Tidaria adalah kota besar yang sangat strategis karena terletak di jalur pelayaran internasional. Itulah kenapa kota ini sangat berkembang pesat dan modern.
Tidaria juga disebut kota paradise karena terkenal dengan keindahan alam, terutama pantai pantainya.
Hiera seorang gadis berusia sekitar dua puluh dua tahun tengah berdiri menatap ombak pantai yang sedang tenang.
Hiera sedang menikmati indahnya pantai di kota kelahirannya itu.
Entah kenapa sedari kecil dia sangat menyukai lautan, mungkin karena waktu kecil ibunya sering mengajaknya jalan jalan ke pantai. Hiera ingat, ibunya juga sangat menyukai lautan, jadi pantai adalah tempat bermainnya sedari kecil.
Samudera yang luas terbentang seolah menyimpan misteri di kedalamannya.
Hembusan angin laut yang cukup kencang memainkan rambut indah Hiera. Memandang laut lepas memberikan ketenangan tersendiri bagi Hiera.
Hiera menghela nafas panjang. Ini hari Minggu, keluarga Ayahnya sedang ada urusan bisnis katanya, jadi Hiera bebas keluar hari ini.
Bayangan ketika Hiera bersama ibunya melintas di benak Hiera. Dulu ketika ibunya masih hidup, mereka selalu menghabiskan waktu di pantai ini. Hiera kecil sangat bahagia memiliki orangtua yang sangat menyayanginya.
Namun kebahagian yang dia miliki terenggut setelah ibunya meninggal karena kecelakaan lalu lintas.
Sejak kematian ibunya, tiba tiba ayahnya membawa istri baru beserta seorang anak. sejak itu pula penderitaan dan siksaan selalu diterima Hiera.
Ayah yang dulu selalu penuh kasih sayang berubah drastis. Dia jadi begitu kejam selayaknya Hiera adalah orang lain baginya. Apalagi ibunya Hiera ternyata telah membuat surat wasiat, bahwa semua harta kekayaan milik ibunya telah diwariskan padanya. Dan kekayaan ibunya itu akan jatuh ke tangannya setelah ulangtahunnya yang ke dua puluh dua.
Itulah kenapa kini ayah dan ibu tirinya sering melakukan kekerasan padanya, kadang menyiksanya tanpa ampun. Mereka ingin agar Hiera menandatangani dokumen penyerahan harta kekayaannya pada Ayahnya.
Hiera menghela nafas berat. 'Ah sudahlah, jangan terlalu memikirkan beban hidup di sini, aku kan sedang refreshing. Ayo bahagia Hiera' batinnya.
Obsidian sebiru samudera itu kini asyik mengamati perahu perahu nelayan yang merapat ke pantai.
"Kenapa tangkapan kita akhir akhir ini semakin sedikit ya?" Keluh satu nelayan terdengar di indera pendengaran Hiera.
"Iya betul, ikan semakin langka aja di laut!" Satu nelayan lagi membenarkan.
"Aku perhatikan terumbu terumbu karang juga banyak yang mati, laut rupanya sedang sekarat!"
"Huss! Jangan ngomong ngawur kamu! Jika laut sekarat, kita mau menggantungkan hidup kemana?"
Para Nelayan itu masih terus mengoceh hingga hilang dari pandangan Hiera.
Hiera tertegun, kepikiran obrolan para nelayan itu. Kemudian dia memandang lautan yang menghampar biru di depannya. Wahai samudera, apakah kau sedang sakit?
Tanpa Hiera sadari di bibir pantai, geng Hanna sedang asyik bercengkrama. Hanna adalah saudara tirinya. Dia dan geng nya kerap kali menbulinya di kampus.
"Hei lihat itu kan si Cupu!" Bisik Lisa pada dua sohibnya. Mereka kebetulan sedang berswa foto di bibir pantai ketika kebetulan melihat Hiera yang sedang asyik duduk di sebuah bangku kayu di bawah pohon Ketapang.
"Siapa?" Tanya Alda.
"Siapa lagi, si Hiera lah!"
"Mana, mana?" Tanya Sharon sambil memicingkan matanya.
"Itu yang lagi duduk di bawah pohon Ketapang". Jawab Lisa.
"Tumben dia bisa main bebas? Jangan jangan dia kabur dari rumah!" Ucap Alda.
"Eh kita video call Hanna, laporin bahwa si Hiera ada di pantai yang sedang kita kunjungi." Sharon memberi ide.
"Oke tuh!" Jawab dua temannya serempak.
Sharon langsung melihat kontak di handphonenya. Menyentuh nama Hanna melakukan video call.
Video call mereka langsung terjawab. Layar handphone Sharon menampilkan wajah Hanna.
"Hei geng lagi pada dimana?" Tanya Hanna.
"Kita lagi ada di pantai paradise, kamu lagi dimana?" Tanya Lisa yang merebut handphone Sharon.
"Aku lagi jalan bareng si dia dong, so jangan gangguin Doong!" Ucap Hanna sambil melebarkan matanya.
"Cieee yang lagi jalan sama si ganteng, eeh tunggu jangan di tutup dulu, aku mau ngelaporin si cupu ada di sini!"
"Si cupu? Serius?" Tanya Hanna tak percaya.
Lisa memencet tombol pemindah kamera, kamera depan jadi pindah menjadi kamera belakang. Kamera dia arahkan pada Hiera yang masih asyik duduk termenung.
"Kurang ajar! Berani beraninya dia keluar rumah saat keluarga ku gak ada!" Geram Hanna.
"Enaknya diapain nih dia?" Tanya Alda.
"Telanjangi dia di tempat umum dan rekam, beri dia efek jera." Ucap Hanna dengan nada marah.
"Oke bos, laksanakan!" Jawab mereka serempak.
Kemudian mereka bertiga menghampiri Hiera
"Halo cupu!" Ucap mereka berbarengan.
Hiera terperanjat, tidak menyangka dia bakal bertemu geng empat di pantai ini.
Hiera hendak berlalu menjauhi mereka, tapi dua teman Hiera memegangi kedua tangannya.
"Mau apa kalian? Lepaskan!" Hiera berusaha berontak.
Namun cengkraman tangan Lisa dan Alda semakin kuat. Sementara Sharon segera menyalakan aplikasi video pada handphone nya.
Lisa berusaha melepaskan kancing kancing kemeja yang di pakai Hiera. Hiera panik, sekuat tenaga dia melawan. Kakinya menendang Lisa dan Alda membuat kedua gadis itu mengaduh.
Lisa dan Alda naik pitam. Lisa sekuat tenaga memegang dua lengan Hiera ke belakang, sementara Alda berusaha menarik kemeja Hiera.
"Brett!"
Kemeja Hiera sobek di bagian dada, membuat Hiera menjerit histeris, dia tak kuasa menerima penghinaan ini, air matanya telah mengalir.
"Lepaskan brengsek! Cuih?" Hiera meludahi muka Alda.
Air liur mengenai wajah Alda, membuat gadis itu meradang.
"Kurang ajar!" Alda menggeram dengan wajar mengelam.
Bukk! Bukk!
Ditonjok nya wajah Hiera berulang ulang hingga membuat gadis itu jatuh terkapar.
Sudut bibir Hiera pecah dan mengeluarkan darah. Kepalanya pusing dan berdenyut.
Hiera hanya bisa pasrah dan menangis ketika teman teman Hanna itu berusaha membuka pakaiannya sambil membuat videonya.
Orang orang yang lalu lalang hanya memperhatikan kejadian itu tanpa mau melerai. Malah ada yang asyik ikut mengambil videonya.
"Hei Hentikan!" Ucap seorang lelaki dengan suara lantang.
"Jangan ikut campur!" Hardik Lisa berang.
"Tentu aku harus ikut campur, karena aku punya hati nurani, gak seperti kalian semua!" Laki laki itu menghardik balik.
"Kalian mahasiswi universitas Tidaria kan? Ku pastikan kalian di DO dari universitas jika tidak melepaskan gadis itu!" Ancam pria itu.
Ketiga teman Hanna itu serempak menghentikan aksinya. Biar bagaimana pun mereka tak mau jika sampai dikeluarkan dari fakultas.
Mereka kemudian segera melepaskan Hiera, kemudian segera pergi dari tempat itu dengan hati masih dongkol.
Hiera mengusap wajahnya yang basah dan penuh dengan pasir pantai. Sebagian kemejanya telah sobek hingga memamerkan bagian dadanya.
Ingin dia menangis menjerit meratapi nasibnya, namun dia tidak mau memperlihatkan kelemahannya di tempat umum seperti ini.
Hiera berdiri, berusaha membenahi kemejanya yang telah koyak.
Laki laki itu membuka jaketnya kemudian memakaikannya pada Hiera.
"Terimakasih." Ucap Hiera nyaris tak terdengar.
"Tak masalah," ucap laki laki itu. "Hei, kau gadis yang waktu itu di koridor kampus ya? Kau ingat? Kita bertabrakan." Tanya laki laki itu.
SANG TERPILIH 2.
Hiera melempar pandangannya pada pria itu. Kemudian bibirnya tersenyum canggung sambil mengangguk. Ya tentu saja dia ingat, sosok yang berdiri di hadapannya kini adalah pria yang bertabrakan dengannya kemarin di Koridor kampus.
"Aku Hugo, siapa namamu?" Tanya pria itu sambil memperkenalkan diri dan mengulurkan tangannya.
Hiera mengulurkan tangannya ragu ragu. Dengan tidak sabar Hugo langsung menjabat hangat tangan gadis itu.
"Namaku Hiera." Ucapnya pelan.
"Wah nama yang cantik, Hiera. Hiera, Hugo, sepertinya nama kita punya chemistry ya" seloroh Hugo sambil tertawa renyah.
Hiera tersenyum kaku. Dia menarik tangannya dari genggaman laki laki itu.
"Saya permisi mau nyari toliet, jaketnya lain waktu saya kembalikan. Terimakasih". Hiera buru buru meninggalkan laki laki itu. Biar bagaimana pun dia harus menjaga kepercayaan Mark. Dia tidak mau kekasihnya nanti salah paham.
Sementara Pria bernama Hugo itu hanya mampu terpaku menatap kepergian Hiera.
"Sungguh gadis yang aneh". Gumamnya sambil menggelengkan kepala.
Sementara itu, Hiera membersihkan wajahnya yang penuh pasir di toilet. Wajahnya meringis menahan perih saat air menyentuh luka di sudut bibirnya yang lebam.
Rasa benci dan dendam memenuhi ruang hatinya, saat ia bercermin. Rasa kecewa akan hidupnya yang tidak beruntung juga ikut merayap ke dalam hatinya. Di tatapnya wajah pucat di dalam cermin. Wajahnya sama sekali tidak menggambarkan gairah hidup. Wajah yang penuh tekanan. Tubuh kurus miliknya semakin menggambarkan penderitaannya. Hiera benci dirinya yang lemah, namun dia tidak bisa apa apa.
Namun dia lebih benci pada orang orang yang jahat terhadapnya.
Dia benci saudara tirinya.
Dia benci ibu tirinya.
Bahkan dia benci pada ayah kandungnya sendiri yang seolah tak menganggapnya ada.
"Aku benci dunia ini!!!!!" Teriaknya tanpa sadar dengan suara melengking. Terlalu banyak beban dan luka di hatinya.
Setelah puas berteriak, Hiera mengusap air mata yang tiba tiba mengalir di pipinya. Kemudian dia keluar dari toilet.
Hari telah beranjak senja, hari ini Hiera enggan pulang ke rumah. Dia pasti akan mendapat kekerasan lagi di sana.
Hiera menghela nafas kasar. Apa sebaiknya hari ini dia menginap di rumah Mark ya?
Hiera mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Mencari nama kekasihnya itu dalam kontak kemudian menghubunginya.
Bunyi dering terhubung terdengar, namun panggilan tak terjawab. Hiera mengulanginya, namun hasilnya tetap sama.
Hiera berdecak kesal. 'Sedang kemana sih Mark?' batinnya.
Hiera jadi bimbang, apa dia memang harus pulang ke rumah ya? Tapi membayangkan apa yang akan terjadi padanya di rumah jika pulang hari ini, Hiera begidik ngeri.
"Sebaiknya aku nginap di tempat kontrakan Valia saja". Gumamnya. Kemudian kakinya melangkah menuju jalan raya dan menyetop sebuah angkutan umum.
***
Hari telah beranjak malam ketika Hiera sampai di kontrakan temannya.
"Tok Tok Tok!" Bunyi pintu diketuk tangan Hiera. Tak lama kemudian pintu terbuka dan sebuah wajah menyembul.
"Heh Hiera tumben kamu ke sini malam malam?" Tanya Valia dengan nada heran.
"Aku butuh tempat tidur hari ini." Jawab Hiera sambil menyeruak masuk ke ruangan petak itu. Valia mengekor di belakangnya dengan wajah penuh tanya.
Ruangan berukuran lima kali lima itu begitu berantakan dan sangat sempit. Baju baju kotor teronggok di lantai, sampah berserakan dan bertumpuk dengan piring kotor di sudut ruangan. Sungguh jorok gadis bernama Valia ini.
Hiera menghempaskan tubuhnya pada kasur lantai yang sudah tergelar. Di samping kasur itu terdapat lemari plastik yang sudah kusam.
"Astaga Hiera, wajahmu kenapa lagi?" Pekik Valia ketika melihat lebam di sudut bibir Hiera
"Biasa, geng si Hanna!" Jawab Hiera datar.
Valia menghela nafas panjang. Sedikit banyak dia tahu apa yang di alami sahabatnya ini.
"Kamu sudah makan?" Tanya Valia.
Hiera menggelengkan kepala, perutnya memang keroncongan.
"Sebentar aku buatkan mie instan ya". Tawar Valia. Hiera hanya menganggukan kepala.
Valia segera pergi ke dapur, menyalakan kompor, mengisi panci kecil dengan air, kemudian menjerangnya. Memasukan mie instan ke dalamnya setelah air itu mendidih.
Selesai memasak, dia menyuguhkan mie itu pada Hiera beserta segelas air.
"Makanlah, aku mau ke tetangga sebentar" ucap Valia, kemudian dia keluar dari ruang kontrakannya.
Hiera memakan mie instan itu dengan lahap, walau sesekali harus meringis karena sudut bibirnya terasa sakit saat dia membuka mulut.
Mie instan tandas tak tersisa, Hiera pun minum dengan puas. Dia meletakkan mangkuk dan gelas kotor di pojok ruangan itu.
Valia datang membawa satu plastik kecil es batu, kemudian dia mengambil sebuah sapu tangan dan menyerahkannya pada Hiera.
"Kau kompres dulu lah bibir bengkakmu itu".
"Terimakasih Val". Lirih Hiera berucap sambil menempelkan es batu pada sudut bibirnya yang bengkak.
Valia memandang trenyuh pada Hiera.
"Hiera, kenapa sih kamu gak kabur aja dari tempat itu? Kamu selalu disiksa di sana. Ibu tiri dan saudara tirimu yang kejam,ayah kandung yang tidak berperasaan, apa lagi sih yang kau pertahankan?" Ucap Valia
"Sudahlah Val, aku sedang tidak ingin membahas masalah ini, aku lelah." Ucap Hiera sambil meletakkan es batu dan sapu tangan bekas kompres pada lantai, kemudian dia memejamkan matanya.
Valia berdecak kesal,melempar es batu dan sapu tangan ke sembarang tempat.
"Sebagai sahabat, aku hanya tidak ingin kamu terus tersiksa. Aku takut lama lama kamu menemukan ajal di tangan mereka. Pergilah dari rumah itu selagi sempat Hiera, bukankah Mark sudah memintamu untuk tinggal bersamanya? Hei Hiera! Hiera!" Valia menggoyang goyangkan tubuh sahabatnya itu.
"Astaga! Malah molor dia, jadi aku ngomong dari tadi gak didengerin ya!" Gerutu Valia kesal. Di tepuknya kaki Hiera yang membuat pemilik kaki malah menggelungkan badannya pada guling dan semakin nyenyak.
Hiera berdecak kesal. Tapi sesaat kemudian dia memandang trenyuh wajah sahabatnya itu.
Seulas senyum terlukis di wajah Valia, kemudian dia menyelimuti tubuh Hiera dengan penuh perhatian. Dia pun segera merebahkan diri di samping sahabatnya itu, kemudian segera terlelap.
Hiera pamit berangkat kuliah pada Valia yang terlihat masih ber malas-malasan di tempat tidur. Valia memang sudah tidak kuliah, Hari harinya kini dia jalani dengan bekerja di sebuah restauran cepat saji.
Hiera meminjam sebuah pakaian pada Valia, kemeja yang dia pakai kemarin sudah tidak berbentuk. Kini dia memakai gaun terusan semata kaki dengan detail bunga bunga. Sebuah pakaian yang sudah ketinggalan jaman itu tampak kedodoran di tubuh Kaiyo. Bukan, bukan tubuh Valia yang gemuk, tapi memang tubuh Hiera yang terlalu kurus.
Hiera melangkah memasuki fakultas dengan hati was-was. Dia takut sekali ketemu Hanna dan gengnya. Apalagi setelah kejadian di pantai kemarin, dan juga karena dia tidak pulang ke rumah semalam.
Hiera telah menyiapkan mentalnya untuk menghadapi geng empat itu.
Sesampainya di kelas Sastra, dia menghempaskan tubuhnya pada kursi belajarnya. Mata sebiru samudera itu menatap sekeliling kelas, tidak ada Hanna dan ketiga temannya di sana. kemana mereka? Namun Hiera dapat bernafas lega.
Jam pelajaran pun dimulai. Hari ini Dosen membahas pelajaran mitologi.
Dosen sedang menerangkan sebuah mitologi tentang Ocean heart yang hilang ratusan tahun yang lalu, yang konon telah dicuri seseorang demi kepentingan pribadi. Konon ocean heart bisa membuat manusia jadi immortal.
Hiera sebenarnya malas-malasan mendengarkan nya, dia tak percaya mitos, bagi dia itu hanya tahayul.
Semua mata kuliah hari ini telah selesai, buru buru Hiera membereskan buku bukunya. Dia harus segera pulang.
Hiera yakin keluarganya sedang tidak ada di rumah, karena tidak melihat Hanna masuk kuliah hari ini. Dia harus sampai ke rumah sebelum mereka.
Hiera berjalan terburu buru sepanjang koridor kampus. "BRUKK!" tubuhnya bertabrakan dengan seorang laki laki.
"Hei, hati hati,"
"Maaf!" Potong Hiera.
"Hiera," laki laki itu menyebut namanya.
"Eh, emhh Hugo," ucap Hiera setengah mengingat. Dan dia juga ingat telah dipinjami jaket waktu di pantai Tidaria.
"Astaga, lagi lagi kita bertabrakan ya, apa mungkin kita ini jodoh?" Hugo mengajak berseloroh. Namun wajah Hiera kaku bagai kayu.
"Maaf, aku terburu buru, jaketmu belum bisa aku kembalikan karena belum di cuci, nanti setelah bersih baru aku kembalikan ya. Sekarang aku permisi dulu." Hiera membungkukkan badannya,kemudian buru buru pergi.
"Hei, hei..tunggu!" Panggil Hugo. Namun gadis itu tanpa menoleh lagi telah jauh berlalu.
"Ckckck, sungguh gadis yang aneh". Gumam Hugo.
***
Hiera melangkahkan kakinya ke halaman rumah yang sangat megah di kawasan elite. Rumah ini adalah rumah peninggalan orang tuanya. Namun sayangnya Hiera tidak bisa menikmatinya. Sejak ibunya meninggal, ayahnya telah "membuangnya" ke gudang belakang rumah. Gudang yang letaknya terpisah dari rumah induk.
Gudang kumuh yang tidak layak dijadikan tempat tidur. Barang barang bekas teronggok di satu bagian pojok ruangan itu. Hiera menutupinya dengan kain hitam supaya terlihat sedikit rapi.
Tak ada barang mewah milik Hiera di ruangan itu. Hanya ada satu lemari tua tak berpintu tempat Hiera menyimpan semua barang barangnya dan satu buah kasur busa tipis yang sudah usang.
Ironis memang, sebagai pewaris harta kekayaan keluarga Starlight, dia harus mengalami hal seperti ini, bahkan kamar para pembantu di rumah ini lebih mewah daripada kamar yang ditempatinya. Rupanya ayahnya menempatkan derajatnya lebih rendah dari para pembantu di rumah ini.
Hiera mengambil handuk yang tergantung di paku kemudian pergi ke kamar mandi yang terletak bersebelahan dengan gudang itu.
Hiera menyiram tubuh lelahnya. Air yang dingin dan segar mengguyur tubuhnya. Dia jadi sedikit lebih rileks.
Hiera bercermin pada cermin kecil yang ia pasang di kamar mandi itu. memar membiru di dekat sudut bibirnya sudah sedikit memudar. Hiera mendesah.
Dia kembali melangkah ke dalam kamar gudang, kemudian menggelarkan kasur busa yang telah usang itu, mengambil bantal kemudian merebahkan diri. Lelah lahir batin membuat dirinya tertidur lelap.
Hiera terjaga dari tidurnya ketika dirasakannya perutnya perih minta di isi.
Hiera melihat jam dinding usang yang tertempel di dinding kamarnya, baru pukul sebelas malam.
Hiera beranjak ke rumah induk, masuk lewat pintu belakang menuju dapur.
Melihat meja makan, ada sisa sisa makanan kemarin.
Baru saja Hiera hendak makan, terdengar suara suara d*****n dan erangan.
Hiera mengerutkan keningnya, penasaran, dia beranjak dari duduknya dan pergi ke tengah rumah.
Suara itu semakin jelas dan ternyata sumbernya berasal dari sebuah kamar.
Rasa ingin tahu Hiera semakin besar, perlahan dia mendekati pintu kamar Hanna. Ternyata pintu kamar Hanna sedikit terbuka. Hiera mengintip dari balik pintu, dan matanya yang biru itu terbelalak lebar.
Di dalam kamar, sepasang manusia sedang bergumul tanpa busana sehelai pun. Erangan demi erangan terdengar saling bersahutan, saling memacu b*r*hi. Dan yang lebih membuat kaget Hiera adalah ketika melihat wajah laki laki yang sedang bergumul dengan Hanna.
"Mark..!" Pekiknya tertahan.
Dada Hiera seperti direnggut dari tempatnya kemudian diremas begitu kuat, rasa sakitnya jangan ditanya. Hatinya telah tercabik tak berbentuk melihat lelaki yang sangat ia cintai dan ia percayai sedang meniduri adik tirinya sendiri. Air matanya pun meleleh tanpa bisa ditahan.
Tanpa Sadar tangan Hiera mendorong pintu itu hingga terbuka lebar, matanya yang telah basah oleh air mata menatap nanar dua insan yang sedang memadu cinta itu.
Anehnya baik Hanna atau Mark tidak kaget melihat kehadiran Hiera. Mereka tak menghentikan perbuatan bejat mereka.
Hanna malah terlihat semakin bergairah percintaannya dilihat Hiera. Hanna melihat ke arah Hiera dengan senyum mengejek. Dia semakin liar menggoyangkan pinggulnya di atas tubuh Mark dengan desahan dan erangan yang semakin terdengar memuakkan di telinga Hiera
Hiera memejamkan matanya, menutup kedua telinganya. Dia harap ini hanyalah mimpi buruk dan dia akan segera terbangun.
Namun desahan penuh kenikmatan itu malah kian panas dan semakin menjadi diakhiri lenguhan panjang penuh kenikmatan sepasang manusia bejat itu.
Hiera merasa mual dan jijik. Wajahnya telah bersimbah air mata.
Hanna keluar dari kamar diikuti Mark, wajah dan rambut mereka terlihat semrawut. Hanna membenahi piyama tidurnya. Sementara mark hanya mengunakan celana boxer dan kaos oblong.
Mata Hiera menatap Nyalang pada Mark.
"Mark! Kenapa? Kenapa kau lakukan itu! Kenapa tega mengkhianatiku?!" Teriak Hiera.
Hanna tertawa terbahak, dia melingkarkan kedua tangannya ke leher Mark, kemudian mencium pipi laki laki itu. Mark hanya memberikan smirk nya.
"Jelaskan padanya sayang? Oh atau biar aku yang menjelaskannya." Ucap Hanna sambil mencium bibir Mark.
"Hiera, Hiera, betapa naifnya dirimu. Kau pikir cowok sekeren dan setampan mark bisa benar benar mencintai gadis bodoh sepertimu? Kau ngaca lah dulu Hiera." Ejek Hanna.
Tatapan mata Hiera penuh amarah, apakah dia telah dipermainkan. Mark yang selalu terlihat perhatian dan sayang padanya, di depan Hanna terlihat tak lebih dari seekor anjing penjilat.
"Baiklah aku jelaskan, Mark adalah kekasihku, aku yang menyuruhnya untuk mendekatimu, dan hahaha kau dengan mudah terjerat dalam permainan ini. Aku menyuruh Mark merayu mu agar kau mau menyerahkan harta kekayaanmu. Namun ternyata, kau sungguh teguh pendirian, Sekarang aku gak mau banyak bicara lagi, cepat tanda tangani dokumen penyerahan harta ini!" Ucap Hanna sambil melemparkan lembaran dokumen pada Hiera.
***
Mata Hiera memandang penuh benci pada Hanna, ingin rasanya dia membunuh gadis tak punya hati ini.
"Tidaaaaak! Aku tidak akan pernah menyerahkan kekayaan keluargaku padamu, cuih!" Jerit Hiera tiba tiba.
"kalau kau tidak mau menyerahkan hartamu pada kami, maka kau harus pergi dari Sini!" Margareth, ibu tiri Hiera tiba tiba datang dan langsung menendang Hiera, membuat tubuh gadis itu jatuh terjerembab.
Margareth kembali menghampiri Hiera. Dia menjambak rambut Hiera hingga membuat gadis itu meringis kesakitan.
Margareth semakin kalap menyiksa Hiera ketika melihat wajahnya. Dia benci wajah itu, wajah yang mirip dengan Marina Starlight, wanita yang selalu lebih unggul dalam segala hal dari dirinya, hingga menumbuhkan rasa iri dan dengki di hatinya. Hiera memang mirip ibunya.
Margareth menampar wajah Hiera membabi buta, tak puas hanya dengan itu, Margareth juga meludahi wajah gadis malang itu.
Hiera menjerit, merintih menahan Sakit.
"Cepat tanda tangani dokumen ini, atau kau angkat kaki dari rumah ini!" Ancam Margareth.
"Tidaaaaak! Aku tidak akan menyerahkan kekayaan ibuku pada kalian! Ini milikku, kalianlah yang harus keluar dari rumah ini!" Jerit Hiera histeris. Dia sudah lelah mengalah dan diam, malam ini dia bertekad untuk melawan.
"Oh rupanya kau mau mati, baiklah.." Margareth memberi isyarat pada dua pembantunya agar memegangi tangan Hiera.
Hiera memberontak berusaha melepaskan diri. Namun usahanya sia sia, para pembantu keparat itu begitu kuat mencengkram nya.
Siksa dia sampai dia mau menanda tangani dokumen ini, Jack!" Margareth menyuruh suaminya yang adalah ayah kandung Hiera.
Jack menyeringai, dia membuka gesper yang dia pakai, kemudian mulai mencambuk tubuh Hiera dengan gesper itu.
Bagian kepala gesper besi itu menyentuh tubuh Hiera dengan keras, membuat gadis itu menjerit kesakitan.
Jack mencambuk tubuh Hiera membabi buta, erangan, jeritan dan tangisan kesakitan Hiera bagai nyanyian merdu di telinga Jack.
Tubuh Hiera bergetar, menahan rasa sakit yang menyiksa tubuhnya itu. Kulit tubuhnya telah penuh bekas cambukan, biru lebam dan darah. Bahkan darah dari luka cambukan telah merembes membasahi pakaiannya.
"Mama, aku tak kuat lagi". rintih Hiera nyaris tak terdengar. Sungguh dia ingin agar Tuhan segera saja mencabut nyawanya detik itu juga.
Seringai menghiasi wajah Margareth dan Hanna, mereka sangat puas melihat Hiera disiksa sedemikian rupa oleh ayahnya. Sementara Mark hanya memandang ngeri melihat kekejaman mereka.
"Dasar gadis bodoh keras kepala, kenapa tidak menyerah saja dan tanda tangani dokumen ini!" Seru Margareth jengkel melihat Hiera yang belum juga menyerah.
"Tidak akan, aku tidak akan pernah menyerahkan harta ibuku pada keluarga ular seperti kalian," Raung Hiera. "Cuih!" Hiera meludahi Wajah Margareth.
Margareth merasa sangat jijik ketika ludah itu memercik ke wajahnya, dia jadi sangat kalap hingga wajahnya terlihat kelam.
Sesaat kemudian Margareth menjejali mulut Hiera dengan sebuah cairan. Lidah Hiera merasakan pahit dan panas yang menyengat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!