NovelToon NovelToon

Tuhan Kita Tak Merestui

Pertemuan yang biasa aja.

Pagi yang normal bagi seorang pemuda biasa yang tak pernah melupakan waktunya untuk sekedar bergerak, meregangkan setiap ototnya. Selain dengan tujuan untuk menjaga kebugarannya, bisa dibilang ia sangat menjaga bentuk tubuhnya serta selalu peduli dengan kesehatannya sendiri.

'Tubuhku adalah tanggung jawabku!' Begitulah semboyan hidup sehatnya.

Berlari sejauh satu atau dua kilometer bukan hal yang sulit baginya karena ia menikmatinya sebagai rutinitas yang menyenangkan seraya menikmati berbagai keindahan yang akan ditemuinya disetiap pagi. Entah karena sinar matahari yang begitu menghangatkan, atau penampakan sawah-sawah pertanian beserta embunnya, atau sesekali akan bertemu dengan makhluk cantik dengan hobi yang sama. Hm, semua dengan tujuan yang sama, katakan saja dengan istilah cuci mata.

“Pagi Nak Yohan, masih sendirian aja joging paginya?” sapa pasangan manula yang hampir setiap pagi bertemu Yohan di tikungan jalan yang sama, tak jauh dari kediaman pasutri itu.

“Pagi Kakek … Nenek … masih rukun aja berdua?”

“Hahaha … Nak Yohan ini bisa aja kalau ngeluwak ….”

“Lah sama itu Kakek juga suka typo kalau bicara ….”

“Hahaha … aduh pagi yang mendung pun, kalau joging ketemu Nak Yohan bisa terasa hangat ya ….”

“Haha … jangan berlebihan memuji Nek, nanti saya terbang loh,” Yohan semakin berkelakar, “Ah, tapi saya buru-buru, jadi saya duluan ya Nek … Kek ….”

“Oke, baiklah … tumben weekend buru-buru mau kerja?”

“Bukan kerja Nek, mau keluar kota, ada janji sama beberapa teman.”

“Bagus, nanti bawa salah satu ya!”

“Buat apa Kek, kawanku laki-laki semua, rata-rata mereka semua merepotkan!” sahut Yohan dengan ekspresi geli menyipitkan kedua matanya.

“Oh? Hahaha ….” Tawa kompak pasutri manula itu sedikit menonjolkan ekspresi mengejek.

Segelas milkshake rendah lemak, tinggi protein dan semangkuk bubur ayam langganan yang ia beli sekalian joging tadi, menjadi penutup kegiatan yang telah membuatnya menghasilkan banyak keringat.

Dengan wajah puas, senyum merekah, menatap langit pagi dari balkon rumahnya, terlihat jelas ia merasa cukup dengan asupan paginya dilanjutkan dengan pembersihan total seluruh badannya dengan guyuran air dingin yang akan menambah kesegaran, dengan begitu artinya ia telah siap untuk memulai harinya meski terkadang membosankan.

“Pagi bujang, berangkat jam berapa? Ko mau ke rumah orang tuamu dulu atau langsung ke TKP?” seru seseorang dari seberang setelah Yohan menggulir tombol jawab dari ponselnya.

“Hmm langsung ke TKP, seingatku aku sudah mengirimkan pesan semalam!” balasnya seraya mendandani dirinya dengan outfit sederhana.

Kaos basic berwarna dasar putih ia gulung beberapa lipatan dilengannya, serta celana panjang jeans tanpa aksen khusus cukup membuatnya nyaman dan tampil rapih.

“Ya … cuma memastikan. Oke kalau gitu nanti ketemu di bandara saja, jam berapa kira-kira, kalau gue nggak bisa jemput nanti aku suruh orang ya!”

“Hmm, okey. Jam sembilan pagi udah boarding, kemungkinan jam sepuluh lebih sampai di sana.”

“Okay siap!”

Niko, salah satu kawan Yohan yang usianya beberapa tahun lebih senior, memastikan perjalanan Yohan akan segera terlaksana sesuai rencana sebelumnya.

.

.

.

Sementara di sisi kota lain, Seorang wanita tengah sibuk dengan beberapa barang yang harus ia packing untuk segera dikirim melalui kurir.

Di sebuah ruangan yang tak begitu luas, ia tampak menikmati pekerjaannya, binar cerah dan senyum yang terus terkembang di wajahnya menandakan bahwa ia begitu menikmati kesibukannya itu.

“Sil, kok kamu masih sibuk di sini? Bukannya kemarin Om memintamu mengisi acara dimana gitu?”

“Aku sudah siap kok Tante, tinggal berangkat aja, acaranya masih nanti jam sebelasan kok.”

“Oh, begitu … wah, lumayan banyak paketmu, pesanan luar kota semua?”

“Alhamdulilah, Tante. Ada beberapa yang deket sini kok, tapi kan membeli pakai aplikasi baru trend sekarang, aku rasa karena itu, Tant!”

“Hm … bener juga, mungkin juga karena ada aplikasi yang menawarkan beli dulu bayar nanti, itu bisa jadi daya tarik yang menguntungkan, apalagi bisa dicicil,”

“Hahaha … bener itu Tante!”

“Ya kan gitu, orang-orang yang konsumtif akan mudah tergiur, tapi kalau lupa kontrol, tau-tau tagihan meledak!”

“Hahaha … gak apa-apa Tante, asal belinya ke kita, kan kita yang untung. Hehehe ….”

“Hahaha …. bener banget kalau itu, setuju aku. Hahaha ….” Terdengar sangat seru obrolan di ruang tengah itu. “Ya udah, Tante mau ke pabrik dulu, jangan lupa sarapan kalau mau berangkat.”

“Ya, Tante.”

“Eh, besok lagi kamu yang masak sayur ya, sayur asem bikinan kamu selalu seger dan nagih. Kemarin kamu bikin lodeh juga mantep banget, sampe Tante bawa sebagaian ke pabrik buat bekel, nanti Tante jatah masak yang lainnya aja, oke?”

“Hehehe … apa iya sih seenak itu Tant?” ucap Silla dengan pipi merona karena pujian sang Tante.

“Iya, tuh lihat aja sepupumu aja sampai nambah. Oke? Setuju?”

“Iya deh Tant, gampang kalau cuma itu.”

“Ya udah, Tante jadi pergi ya. Nanti hati-hati kalau berangkat, semoga ini jadi jalan pembuka bagimu, sesuai cita-cita besarmu.”

Silla melanjutkan pekerjaannya, setelah sang Tante berangkat untuk kegitannya sendiri Gadis manis yang memilih tak melanjutkan pendidikannya ini, telah memulai usaha toko onlinenya sejak sang paman pun membuka usaha konveksi aneka kaos oblong dengan berbagai variasi ukuran, bahan dan motifnya.

Mencintai produk dalam negri sedang digalakkan oleh pemerintah akhir-akhir ini, hal itu berpengaruh besar bagi para pengusaha kecil menengah untuk mengembangkan produksi mereka. Ditambah dengan munculnya berbagai platform belanja online dengan berbagai keunggulan masing-masing semakin mempermudah pemasaran produk-produk lokal yang kualitasnya tak kalah baik dengan brand-brand terkenal.

Hal itulah juga yang dimanfaatkan Silla, selain untuk mengisi waktu-waktu luangnya, disela kegiatannya yang lain, ia bisa menghasilkan sedikit keuntungan dari kerjasama dengan sang paman.

Terdengar nada lagu dari salah satu grup k-pop dari ponsel Silla, yang artinya ada panggilan masuk.

“Halo, Assalamualaikum …!” jawabnya.

“Walaikumsalam Sil. Kamu berangkat sendiri pakai taksi ya, Om ada tamu soalnya.”

“Oke, Om nggak apa-apa, masih keburu kok waktunya.”

“Sip, ya udah ati-ati ya.”

“Iya Om.”

Selesai dengan panggilan telepon, Silla melirik jam tangannya, “Oh! Sudah hampir jam sepuluh, aku berangkat sekarang saja, daripada nanti buru-buru,’ monolognya lalu membereskan sisa pekerjaannya.

Silla berdandan seperlunya, make up yang tak pernah tebal, dan pakaian gamis serta jilbab kekinian yang selalu simpel dengan pilihan warna kalem selalu jadi pilihan outfitnya. Tampak sederhana namun selalu memancarkan kecantikan pribadinya.

Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, Silla sampai di tempat tujuannya.

Sebuah gedung olahraga disulap menjadi tempat pesta dengan panggung kecil di tengah-tengahnya, dan sebuah mimbar kecil menjadi pemanis.

Silla berjalan perlahan memasuki gedung itu setelah menandatangani buku tamu, lalu di sembarang kursi.

“Sudah hampir jam sebelas, tapi baru sedikit yang datang,” gumamnya seraya mengedarkan pandangan ke seisi gedung yang masih terlihat lengang.

Perasaan was-was menghampiri, meski ini bukan kali pertama ia harus tampil mengisi sebuah acara, namun rasa asing sedikit membuatnya tak nyaman. Beberapa kali ia tampak menghela napas, memandang ke sekeliling. ‘Yang punya acara juga kok nggak kelihatan, cuma petugas buku tamu yang siaga.’ batinnya sedikit ada rasa kesal.

Silla datang memenuhi permintaan sang paman, menggantikan kolega sang paman yang kebetulan sedang tak bisa hadir sebagai pengisi acara. Itulah sebabnya perasaan kikuk menghampiri Silla.

Beberapa saat kemudian, sebuah pesan singkat masuk di ponselnya, dengan santai Silla membukanya,

“Ustadzah, nanti kalau sampai langsung menuju ke tenda di timur panggung saja ya, oh, maaf saya humas EO acara ulang tahun bos konveksi Zorra.”

Silla terkekeh setelah membaca pesan itu, “Hihihi … ustadzah katanya, apa aku pantas disebut begitu!” serunya pelan disertai senyum dan napas yang ringan menandakan kelegaan dari rasa khawatir yang sebelumnya mendominasi wajahnya.

Dengan langkah ringan, wajah yang kembali berseri, dan rasa percaya diri yang perlahan kembali, Silla bangkit menuju tempat yang diminta dalam pesan singkat. Namun Silla pun memiliki kelemahan, ia seringkali bingung dan salah mengambil arah.

“Loh? Kok toilet? Dimana tendanya?” kedua dahinya bertaut, lalu celingukan ke sekitar, mencari petunjuk lain yang mungkin bisa membantunya menemukan tempat yang tepat.

Tepat di saat itu, dari toilet pria, muncul dua pria sedang mengobrol akrab. Tanpa banyak berpikir, Silla menghampiri mereka, dengan polos memberanikan diri bertanya.

“Eh, Mas, mau tanya, tenda di sebelah timur gedung itu di sebelah mana? Bukan di sini ya?” tanyanya.

Dua pria itu pun saling berpandangan, salah satunya hanya melirik sekilas pada Silla, itupun dengan mata dingin yang menimbulkan rasa tak nyaman bagi Silla dan membuatnya buru-buru menundukkan kepala.

“Oh, ikuti saya aja Mbak, saya juga akan ke sana!” Beruntung pria satunya dengan ramah menjawab Silla.

Tak ada percakapan lanjutan, dua pria itu tampak asyik dengan obrolan mereka sendiri, sedangkan Silla mengekor di belakang mereka hingga ke tempat yang dimaksud.

‘Tinggi-tinggi amat mereka ya Allah! Tiang listrik berjalan kataku ini mah!’ batin Silla seraya memperhatikan punggung dua pria itu.

“Oh! Mari ustadzah, silahkan duduk dulu disini!” sambut Sania, sang humas EO saat melihat Silla mendekat.

Sontak si pria ramah itu menoleh ke arah Silla. “Ah, maaf-maaf, jadi anda tamu Ibu saya? Duh, maaf banget ya, anda masih terlalu belia, saya pikir anda bukan ustadzah itu. Maaf banget, ustadzah!”

Dengan sangat malu si pria ramah menundukkan badan beberapa kali di depan Silla membuat Silla justru semakin kikuk.

“Ah, jangan panggil saya ustadzah, saya benar-benar merasa belum pantas disebut seperti itu, saya masih dalam taraf belajar, beneran Mas!”

“Ah, pokoknya saya minta maaf, silahkan duduk dulu, saya panggilkan Mamah, acara juga sebentar lagi mau dimulai.”

“Santai aja Mas, asli … saya bukan ustadzah, cukup panggil saja saya Silla.”

Perkenalan yang cukup canggung, Niko sebagai tuan rumah tak mengenali Silla yang diundang khusus untuk mengisi acara ulang tahun ibunya. Yah, meskipun undangan sebenarnya bukan untuk Silla. Namun kecanggungan itu melumer berkat keramahan Silla. Hingga acara pun dimulai, semua orang berkumpul di dalam gedung.

Di salah satu kursi undangan, Yohan duduk berjajar dengan beberapa temannya seraya mengobrol ringan.

“Bro, ustadzahnya masih unyu-unyu!” seru salah satu teman Yohan.

“Dasar lu!” sahut Yohan tanpa melihat ke arah sosok yang sedang mereka bicarakan, yang berdiri di atas mimbar kecil, tengah memberikan tausiah dan permainan seru untuk anak-anak panti yang tampaknya mampu menghidupkan suasana, karena kebetulan saat itu tamu undangan adalah ibu-ibu arisan teman ibundanya Niko, serta anak-anak dari salah satu panti asuhan di kota itu.

“Dah! Kamu nggak usah ngelirik juga, beda server kalau sama kamu!” ledek Pitra, kawan Yohan yang kala itu juga menjadi salah satu tamu undangan.

“Hmm!” sahut singkat Yohan bahkan benar-benar tak ada keinginan untuk sekedar menatap sang ustadzah.

Bukan karena alasan khusus, namun Yohan beberapa kali tampak sibuk dengan ponselnya. Namun meskipun mata tak menatap, tapi telinganya yang tajam, mendengarkan.

“Jangan ribut, Tante mendengar perbincangan kalian, jadi siapa yang bakal dapetin ustadzah cantik itu diantara Niko, Pitra, atau Alex? Yang lainnya nggak usah coba-coba!”

...****************...

To be continued....

🥴up kalem ya

Masih Biasa Aja

“Alex aja Tante! Dia lebih pas kalau dapet ustadzah, biar tobat main perempuan mulu!” seru Pitra.

“Ssst! Jangan keras-keras, nanti ustadzahnya denger, malu tau!”

“Hilih pakai malu segala, biasanya kamu yang bikin malu, Lex!”

“Diem, Pit!”

Tak ada yang spesial dengan pertemuan hari itu, semua berjalan wajar dan acara pun selesai tepat waktu seperti perkiraan mereka.

“Terimaksih ya … kalian semua menyempatkan datang, terutama kamu Yohan, sampai dibela-belain ambil cuti, padahal kamu di luar kota, Tante jadi terharu!”

“Ah, santai aja, Tante … sekalian mau jenguk rumah juga, udah lama nggak pulang. Oh ya, Selamat ulang tahun Tante, semakin cantik, semakin lengket sama Om, Hehehe ….”

“Hahaha … sama-sama Yohan, itu Om kamu malah sibuk sama pegawainya di pabrik, jadi langsung cabut.”

“Nggak apa-apa Tante, tadi sudah ngobrol banyak kok.”

“Mah, kita-kita duluan ya, mau nongkrong dulu mumpung ngumpul!” sela Niko, putra tunggal keluarga Erwinsyah.

“Oke, hati-hati … bersenang-senanglah kalian!”

“Terimakasih Tante, kami pamit dulu!”

Para pria yang bersahabat baik karena sering bertemu di salah satu club' olahraga itu, melambaikan tangan dengan kompak pada Bu Misye, istri dari pengusaha konveksi terkenal Erwinsyah.

“Eh! Ustadzah yang tadi!” tunjuk Pitra saat mereka melewati sebuah halte kecil di pinggir jalan tak jauh dari gedung tadi.

Secara tak terduga, Niko menghentikan mobilnya, lalu memundurkannya hingga hampir berhenti di depan Silla yang duduk di halte sendirian, sibuk dengan ponselnya.

“Mau apaan Nik! Mobil penuh Loh!” seru Yohan mengingatkan.

“Diem Lu!” sahut Niko singkat.

Namun, belum juga Niko tepat mencapai Silla, sebuah mobil taksi berhenti tepat di depan Silla.

“Hahaha … kurang kerjaan Lu, lihat tuh, dia udah ada yang jemput!” ejek Yohan.

“Hahaha … takdir tak mengijinkan mu, Nik!” imbuh Pitra.

“Lagian, kurang kerjaan, belum tentu mau ustadzah nebeng mobil yang isinya serigala semua.” Hendi pun ikut menyahut.

“Hahaha …!” Alex tertawa keras.

.

.

.

Keesokan harinya, Yohan yang masih tertidur pulas, kaget dengan suara ponselnya yang berdering begitu keras, memekik pendengaran.

Tangannya meraba-raba sekitar, mencari benda pipih kesayangannya itu, masih dengan mata yang begitu malas terbuka. Bahkan rasa pening di kepala sangat terasa membuatnya semakin malas membuka mata.

“Hm … hallo ….” jawabnya seraya mengubah posisi tidurnya dari yang awalnya tengkurap, kini meringkuk karena hawa dingin yang tiba-tiba terasa menusuk hingga ke dalam tulang-tulangnya.

“Turun … Papah di bawah.” Seseorang bertitah dengan aksen soft spoken dari seberang telepon.

“Hmm … oke.” Tak banyak menjawab, Yohan memang selalu menjadi anak penurut.

Ia bangkit lalu duduk, dengan kepala yang terasa masih sangat berat, ia menggosok kedua matanya, “Hei! Bangun! Aku pulang duluan!” serunya seraya menggoyangkan tubuh Alex yang masih tertidur pulas tepat di sisinya.

Yohan berjalan terhuyung seraya mengibaskan kepalanya, menuju ke kamar mandi. Rasanya masih malas bahkan hanya sekedar untuk bergerak, namun titah sang ayah tak mungkin diabaikannya.

“Lu dijemput Yoh?” seru Pitra yang menyusul Yohan di kamar mandi.

“Hmm, Papah gue.”

“Boleh nebeng?”

“Hmm ….” angguknya setuju.

Yohan bersama Pitra meninggalkan apartemen milik Niko, tempat yang selalu menjadi basecamp para pria jomblo itu menghabiskan waktu bersama saat mereka memiliki waktu, disela kesibukan masing-masing.

“Minum ini dulu, minimal mengurangi rasa pengar,“ ucap pak Isaac seraya menyerahkan masing-masing satu botol seukuran ibu jari.

Dengan sekali tenggak kedua pemuda yang semalam habis sedikit berpesta itu pun menghabiskan ramuan khusus itu.

“Terimakasih Om tebengannya, selamat jalan, selamat beraktivitas hari ini!” seru Pitra setelah pak Isaac menurunkannya tepat di depan rumah orang tuanya.

“Okay, sama-sama … jangan lupa sarapan sesuatu yang hangat!”

“Siap, Om!”

Pak Isaac melanjutkan mengemudi, sementara Yohan kembali memejamkan mata duduk di sampingnya, kepalanya masih terasa berat, matanya masih tak nyaman dengan silau pagi cahaya matahari.

“Mamahmu sudah menunggu sejak semalam, bukannya pulang dulu, malah bablas maen.”

“Aku sudah pamit kemarin, sebagai gantinya, hari ini aku seharian di rumah.”

“Kamu itu nggak peka, memangnya pernah mamahmu bilang tidak, kalau kamu pamit kemana saja? Bukan gitu caranya, lain kali pulang dulu, minimal tunjukkan muka, baru lanjut pergi.”

“Hm, iya, baru kali ini juga, biasanya juga pulang dulu, tapi semalam ada hal yang harus dibahas, jadi ….”

“Udah, minta maaf sama mamahmu, semalaman terbangun berkali-kali, pasti karena menunggumu!”

“Iya ….”

Pagi yang cerah dan sambutan hangat dari Bu Maria membuat suasana hati Yohanes kembali baik-baik saja.

“Anak bujang Mamah, sudah sampai rumah? Sehat?”

“Hm, mamah maaf ya, kata Papah semalaman nggak bisa tidur.”

“Hilih! Kamu tuh kayak nggak hafal Papahmu aja, Mamah memang beberapa kali terbangun, tapi karena butuh ke kamar mandi. Sore sebelum tidur, mamah lupa malah minum teh manis, kan wajar kalau malam harinya jadi sering buang air kecil. Papahmu itu melebih-lebihkan saja.”

Yohanes melirik ke arah pak Isaac dengan tatapan mematikan. “Hmm ..!” serunya mengandung ancaman.

.

.

.

Hari-hari yang membosankan tak berlaku bagi Silla, ia yang sudah tinggal di rumah pamannya semenjak menyelesaikan pendidikan SMA-nya, diminta sang paman untuk membantu menjadi staf sementara untuk usaha baru sang paman.

Setiap hari ia berkutat dengan pekerjaan sebagai pengawas kualitas produk. Disela pekerjaan pokoknya, Silla juga menjalankan toko online di berbagai platform dengan produk-produk hasil produksi sang Paman.

“Sil, penjualan online lumayan meningkat, kamu stop terjun di pabrik, fokus ngurus toko aja!” mandat sang Paman mengetahui Silla sedikit keteter dalam pekerjaannya.

Silla mendongakkan pandangnya dari kain yang tengah ia periksa kualitas bahannya, “Nggak apa-apa nih Om?” tanyanya balik.

“Hmm, udah ada beberapa pegawai baru yang masuk, nanti biar diajari sama ketua timnya masing-masing, kamu naik aja sana, istirahat dulu.”

“Mbak Sil, temenin aku beli es krim ya, yang lagi viral itu loh!” ajak Usna, sepupu Silla.

“Nah tuh, keluar sana refreshing, asal hati-hati.”

“Siap, Om. Pamit dulu ya.”

Silla pun menuju ke sebuah kedai dimana disana hanya menyajikan berbagai desert yang menyegarkan.

“Eh! Gw kasih tahu cowok spek Jimin, tapi agak aneh orangnya!” seru Usna saat keduanya duduk seraya menunggu pesanan tersaji.

Mendengar itu, mata Silla langsung berbinar penasaran, “Hm? Siapa?” tanyanya antusias.

...****************...

To be continued....

Memang biasa aja

Usna menggerakkan bola mata ke arah sisi kirinya, sebagai isyarat pria yang ia maksud berada di sisi itu.

Silla melirik ke arah yang dimaksud Usna, di beberapa meja setelah meja yang mereka duduki, seorang pria duduk sibuk dengan ponselnya, sementara tiga pria lainnya tengah asik mengobrol.

“Yang mana tepatnya? Ada empat orang, dan ganteng semua itu!” seru Silla.

“Yang asik sama ponselnya! Aku inget banget wajahnya, soalnya dia kelihatan paling aneh.”

“Aneh gimana?”

“Kamu ingat nggak waktu kita nonton konser bulan lalu?”

“Hah? Yang festival itu? Aku ingat nonton konsernya, tapi nggak ngeuh sama orang itu.”

“Ah! Kamu mah ingetnya Jimin terus!”

“Ya terus? Emangnya orang itu kenapa di konser?”

“Ya masak gitu, orang-orang kan kalau lihat konser pasti ikutan nyanyi terus jingkrak-jingkrak gitu, nah itu orang dari awal sampai akhir diam terus, beneran ekspresi mukanya ngeselin, datar banget kayak sekarang itu!”

Sontak Silla kembali melirik ke arah pria yang dimaksud Usna. “Iya Loh, masa teman-temennya pada asik ngobrol dia macam sibuk sama pikirannya sendiri, mana sebentar-sebentar lihatin hape terus,”

“Nah iya, kalau aku jadi temennya, udah tak gampar atau nggak usah diajak nongkrong aja sekalian!”

“Mungkin dia banyak duit, jadi dia harus hadir sebagai tukang traktir,” kikih Silla seraya menutup mulutnya dengan sebelah tangan, merasa lucu dengan pemikirannya.

“Hahaha … bisa jadi, kan bodoh banyak temen cuma karena banyak duit aja,” imbuh Silla.

Tiba-tiba si pria yang mereka bicarakan menoleh dengan lirikan tajam ke arah kedua gadis itu, sontak membuat keduanya salah tingkah ketakutan dan segera berpura-pura menunduk.

Dengan tangan gemetar karena takut, kedua gadis itu berpura-pura sibuk dengan ponselnya, “Duh! Apa dia denger ya kita ngomongin dia?!” ujar Usna setengah berbisik.

“Kamu sih! Mukanya nyeremin, asli … takut ege!”

“Huum, jantungku mau copot rasanya Sil!” keluh Usna.

Dengan gemetar, Silla memberanikan diri kembali melirik ke arah pria itu, dan sialnya si pria juga tepat melirik ke arahnya masih dengan tatapan yang sama, tajam dan terasa dingin.

“Kenapa malah kamu lihat lagi, Sill?!” bisik Usna geram.

“Aduh! iya … dia jalan ke sini woy! Kita harus gimana nih?!”

Kepanikan melanda kedua gadis itu, rasa takut membuat keduanya berkeringat dingin saat pria yang sejak tadi mereka bicarakan terlihat berjalan ke arah mereka.

DEG! DEG! DEG! Detak jantung kedua gadis itu menggila, takut bercampur malu dan bingung bagaimana harus menjelaskan seandainya si pria itu marah atau bahkan tak terima dengan beberapa ucapan buruk mereka. “Aduh, gimana nih!” bisik khawatir kedua gadis itu semakin salah tingkah seraya menundukkan wajah.

“Biar gue yang bawa!” ucap tegas si pria menghampiri seorang wanita yang terlihat keteteran dengan pesanan dari meja kasir. “Abangmu emang kebangetan, malah nyuruh kamu nunggu pesanan.”

Wanita cantik itu mengucapkan terimakasih dengan senyum lebar yang tersipu saat si pria membantunya.

Lega! Itulah yang dirasakan Silla dan Usna, saat ternyata si pria melewati mereka, dan ternyata bukan mereka yang dilirik oleh si pria itu sejak awal.

“Eh! Ada ustadzah?!”

Namun hal lainnya justru membuat Silla malu setelahnya, saat salah satu pria yang duduk bersama Yohan justru mengenalinya dan dengan lantang menyapa dirinya.

Seruan lantang Pitra, sontak membuat beberapa pengunjung otomatis melihat ke arah Silla, saat Pitra menghampiri lalu menyodorkan tangan untuk bersalaman.

“Ah, saya bukan ustadzah loh … kemarin itu kebetulan saya cuma menggantikan ustadzah yang sebenarnya, karena beliau sedang tidak enak badan,” terang Silla setelah menyambut salam Pitra.

“Sebentar, tapi kayaknya nggak asing loh, saya kayaknya pernah lihat sebelumnya ...." Pitra menggantung ucapannya seraya mengingat beberapa kilasan memori pertemuan-pertemuan sebelumnya.

“Mas-nya pelatih taekwondo kan di tempat Mas Rohim, Saya dulu salah satu murid disana, tapi nggak lanjut. Hehehe ….”

“Ah! Iya …ingat saya, ustadzah salah satu peserta remaja dengan tinggi … eh, maaf maksud saya ….”

“Hahaha!” gelak tawa otomatis meluncur begitu saja dari mulut Usna tanpa tersaring, sementara yang lainnya hanya tersenyum setelah mendengar ucapan Pitra yang hampir saja kebablasan.

“Iya, saya peserta usia remaja tapi terpendek waktu itu!” sewot Silla menahan malu. “Tapi saya itu sebenarnya tinggi, kalau dibanding anak TK sih….” ujar Silla seraya memonyongkan bibirnya, menanggapi kenyataan yang sebenarnya ingin Pitra sampaikan.

Kelakar Sila yang justru tak menanggapi dengan marah, semakin mengundang gelak dari semua yang mendengarnya. Silla pun ikut tertawa manis seakan ia tak pernah merasa malu atau rendah dengan kondisi fisiknya.

“Memangnya ustadzah tingginya berapa?” Alex justru semakin penasaran dan bertanya begitu saja.

“Seratus lima puluh, nggak kurang nggak lebih. Imut kan? Unyu-unyu lah.”

Lagi-lagi sahutan Silla mengundang tawa renyah ditambah dengan aksen bicaranya dan suara manis yang terdengar lucu.

“Ustadzah benar-benar kocak. Hahah ….” Niko pun menyahut tak kuasa menahan tawa.

“Dah gabung aja, sekalian kenalan biar makin akrab, toh kalian juga cuma berdua kan?” ajak Alex si paling penggila perempuan cantik.

“Ah, nggak enak lah, nanti mengganggu obrolan kalian, kita masih asing,” tolak Usna merasa canggung untuk bergabung.

“Iya … kami tidak paham obrolan para pria, kami jarang keluar kandang, terlalu lama hidup di hutan, jadi ya begitulah, yang kami kenal cuma tarzan!” Kelakar Silla semakin membuat para pria itu tertawa.

Bahkan kali ini, Yohan yang dari tadi hanya senyum-senyum pun tertawa paling keras dan tak bisa terhenti dengan mudah.

“Yoh, udah stop ketawanya, nanti kesurupan!”

“Dia … haha … Tarzan! Oh my eyes!” Saking merasa lucu, Yohan benar-benar tertawa lepas membuat seluruh wajahnya memerah.

Ekspresi dingin dan kaku yang tadinya membuat para wanita enggan mendekat, seakan lebur terhapus oleh tawanya.

“Biar! Biarin aja dia kan hari ini baru bisa tertawa, sejak pagi sibuk mulu sama kerjaannya,” sahut Pitra seraya menepuk punggung Yohan yang masih belum bisa menghentikan tawanya.

“Dia orang penting, katanya cuti pun, masih mikir kerjaan, dikit-dikit di chat bawahan, bentar-bentar ditelpon atasan. Sungguh malang kawan kita ini.”

“Bener tuh, apalah kita yang masih pengangguran.”

“Apaan sih kalian,” Yohan mulai terlihat tenang.

Percakapan dan gelak pun semakin berlanjut saat akhirnya Silla dan Usna menyetujui untuk menggabungkan satu lingkaran meja.

.

.

.

Pagi yang berat dan melelahkan, Yohan bangun di jam normal layaknya pria yang tinggal dirumah orang tuanya. Belum juga ia terbangun sepenuhnya, dua malaikat kecil telah menyapanya terlebih dahulu membuat Yohan selalu merasa diberkati dengan pagi yang menyenangkan.

“Om! Bangun …!” teriak kompak dua bocah menggemaskan itu seraya menghambur naik ke ranjang Yohan, menaiki punggungnya seakan ada tempat bermain yang menyenangkan di sana.

“Uwaah … kalian sudah rapih!”

“Iya dong, kan mau sekolah!”

“Hm … sudah siap berangkat? Jam berapa ini?”

“Jam enam, kita sarapan dulu bareng-bareng … makanya ayo buruan bangun Om!” seru bocah cantik delapan tahun itu seraya menarik-narik lengan Yohan, diikuti adiknya yang terpaut sekitar lima tahun dari sang kakak.

“Hmm … oke-oke … biarkan Om mandi dulu, kalian duluan sana.”

Kehangatan sambutan pagi berhasil membuat Yohan selalu merasa bersyukur. Ia tak pernah kekurangan selalu mendapatkan begitu banyak cinta dari keluarganya, orang tuanya, saudari perempuannya, kakak ipar yang dihormatinya, serta kedua ponakan yang disayanginya.

Selesai dengan ritual menyegarkan badan di kamar mandi, Yohan berjalan santai menuju ke dapur, dimana semua telah berkumpul menunggunya.

“Duduk gih, sarapan!” sambut ayahnya Yohan.

Yohan menurut begitu saja, duduk di kursi tepat di sebelah sang ayah lalu menyapa balik semua anggota keluarga.

“Hari ini masih di cabang sini kan? Jam berapa berangkat?” sang kakak ipar menyahut diantara sesi sarapan.

“Jam delapan lebih Bang, ada yang harus aku periksa sebelumnya,” terang Yohan seraya menggelontorkan air putih sebagai penutup sarapan berat pagi ini.

“Yes! Kalau gitu antar kita sekolah!” sela riang jagoan kecil, putra saudarinya Yohan.

Keceriaan pagi yang selalu berhasil menarik keluar semua senyum dan tawa lepas Yohan. Selalu berhasil membuatnya terbahak dan senang dengan kelucuan-kelucuan serta tingkah menggemaskan kedua ponakannya, beserta permintaan mereka sewajarnya anak kecil.

Hingga matahari semakin bergerak menunjukkan kehangatannya yang lain, Yohan pun tiba di kantor cabang yang tak jauh dari rumah kedua orangtuanya.

“Berisik sekali ponselku!” keluhnya setiba di balik meja kerjanya seraya melemparkan punggung, berharap hari ini akan berlalu dengan cepat.

Yohan menelisik ponselnya, mencari tahu hal yang membuat notif ponselnya terus berbunyi sejak ia menghidupkannya kembali ponsel itu, di tengah perjalanannya menuju ke tempat kerja.

“Apaan ini? nomor asing masuk obrolan grup? bising!”

...****************...

Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!