberang sana kini menggunakan bahasa inggris.
Sial
Kenapa hal ini tidak terpikirkan sebelum kamu meneleponnya....
Kamu bisa berbahasa inggris... itu seperti bahasa kedua yang kamu ketahu selama hidupmu....
Kamu hanya perlu berbicara dan semuanya akan baik-baik saja....
“Ah... is this Mister Flauza Evangrandene...- My name Revander Syahril...” jawab gadis itu begitu kaku. “and this is a girl, who you give your card in two days ago...” lanjutnya dengan kata- demi kata perlahan sebisa mungkin menghindari kesalahan berkata yang di ucapkan untuk orang yang ada di seberang sana.
“Revander....-“ gumam suara berat di seberang sana, terkesan seperti menggeram pelan pada namanya.
Errr....
Apa ada yang salah?
Dia tidak terlalu mengerti.... “Sir?” panggil gadis bernama Revander itu lagi.
“Ya.... I’m Flauza....” jawabnya dengan nada yang sedikit ceria? Tapi itu terdengar begitu aneh. Atau mungkin dirinya yang sudah terlalu lama tidak melakukan hal-hal dasar seperti ini?
Dia tidak mengerti.
“I- I'm sorry if I called you at the wrong time.... maybe... maybe I can contact you at a later time?” ucapnya yang juga berhasil membuat dirinya sendiri terkejut mendengar betapa lancarnya dia berbahasa inggris dengan orang asing ini.
“No-not at all Miss Revander... You call at the right time...” balas suara berat itu dengan nada yang ramah-tamah. “Is there anything I can help you miss...?"
Dia kembali terdiam, mendengarkan setiap kata-demi-kata dengan nada suara yang di berikan pria di seberang sana.
Ya itu terdengar seperti pria ramah dan hangat walaupun suaranya begitu berat.
Tapi ini terasa janggal pula.
Apa ini benar-benar akan baik-baik saja?
"The other day, a man named – Tobito... say if, you want to help me with... find a relation...-" ucap dirinya lambat dan perlahan, namun entah kenapa pria yang ada di seberang sana seperti dengan sabar menunggu setiap perkataannya.
Dan itu terasa....
Terasa begitu nyaman...
“Ah so that's what Tobito told you?” sahutnya dengan lembut.
Dia mengangguk seakan memberikan jawaban kepada pria itu “ya...” Revander berusaha mengatur nafasnya. “Can I know more about it? If-if it really is a...—"
“hmmm... What if we talked about this by face to face Miss Revander...” dia dapat merasakan tubuhnya yang menjadi tegang mendengar tawarannya. Rasa takut yang kuat segera menyerang seperti gelombang tsunami yang tidak tertahankan pada dirinya.
“huh...?”
“We can talk about this in more detail, by meeting Miss Revander in face to face. Of course you don't have to worry, I really didn't mean to be mean to you..." terdengar tawa kecil berasal dari pria itu saat mengulang semua perkataannya kembali, seakan dia tahu jika sang gadis tengah di penuhi pemikiran yang tidak menentu.
“Ah... okay....” balas sang gadis lagi.
“Alright, then what about tomorrow?” tawar pria itu dengan nada suara yang terdengar lebih bahagia lagi.
“A-apa!” dan itu berhasil membuat sang gadis terkejut dan panik. “T-tomorrow?” Revander semakin terbata-bata.
“Hmm....? Is there anything wrong with having a meeting tomorrow? Or maybe you already have a schedule that can't be replaced?"
“no-no... not at all Mister Flauza, tomorrow I have some free time..." dan entah bagaimana rasa panik yang masih membuncah pada dirinya itu berhasil dia lewati, walaupun itu tidak berlalu dan masih menggatung kuat pada dadanya, sampai terasa begitu sesak. “But if for tomorrow... Maybe—" apa yang harus dia katakan?
Apa yang harus dia katakan!
“I don't have any private transportation for some trip Mister Flauza..." Revander berkedip beberapa kali, tanpa sadar dia mulutnya berkata hal-hal yang tidak penting kepada orang asing yang sedang dia hubungi saat ini.
Kenapa dia terasa begitu ringan saat berbicara pada orang ini?
Apa dia akan kecewa saat mendengarkan alasan kecilnya ini?
“Ah... that's not problem at all Miss Revander... I'll tell Tobito, to pick you up at your residence..." dan lagi sang gadis itu mengedipkan mata hitam beberapa kali, menunjukkan ekspresi bingung dan juga.... takutnya.
Menjemput di kediamannya?
Apa pria ini sudah tahu alamatnya hanya dengan satu kali sambungan telepon saja?
Apakah...apakah...
“Miss...?”
“You...! You already know my address?” bisik sang gadis penuh kepanikan. Tapi hanya tawa yang dia dapatkan dari pria di seberang sana.
Apa maksud dari tawa itu!
“It’s not that hard miss, but I’m sure you, I don’t have bad intention to you Miss...” balasnya sang pria dengan nada jenaka. “If I can, I hope we have a good, very good relationship..."
.
.
.
Esok harinya gadis berambut hitam panjang mengenakan pakaian kemeja biru raven serta rok kain senada dengan pakainya itu terlihat terduduk di soda ruang tamu, menunduk sedikit mengenakan kaos kaki kecokelatan pada kaki-kaki yang terlihat pula terdapat bekas luka yang telah mengering namun menjadi bekas yang menghitam di sana.
Luka lama dari kecelakaan yang pernah dia alami.
Ini masih menunjukkan pukul enam tiga puluh pagi, bahkan mentari masih samar-samar terbit pada ufuk timur. Tapi sesuai dengan apa yang telah di janjikan hari ini adalah pertemuannya dengan sosok pria bernama Flauza itu.
Dan karena obrolan singkat dengan akhir yang tidak terdua semalam itu pula, ini menjadi hari ketiganya untuk tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Beberapa kali di benaknya untuk membatalkan pertemuan mereka ini, namun di benak lainnya lagi masih tetap berkukuh dengan rasa penasaran, dan juga perkataan semuanya akan baik-baik saja di sana.
Bagaimana dia nanti berakhir menjadi korban penculikan?
Kamu berpikir yang aneh-aneh lagi...
Argumen demi argumen itu kembali memenuhi di pikirannya.
Lagi pula suara dirinya terdengar seperti seseorang yang rama...
Ohh.... apakah kamu tahu, jika seorang yang jahat selalu memasang topeng ramahnya agar mendapatkan mangsa lebih mudah?
“Mau kemana?” suara perempuan yang dia kenal sebagai ibunya kini berhasil menyadarkan dari perdebatan dalam pikirannya itu. Sang ibu tampak menatap aneh kepada dirinya, yang kini telah berpakaian rapi di pagi hari ini.
Apa harus dia ceritakan saja?
“Adek punya janji jumpa sama orang...” balasnya dengan setenang mungkin.
“sepagi ini?” sang gadis mengangguk pelan.
“nanti akan di jemput katanya...”
“sama siapa?” tanya sang ibu lagi kini perempuan paru baya itu memosisikan dirinya di sisi lain sofa ruang tamu itu.
Harus bilang apa?
“teman...” balasnya.
Wanita paru baya itu hanya terdiam menatapnya dengan penuh penilaian. “laki-laki apa perempuan?”
Namun sebelum dia menjawab, samar-samar dari kejauhan dia mendengar suara halus mesin mobil mendekat ke arah tempat tinggalnya.
Pria itu benar-benar mengetahui dimana dia tinggal?
Bahkan dia tidak ada memberikan alamat apapun kepadanya.
“Sudah di jemput itu....” gumam gadis itu, bangkit dan merapikan pakaiannya yang sedikit kusut, Mengambil tas kecil yang sendari tadi tergeletak di sana.
Mobil hitam mewah yang dia lihat tempo hari yang lalu, sebuah mobil Roll-Royce Ghost, yang dia tahu harga mobil itu tidaklah murah. Saat mobil itu berhenti tepat di depan rumahnya, salah satu pintu pengemudinya terbuka, menampilkan pria berambut pirang kusam yang dia ketahui itu adalah Tobito.
Berpakaian rapi dan formal seperti sebelumnya.
Dia berjalan mendekati kearah sang gadis yang masih terdiam, bersama wanita paru baya sang ibunda berdiri di sampingnya pula.
“Selamat pagi, Nona Revander... dan Nyonya...” ucapnya dengan bahasa Indonesia kakunya itu.
Revander mengangguk pelan. “Selamat pagi juga Tobito...” sedangkan sang ibu hanya diam.
“sudah siap?”
“ya....”
Tobito kembali tersenyum dan kini dia berjalan mendekat kearah pintu penumpang mobil itu, sebelum dia membukakan pintu untuk sang gadis. Melihat hal itu, Revander sedikit meragu, namun sepertinya keraguannya itu tidak di sadari oleh sang ibu yang juga masih terdiam di sampingnya.
Sang gadis sekilas berbalik menatap sang ibu. “Adek pergi dulu bu...” ucapnya berusaha setenang mungkin, memberikan salam kepada wanita itu, dan masuk ke dalam mobil itu.
.
.
.
“Ya... hati-hati di jalan...”
.
.
.
.
.
Sepanjang perjalanan di dalam mobil mewah, keduanya hanya tenggelam dalam keheningan pemikiran mereka masing-masing. Dengan sosok pria berambut pirang kusam yang tampak fokus pada jalanan macet pagi hari itu, dengan sang penumpang gadis berambut hitam gelap sedang asyik memandang keluar jendela mobil dengan pemikiran yang tiada henti berkecamuk.
Dia tidak tahu akan apa yang kini tengah dia rasakan.
Rasa bimbang dan takut.
Rasa panik dan penasaran.
Dan juga, rasa nyaman dari suara pria yang baru dia kenal semalam.
Dia tahu, apa yang dia lakukan ini adalah hal yang bodoh.
Namun....
Namun dia begitu putus asa....
Begitu putus asa sampai apapun hal yang kini dia lakukan, semuanya tidak dapat dia cerna dengan logika lagi.
Kenapa dia bisa berakhir seperti ini?
Dia tidak tahu....
Tapi.... tapi dia mengatakan jika kali ini semuanya akan baik-baik saja bukan?
Apa kamu percaya dengan hanya kata-kata manis yang baru kamu dengar beberapa menit saja?
Kembali dia menghela nafas panjang, tanpa mengubah posisi duduknya.
Namun kini pandangannya berali kepada pria yang masih fokus menyetir di depannya itu.
“Tuan Tobito?” panggil sang gadis sepelan dan setenang mungkin. Tidak ada salahnya bukan menanyakan arah tujuan mereka?
“Ya, Nona Revander...” balas pria itu masih dengan bahasa Indonesia yang begitu kaku dan formal. Apa dia harus menggunakan bahasa Inggris saja?
“Emmm... jika boleh tahu...,” Revander berhenti sejenak. Sejujurnya berbicara bahasa Indonesia secara formal seperti ini dengan orang asing benar-benar tidak nyaman.
Namun apa yang harus dia lakukan?
Terlalu cepat untuk mencairkan dinding es yang mengelilingi mereka dalam waktu yang begitu singkat ini.
Mungkin mengikuti alirannya saja adalah jalan terbaik yang dia punya saat ini.
“Jika boleh tahu , ke manakah tujuan kita pergi hari ini...” lanjutnya pelan menanyakan pertanyaan sederhana, dengan harapan sedikit petunjuk dengan apa yang dia lakukan saat ini.
Dari kaca tengah pengemudi itu, dapat dia lihat pria di depannya kembali tersenyum tipis pada bibir pria yang harus dia akui memiliki penampilan yang cukup menarik.
Ya...
Selain memiliki rambut pirang dan tinggi badan khas orang luar negeri sana, Tobito juga memiliki mata kelabu yang indah, dengan kulit putih. Benar-benar seperti pria dari dunia fantasi, yang pasti dirinya yang bertemu secara langsung sosok pria seperti Tobito benar-benar beruntung.
Dan dia tidak akan munafik tentang itu.
Dan lagi, rasa penasaran yang aneh itu kembali mengganggu hatinya.
Jika sosok Tobito, yang dia tebak adalah seorang asisten dari seorang ‘Tuan’ bagaimana penampilan dari sosok ‘Tuan’ itu sendiri?
Ya mungkin Dia telah mendengar suara berat yang lembut nan ramah.
Tapi apa Tuannya adalah sosok pria tua?
Tua?
Mungkin tidak...
Berdasarkan dari suara yang dia ingat, mungkin sekitar tiga puluhan?
Atau empat puluhan?
“Tujuan kita adalah Gedung Vazssaka The Reizy Condty, Nona... apa Anda mengetahui tempat itu?” balas Tobito dengan tenang. Kini mereka berhasil melewati beberapa anterian macet pada salah satu perempatan.
“Ah... gedung tertinggi, itu? kalau tidak salah itu adalah kantor utama Bumi dan Teknologi Internasional? Dari Jepang dan Eropa. Jalan titik Nol utara bukan?” Tobito yang mendengar jawaban sang gadis sedikit banyak terkejut.
“Anda sungguh tidak mengecewakan Nona...” gumam pria itu pelan, namun masih bisa terdengar olehnya.
Apa maksud dari perkataan itu?
“Ya... Tuan ingin bertemu Anda di sana, dan tampaknya Anda juga mengetahui betul tempatnya...”
“Tidak terlalu mengetahuinya, Aku hanya mengetahui hal dasar tentang gedung itu. Dan ya beberapa kali, saat acara keluarga aku melewati tempat itu.” balas Revander dengan tenang. “Jadi... apa yang sebenarnya Tuan Anda inginkan dari ku?” tanya sang gadis kembali. “tidak mungkin hanya karena aku menatap lama kendaraan pribadi miliknya, membuat Tuan Anda menjadi...- kamu tahu...-“
“Nona Revander... sejujurnya saya juga tidak terlalu paham dengan apa yang tengah di inginkan Tuan Flauza dari Anda. Namun dalam beberapa hari setelah pertemuan singkat kita di tempat itu, Tuan Flauza selalu menanyakan kabar, jika Anda telah menghubunginya atau tidak.” Revander menaikkan salah satu alisnya menatap bingung pria itu.
Tapi saat dia menelepon itu, bukankah Flauza itu sendiri yang mengangkat panggilan dari dirinya?
“Saat akhirnya Anda menelepon hari lalu, Tuan terlihat benar-benar senang....”
Huh?
“kenapa?” tanya sang gadis tidak bisa menutupi rasa penasarannya. Dia tidak mengingat jika, dia pernah bertemu dengan orang yang bernama Flauza atau semacamnya.
“sayangnya saya tidak mengetahui hal itu lebih jelas Nona, mungkin Nona bisa menanyakan hal itu secara langsung kepada Tuan?”
Err....
Itu terdengar seperti menanyakan pertanyaan yang begitu pribadi dengan orang asing. Dan terasa tidak begitu pantas menjadi hal yang harus di tanyakan dalam pembicaraan yang akan datang.
“Nevermind, itu seperti hal yang begitu pribadi sekali untuk Tuan Anda...” gumam Revander dengan pelan, kini wanita itu bersandar pada kursi penumpang itu sembari merelakskan panggunya.
“Apa Anda masih menaruh kecurigaan kepada kami Nona Revander?”
“Hmmm... kamu tidak bisa menyalahkan diriku sepenuhnya untuk tetap curiga kepada Anda dan Tuan Anda, Tuan Tobito...”
Mendengar ucapan itu Tobito hanya mengangguk pelan. “Anda benar-benar sangat berbeda di bandingkan yang saya lihat beberapa hari yang lalu...” lanjut pria itu.
.
.
.
Terlihat berbeda dari beberapa hari yang lalu?
Apa ada yang salah dengan dirinya?
.
.
.
Saat mereka melewati gerbang yang menjadi pembatas antara jalan raya dengan gedung tinggi mewah berwarna putih itu, berjalan menuju lantai bawah tanah, yang hanya di terangi oleh lampu-lampu putih dengan beberapa rambu lalu-lintas sebagai arahan di mana para tamu untuk memarkirkan kendaraan mereka.
Tapi itu begitu mewah, sampai-sampai dirinya terpaku melihat semua ini.
Tak lam mobil ini pun mewahkan lajunya saat sampai pada lantai area khusus yang tampak lebih sepi dari lantai-lantai lainnya.
“Kita sudah sampai Nona Revander...” ucap Tobito membuka kunci pintu mobilnya, sembari membuka sabuk pengamannya sebelum terakhir dia mematikan mobil mewah ini. Sang gadis itu hanya mengangguk mengambi tas miliknya, bersiap turun pula dengan membuka pintu pada samping kirinya.
Bergerak perlahan keluar dari kendaraan mewah itu, seketika hembusan lebih hangat menerpa wajahnya.
Ah.... Ini adalah lantai 2B arah timur.
Iris hitamnya dengan sigap melihat-lihat ke sekelilingnya menari detail lebih mendalam diaman keberadaan dirinya sekarang.
“Nona Revander...” panggil suara Tobito, membuat fokus sang gadis kembali kepada pria itu. “Please, this way...” lanjut pria itu. Kini mereka berjalan menuju sudut ruangan yang terdapat tangga menuju atas, dan juga dua buah lift.
Tobito menekan tombol lift itu, dan dalam beberapa detik kemudian lift itu sudah terbuka, dengan keadaan yang cukup sepi. Mereka berdua masuk, dalam diam, dengan selanjutnya Tobito menekan beberapa tombol lainya sebelum berakhir pada tombol lantai empat belas.
Jadi ada enam belas lantai pada gedung ini. Namun tampaknya lantai keenam belas sedikit lebih spesial, tiga basemen sebagai parkiran, lantai dasar sebagai kantin karyawan, lalu lantai dua adalah lobi utama.
Cukup sederhana untuk dia mengingatnya.
Hanya tinggal seluk-beluk bagian dalam gedung itu.
Cukup lama mereka dalam lift itu, dan Tobito tampak beberapa kali melihat ke arah jam tangan yang berada tangan kirinya. Dengan sudut matanya, Revander berhasil menangkap sekilas, jika ini sudah pukul setengah sembilan pagi.
Perlu waktu satu setengah jam untuk sampai ke tempat ini.
Pada akhirnya pintu lift itu terbuka, menunjukkan sebuah lobi lantai yang ramai dengan orang yang tengah berlalu-lalang, namun seketika berhenti saat mereka menyadari sosok Tobito, kini berjalan lebih depan di bandingkan dirinya.
Dengan cepat pula mereka menunduk hormat kepada Tobito, dan mengucapkan selamat pagi.
Tapi...
Anehnya senyuman yang biasanya Tobito lalukan selama dalam perjalanan, kini tidak terukir. Hanya tatapan lurus tak terbaca.
Benar-benar berbeda dari beberapa waktu yang lalu.
Di sana dia melihat banyak meja-meja karyawan yang tampak bekerja dengan komputer mereka masing-masing, ada beberapa yang terlihat sedang berdiskusi, ada pula yang menyadari keberadaan kami dan mereka langsung menghentikan pekerjaan mereka.
Dengan pandangan penasaran, dan pula sedikit menatap lebih tajam kepada.... dirinya.
Merasakan hal itu, perlahan namun degup jantungnya semakin berdebar, dan nafasnya semakin memendek.
Sial!
Kenapa ini terjadi sekarang!
Ini sedang berada di depan umum!
Tenanglah- - tenanglah – tenanglah.
Namun dia tidak dapat menenangkan dirinya.
Setidaknya ekspresi wajahnya, masih seperti tampak tenang.
.
.
.
“Selamat pagi Tuan Svadive.” Sapa salah satu wanita berpakaian kantor yang luar biasa bagus dan cantik pula di hadapan mereka berdua. Tubuhnya begitu sempurna, dengan make-up yang terlihat glamor namun tetap cantik untuk dirinya.
Ah dia lupa, jika inilah kehidupan dunia kerja sebenarnya.
“Pagi Elen.... apa yang ingin kamu laporkan?” jawab Tobito tanpa menatap wanita cantik yang kini tengah berjalan di sampingnya.
“Beberapa laporan tentang hasil produksi dalam minggu ini telah selesai, Tuan. Dan juga dokumen tentang pengesahan dari pemerintahan daerah juga sudah selesai, Tuan. “ gumam wanita itu dengan profesional yang begitu kuat.
Dan hal itu sedikit banyaknya, membuat dia terkagum dan juga sedikit iri dan minder.
Apa yang sebenarnya dia lakukan berada di tempat ini?
“Lalu kapan pertemuan yang akan di lakukan dengan pemerintahan dan para direksi?” tanya Tobito, yang kini telah berhenti melangkah pada sebuah ruangan yang di batasi oleh kaca buram yang tampak sangat tebal.
“Ahh... itu... Mister Evangrandene...” kini wanita itu terlihat sedikit ragu mengucapkan nama itu. “Mister Evangrandene, mengatakan jika dia memiliki seorang tamu yang penting hari ini, maka dari itu kemungkinan pertemuan antara pihak pemerintahan dan para dewan direksi sedikit di undur....”
Dia dapat merasakan sekilas tatapan wanita yang ada di depannya itu kini menatap ke arah dirinya, sebelum dengan cepat kembali fokus kepada pria itu.
“hmm.... itu tidak masalah....” gumam Tobito. “When the meeting will be start?”
“Sekitar pukul dua siang ini Tuan Tobito, apakah ini tidak masalah?” tanya wanita itu kini mulai menekan-nekan sesuatu pada tablet yang sendari tadi dia bawa-bawa itu.
“No problem at all.... make sure everything ready and perfect, the presentation is simple and accurate , tell them, so they don't make the slightest mistake. Do you understand Elen.” Ucap tegas Tobito.
“Aku mengerti Tuan Svadive...”
“bagus, lalu bagaimana para rekrutmen untuk hari ini?” lanjut Tobito.
“Ada dua puluh enam peserta yang telah datang, berada di ruang tunggu Tuan. Apakah mereka akan mendapat wawancara dari Anda atau dari Tuan Evangrandene?” menunjukkan sebuah ruangan lainnya yang kini tertutupi oleh dinding putih dan pintu kaca yang tebal. Sejenak aku melihat ke dalam, dan mendapati sudah ada orang-orang di sana tampak menunggu dengan tenang dan tegang.
O....
Itu jumlah yang cukup besar.
“itu akan saya bicarakan kepada Tuan, secara langsung. Untuk saat ini saya harus mengurus sedikit hal untuk tamu Tuan.”
“Tamu Tuan? Tamu Tuan Evangrandene?” kini mimik wajah terkejut terlihat jelas pada wanita itu, dan kali ini pula pandangannya dia dan wanita bernama Elen itu bertemu.
“ya... kembalilah lakukan pekerjaanmu,dan juga bawalah beberapa makanan dan minuman untuk tamukita. Untuk selanjutnya, hal ini akan menjadi tanggung jawabku secara penuh.”
Tobito kembali menatap ke arah Revander, dan wajah yang tadinya hanya berwajah dingin kembali menunjukkan senyumannya.
Seakan itu berubah seratus delapan puluh derajat secara cepat.
“Maafkan aku Nona Revander, silakan sebelah sini. Dan beristirahatlah sejenak, saya akan bertemu dengan Tuan, dan mengabarkan jika keberadaan Anda telah sampai di sini” Revander hanya mengangguk pelan, seakan enggan untuk membantah ataupun membalas perkataan pria itu.
Berjalan masuk pada ruangan berdinding kaca di hadapannya, mendapati ruangan dengan nuansa yang putih dan hitam.
Terlihat pula Tobito juga masuk ke dalam ruangan yang sama. “Maafkan saya Nona Revander, saya harus meninggalkan Anda sejenak untuk beberapa saat. Please, Anda bisa menangkan diri disini, perjalanan yang cukup panjang itu, pasti sudah membuat Anda kelelahan.” Ucap Tobito dengan tetap tersenyum pada dirinya. “Elena akan segera membawakan Anda beberapa camilan ke sini, mohon untuk menunggu sebentar, dan saya akan bertemu dengan Tuan Flauza segera mungkin.”
Mata hitam sang gadis masih terfokus kepada setiap perkataan Tobito, dengan kembali hanya mengangguk pelan sebagai jawabannya kepada pria pirang itu.
Dan sebelum dirinya pergi meninggalkan Revander yang telah terduduk bersandar pada sofa hitam ruangan itu, Tobito membungkukkan sedikit tubuhnya dengan salah satu tangan yang terlipat pada dada.
“Selamat menikmati waktu Anda Nona Revander...” ucapnya dan berbalik, membuka pintu kaca itu dan tertutup secara otomatis.
Seketika keheningan memenuhi ruangan ini, bahkan kebisingan dari semua aktivitas di luar sana sama sekali tidak terdengar.
Kini pandangannya mulai meneliti setiap seluk beluk ruangan ini, dinding kaca besar menampilkan pemandangan kota dari ketinggian, sebuah karpet yang menjadi alas di atasnya terdapat sofa yang ia tempati, meja kaca berwarna hitam bening dengan sebuah figuran kuda di tengahnya, di tengah ruangan ini meja kerja besar berbentuk -L- berkaki hitam senada dengan sofa yang tengah dia duduki, dengan komputer berlayar lebar berwarna hitam. Di sebelah kanan tak jauh dari sofa terdapat lemari besar dengan tiga pintu tengah yang besar dan pintu-pintu kecil di sisinya. Dua buah lukisan abstrak berbingkai kayu yang juga berwarna hitam, dan beberapa meja kecil yang di atasnya terletak pot-pot tanaman hias sebagai pengontrasan dalam ruangan ini yang entah kenapa itu membuat indah.
Hmm...
Di sisi lain dari sofa, sebelah kiri terdapat balkon yang pintunya tengah terbuka lebar membiarkan udara pagi masuk menyejukkan ruangan.
Benar-benar desain yang luar biasa.
Pintu kaca itu kembali terbuka, menunjukkan sosok wanita yang dia tahu itu bernama Elena membawa mapan berisi beberapa makanan dan minuman.
Dalam diam aku melihat wanita cantik itu berjalan mendekat dengan anggunnya walaupun dia tengah membawa sangat banyak dan tidak tampak kesusahan sedikit pun, menata setap makanan dan minuman yang dia bawa pada mapan itu dengan rapi.
Semuanya terasa begitu sempurna.
Apa itu adalah salah satu syarat untuk bekerja disini?
Sepertinya begitu....
“Selamat menikmati hidangannya Nona...” ucap wanita itu dengan rama tama dan profesional. Dan dirinya hanya mengangguk pelan sembari tersenyum tipis pula.
“terima kasih.... bu.” Ucap sang gadis sedikit ragu pada akhir kalimat, tidak tahu harus mengatakan apa.
Tapi beruntungnya, wanita bernama Elena itu tampak tak mempermasalahkannya sama sekali.
Dan sebelum wanita itu keluar ruangan itu, dirinya juga membungkukkan sedikit tubuhnya dengan salah satu tangan yang terlipat pada dadanya, lalu pergi meninggalkan ruangan tersebut.
Cukup lama dia menatap makanan-makanan itu, dan dia menyadari hampir berbahan cokelat.
Seperti sebuah top les yang berisikan bola-bola berukuran cukup besar berwarna kuning, yang dia tahu itu adalah salah satu Brand cokelat yang cukup mahal.
Sangat mahal, karena dia tahu satu top les berukuran ini, berharga tiga ratus ribu.
Dia menjadi ragu untuk ‘menikmati’ hidangan di hadapannya ini.
Tapi untuk mencicip satu saja tidak masalahkan?
Lagi pula.... bukankah mereka mengatakan jika aku adalah seorang tamu?
Hanya satu saja....
Hanya satu saja....
Dan tangannya bergerak meraih top les itu, membukanya dan mengambil bola-bola kuning itu.
Tidak menyadari, wajahnya mengukir senyuman yang sudah jarang dia tunjukkan. Melahap dengan rasa bahagia luar biasa membuncah yang dia rasakan.
Sudah berapa lama dia tidak merasakan makanan-makanan enak seperti ini?
Kini dia menoleh kepada dinding kaca tebal yang buram, melihat siluet orang-orang yang sedang keluar dari ruangan sebelah sana. Jika tidak salah ada sekitar enam orang yang keluar.
Hmm... mungkin mereka akan segera di Interview ?
Kenapa dirinya tidak mengetahui jika perusahaan sebesar ini tengah membuka lowongan pekerjaan di sosial media? Atau mungkin dirinya telah melewatkan kesempatan ini?
Lagi pula....
Apa mungkin dia bisa berkesempatan untuk mendapatkan sebuah posisi pada perusahaan yang melakukan semuanya secara perfect dan profesional?
Dia tahu jelas kemampuan dirinya tidak begitu banyak, namun juga dia tidak akan mengatakan dirinya terlalu bodoh sampai tidak mengetahui apa-apa.
Entahlah....
Dia tidak tahu, karena dirinya sendiri belum pernah mendapatkan kesempatan secara langsung untuk mengalaminya.
Gadis, itu kembali tenggelam dalam perdebatan yang terjadi pada pemikirannya.
Sampai dirinya sendiri tidak menyadari, ini sudah tiga puluh menit lamanya, dengan kedatangan pria pirang itu kembali pada ruangan ini.
“Nona Revander...” panggil Tobito pelan.
“Ah... ya...”
“Tuan saya, ingin bertemu dengan Anda pada ruangan pribadinya. Tolong, ikuti saya...” ucapnya lagi. Tentu saja Revander langsung bangkit sembari membawa tas miliknya itu, dengan posisinya yang berjalan di belakang kanan Tobito.
Dan pria pirang itu kembali menggunakan ekspresi datarnya saat mereka keluar ruangan itu.
Sepanjang perjalanan aku sempat melihat beberapa orang menggunakan baju kemeja hitam-putih memegang lembaran lamaran, yang tidak sulit baginya mengetahui jika mereka adalah para rekrutmen.
Dan mereka semua terlihat seperti orang-orang yang telah berpengalaman, dan juga profesional.
Ah....
Itu semakin menguatkan fakta jika, begitu kecil kemungkinan jika dia bisa bergabung dengan perusahaan seperti ini.
Selalu saja menjadi hasil yang sama bukan?
Sebuah kegagalan yang dia alami....
Tidak sadar, mereka kembali kepada lift yang sama, dan Tobito menekan tombol itu, dan lift itu terbuka. Kami kembali masuk pada benda itu, dan kali ini Tobito menekan tombol berangka lima belas.
Ah... jadi tebakannya benar.
“Apakah Anda menikmati hidangannya Nona Revander?” tanya pria itu kembali tersenyum. Dan semakin lama gadis itu semakin kagum dengan perubahan suasana hati dan mimik ekspresi yang di miliki pria itu.
“Ya... itu adalah makanan yang enak...” balas Revander.
“saya senang mendengarkan hal itu Nona, dan saya yakin Tuan juga akan sangat senang mendengarkan hal itu...” dia tidak terlalu menanggapi balasan Tobito. Selain dia tidak tahu harus berkata apa, namun dia juga bingung dengan kenapa.
Tak lama lift itu berhenti tepat pada di lantai lima belas, lalu terbuka menujukan lobi bernuansa putih bersih dengan segalanya di kelilingi dinding kaca. Tempat ini jauh lebih sebi dari pada lantai sebelumnya, namun juga terasa dingin. Berbanding terbalik dengan cahaya mentari yang sepenuhnya masuk memenuhi ruangan ini.
Melihat Tobito yang kini telah melangkah keluar, dia pun sesegera mungkin mengikuti langkah pria itu.
“ini adalah tempat di mana Tuan Flauza bekerja, Nona Revander.” Jelas tobito tidak menghentikan langkahnya.
“sangat berbeda dari lantai sebelumnya.” Gumam gadis itu pelan, namun entah kenapa suaranya terasa begitu kuat, efek dari suasana lantai ini begitu sepi dan sunyi.
“ya. Di karena kan Tuan Flauza tidak terlalu suka keramaian. Maafkan saya, apakah hal ini membuat Anda tidak nyaman?”
“ah.. tidak... tidak...” ucap Revander panik. “Aku tidak bermaksud seperti itu, hanya saja... ya... ini benar-benar begitu berbeda dari lantai sebelumnya...” sang gadis kembali merasakan panik menyerbu dadanya.
Apakah dia telah salah berbicara?
Aaa... dasar gadis bodoh!
Kenapa kamu tidak bisa menahan apa yang akan di keluarkan dari mulutmu itu!
Lihatlah sekarang!
“Tidak apa Nona Revander, itu adalah sesuatu hal yang tidak salah...”
Langkah mereka berdua berhenti saat mereka sampai pada suatu ruangan yang terbatas oleh dinding bercat putih dingin dengan pintu kayu cokelat gelap berukir rumit, benar-benar begitu kontras dengan suasana di lantai serba putih ini.
“Silakan Nona Revander, Tuan Flauza sudah menunggu Anda di dalam sana.” Ucap Tobito sembari membungkukkan tubuhnya lagi.
Ah... jadi ini...
Sang gadis menarik nafasnya pelan dan dalam sebelum menghembuskannya, berusaha menenangkan debaran tak karuan pada dirinya sendiri.
.
.
.
Baiklah....
Ayo kita lihat seperti apa sebenarnya orang yang bernama Flauza Evangrandene ini.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!