NovelToon NovelToon

Pernikahan Kilat Zevanya

Bab 1

Bekerja seharian memang melelahkan, upah yang didapat tidak sebanding dengan tenaga yang keluar. Apalagi kaum rendahan seperti dirinya yang selalu dipandang sebelah mata oleh orang-orang.

Hinaan dan cacian acap kali didengar, hal tersebut sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Zevanya, status ibunya yang merupakan seorang kupu-kupu malam sangat berdampak besar pada dirinya.

Zevanya menghela napas, dibalik tenda yang memisahkannya dengan keramaian, ia acap kali termenung. Dan topiknya selalu saja masalah pekerjaan ibunya yang tak lazim itu, tentu saja sebagai anak ia tidak menginginkan. Tetapi ia tidak memiliki daya untuk menghentikan, wanita yang melahirkannya itu amat keras kepala.

Pernah suatu hari Zevanya menanyakan pada ibunya tentang perasaannya menekuni pekerjaan tersebut, dan memberitahukan segala perkataan orang-orang berupa hinaan serta bagaimana mereka yang membawa nama bapaknya yang telah berpulang.

Zevanya tentunya sangat sakit hati, tapi ibunya malah menanggapi dengan biasa saja. ‘Tidak usahlah kau pikirkan. Toh, bukan mereka yang kasih kita makan, mereka juga tidak tahu apa-apa, tetapi mulutnya pandai sekali berbicara!’ Ucapan ibunya melekat dengan kuat di memori kepalanya. ‘Mereka memang tahu apa? Hanya tahu melihat, menilai, lantas menggunjing’.

Setelah kepergian bapak, kehidupan mereka yang memang penuh keterbatasan semakin merosot ke titik di mana ia dan sang ibu pernah tidak makan berhari-hari. Di tambah lagi penagih hutang dengan bunga yang fantastis membuat kelimpungan. Hutang yang terpaksa bapaknya lakukan untuk menyambung hidup.

Menjadi pemulung, pencuci baju, pijat keliling, dan semua pekerjaan serabutan sudah pernah mereka lakukan. Namun, tetap saja semuanya tidak bisa mencukupi biaya hidup yang kian mahal.

Lelah dengan semua itu, ibunya mengambil jalan pintas. Ia yakin jika masih bertahan dengan kehidupan seperti itu, semua akan berakhir dengan kematian. Entah karena lapar, atau diburu oleh orang-orang penagih hutang yang begitu beringas.

Awalnya Zevanya yang baru memasuki usia remaja tidak mengerti kenapa ibunya membawa lelaki ke rumah, lalu memasukkan dirinya ke dalam lemari pengap nan gelap. Seiring berjalannya waktu, gadis itu mulai mengerti. Uang jajan yang diberi ibunya dikembalikan, makan yang disediakan ia hiraukan, dan puncaknya ia kabur dari rumah. Tidak tahan melihat ibunya yang terus membawa lelaki berbeda di tiap malamnya, tidak tahan terus terpenjara di lemari pengap dan gelap itu, serta suara-suara aneh yang merusak gedang telinganya. Ia lelah, takut dan cemas. Saat-saat itu, ia merindukan ayahnya yang telah tiada.

“Bapak....” Lirih Zevanya bersamaan dengan seseorang yang menyibak tenda tempatnya saat ini.

“Vanya! Mangkuknya sudah?” tanya orang itu, sembari menyimpan ember yang berisi mangkuk kotor yang harus ia cuci lagi.

“Sudah Bang, ini.” Zevanya memberikan mangkuk bersih tersebut, malam Minggu seperti ini pembeli bakso memang melonjak. Penjualnya kewalahan dan dengan senang hati menerima dirinya yang memang melakukan pekerjaan apa saja, asalkan itu halal.

Malam semakin larut, pembeli pun tinggal satu dua. Zevanya menyelesaikan pekerjaan terakhirnya dan menghampiri pemilik usaha.

“Makasih, Va. Saya merasa terbantu sekali, malam Minggu nanti kamu datang lagi, ya.” Pinta pria itu seraya menyodorkan selembar uang berwarna biru pada Zevanya.

“Iya, Bang. Pasti saya datang lagi.” Jawab gadis itu yang terlihat semringah mendapatkan bayarannya. Ia pun mengambil tas yang dititip di gerobak dan berpamitan.

Zevanya mulai menyusuri jalan, jam menunjukkan pukul 11 lewat. Gadis itu dengan bergegas melangkah menuju kosnya. Sesekali mengecek ponsel dan melihat pesan masuk dari sang pujaan hati.

Rasa lelahnya seolah sirna saat kekasihnya itu menanyakan kabarnya, ia pun dengan cepat mengetik untuk membalas.

‘Aku baik, kak. Sekarang mau pulang ke kosan.’ Balasannya dengan cepat dibaca, dan pria itu ingin menjemput untuk mengantarnya pulang.

Zevanya sudah menolak, tetapi kekasihnya tidak menerima penolakan. Akhirnya, ia pun pasrah dan menunggu jemputan.

Bibirnya tersungging manis, perhatian seperti inilah yang membuat ia sangat dan semakin mencintai pria itu. Dan yang paling membuat Zevanya menambatkan hati padanya, itu karena dia mau menerima dirinya apa adanya.

Saat orang-orang menghina Zevanya sebagai anak dari wanita yang suka menjajakan dirinya di depan Adrian—sang kekasih, pria itu membelanya dan menguatkan. Sungguh saat itu Zevanya tidak memiliki daya lagi, rasanya ia ingin lari dan menenggelamkan diri. Tetapi berkat kekuatan dari Adrian, ia pun dapat bersikap kembali seperti biasanya.

“Zevanya,” keasyikan melamun, gadis itu sampai tidak sadar bahwa mobil yang Adrian kendarai sudah berada di depannya. Pria itu turun, lalu membukakan pintu penumpang.

Saat Zevanya hendak menaiki mobil, dengan sigap tangan Adrian terangkat untuk melindungi kepalanya agar tidak terbentur. Sungguh perbuatan yang membuat gadis mana pun meleleh.

“Sebenarnya ndak perlu jemput aku di sini, Kak Rian. Aku bisa pulang sendiri,” kata gadis itu ketika keduanya sudah di atas mobil yang sudah siap melaju.

“Aku bakalan nggak tenang kalau kamu pulang jam segini sendirian,” kata Adrian penuh perhatian. Nadanya terdengar dewasa, sungguh mengayomi jiwa gadis di sampingnya. Umur Adrian yang memang 26 tahun sangat cocok dengan perawakannya.

Zevanya menunduk dengan menekuri jari-jemarinya, gadis itu tersenyum malu. Adrian yang melihatnya menyunggingkan senyum tipis, ia tahu gadis itu tengah tersipu.

“Sebenarnya kamu tidak perlu bekerja terlalu keras seperti ini Va, jika saja kamu mau menerima pemberianku,” helaan napas menyayangkan keluar dari mulut Adrian. Sudah berulang kali gadis yang berstatus kekasihnya ini menolak segala pemberiannya, hal tersebut tentu membuat Adrian tidak senang.

“Bukannya tidak mau menerima, tapi aku tidak mau di anggap cewek matre yang suka kamu karena harta.” Jelas gadis itu, diam-diam Adrian mencengkeram kemudi. Mereka berpacaran sudah dua tahun berjalan, dan tidak ada perkembangan.

“Justru itu yang aku mau. Aku tidak masalah mengeluarkan uang demi kamu, Sayang.” Mobil yang membawa mereka perlahan menurunkan lajunya.

“Jangan memanggilku dengan sebutan itu, Adrian!” sahut Zevanya spontan, bahkan gadis itu tidak sadar dengan panggilannya yang berubah. Zevanya sangat sensitif dengan panggilan ‘sayang’ karena sering mendengarnya ketika di lemari pengap. Dua manusia yang saling tidak mengenal tetapi keduanya seolah akrab dalam hal menjijikkan.

“Ouh... calm down, Va. Maaf, aku lupa kamu tidak suka dengan panggilan itu.” Ujar Adrian sangat menyesal, begitu pula dengan raut wajahnya. Hal itu sontak membuat Zevanya merasa bersalah.

“Tidak, seharusnya aku yang mengatakan itu. Maaf, Kak.” Kata gadis itu dengan kepala menunduk. Ia benar-benar merasa bersalah karena telah membentak Adrian.

“Tidak-tidak, memang aku yang salah.” Mobil itu menepi tepat di depan kos Zevanya. Adrian menoleh melihat kepala gadisnya masih menunduk, ia pun mengusapnya.

“Masuk, gih. Sudah malam,” kata pria itu, dan mendapatkan anggukan dari Zevanya.

Saat Zevanya sudah membuka pintu mobil dan bersiap keluar, Adrian kembali memanggilnya. Pria itu mendekatkan wajahnya pada wajah Zevanya, tempatnya pada bibir mungil yang berwarna pink alami.

Zevanya yang tahu maksud Adrian segera berlalu dan menutup pintu mobil, “Makasih, Kak. Aku masuk dulu ya, sampai jumpa...” ujar gadis itu dan dengan cepat menghilang.

Adrian kembali ke posisinya dengan raut yang berubah, seolah wajah ramahnya yang ia tampilkan sejak tadi bersama Zevanya hanya topeng semata. Pria itu bahkan memukul kemudi dengan kesal untuk melampiaskan.

Bab 2

SELAMAT MEMBACA

Zevanya merebahkan dirinya di kasur yang nyaman, walaupun bisa dilihat kasur tersebut bahkan hampir tidak memiliki busa.

Matanya menerawang di dalam kos dengan tubuhnya yang cukup lelah oleh kesibukannya hari ini, ia ingin segera tidur dan menekuri mimpi. Tetapi lagi-lagi dirinya akan terbayang di dalam lemari sempit nan pengap, membuat hatinya was-was untuk menutup mata.

Akhirnya ia meraih ponsel dan menyetel apa saja agar kamar kosnya tidak terlalu sunyi, perlahan ia mulai menikmati alunan. Matanya mulai tertutup dengan lampu kos yang masih menyala terang. Berharap ketika bangun esok, akan ada hal baik yang menghampiri.

Tetapi harapan memang kadang tak sesuai realitas. Pagi sekali, bahkan matahari belum setinggi tombak. Kamar kosnya diketuk secara kasar oleh seseorang, yang mau tak mau Zevanya harus membukakannya.

“Bu Lani, kenapa ya, Bu?” tanya Zevanya sopan melihat sosok perempuan paruh baya pemilik kos yang ia sewa.

Wajah Bu Lani tampak kaku, membuat Zevanya semakin penasaran. Apa ia telah melakukan kesalahan, sehingga pemilik kos datang menegurnya. Tapi seharian kemarin Zevanya tidak berada di lingkungan kosan akibat sibuk bekerja, jadi kapan ia menyinggung wanita di depannya ini. Atau mungkin karena ia yang diantar oleh Adrian? Tetapi jika seperti itu, teman-teman kosnya yang lain bahkan mengajak teman cowoknya masuk ke dalam kamar asalkan tidak menutup pintu. Dan hal tersebut memang diperbolehkan.

Zevanya terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan kesalahan yang telah ia lakukan agar segera dapat meminta maaf. Namun, sama sekali ia tidak dapat mengingat kesalahan apa yang telah ia perbuat.

Bu Lani tahu gadis di depannya sedang berpikir keras akibat sikapnya saat ini, tetapi ia tidak mempedulikannya.

“Maaf, kalau Vanya melakukan kesalahan, Bu.” Akhirnya gadis itu memilih meminta maaf saja karena tidak ingin menyinggung perasaan wanita di hadapannya.

Bu Lani mendengus, bersamaan dengan badannya yang gempal juga ikut bergerak. Siapa saja yang melihatnya pasti akan takut.

“Kamu harus mengosongkan kamarmu hari ini!” pintanya tanpa basa-basi, membuat Zevanya tidak bisa menyembunyikan raut keterkejutannya.

“Loh, kenapa begitu, Bu? Saya ‘kan sudah membayar lunas untuk bulan ini, dan bulan depan juga saya akan membayar dengan lunas.” Tanggap Zevanya tanpa merasa terintimidasi dari tatapan wanita paruh baya itu yang tajam.

“Bukan itu masalahnya, tapi ada yang mau membayar kamarmu dengan lebih tinggi. Makanya kamu harus mengosongkan kamarmu hari ini juga,”

“Tidak bisa begitu, Bu—“ protes Zevanya yang langsung dipotong oleh Bu Leni.

“Kenapa tidak? Saya pemiliknya!” katanya sewot, penuh kelicikan.

Zevanya terdiam untuk beberapa saat, ia tahu sifat pemilik kos tempatnya bernaung memang seperti ini. Tetapi untuk mencari kos baru itu sulit, terlebih biayanya pun mahal.

“Tapi, Bu...”

“Saya tidak butuh persetujuan mu, Zevanya. Sebagai pemilik, saya berhak melakukan apa saja. Dan kamu kira saya tidak ingin untung?!” nada suara wanita itu tidak berubah dan malah terdengar sarkas.

“Ini baru pertengahan bulan, Bu. Lalu bagaimana dengan uang saya yang sudah saya bayar penuh?” Zevanya tahu tidak ada kesempatan lagi untuk merubah keputusan pemilik kos, tetapi sekedarnya uangnya harus kembali—uang yang ia dapatkan dengan susah payah.

“Akan aku kembalikan, uang segitu saja kamu perhitungan!” hidungnya kembang kempis. “Cepatlah berkemas, uangmu akan ku kembalikan setelah itu,” wanita itu melenggang pergi meninggalkan Zevanya yang mulai memikirkan mencari kos baru dengan uangnya yang seadanya.

Walaupun hidup ini kejam, tetapi tidak ada waktu untuk sekedar berkeluh kesah sekarang. Gadis itu masuk ke kamar sempit tersebut dan mulai mengemasi barang-barangnya. Jangan menyerah, jangan menyerah. Katanya ketika merasakan manik matanya yang perih dan mulai menampakkan bening-bening berkilau.

Barang-barang gadis itu tidak banyak, hanya satu tas ransel dan tas tentengan sedang di tangan kirinya.

“Ini! Dan segeralah pergi,” usir wanita itu tanpa belas kasih. Zevanya menerima sebagian uangnya dan melangkah pergi meninggal kosan tersebut.

Saat ia sudah berjalan beberapa meter, klakson mobil berulang kali membuat ia menoleh. Tampaklah seseorang yang sangat ia kenal.

“Kak Rian,” lirih Zevanya.

“Va, mau kemana?” tanya Adrian turun dari mobilnya, raut wajahnya ia pasang penuh penasaran dan kepedulian.

Zevanya menunduk, mata Adrian semakin menajam pada tas ransel dan tas tentengan yang penuh barang. Sekilas dan samar, bibir pria itu menyunggingkan senyum kemenangan.

Zevanya menggeleng pelan, gadis itu memang tidak tahu akan ke mana. Kakinya hanya bisa melangkah dan berhenti jika nanti menemukan kosan yang sepadan dengan uangnya saat ini.

“Lohhh...” wajah Adrian semakin bingung. “Terus, kenapa bawa tas segala?”

“Sebenarnya aku mau cari kos baru, Kak. Tapi belum nemu,” jawab gadis itu tanpa menceritakan kemalangan yang ia alami.

“Memangnya kos kamu sebelumnya kenapa? Kamu nggak cocok di sana?” Zevanya mengangguk saja. Toh, itu memang benar. Uangnya yang tidak cocok di sana.

Respon yang Zevanya berikan tidak sesuai dengan harapan Adrian, lelaki itu ingin Zevanya berkeluh kesah padangan. Dan saat itu, ia akan menawarkan bantuan dan diterima dengan senang hati oleh sang gadis.

Tetapi harapan memang tak sesuai dengan kenyataan, Zevanya si gadis mandiri sejak umur 13 tahun itu malah menyatakan diri untuk mencari kos baru. Dan mau tidak mau Adrian pun membantunya mencarikan kos tersebut, tepatnya memaksa gadis itu agar mau menerima bantuannya.

Keduanya pun mulai menyusuri kosan ke kosan lainnya. Dari yang terlihat mewah, biasa, sampai yang paling sederhana, tetapi harganya begitu fantastis. Sangat tidak ramah dikantong Zevanya si gadis pekerja serabutan.

Matahari sudah mulai meninggi, membuat hawa panas yang menyengat. Berulang kali Adrian mengusap dahi dan lehernya, terlihat sangat tidak nyaman atas keadaan ini.

“Maaf, Kak. Aku jadi merepotkan mu,” gadis itu menunjukkan raut penyesalan dan merasa menjadi beban untuk pria itu.

“Apa yang kamu katakan, Vanya? Aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Nah, sekarang sebaiknya kita istirahat dulu dan mencari tempat makan.” Pungkas Adrian yang sudah sangat merasa letih, Zevanya pun mengangguk menyetujui. Perutnya juga sudah terasa melilit.

Mereka mampir di sebuah cafe terdekat, “Kita makan di sini, sekalian untuk menyejukkan diri,” kata Andrian ketika melihat raut penolakan pada gadis tersebut.

Gadis itu pun menghela napas gusar, sepertinya uangnya akan semakin berkurang. Ia bertekad akan memesan makanan paling murah.

“Kenapa pesan yang itu? Pesanlah makanan yang lebih baik, aku yang akan membayarnya.” Ujar Adrian melihat Zevanya yang memesan menu sederhana.

“Tidak, Kak. Aku ingin makan yang ini, perutku masih kenyang untuk makanan yang berat.” Alasan gadis itu.

Zevanya memang seperti itu, ketika Adrian akan mengeluarkan uang untuk dirinya, ia akan menolak. Sebagai kekasih, selama ini hanya sering menjemputnya dan sesekali mengantarkan ke tempat kerja.

Selesai makan mereka langsung melajukan mobil untuk kembali mencari kosan, “Maaf, harganya tidak bisa ditawar. Kalau mau yang murah seperti itu, silakan cari kosan lain dan saya yakin kalian tidak akan menemukannya!” kata seorang ibu pemilik kosan yang mereka tanyai.

Wajah Zevanya seketika murung, bingung mencari tempat tinggal ke mana lagi. Berbeda dengan Adrian, pria itu semringah dalam hati.

“Sudahlah Va, ambil saja uang dariku. Kalau kamu tetap tidak mau, mari kita tinggal bersama.” Ajak Adrian dengan penuh selubung.

Bab 3

SELAMAT MEMBACA

Zevanya memandang lekat wajah Adrian, berusaha memahami maksud ucapan pria tersebut dari raut wajahnya.

Walaupun sudah melihat ada sesuatu terselubung di sana, gadis itu tetap bertanya untuk memastikan. “Maksud kamu apa, Kak?” tanya Zevanya, terlihat sekali alisnya yang menurun, menunjukkan kekecewaan. Sudah selama ini menjalin kasih, Adrian sama sekali tidak memahami dirinya.

“Jangan pura-pura, Sayang. Kamu tahu maksud aku,” senyum miring pada bibir Adrian tercetak jelas, bahkan ia menggunakan panggilan yang amat Zevanya tidak sukai.

Zevanya menghela napas miris, tetapi gadis itu tetap ingin bertanya akan perubahan dari sikap kekasihnya yang sudah dua tahun ini menemani.

“K-kamu... kenapa?” Adrian tertawa sumbang atas pertanyaan tersebut.

“Aku lelah seperti ini terus—“ desah Adrian terdengar jelas. “Kita ini, apaaa?” dan sekarang tawa beratnya terdengar. Terlihat mempermainkan emosi Zevanya.

“Sudahlah... kamu jangan terlalu jual mahal, Sayang.” Zevanya semakin tercekat. “Aku yang adalah kekasihmu tidak tega melihatmu seperti ini, wanita cantikku yang selalu bekerja di bawah terik matahari, lalu pulang larut malam karena menolak pemberian kekasihnya.”

“Itu karena aku tidak ingin merepotkan mu, selama pacaran kita lakukan sewajarnya saja dan seimbang.” Walaupun tak punya, Zevanya selalu melakukan timbal balik. Jika Adrian membayar makanan mereka hari ini, maka giliran Zevanya yang akan membayar makanan mereka di hari berikutnya. Ya, walaupun hanya makan di warteg.

Adrian tertawa menanggapi, “Sewajarnya saja?” tanyanya seolah tersinggung, padahal ia sudah menduga Zevanya mengetahui maksudnya.

“Kamu tahu aku mencintaimu, tapi cinta itu butuh pembuktian. Dan kamu tidak memberikan itu padaku, selalu saja menolak ku, bahkan hanya sekedar berciuman saja.” Selama berpacaran mereka memang tidak pernah melakukan hal-hal tersebut, dan tentu itu semua karena Zevanya yang tidak ingin melakukannya sebelum menikah. Begitu gadis itu berdalih.

“Kalau kamu benar-benar ingin melakukan itu, berarti kamu sudah siap menikahi ku. Bukankah kita sudah sepakat sebelum pacaran,” Adrian memang menyetujui kesepakatan itu, dan berharap bisa mengubah prinsip gadis ini lambat laut seiring waktu. Tapi ternyata tidak, Zevanya begitu kokoh dengan pendiriannya.

“Tentu, tentu aku akan menikahi mu. Tapi kesampingkan dulu hal tersebut, karena aku membutuhkan pembuktian.” Kukuh Adrian. “Kamu tidak akan kesusahan seperti ini lagi, hidupmu akan terjamin bersamaku. Rumah, uang makan, uang belanja, atau barang-barang baru, barang-barang branded, semuanya akan aku penuhi, akan aku berikan, asalkan... kamu mau membuktikan cintamu.” Gemuruh hati Zevanya mendengarnya.

Ia merasakan semua kesulitan ini, itu karena dirinya yang tidak ingin mengikuti jejak sang ibu yang menjadi penghangat ranjang para pria brengsek demi kekayaan dan kesenangan. Jika dirinya memang menginginkan semua kemewahan itu, maka ia akan tetap di rumah. Ibunya akan memberikan dan memenuhi semua kebutuhan dan keinginannya. Tidak perlu ia bekerja sesudah payah ini.

Dan sudah sejauh ini, usahanya malah digoyahkan oleh seorang yang ia kagumi dan cintai. Hati gadis itu tak terkira lagi, binar wajahnya pun semakin meredup.

“Jangan terlalu banyak berpikir Vanya, dan jangan jual mahal. Toh, ibumu juga wanita yang sangat berpengalaman dibidang itu. Masa anaknya—“

“Berhenti, Adrian, kumohon berhenti!” air mata Zevanya mengalir tanpa permisi, ia tak percaya bahwa kata-kata itu keluar dari mulut seseorang yang menjadi tempatnya melabuhkan seluruh kepercayaan dan cintanya.

Sama sekali tidak ada dalam benak Zevanya, bahwa momen seperti akan terjadi. Dimana orang yang selama dua tahun ia percaya, orang yang menjadi tumpuan hatinya, dengan begitu mudahnya berkata merendahkan seperti itu.

Senyum miring Adrian tercipta, seolah wajah ramah dan penyayangnya selama ini hanyalah topeng belaka. Kini pria itu menampilkan wajah aslinya.

“Jangan terlalu naif Zevanya, kau membutuhkan uang untuk biaya hidupmu dan aku membutuhkan kehangatan.” Adrian memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku celana, matanya memindai Zevanya dari atas hingga ke bawah. Sungguh ciptaan Tuhan yang amat sempurna, membuat ia rela melakukan apa pun untuk dekat dan mendapatkannya. Bahkan rela melakukan hal membosankan selama 2 tahun ini untuk mendapatkan kepercayaan gadis yang terlihat sok suci.

“Aku bukan ibuku, Adrian,” suara Zevanya terdengar pelan, namun tegas. Dan aku tidak akan menjadi seperti dia. Lanjutnya dalam hati. “Jadi, kau mau menganggap hubungan ini sebagai transaksi?”

Adrian mendengus, tampak tidak peduli dengan kata-kata Zevanya. Namun, dalam hati ia membenarkan. Dan itu, transaksi yang sama-sama menguntungkan bukan?

“Iya, lalu apakah itu salah?” pria itu bertanya dengan raut tanpa dosa.

Zevanya benar-benar melihat wujud aslinya sekarang, ia mengusap air matanya. Sudah banyak hal yang ia alami selama ini, dan Zevanya bisa menghadapi semuanya tanpa air mata. Dan sekarang pun ia pasti bisa, tidak ingin menyia-nyiakan air matanya yang begitu berharga.

“Jangan keras kepala, hidup ini kejam. Dan aku menawarkan kemudahan sekaligus kesenangan,” kata Adrian yang mulai terdengar menjijikan di telinga Zevanya.

“Sekarang kau memperlihatkan wujud aslimu, dan bodohnya aku tertipu akan hal itu!” datar Zevanya membuat Adrian tertawa lebar, seolah apa yang dikatakan Zevanya barusan adalah sebuah lelucon.

“Oh ayolah, Sayang. Jangan terlalu serius menjalani kehidupan ini.” Jawab Adrian masih dengan kekehan yang berusaha pria itu hentikan.

Semua yang Zevanya perjuangkan, semua batasan yang ditetapkan untuk menjaga kehormatan dirinya, kini seolah tidak berarti apa-apa di hadapan pria ini.

“Aku tidak bisa, mari kita akhiri hubungan ini!” Zevanya mengambil langkah mundur, meyakinkan dirinya bahwa ini yang terbaik. Ia tidak ingin mengikuti jejak ibunya dan mengambil jalan lain, walaupun akan semakin menggali penderitaan.

Adrian menatap wajah Zevanya dengan serius, pria itu mendekat. Zevanya bersikap waspada, saat jari Adrian ingin menyentuh dagunya dengan cepat ditepisnya.

Kekehan mencemooh keluar dari bibir pria itu, merasa semakin tertantang untuk menaklukkan sosok di depannya. Apa pun caranya!

“Tolong jangan terlalu percaya diri, itu tidak baik.” Zevanya diam, tak membalas. “Kamu kira ada pria sepertiku yang menginginkan gadis miskin seperti dirimu, jika bukan karena....” Andrian kembali memandang Zevanya dari atas hingga ke bawah dengan tatapan melecehkan.

Tangan Zevanya terkepal, ia tahu maksud pria itu. Dan kini ia menyadari, hidup memang tidak seperti cerita dongeng. Dimana gadis miskin yang dijemput oleh pangeran berkuda putih.

Zevanya menghela napas, berusaha tenang dengan situasi ini. Tidak ingin meladeni pria yang telah resmi menjadi mantan yang patut untuk ia sesali seumur hidup. Jika bisa, gadis itu ingin mengulang waktu dimana hari pertemuan pertama mereka untuk mengambil rute lain dan tidak bertemu dengan pria ini.

“Memang aku miskin, dan karena itu gadis miskin ini akan menjaga satu-satunya hal yang berharga dalam dirinya.” Balas Zevanya dengan tegas. “Uangmu memang banyak, maka tolong membeli adab dan sopan santun!” Setelah mengatakan itu, Zevanya berbalik dan pergi. Seolah Adrian adalah orang asing yang tak memiliki kenangan dalam hidupnya.

Ekspresi wajah Adrian berubah menjadi dingin, kesal dan tentu saja marah. Baru saja gadis itu mempermainkannya, mempermainkan seorang Adria Osmand. Salah satu keluarga terpandang di kota ini karena ayahnya adalah CEO di perusahaan besar.

Tidak terima, Adrian mengejarnya dan langsung menyudutkannya ditembok trotoar.

Zevanya merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, bahaya seolah di depan mata. Dan benar, Adria dengan wajah memerah akibat amarah mencengkeram dagunya dengan kuat, seolah siap meremukkan.

“Kamu nggak waras, Adrian!” berontak Zevanya berusaha melepaskan diri. Tetapi tenaga pria ini sungguh kuat, tidak sebanding dengan dirinya yang perempuan.

“Aku akan melepaskan mu, setelah kita bersenang-senang.” Adrian berbicara di depan wajah Zevanya, nafasnya menerpa wajah gadis itu membuatnya semakin ketakutan. Namun, berusaha ia sembunyikan.

“Tidak, aku tidak mau!” Zevanya berontak sekuat tenaga, saat Adrian ingin mencium dengan paksa, kaki gadis itu dengan refleks menendang bagian inti pria itu.

Adrian memekik kesakitan sembari membekap miliknya, kesempatan tersebut Zevanya gunakan untuk kabur. Segera gadis itu membawa lari kedua tasnya menuju jalan raya.

“Berhenti, Vanya!” teriak Adrian murka. Namun, gadis itu tidak mendengarkan. “Kamu tidak akan bisa lari dariku,” ujarnya, terlihat sekali terobsesi pada Zevanya.

Kendaraan terlihat sepi, jarang yang lewat. Nampaknya ini memang sengaja dilakukan oleh Adrian untuk menjebaknya dengan dalih kos di lingkungan ini murah.

Setelah kesakitan yang luar biasa, Adrian bangkit mengejar. Zevanya kembali panik, ia berusaha menghentikan pengendara mobil yang sesekali lewat. Namun, tidak ada yang mempedulikannya.

Dengan ketakutan dan kecemasan, gadis itu menghadang seorang pengendara motor yang kebetulan lewat.

“Mbak, kalau mau bunuh diri jangan di sini. Masih ada cara lainnya yang tidak melibatkan ora—“ orang itu sedikit membentak setalah berhasil menghentikan motornya tepat beberapa centimeter di depan Zevanya.

“Maaf, Mas. Tolong... tolong saya,” potong Zevanya, nadanya bergetar. Sesekali menoleh ke belakang, melihat Adrian yang semakin mendekatinya.

Orang itu menoleh ke belakang, mengerti situasi, ia pun mempersilahkan Zevanya naik. Motor dengan body yang tak utuh itu segera melaju dan masuk lorong yang hanya muat kendaraan beroda dua. Membuat Adrian semakin marah dan hanya bisa memandangi mereka yang semakin menjauh.

“Aku tetap akan mendapatkan mu!” desis Adrian.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!