NovelToon NovelToon

Pengasuh CEO Cacat

PCC. 1.

Suasana yang semulanya begitu hening, berubah seketika menjadi kegaduhan yang cukup membuat telinga berdenging. Hal tersebut bukanlah hal yang baru untuk para penghuni di mansion tersebut, karena mereka harus membiasakan diri untuk mendengar dan menghadapi peristiwa itu.

Seorang wanita berjalan mendekati sumber suara tersebut, beberapa pelayan hanya bisa berdiri berbaris dan tidak ada yang berani melakukan apa-apa untuk menghadapi hal tersebut.

Dimana, sumber kegaduhan itu berasal dari kamar putranya. Elio Satya Malik, pria itu memperlihatkan kondisi tubuhnya yang sangat tidak biasa. Akan tetapi, semenjak peristiwa kelam yang ia alami sebelumnya telah merubah sikapnya menjadi seperti saat ini.

Kecelakaan besar yang Elio alami, membuatnya kehidupan nya berubah drastis dari sikap yang sebelumnya. Akibat dari peristiwa tersebut, Elio mengalami kelumpuhan pada kedua kakinya.

"Kalian, pergilah." Ucap wanita yang dimana merupakan ibu dari Elio, Angelina Malik.

"Baik, nyonya." Para pelayan yang berada disana segera berlari dengan cepat, meninggalkan tempat tersebut dan melanjutkan pekerjaan yang lainnya.

Ketika semuanya telah pergi, Angelina berjalan perlahan dan membuka pintu kamar putranya. Saat pintu itu terbuka, betapa sakit hati seorang ibu dengan menyaksikan kondisi putranya.

"Elio, boleh mama masuk?" Angelina terus berjalan mendekati putranya, walaupun ia tahu jika Elio tidak menginginkannya.

"Tanpa aku berbicara pun, mama akan tetapi melakukannya." Ucap Elio dengan begitu dingin.

"Kenapa? Apa ada yang sedang menganggu pikiranmu? Angelina duduk disisi putranya, dengan kursi kecil yang ia ambil disana.

Kepala itu hanya bisa menunduk, kedua telapak tangannya menggenggam begitu erat. Memperlihatkan luapan emosi yang begitu besar, bahkan suara gesekan gigi pun terdengar.

Menunggu jawaban dari putranya, tatapan Angelina teralihkan dengan layar tablet yang masih menyala didekat Elio. Membuat Angelina tertarik untuk mengambilnya, dan ia cukup kaget ketika melihat apa yang tertera pada layar tablet itu. Sebuah berita terkini, dimana seorang aktris wanita ternama nan cantik. Yang dimana saat ini, popularitasnya begitu bagus dan sedang melangsungkan pesta pertunangan pada hari yang sama.

Arabella, aktris wanita muda dan ternama. Dimana dahulunya menjalin hubungan dengan CEO termuda bernama Elio Satya Malik, namun sayangnya. Saat akan menjemput sang kekasih di hari pertunangannya, membuat Elio mengalami kecelakaan besar dan mengakibatkan kelumpuhan seperti saat ini.

Pertunangan itu pun berakhir menjadi batal secara sepihak dari Arabella, dan itu semakin membuat Elio murka. Akan tetapi, seburuk apapun yang dilakukan Arabella padanya, tidak membuat rasa cinta itu hilang begitu saja.

"Sebaiknya, kamu ikhlaskan semuanya ini nak. Jika memang dia menjadi jodohmu, maka tidak ada siapa pun yang dapat menghalangi kalian berdua untuk bersatu." Ujar Angelina dengan mengusap bahu putranya.

"Aku sangat mencintainya, ma." Air mata itu menetes begitu saja dari mata Elio, begitu dalam cintanya kepada wanita yang sudah mengambil hatinya.

Terlihatlah tubuh itu bergetar, menahan rasa sesak yang sudah terlalu menyiksa dirinya.

"Jika kamu terus-terusan berada dalam kondisi seperti ini, rasa sakit itu akan terus bertambah nak. Ingatlah, masih kami. Mama, papa yang sangat mencintai dan menyayangimu." Angelina berusaha menguatkan hati putranya, walaupun dirinya juga merasakan sesak didadanya.

"Seandainya, aku tidak mengalami kecelakaan pada saat itu. Sudah pasti, aku dan Arabella bahagia saat ini. Kenapa! Kenapa harus aku yang mengalami ini semua!" Teriak Elio dengan begitu keras, meluapkan rasa kekecewaan yang ia rasakan.

Angelina sudah tidak dapat bertahan dengan sikap putranya, semakin lama ia berada disana. Maka, semakin kuat rasa sakit yang ia rasakan. Ia beranjak meninggalkan Elio yang masih terus berteriak, bahkan. Putranya itu dengan sengaja menjatuhkan tubuhnya dari kursi roda yang ia gunakan.

Saat setelah keluar dari kamar Elio, Angelina mengistirahatkan tubuhnya dengan duduk sejenak dikursi taman yang berada dibelakang mansion. Kepalanya berdenyut dengan cukup kuat, perlahan tangan itu mulai memijatnya. Semenjak peristiwa yang menimpa Elio terjadi, mau tidak mau. Dirinya dan suami mencari seseorang yang mau bekerja membantu mengurusi semua keperluan putranya.

Namun kenyataanya, tidak ada satupun pekerja yang mau dan bertahan untuk menerima pekerjaan tersebut.

"Nyonya, saya mohon. Saya tidak sanggup bekerja disini, tolong saya nyonya. Saya mau berhenti saja, saya tidak mau mati nyonya." Tiba-tiba saja, seorang pekerja yang baru saja diterimanya hari ini untuk menjadi pengasuh Elio meminta berhenti.

"Ada apa?" Angelina menatap pelayan itu.

"Saya tidak sanggup, nyonya. Saya mohon, saya mau pulang." Isak tangis terdengar dari pelayan tersebut, terlihat juga terdapat beberapa luka goresan pada kening dan lengannya.

"Ya sudah, kamu boleh pergi. Nanti, gaji kamu akan saya kirim. Maafkan putra saya." Engelina begitu sadar akan sikap Elio.

"Terima kasih, nyonya."

Pelayan itu segera beranjak dan pergi menjauh, lagi dan lagi. Angelina harus memijat kepalanya, sungguh hal ini tidak ia harapkan.

"Anak itu."

"Ya Tuhan, harus berapa banyak lagi aku harus mencari orang yang mau membantu merawatnya. Baru saja diterima, eh malah keluar diwaktu yang sama. Aduh! Kepalaku rasanya mau pecah." Angelina sangat pusing kala itu.

Hari-hari pun berlalu, seperti biasanya. Angelina akan membantu putra untuk beraktivitas sebelum mendapatkan pekerja yang cocok dan juga bertahan.

"Elio, bisakah kamu bersikap remaja dna tidak emosional lagi dengan orang yang bekerja?" Ucap Angelina sambil membantu Elio untuk merapikan diri.

"Aku bisa mengurus diriku sendiri, mama tidak perlu repot untuk semuanya." Elio dengan begitu dinginnya, menjalankan kursi roda miliknya menuju balkon yang berada di kamarnya.

Mengikuti kemana putranya itu pergi, Angelina harus menghela nafasnya yang sudah cukup menyesakkan dada. Semilir angin menerpa keduanya, Elio lalu memejamkan kedua matanya. Seakan-akan, ia sedang menikmati udara tersebut menyentuh tubuhnya.

Sebelum kecelakaan itu terjadi, Elio adalah seseorang yang begitu bersahaja. Walaupun dengan sikap dinginnya, pria itu begitu keras untuk meraih mimpinya menjadi pemimpin dari perusahan yang kini ia dirikan. Tanpa melibatkan kedua orangtuanya, ia berhasil menjadi pengusaha dalam usia yang masih cukup muda dalam dunia bisnis.

Terlepas dari perjalanan hidup Elio, pada salah satu taman kota. Terdapat seorang wanita sedang duduk pada salah satu bangku taman yang ada, kedua matanya menatap jauh ke arah depan. Isi kepalanya dipenuhi dengan berbagai persoalan, yang saat ini membuatnya dalam situasi tidak baik-baik saja.

"Bagaimana ini, biaya untuk pengobatan Arsen masih kurang. Mana uang semester dan skripsi juga sudah mepet, huh." Lirih wanita yang bernama Fiorella. Hidup

Semenjak kedua orangtuanya tiada, Fio hanya berdua dengan sang adiknya bernama Arsen.

Hidup Arsen begitu tragis, disaat kepergian ibunya. Bersamaan juga Arsen divonis mengalami penyakit jantung bawaan. Mereka bertahan, hingga kini ia duduk di kelas XII Sekolah Menengah Atas.

PCC. 2 .

Mengetahui kondisi keuangan sang kakak yang tidak baik, secara diam-diam. Arsen mengambil kerja sampingan untuk meringankan beban yang kakaknya ambil selama ini, dengan kondisi sakit seperti itu ia terus berusaha.

Sedangkan Fio, ia masih termenung duduk di taman tersebut.

"Hasil dari jualan makanan, tidak bisa menutupi kebutuhan sehari-hari. Tabungan pun sudah mulai menipis. Apa aku harus mencari kerja tambahan?" Gimana Dio dengan helaan nafas yang terdengar cukup berat.

Dalan keadaan pikiran yang cukup banyak, Fio memutuskan untuk pulang. Rumah yang sangat sederhana itu, merupakan harta satu-satunya yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya.

"Kakak pulang." Fio merebahkan tubuhnya sejenak, pada kursi usang yang berada di ruang tamu rumah tersebut.

"Kakak darimana saja? Tumben, pulang terlambat." Arsen menghampiri dimana Fio merebahkan dirinya.

"Tadi mampir sebentar ke taman, kamu sudah makan?" Fio hampir melupakan keadaan sang adik.

"Sudah, kakak juga makanlah sebelum istirahat." Arsen beranjak menuju kamarnya.

"Obatnya jangan lupa, Arsen." Ucap Fio.

"Iya." Arsen sudah menghilang di balik pintu kamarnya.

Tanpa Fio ketahui, jika obat yang harus Arsen minum itu telah habis. Setiap kali ditanya, Arsen akan menjawab obat tersebut masih ada. Untuk mendapatkan obat itu, membutuhkan uang yang tidak sedikit.

"Kenapa, dada ini semakin terasa menyakitkan?" Tangan itu meremas dada yang terasa sakit, perlahan Arsen mengusapnya dengan tujuan agar rasa sakit itu mereda.

Kedua mata itu menatap botol kecil yang sudah tidak ada isinya, Arsen tidak ingin membuat Fio semakin tertekan untuk mencari biaya atas penyakitnya itu. Dalam beberapa pekan setelah obat itu habis, kini. Rasa sakit itu semakin kuat terasa, bahkan ia harus bersembunyi untuk menutupi semuanya.

"Jangan terus merepotkan kak Fio, Arsen. Seharusnya, kamu yang bertanggung jawab untuk menghidupi Kakaku. Bukan malah sebaliknya, merepotkan sekali." Ucap Arsen dengan lirih.

Ke esokan harinya, bertepatan dengan akhir pekan. Bibi Rosi, adik dari mendiang ibu Fio yang telah merawat mereka selama ini. Mengatakan, jika ditempat ia bekerja sedang membutuhkan seseorang untuk merawat putranya. Hal itu, ia ceritakan pada keponakannya Fio.

"Pekerjaannya hanya menjadi pengasuh serta membantu menyiapkan semua kebutuhan dari anaknya nyonya, di tempat bibi bekerja. Kamu tenang saja, gajinya sangat cukup untuk kebutuhan kamu dan Arsen. Malahan, kamu bisa menabung nak." Jelas Rosi pada Fio.

"Pengasuh? Apakah bisa dengan latar pendidikan yang aku punya, bisa kerja disana bi?" Tanya Dio, karena ia takut jika bekerja di tempat orang kaya membutuhkan latar belakang pendidikan yang baik.

"Mereka adalah keluarga yang tidak memandang seseorang dari sisi pendidikan, Fio. Bukti kinerja kita yang mereka lihat, bagaimana?" Rosi menatap Fio, ia berharap jika Fio mau menerima pekerjaan tersebut.

Bukan tanpa sebab, Rosi mengajak Fio untuk bekerja disana. Wanita itu (Fio) sangat pekerja keras, sejak awal setelah kepergian kedua orangtuanya. Rosi menghidupi kedua keponakannya tersebut, seiring waktu berjalan. Fio bersikeras untuk membantunya mencari uang, apalagi dengan keadaan Arsen yang memang membutuhkan pengobatan.

Anggukan kepala dari Fio, membuat Rosi tersenyum.

Pada hari yang disepakati, dengan bermodalkan selembar kertas yang berisikan alamat dari sang bibi. Fio melajukan langkah kakinya untuk berangkat, setibanya di alamat tersebut. Betapa sorot mata itu menunjukkan rasa kekaguman yang teramat besar, pada sebuah bangunan mewah yang kini berada dihadapannya.

"Ya!" Kaget Fio, saat pintu gerbang besar itu terbuka dengan sendirinya.

Lalu terlihatlah, seorang penjaga yang datang menghampiri dimana Fio berada.

"Nona, Fiorella?" Ujar pria yang merupakan penjaga disana.

"I iya pak, saya Fio." Jawab wanita itu karena kaget.

"Silahkan masuk, tadi Rosi memberitahukan mengenai kedatangan nona sama saya. Mari, saya antar." Dengan sopan, penjaga itu menghantarkan Fio untuk bertemu dengan bibinya.

Keduanya menuju bangunan besar itu dengan menggunakan kendaraan kecil, yang seringkali digunakan oleh para olahragawan gold. Hal tersebut semakin membuat Fio kagum, karena kendaraan itu hanya bisa ia lihat di sosial media saja.

"Terima kasih pak, sudah diantar." Ucap Fio.

"Sama-sama, nona." Setelah mengatakan hal itu, penjaga tersebut kembali pada pekerjaannya semula.

"Nggak nyasar kan, Fio?" Rosi menyambut keponakannya itu.

"Eh bibi, nggak bi."

"Syukurlah kalau begitu, ayo masuk. Bibi akan langsung mengantarmu untuk bertemu dengan nyonya, karena itu sangat penting." Rosi menggenggam tangan Fio, lalu mereka berjalan menuju salah satu ruangan di bangunan mewah tersebut.

"Bibi, rumahnya rapi sekali. Apa, anak dari majikan bibi itu tidak nakal? Atau..."

"Sstthh, nanti kamu akan tahu sendiri." Rosi menahan tawanya, karena pertanyaan Fio membuatnya lupa jika yang akan di asuh oleh keponakannya itu bukanlah anak kecil.

"Nyonya." Sapa nya dengan penuh hormat kepada Angelina, yang saat itu sedang berada diruang keluarga.

"Iya, ada apa?" Rosi mengalihkan tatapannya.

"Ini nyonya, keponakan saya yang mau bekerja menjadi pengasuh tuan muda." Jelas Rosi .

Angelina segera membalikkan tubuhnya untuk melihat ke arah suara tersebut, pandangan itu langsung tertuju pada seorang wanita yang sangat berbeda. Lalu, Angelina mempersilahkan mereka untuk duduk.

"Nyonya, ini keponakan saya yang saya katakan waktu itu. Namanya Fiorella, kami dirumah memangilnya Fio." Rosi memperkenalkan Fio kepada majikannya.

"Fio?" Ucap Angelina dan menatap ke arahnya.

"Iya nyonya, saya Fio." Walaupun gugup, Fio berusaha menetralkan perasaannya.

"Kamu sudah tahu mengenai pekerjaan yang dibutuhkan saat ini?" Tanya Angelina dengan cukup serius.

"Sudah nyonya, bibi Rosi sudah mengatakannya kepada saya." Fio menyakinkan akan ucapannya, namun sebenarnya ia tidak tahu fakta dibalik siapa yang akan di asuhnya.

"Baguslah, kalau begitu. Ayo, saya akan tunjukkan tempat kamu bekerja dan orang yang akan kamu rawat. Kamu diterima dan mulai bekerja hari ini, Rosi. Kamu bisa lanjutkan pekerjaan, ayo Fio." Senyuman di wajah wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik itu.

Rosi kembali melanjutkan pekerjaannya, sedangkan Fio. Dirinya bersama dengan Angelina, berjalan menuju kamar dimana putranya berasa.

Selama perjalanan itu, Fio hanya bisa mengucapkan rasa kagumnya dengan setiap benda-benda yang berada di tempat tersebut. Terkesan mewah, antik dan juga elegan. Rasa kagum itu tidak henti-hentinya Fio rasakan.

"Berapa umurmu, Fio?" Angelina menghiasi perjalanan mereka dengan pertanyaan.

"Hmm, dua puluh dua tahun nyonya." Singkat Fio.

"Wajar saja, wajah kamu sangat lembut dan juga imut. Selain cantik, ternyata kamu masih sangat muda." Ada perasaan senang yang Angelina rasakan, entah apa itu.

"Terima kasih, nyonya."

Mereka terus berjalan, hingga kini. Keduanya berhenti pada salah satu pintu yang berada di lantai dua bangunan mewah tersebut.

Akan tetapi, belum saja pintu kamar itu terbuka. Terdengar suara-suara yang cukup keras dari dalam kamar tersebut, seperti suara benturan dari benda-benda hingga suara pecahan benda yang terbuat dari kaca.

PCC. 3.

Prang!!

Brakh!!

Setiap kali bayangan itu terlintas, membuat Elio menjadi emosional. Bahkan apa yang ada didekatnya, akan menjadi pelampiasannya.

"Kenapa? Kenapa harus aku yang seperti ini?! Kenapa!" Teriak Elio dengan terus mengacak-acak isi kamarnya.

"Argh!"

Saat itu, baik Angelina dan juga Fio menjadi kaget. Mereka hanya terdiam, berdiri di depan pintu yang masih tertutup.

"Suara apa itu, nyonya?" Rasa penasaran yang Fio rasakan, membuatnya mengeluarkan pertanyaan kepada Angelina.

"Itu, itu hanya suara. Aduh, nanti kamu akan terbiasa dengan sendirinya." Angelina berharap, agar Fio tidak menyerah dan berhenti seperti pekerja yang lainnya.

Kening Fio nampak berkerut, ia menjadi bingung dengan apa yang Angelina katakan. Bagaimana suara-suara itu bisa terdengar dari dalam kamar tersebut, apakah anak dari nyonya itu sangat nakal? Ah, banyak sekali pertanyaan di kepala Fio.

"Fio, sebelumnya. Saya sangat berharap sama kamu dengan pekerjaan ini, sudah berapa banyak pekerja yang saya terima. Tapi, belum satu hari bekerja. Mereka minta berhenti, saya harap kamu dapat bertahan." Tatapan Angelina sangat penuh harap dengan Fio.

"Akan saya usahakan, nyonya." Jelas, Fio sangat berharap dengan pekerjaan tersebut.

Tak lama kemudian, terdengar lagi suara keras yang cukup mengagetkan. Atas itu, Angelina menjadi khawatir dengan apa yang terjadi pada putranya. Ia pun segera membuka pintu kamar tersebut, dan betapa kagetnya mereka berdua. Keadaan kamar yang sangat berantakan, dimana kini tubuh pria itu sudah berada di lantai.

"Elio!" Teriak Angelina dan ia berlari menghampiri putranya.

"Pergi! Jangan mendekat!" Balas Elio yang juga berteriak.

"Stop, Elio! Kenapa kamu seperti ini? Hentikan kebiasaan menghancurkan semuanya, mama bilang hentikan!" Angelina semakin tidak bisa menahan rasa amarah dari dalam dirinya, sungguh kondisi saat itu tidak ia inginkan terjadi.

"Aku bilang, keluar! Keluar!"

Plak!

"Apa kamu bilang, hah? Keluar? Kamu yang seharusnya keluar dari keadaan seperti ini, nak. Mama kecewa sama kamu." Angelina menitikkan air mata yang begitu menyakitkan.

"Ma, mama!" Elio mencoba menahan Angelina agar tidak pergi.

"Ma!"

Disaat itu, Fio hanya bisa terdiam. Menyaksikan hal tersebut, namun dirinya dapat memahami keadaan yang ada. Bahkan, dirinya dahulu juga pernah merasakan sakit yang luar biasa melebihi batas kemampuan manusia untuk menerima semua takdirnya.

...Orang ini, memanggil nyonya dengan sebutan mama? Apa, jangan-jangan. Eh, kenapa aku yang jadi nggak sadar dan juga nggak nanya. Jadi, dia anak nyonya? Kalau benar, jadi dia yang aku rawat? Ya Tuhan....

Selesai dengan semua isi pikirannya saat itu, saat tersadar. Fio segera membantu Elio yang tengah mencoba untuk menempati kursi roda yang ada didekatnya.

"Saya bantu, tuan." Fio menyentuh lengan pria yang sedang dipenuhi amarah itu dengan tiba-tiba.

"Lepas! Jangan sembarangan menyentuhku, lepas." Begitu tegas, Elio menghempaskan tangan yang akan membantunya.

"Ah, maaf." Fio pun menarik dirinya sedikit menjauh, membiarkan Elio sendiri mencoba kembali pada kursi rodanya.

Terlepas dari sikap Elio, Fio mengambil keputusan untuk membereskan kekacauan yang ada disekelilingnya saat itu. Keadaan kamar yang begitu hancur, membuat Fio menghela nafasnya.

Beberapa saat kemudian, Fio sudah membereskan beberapa benda yang telah hancur. Serpihan kaca, gelas dan benda-benda yang tajam telah ia singkirkan. Dan disaat itu pula, ia melihat Elio masih mengalami kesusahan untuk duduk pada kursi rodanya.

"Hei, kamu. Cepat bantu aku, cepat!"

"Baik, tuan."

Fio perlahan membantu Elio beranjak dari lantai yang dingin itu, setelah berhasil duduk di atas kursi roda tersebut. Fio membersihkan beberapa serpihan kaca yang terdapat pada pakaian pria itu dengan tangan kosong, entah sengaja atau tidak. Elio menekan tangan Fio yang saat itu sedang mengambil serpihan benda tajam, dan hasilnya.

"Argh!" Fio segera menarik tangannya, terlihat goresan yang cukup besar pada lengannya dan mengeluarkan darah segar.

"Jangan pernah menyentuhku, dasar wanita ja**ng!" Umpat Elio.

Mendengar umpatan kasar itu, membuat Fio memejamkan kedua matanya. Sungguh perkataan itu sangat menyakitkan hati, bahkan seharusnya ucapan tersebut tidak seharusnya ia dengar.

"Siapa kamu? Berani sekali masuk ke kamarku? Kamu mau mencuri, hah!" Kembali ucapan kasar itu harus Fio dengar.

"Maafkan saya tuan, saya baru bekerja disini. Tadi nyonya Angelina yang..."

"Sialan! Keluar." Lagi-lagi umpatan kasar yang terdengar.

Mengingat ia baru bekerja disana, dan tidak dapat membohongi diri sendiri. Jika ia membutuhkan uang untuk kehidupannya, maka Fio bertahan dengan keadaan tersebut.

"Maafkan saya tuan, saya ditugaskan nyonya untuk membantu anda." Jelas Fio.

"Kamu punya telinga kan? Aku bilang keluar, ya keluar!" Teriak Elio.

"Saya akan membereskan ini terlebih dahulu, tuan." Fio hendak kembali membersihkan kekacauan yang ada, namun Elio melempar Fio dengan sebuah benda yang cukup keras.

Bugh!

"Aaaa!" Suara itu menyatakan jika ia sedang merasakan sakit.

"Keluar! Dasar ja**ng sialan, pergi kamu." Umpatan kasar lagi yang Elio lontarkan.

Sedangkan tangan kecil itu masih mengusap kening yang memerah, akibat terkena lemparan benda keras dari pria yang keras kepala disana.

"Lempar saja tuan, saya akan keluar jika tugas saya sudah selesai." Fio mengabaikan Elio dan melanjutkan untuk membereskan kekacauan yang ada.

"Dasar wanita sama saja, sama-sama sialan. Aaa!" Elio menjalankan kursi rodanya meninggalkan Fio menuju balkon kamar tersebut.

Fio pun mengabaikan Elio yang pergi, sambil menekan lengannya yang masih mengeluarkan darah. Fio membereskan kekacauan yang ada dengan perlahan dan hati-hati, dengan alat seadanya. Ia mulai menyingkirkan benda-benda yang hancur dan membersihkan semuanya, selagi Fio bekerja. Elio masih terus mengeluarkan umpatan kasar, telinga Fio pun berangsur-angsur membiasakan dengan suara tersebut.

"Huh, beres." Kedua mata indah itu, merasa segar dengan keadaan yang sudah bersih.

...Apa, tu orang bawa ke dalam ya? Tapi mulutnya, ih. Lebih menyeramkan dari melihat rincian biaya kuliah dan pengobatan Arsen....

Mengatur nafasnya, Fio memberanikan diri untuk menghampiri Elio yang masih berada di balkon.

"Permisi, tuan. Kamarnya sudah beres, apa tuan mau ke dalam?" Ujar Fio dari sisi Elio.

"Keluarlah." Jawaban singkat terdengar.

"Baik tuan, saya permisi." Tidak ingin mengambil resiko, Fio pun meninggalkan tempat tersebut.

Saat telah keluar dari kamar itu dan menutup pintunya, Fio memperhatikan sekitarnya. Mencari jalan untuk menemui sang bibi, perlahan Fio menemukan jalannya. Ketika berjalan menuju dapur, terdengar suara isakan tangis dari tempat sebelumnya ia bertemu dengan Angelina.

"Hiks hiks, anak itu. Sampai kapan harus bersikap seperti itu? Berapa banyak lagi, barang-barang yang harus menjadi korban keegoisan nya?" Sayup-sayup suara itu semakin jelas terdengar di telinga Fio.

"Sabar, Ma. Elio masih membutuhkan waktu untuk menerima semuanya, wajar saja jika dia bersikap seperti itu." Suara pria yang tak lain adalah Malik Dastan, suami Angelina dan papa dari Elio.

"Sabar, sabar. Mama nggak kenyang Pa, kalau cuma sabar dan sabar menghadapi Elio seperti itu." Balas Angelina.

"Terus, apa yang harus kita lakukan? Apa, kita buat adik baru saja buat Elio." Ide Malik sangat brilian.

" Apa? Adik? Ingat umur ya, dasar anak dan bapak sama saja." Umpat Angelina dan memukul pelan bahu suaminya.

"Hahaha, tapi cinta kan sama Papa?" Goda Malik.

"Fio, ngapain kamu disitu?"

"Hah!!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!