"Agkhhh"
Pekik Nala yang baru saja membuka matanya, tapi situasi yang sangat tidak senohohh ada di depannya.
"Siapa kamu? lepaskan aku?" teriak Nala yang di kungkung oleh seorang pria yang tengah memaksa mencium bagian dadanya.
"Cih, permainan apalagi ini, Sekar Nala?" bentak pria tampan yang berada di atasnya. Dan pria itu sudah tidak pakai atasan lagi. Tidak perlu di deskripsikan bukan? roti sobek dan otot yang kuat itu terpampang nyata di depan Nala.
Pria itu bahkan mengunci kedua tangan Nala di atas kepala Nala.
"Sekar Nala? siapa Sekar Nala?" tanyanya berusaha memberontak.
"Aku tidak punya waktu mengikuti sandiwaramu!" kata pria itu yang kembali melanjutkan apa yang ingin dia lakukan.
"Eh, lepaskan... empttt"
Pria itu sama sekali tidak mengindahkan penolakan dan permintaan Nala untuk di lepaskan. Dengan. kasar, pria itu menggigit bagian tubuh Nala manapun yang dia kehendaki.
Dan melakukan hubungan itu, untuk pertama kali dengan begitu kasar. Nala sampai menjerit kesakitan saat pria itu memasukinya.
Air mata Nala mengalir begitu deras, ketika pria itu sudah puas dan meninggalkannya begitu saja.
Bahkan saat pria itu menutup pintu, pintu itu di banting begitu keras olehnya hingga suaranya mengejutkan Nala.
"Dasar sikopet! dia itu manusia atau monster, wajahnya saja tampan, kelakuannya seperti binatang! aduh, sakit!"
Nala terus memaki pria itu, hingga dia tertegun melihat sekelilingnya. Saat tirai tempat tidur itu terbuka. Dia melihat sebuah tempat dan suasana yang begitu asing di sekelilingnya.
"Tempat apa ini? lokasi syuting?" gumamnya.
Hingga beberapa saat kemudian, datanglah dua orang wanita dengan hanya menggunakan kemben dan kain batik yang motifnya sangat sederhana. Dan yang keduanya gunakan serupa.
"Tuan putri"
"Tuan putri, tidak apa-apa? pangeran sepertinya sangat marah"
Kedua wanita itu bicara dengan mata yang berkaca-kaca. Tampak begitu khawatir pada Nala.
Tapi Nala tertegun,
"Tadi kamu panggil aku apa?" tanya Nala yang bahkan tidak mengenal kedua orang yang tampak mencemaskannya itu.
"Tuan putri, ada apa dengan tuan putri. Aku akan panggilkan tabib! Sumi kamu jaga tuan putri!" Salah satu dari dua wanita dengan wajah tanpa makeup sama sekali dan rambut di ikat sanggul rapi ke belakang itu langsung berlari keluar kamar.
"Heh, tabib apa?" tanya Nala bingung.
"Tuan putri, tuan putri kenapa? bicaranya aneh sekali. Sumi belum lima tahun melayani tuan putri, kenapa sudah seperti ini" tangis wanita itu.
"Seperti ini apa?" Nala malah semakin bingung.
"Kata si mbok, kalau orang sudah mau mangkat. Biasanya ngomongnya ngelantur. Apa yang sudah Gusti pangeran Yudha lakukan pada tuan putri, sampai tuan putri seperti ini?" tangis wanita itu semakin pecah, bahkan segera bersimpuh di bawah tempat tidur dimana Nala sedang berada saat ini.
Nala semakin bingung. Tapi rasa sakit di bawah sana membuatnya tak bisa mencerna semua ini dengan mudah.
"Tuan putri? Gusti pangeran? hah..." mata Nala melebar.
Kemudian dia menatap serius ke arah wanita muda bernama Sumi itu.
"Sekarang tahun berapa?" tanya Nala.
"Warsa saka 1122"
Nala mengernyitkan keningnya.
"Bagaimana?" tanyanya.
"Tuan putri, ini hari Kemis Kliwon, tanggal ping limalas, wulan Srawana, warsa saka 1122"
"Srawana? Saka 1122?" tanya Nala dan Sumi menganggukkan kepalanya, "mampuss!" umpatnya lagi.
Nala memejamkan matanya. Dia mengingat kembali apa yang telah terjadi hari ini. Dia baru pulang kuliah, lalu seorang dosen memberinya tugas membaca salah satu novel sejarah tentang kerajaan Girinata. Dan minta dia presentasi besoknya. Tapi, karena dia sangat kesal pada tokoh antagonis bernama Sekar Nala, dia memaki wanita itu. Kenapa namanya bisa hampir sama dengannya. Nala Casandra. Dia kesal, dia melempar buku itu, dan buku tebal itu mental di kepalanya. Lalu dia tidak ingat apapun lagi.
Dan, begitu dia membuka mata. Dia terbangun di tempat ini.
"Astaga! ini jaman apa?" tangisnya.
"Tuan putri, Tuan putri jangan mangkat, tuan putri... huwu wuwu" tangis Sumi makin menjadi.
"Mangkat! mangkat! siapa yang mau mangkat. Aduh, jadi sekarang aku ada di tubuh Sekar Nala, dan tadi itu pasti pangeran Arga Yudha Kertajaya. Hahh... aku pasti mati!" Nala sungguh putus asa.
Dia sudah membaca novel itu, dan di pertengahan, memang Sekar Nala akan mati. Dia di bunuh oleh anak buah Ratih Jayengwati. Kekasih Arga Yudha Kertajaya sebelum menikah dengan Sekar Nala.
Dan di kerajaan ini, kerajaan Girinata ini. Semua orang benar-benar membenci Sekar Nala yang sombong dan tidak punya hati.
"Tabib, tolong tuan putri hamba!" kata wanita yang tadi keluar dengan buru-buru.
Wanita itu datang membawa seorang pria tua dengan jubah putih dan jenggot panjang.
"Sembah pangabekti Tuan putri" sapa tabib itu.
"Heh, kenapa panggil pak tua ini?" tanya Nala.
"Tuan putri, ini Ki Tamba. Dia tabib yang kita bawa kemari juga. Di sini, tidak ada tabib yang mau mengobati atau memeriksa tuan putri" kata Sumi.
'Ya ampun, reputasi Sekar Nala sungguh buruk. Habislah aku!' batinnya.
"Aku tidak sakit, suruh dia pergi. Aku mau tidur!" kata Nala yang kepalanya sakit memikirkan semua ini.
Dia terlempar ke jaman ribuan tahun yang lalu. Dan yang paling ngenes adalah, dia masuk ke dalam tubuh wanita yang sangat dibenci semua orang karena reputasinya yang sangat buruk dan kejam.
Ingatan Nala tentang cerita Sekar Nala kembali merayap di pikirannya. Bagaimana putri itu mengancam akan bunuh diri untuk meminta pernikahan dengan pangeran Arga Yudha Kertajaya. Dan menjebak pangeran untuk tidur dengannya. Hingga menculik Ratih Jayengwati supaya tidak bisa mengganggu acara pernikahan mereka.
Setelah tiba di istana kerajaan Girinata, dia bahkan membuat masalah dengan para selir dan para putri lain. Dia bahkan melemparkan mainan dari putri bungsu selir agung Galuh ayu yang merupakan ibu kandung pangeran Arga Yudha Kertajaya. Dia membuat image yang sangat buruk bagi ibu mertua dan semua iparnya.
Nala menutupi wajahnya dengan selimut.
"Bagaimana caraku memperbaiki semua kekacauan yang di tinggalkan Sekar Nala?" gumamnya bingung.
***
Bersambung...
"Tuan putri, tuan putri!"
Sumi terlihat terburu-buru masuk ke kamar Nala di pagi hari, bahkan saat ayam jantan belum berkokok.
"Apa?" tanya Nala ketus.
Dia sungguh tidak nyaman tidur dengan bantal setinggi cita-citanya itu. Bantal keras dan tebal itu membuat lehernya sakit.
Melihat wajah Nala yang tidak senang. Sumi langsung gemetaran ketakutan. Dia bukan satu dua tahun tinggal bersama dengan tuan putrinya itu. Dia tahu, kalau amarah Sekar Nala bisa meledak-ledak kapan saja.
Sumi langsung bersimpuh, seperti bersujud malah di bawah tempat tidur Nala.
Mata Nala melotot, kenapa orang jaman dulu mudah sekali berlutut dan bersujud sih?
"Heh, Sumi bangun. Kamu ngapain dikit-dikit nyembah gitu? aku bukan medusa lah!"
Sumi segera mengangkat kepalanya dengan bingung. Tapi posisinya masih berlutut di depan Nala.
"Medusa itu apa tuan putri?" tanyanya penasaran.
"Hais, dijelaskan kamu juga tidak akan paham. Katakan! kenapa kamu terburu-buru seperti di kejar vampir pengisap darah"
Wajah Sumi kembali tercengang.
"Vampir penghisap darah?" tanyanya bingung lagi.
Sumi semakin tidak paham kenapa tuan putrinya berkata-kata aneh belakangan ini. Bukan hanya kata-katanya saja, sikapnya juga aneh.
Nala melambaikan tangannya beberapa kali. Semakin pusing juga dia menjelaskan.
"Lupakan! katakan! ada apa?" tanya Nala.
Dia sudah pusing semalaman memikirkan bagaimana caranya dia bertahan hidup di tempat ini. Belum lagi masalah bantalnya yang begitu tinggi. Ini pagi-pagi Sumi sudah mengagetkannya.
"Yang mulia Ratu Sekar Arum memanggil anda ke istana Kenanga, tuan putri!" jawab Sumi.
'Ratu Sekar Arum?' batin Nala.
Tapi tak lama kemudian, mata Nala kembali melebar. Dia ingat nama itu, itu adalah ratu yang merupakan bibi dari Sekar Nala. Dia masih bisa bertahan hidup setelah semua orang membencinya di istana ini juga karena sang ratu. Tapi, pada akhirnya dia tahu semuanya. Ratu yang merencanakan pernikahan itu, mengelabui Nala, membuat Nala menuruti semua yang dia katakan. Padahal Nala hanya poinnya, kalau tidak salah setelah Nala di bunuh Ratih Jayengwati, Pangeran Arga Yudha Kertajaya juga mati, karena racun yang sudah bertahun-tahun di berikan oleh Nala atas perintah ratu Sekar Arum.
"Hem, Ratu Sekar Arum. Kalau dulu Sekar Nala tidak terpedaya olehmu. Dia tidak akan berakhir mengenaskan" gumamnya.
Tapi, dia lupa. Di dekatnya ada Sumi yang sejak tadi kebingungan melihat Nala yang terus melihat ke arah langit-langit kamarnya itu. Bahkan bicara sendiri.
"Tuan putri, apa tuan putri yakin, hamba tidak perlu panggil Ki Tamba?" tanya Sumi.
Dia khawatir ada masalah dengan majikannya itu.
Nala melirik tidak senang ke arah Sumi.
"Dimana kamar mandinya? aku mau mandi!" kata Nala mendengus kesal.
Dan Sumi juga Welas pun pada akhirnya membawa Nala ke pemandian para putri.
"Hahhh" Rahang Nala nyaris jatuh.
Sumi dan Welas saling pandang.
"Tempat apa ini?" tanya Nala.
"Tempat pemandian para putri, tuan putri. Sendang cempaka" jawab Welas.
Nala mendengus kasar berkali-kali. Dia sudah seperti banteng yang kehabisan kesabaran. Hidungnya juga kembang kempis karena tak habis pikir, dia harus mandi di tempat terbuka seperti ini.
"Aku harus telanjangg di tempat terbuka seperti ini? kalau ada yang mengintip bagaimana?" tanya Nala.
"Tuan putri, ini adalah Sendang Cempaka. Tidak akan ada yang mengintip, penjaga berjaga sepanjang waktu di luar pagar" jelas Sumi.
'Duh, orang jaman dulu rasa percayanya kelewatan ya. Memangnya mereka tidak berpikir apa? para penjaga itu bisa saja khilaf kan?' batin Nala.
"Ini telesan tuan putri..."
"Apa?" tanya Nala bingung memegang sebuah kain jarik dengan warna begitu gelap.
Sumi dan Welas malah bingung. Tapi kemudian datang seorang putri cantik bersama dua pelayannya yang begitu acuh pada Nala. Dia menggunakan kain yang sama seperti yang ada di tangan Nala untuk membalut tubuhnya dan berendam di kolam itu, lalu dua pelayannya membantunya menyiramkan air tubuhnya dengan lembut dengan tangannya.
"Siapa dia?" tanya Nala.
Sumi dan Welas lagi-lagi saling pandang. Sepertinya ada masalah dengan ingatan majikannya itu.
"Tuan putri, itu putri Galuh Parwati. Dia adik kedua Gusti pangeran Arga Yudha Kertajaya" jelas Welas.
Nala langsung membuka mulutnya lebar.
"Ahhh, dia adik ipar ku?" tanya Nala antusias.
Nala pikir, dia harus bisa bersikap baik pada Galuh Parwati. Kalau tidak salah, wanita itu yang akan menikah dengan Jenderal Mahesa Wulung, orang yang bisa mengalahkan Mahapatih Rakai Sanggara, ayah Ratih Jayengwati.
'Aku harus dekati dia, aku bisa minta bantuan calon suaminya melindungiku. Suamiku bahkan tidak bisa diandalkan!' batinnya.
Dengan semangat, Nala mendekati Galuh Parwati, dia pikir dalam novel yang dia baca. Dia tidak pernah melakukan hal yang salah pada adik iparnya itu. Karena Galuh Parwati memang tidak suka bersosialisasi. Dia lebih banyak diam di istananya, dan belajar. Makanya ayah jenderal muda Mahesa Wulung menjodohkannya dengan putranya yang pejuang itu. Karena memang Galuh Parwati terkenal sangat baik dan tidak suka cari masalah seperti putri lain. Tidak suka pamer, atau menunjukkan kalau dia adalah seorang putri.
"Adik ipar!" panggil Nala sambil berteriak, dan berjalan ke arah Galuh Parwati.
Karena semangatnya, air di sendang itu sampai muncrat-muncrat mengenai wajah Galuh Parwati.
"Tuan putri, tidak apa-apa?" tanya salah satu pelayan Galuh Parwati yang langsung berada di depan Galuh Parwati untuk menjadi benteng menutupi air yang muncrat itu.
"Tuan putri, tunggu. Jangan seperti ini tuan putri!" Welas berusaha mengingatkan Sekar Nala, bahwa dia adalah seorang Putri, tidak boleh bersikap seperti itu.
"Adik ipar, hai!" kata Nala yang sudah sampai di depan Galuh Parwati.
Karena pelayan Galuh Parwati menutupinya, Nala pun menarik lengan pelayan itu agar menyingkir. Tidak tahu, kalau tangan pelayan itu sangat ringkih, dan lemah.
Byurrr
Nala membuka mulutnya lebar, ketika pelayan itu terjebur ke air.
"Lastri!" teriak Galuh Parwati.
"Tolong! Tolong! Pembunuhan!"
Mata Nala melebar, karena pelayan Galuh Parwati yang satu lagi bahan berteriak seperti itu dengan keras.
"Tolong!"
Bahkan Galuh Parwati juga berteriak.
"Ya ampun, kenapa kalian berteriak. Apa air setinggi lutut bisa membunuh orang?" tanya Nala yang segera menarik lengan pelayan Galuh Parwati itu untuk bangun.
Tapi baru membantunya bangun, seseorang menarik tangan Nala.
"Eh..."
Nala tertegun, pria yang menarik tangannya dan seolah melindunginya itu menatapnya dengan perasaan yang sulit dia jelaskan.
'Tampan sekali' puji Nala dalam hatinya.
"Tuan putri, anda tidak apa-apa?" tanya pria tampan itu.
"Jenderal Mahesa, kenapa anda bertanya pada tuan putri Sekar Nala, yang mau dicelakai itu tuan putri Galuh Parwati, tunangan anda" ucap salah seorang pelayan Galuh Parwati, yang tadi juga berteriak minta tolong.
Nala menganga lagi. Yang memeluknya ternyata Jenderal Mahesa.
'Mampuss, aku malah memeluk calon tunangannya. Sekarang bagaimana aku bisa berteman dan minta bantuannya?' batin Nala bingung.
***
Bersambung...
Merasa keselamatan hidupnya di masa depan terancam. Nala segera melepaskan dirinya dari Jenderal Mahesa.
"Maafkan aku, aku tidak sengaja..." ucapannya tertahan ketika melihat Galuh Parwati memandangnya dengan tidak senang.
'Aduh, dia melotot. Kayaknya salah paham' batin Nala.
Nala bahkan langsung mengambil jarak sejauh-jauhnya dari Jenderal Mahesa yang bahkan menatapnya dengan bingung, dan ada sedikit rasa sedih di mata pria tampan itu.
"Tuan putri, maafkan saya. Saya tidak sengaja. Jika tidak terjadi apa-apa, saya akan pergi!" kata jenderal Mahesa yang langsung berpamitan pada Sekar Nala dan langsung pergi.
Galuh Parwati jelas melihat itu, dan dia tampak tambah kesal saja dan semakin tidak senang.
'Dia bahkan tidak memandangku sama sekali. Dia bahkan berpamitan pada Kanjeng ayu Sekar Nala, ternyata ibu benar. Sekar Nala ini wanita yang licik!' batin Galuh Parwati sedih bercampur emosi.
"Lastri, kita pergi dari sini!" ucap Galuh Parwati kesal.
"Heh, tunggu! kamu salah paham, adik ipar..."
Nala ingin mengejar Galuh Parwati, tapi di tahan oleh Welas.
"Tuan putri, jangan seperti ini! Tuan putri tidak boleh berteriak-teriak begini di luar istana tuan putri. Itu melanggar aturan!" Welas mencoba memperingatkan majikannya.
Tapi Nala pikir, dia adalah tuan putri. Masa iya berteriak saja di hukum.
"Memangnya ada yang berani menghukumku?" tanya Nala.
"Selain yang mulia Prabu, tentu saja ada ratu dan selir agung juga pangeran Arga Yudha Kertajaya yang bisa menghukum tuan putri" jawab Welas.
Sumi yang mengikuti dari belakang mengangguk cepat saat Nala melihat ke arahnya.
"Apa hukumannya?" tanya Nala.
"Jika berteriak-teriak, itu sama melanggar etika. Tuan putri akan di cambuk 20 kali!"
"Hahhh.. emppt"
Nala segera menutup mulutnya yang tadi berteriak dengan kedua tangannya. Dia mengatupkan bibirnya dengan sangat rapat.
'Mengerikan! di cambuk 20 kali. Hais, pasti akan mengelupas semua kulitku. Ya ampun, menjadi putri benar-benar tidak mudah!' batinnya lagi.
Setelah acara mandi yang berantakan itu. Akhirnya Nala juga harus tetap pergi ke istana kenanga untuk bertemu dengan Ratu Sekar Arum.
Saat penjaga istana mempersilahkan Nala untuk masuk. Nala berbalik memanggil Sumi.
"Sumi, sini!" kata Nala sambil melambaikan tangannya pada Sumi.
"Iya tuan putri"
"Hei, bagaimana mengatakan salam saat bertemu dengan Ratu, contohkan juga aku harus berlutut atau tidak?" tanya Nala.
Dia benar-benar lupa bagian itu. Dia tidak terlalu memperhatikan bacaan salam dan perintilan lainnya.
Sementara Sumi yang mendengar tuan putri Sekar Nala bicara seperti itu bukannya mencontohkan, malah heran.
"Tuan putri, bagaimana mungkin anda tidak tahu cara memberi salam?" tanya Sumi bingung.
"Hais, katakan dan contohkan. Jangan banyak tanya!" kata Nala buru-buru.
Mendengar itu, Sumi yang memang sangat patuh, dan memang semua pelayan atau abdi dalem kerajaan itu memang selalu patuh pada majikannya. Mereka sudah disumpah, dan mereka lebih baik menyerahkan nyawanya daripada berkhianat. Orang jaman dulu sangat setia pada majikan. Karena memang taruhannya nyawa kalau berkhianat.
"Begini tuan putri..." Sumi segera berlutut lalu menyatukan kedua tangannya, setelah itu kedua tangan itu di letakkan sejajar dengan wajah, hingga ujung ibu jari menyentuh tengah antara kedua alis mata, "Sembah pangabekti Gusti Ratu" lanjutnya.
Nala langsung mengangguk paham.
"Oke, aku akan lakukan itu!" kata Nala berbalik.
"Tapi, tuan putri. Kalau tuan putri biasanya hanya melakukan itu sambil berdiri dan sedikit menunduk. Kalau kami para pelayan dan penjaga harus berlutut!" jelas Sumi lagi.
Nala kembali mengangguk paham. Dia tersenyum pada Sumi.
"Hah, untung kamu beritahu. Terimakasih ya" kata Nala yang langsung masuk ke ruangan pribadi dari ratu Sekar Arum.
Sumi sampai tertegun, mulutnya ternganga lebar. Mungkin burung gereja bisa masuk ke sana, karena memang cukup lebar.
"Sumi, sadar! sing eling" Welas menepuk bahu Sumi.
Plakkk
"Piye iki piye!" pekik Sumi kaget.
"Apa sing piye?" tanya Welas.
"Mbak welas, mengagetkan saja. Itu tadi aku salah dengar tidak ya?" tanya Sumi masih terheran-heran.
"Ada apa toh?" tanya Welas penasaran. Apa yang sebenarnya membuat Sumi kaget seperti itu.
"Tuan putri tadi berterimakasih padaku. Lima tahun aku bersama tuan putri. Belum pernah mendengar dia mengucapkan terimakasih pada siapapun. Perasaanku saja, atau aku seperti merasa tuan putri berbeda ya mbak Welas..."
"Husst, jangan bicara sembarangan Sumi. Ayo berdiri yang benar, tundukkan kepalamu, kalau ada orang yang berpangkat lewat. Bisa di hukum kita"
Sumi segera mengangguk paham. Dan dia pun berdiri lebih mepet ke arah dinding lalu menundukkan kepalanya.
Pelayan seperti Sumi dan Welas ini, kalau tidak di ajak bicara, atau di suruh mengangkat kepalanya, memang harus menunduk di luar istana majikan mereka.
Nala yang sudah sampai di ruangan pribadi Ratu. Dimana luasnya berkali-kali lipat dari ruangannya. Dan memang sangat megah, dengan banyak sekali barang berharga. Melihat seorang wanita yang tengah duduk dengan santai ala-ala ratu di film kolosal. Sikapnya anggun, tapi juga angkuh.
"Sembah pangabekti Gusti Ratu" sapa Nala.
Dia mengucapkan kata itu selembut mungkin.
"Kamu sudah datang? Sekar Nala, kemarilah!" kata Sekar Arum.
Ratu yang merupakan bibi Sekar Nala. Namun hubungan mereka sebenarnya tidak seperti yang terlihat di luar. Orang-orang menganggap Sekar Arum sangat menyayangi Sekar Nala. Karena itu dia tidak menghukum atas semua kekacauan yang di buat Sekar Nala. Padahal, Sekar Nala hanya salah satu pionnya untuk sampai pada kekuasaan.
Nala yang memang tidak mungkin cari masalah dengan Ratu kerajaan ini. Mendekat, seperti yang di perintahkan oleh Sekar Arum.
"Mirah, berikan hadiahku pada keponakan kesayanganku" kata Ratu Sekar Arum kemudian.
Salah satu wanita tua dengan kemben yang sama seperti yang di pakai oleh Sumi dan Welas. Hanya saja bawahan kainnya berbeda motif mendekati Nala dan memberikan sebuah cepuk. Sebuah wadah yang berbentuk bulat tabung, pendek dan berukir dengan sangat unik.
Nala segera menerima benda itu.
"Aku dengar kamu sudah tidur dengan pangeran Arga Yudha Kertajaya. Artinya dia sudah mulai tinggal di istanamu kan? maka jangan lupa untuk menaburkan apa yang ada di dalam wadah itu ke makanannya dan minumannya setiap malam. Mengerti Sekar Nala?"
'Wah, kejahatan ini sudah di mulai rupanya. Ini adalah racun yang akan membunuh pangeran Arga Yudha Kertajaya perlahan. Ya ampun, Ratu ini jahat sekali' batin Nala.
"Sekar Nala!" panggil sang ratu karena Nala terbengong sesaat.
"Maaf Gusti Ratu, iya aku paham" kata Nala berpura-pura.
Sekar Arum tersenyum.
"Bagus! pergilah! kamu tahu apa yang harus kamu katakan saat pangeran Arga Yudha Kertajaya bertanya padamu kenapa kemari kan?" tanya Sekar Arum lagi.
"Tahu Gusti Ratu, aku tahu" jawab Nala dengan datar.
Kalau tidak salah, memang seperti itu cara bicara Sekar Nala yang asli. Dia sedikit mengingatnya dari ingatan yang sempat hadir beberapa waktu yang lalu.
"Keluarlah"
Nala memberikan hormat lagi. Lalu keluar dari ruangan pribadi itu.
Nala melihat cepuk yang di berikan oleh Sekar Arum tadi.
"Heh, ingin aku meracuni suamiku, lalu menjadikan aku janda yang harus dipenjara dan akhirnya di bunuh Ratih Jayengwati, tidak mungkin lahyau!" gumamnya sambil membuang serbuk yang ada di dalam cepuk itu ke salah satu pot yang tanamannya sudah kering di dekat dia berdiri.
***
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!