"Widih, calon pengantin memang beda ya auranya ... makin keluar gitu."
"Thanks, Aliya, kamu sudah muji aku lebih dari tiga kali."
Gadis itu bersemu merah, telinganya serasa sudah panas lantaran mendengar pujian serupa. Auranya beda, makin menyala, cantik dan bahkan ada yang mengiranya melakukan sedikit operasi sejak rencana pernikahannya diumumkan.
Orang bilang, aura yang terpancar dari wajahnya disebabkan karena dirinya bahagia, dan itu benar adanya. Dijodohkan dengan seorang pria dewasa, mapan dan paham Agama sesuai dengan keinginannya adalah anugerah bagi seorang Aruni Giova Anderson.
Putri dari konglomerat ternama di ibu kota yang cukup terkenal dengan kekuasaannya sejak lama. Baru-baru ini, dia melangsungkan acara pertunangan dan mereka sama sekali tidak pacaran.
Tanpa pikir panjang, Aruni menerima perjodohan yang diatur Daddy-nya dengan seorang pria mapan sesuai kriterianya, Bagaskara Baihaqi.
Pria sempurna di mata Aruni, usia calon suaminya 31 tahun, dan menurut Aruni sangat pas meski ada beberapa yang bilang ketuaan.
Caranya memperlakukan Aruni selama beberapa bulan terakhir sangat baik, dan hal itulah yang membuat Aruni semakin yakin, bahkan terkesan tak sabar ingin segera sah menjadi istri dari pria itu.
Akan tetapi, sebelum menjalani acara pernikahan yang akan diadakan minggu depan, teman-temannya berinisiatif melaksanakan pesta pelepasan masa lajang.
Bahasa kerennya bridal shower, acara yang dilakukan oleh calon mempelai wanita bersama teman-teman atau sahabat dekatnya.
Sebagai tim hore di circle pertemanan Aruni nurut-nurut saja, ajakan Aliya dia terima tanpa protes sedikit saja.
"Oke ... ini fiks ya, jam delapan malam di Morison Hotels, kamar nomor 69." Aliya, ketua geng memberikan interupsi dan yang lain mengangguk patuh.
Tidak ada yang memberikan ide lain, karena semua biaya ditanggung Aliya, bisa dibilang dia yang punya hajat.
"Jam delapan?" tanya Aruni memastikan, khawatir salah dengar dan tidak ada yang salah.
"Iyap!! Khusus calon pengantinnya boleh lah telat-telat dikit ... tapi jangan terlalu ngaret juga," ucap Aliya dengan sedikit penegasan di sana.
"Eh, yang lain nggak boleh telat nih? Rumahku lumayan jauh soalnya." Dea, si centil yang berambut paling badai itu ikutan bicara.
Helaan napas Aliyah seolah sudah jadi jawaban, karena selama ini penyakit telat Dea sudah benar-benar tidak dapat disembuhkan. "Khusus buat Dea, datangnya jam tujuh aja biar nggak ada drama telat segala, okay?!!"
Penegasan Aliyah sontak membuat mereka yang di sana tergelak, terutama Anjani, mahasiswi dari fakultas ekonomi yang baru saja tergabung di circle mereka belum lama ini.
"Aku setuju, khusus Dea jadwalnya dimajuin ... doi suka ngaret soalnya."
Dea yang mendengar hanya mencebikkan bibir, tentu saja dia merasa semua ini menyebalkan. "Apasih, so asik banget si Anja."
"Yee, emang beneran asyik!! Tanya sama Runi, tuh."
Sadar bahwa dia akan menjadi pelemparan tanggung jawab, Aruni memilih mundur dan segera pamit undur diri.
Dia sudah berjanji pada Mommy-nya bahwa tidak akan begitu lama. Lagi pula yang dibahas sudah selesai dan Aruni sudah bisa menarik kesimpulannya.
Dibanding membuang-buang waktu yang tak berguna, akan lebih baik Aruni pulang cepat karena dia bertekad untuk lebih sering menghabiskan waktu bersama keluarga yang nanti mungkin tidak akan bisa dia kunjungi sesuka hatinya.
Maklum saja, Bagaskara adalah pria sibuk yang katanya akan membawa Aruni ke Sumatera Utara jika sudah menikah.
Kebetulan, Bagaskara sukses sebagai pengusaha di sana dan hanya pulang sesekali ke Jakarta untuk mendatangi kedua orang tuanya.
Menyaksikan hal itu, Aruni mulai berpikir bahwa nanti dia juga akan melakukan hal serupa.
Itulah mengapa, bagi Aruni, pertemuan bersama kedua orang tua sangatlah utama.
"Jalan, Pak," pinta Aruni begitu masuk ke mobil taksi yang baru saja dia hentikan beberapa waktu lalu.
Sengaja tidak pakai mobil sendiri, kebetulan lelah dan tengah ingin menikmati waktu bersantai sebelum nanti saya tenaganya akan terkuras di hari pengantin.
Sepanjang perjalanan, Aruni hanya menatap sekeliling tanpa melontarkan sepatah katapun pada supir taksi.
Padahal, biasanya dia cukup aktif dan banyak tanya, tapi hari ini berbeda dan lebih irit bicara.
Begitu melangkah masuk, Aruni menyentuh dada tatkala merasakan jantungnya berdenyut tanpa dia mengerti apa maknanya.
"Duh, kenapa perasaanku mendadak tidak enak ya?"
Untuk beberapa saat, Aruni mencoba terdiam demi bisa menenangkan dirinya. Masih berusaha berpikir positif, bahwa yang kini dia alami hanya gugup biasa.
"Ih, anak Mommy sudah pulang ... kok bentar, Sayang?" Suara itu, Zavia - Mommy-nya berusaha dan sukses menciptakan ketenangan di dalam diri Aruni.
Senyumnya terbit, dan kini perlahan mendekat. Tak lupa, Aruni mencium punggung tangan Mommy-nya. "Iya, cuma diskusi bentar kok, Mom."
"Diskusi? Diskusiin apa?"
"Ehm, Bridal Shower, Mom."
.
.
"Bridal Shower?" Kening Zavia berkerut tatkala Aruni menjelaskan tentang maksud dan tujuannya.
Tampak jelas bahwa wanita itu tak setuju dengan acara yang sebenarnya kurang penting baginya itu.
"Iya, Mom, aku nggak enak sama temen-temenku ... acaranya sudah diatur, masa mau dibatalin." Aruni memang tidak merengek ataupun memohon agar Zavia tidak melarangnya, tapi dari kata-kata yang dia lontarkan jelas sekali apa maknanya.
Sejenak berpikir, Zavia kemudian ngangguk pelan. "Iya sudah kalau begitu, tapi ...."
"Jangan khawatir, Mom, aku bisa jaga diri kok."
Begitu ucap Aruni, kata-kata yang juga mengandung makna sebuah janji dan jelas harus dia tepati.
Begitu malam menjelang, tanpa menunda-nunda Aruni bergegas mendatangi tempat yang sudah ditentukan.
Akses masuk sudah dia dapatkan dan karena waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, Aruni bergegas melangkahkan kakinya.
Dia tampak terburu karena memang khawatir membuat Aliya murka. Maklum saja, mulut pedas Aliya tak ubahnya seperti petasan jika sudah bicara dan hal itulah yang membuat Aruni berusaha keras menghindari kemarahannya.
"Duh, kenapa waktunya cepet banget? Kamar 69 mana lagi? Dari tad- eh?" Omelan sekaligus langkah kaki Aruni terhenti tatkala mendapati pintu dengan nomor tertera, dan tampak sedikit terbuka.
Tanpa menaruh curiga, dan yakin seratus persen bahwa itu adalah kamar yang dituju, Aruni masuk saja.
Sementara itu, di sisi lain teman-temannya juga tengah bersiap-siap untuk menyambut kedatangannya.
"Eh, itu bukan sih?"
"Mana?" Dea mengintip tak sabar, dia yang tadi dikhawatirkan akan telat nyatanya datang paling awal.
"It- aduh bukan ternyata ...." Anjani tampak putus asa, dia mulai bosan menunggu karena yang ditunggu tidak datang juga.
Mereka bertiga saling menatap, sementara Dea sudah siap dengan balon pink di tangannya. "Duh, apa mungkin Aruni dilarang ya?"
"Enggak mungkin, aku sendiri yang minta izin lagi sama Tante Zavia kok," aku Aliya berusaha menenangkan keduanya.
Akan tetapi, Anjani dan Dea yang tak ubahnya bak ulat sagu mana bisa tenang. "Kalau memang iya, terus kenapa dia belum datang juga? Lihat, udah jam sembilan loh, Al ... sementara kita tahu, Aruni tu paling on-time di antara kita-kita."
Aliya tampak berpikir, kemudian berinisiatif menghubungi Zavia demi memastikan kembali, barang kali memang benar Aruni tidak diberikan izin.
Dea dan Anjani tampak sabar menunggu, tapi ekspresi wajah Aliya cukup menegangkan. Hingga, ketika sambungan telepon berakhir, keduanya tampak tak sabar akan kejelasan tentang Aruni.
"Gimana? Memang nggak diiziin?"
"No, lebih buruk dari itu."
"Apa?" tanya Dea mengerjap pelan, jelas saja dia bingung.
Aliyah menghela napas panjang, juga agak kasar. "Aruni bahkan sudah pergi dari satu jam lalu, dan seharusnya dia sudah ada di sini, bersama kita."
"Terus? Ke mana dia? Apa mungkin salah kamar, Al?"
"Salah kamar?!"
.
.
- To Be Continued -
"Eungh ...."
Suara lirih itu lolos dari bibir Aruni, seiring kesadarannya yang perlahan kembali. Kelopak matanya terasa berat seolah ada beban yang menahannya untuk terbuka.
Dengan susah payah, dia mencoba mengangkat tubuhnya dari pembaringan, namun gagal. Kepalanya berdenyut hebat, seperti baru saja tertimpa palu besar.
Setelah beberapa detik berjuang menenangkan diri, dia berhasil membuka matanya dan mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang asing.
Pandangannya menyapu pelan ke seluruh penjuru kamar. Dindingnya bersih, berwarna putih tulang, tanpa hiasan apa pun. Tak ada lukisan, tak ada gantungan, bahkan tidak ada aroma khas pengharum ruangan yang biasa ia gunakan. Kamar itu terlalu rapi, terlalu dingin, dan terlalu sunyi, jauh berbeda dengan kamarnya.
Aruni mengerutkan kening. Keningnya kini ia pijat pelan, berusaha mengusir sisa pusing yang belum juga reda.
Dia menoleh ke sisi kanan, sekadar ingin memastikan keberadaan seseorang, atau mungkin mencari jawaban atas apa yang terjadi. Namun apa yang dilihatnya justru membuat matanya membulat sempurna.
Seorang pria tidur membelakanginya. Punggungnya bidang, kokoh, dengan guratan otot yang tergambar jelas oleh cahaya pagi yang menerobos dari sela tirai.
Namun yang paling mencolok adalah tato bintang kecil di sisi kanan lehernya. Tanda itu membuat Aruni tercekat. Dia mengenali tato itu, dah karena itu tubuhnya bereaksi spontan dengan rasa takut.
Jantungnya mulai berdebar tak karuan. Keringat dingin merembes di pelipisnya meski udara di kamar begitu sejuk.
Dengan gerakan sangat hati-hati, dia menggeser selimut yang menutupi tubuhnya, dan seketika darahnya serasa berhenti mengalir.
"Ya Tuhan?"
Tubuhnya polos, tak ada sehelai benang pun menempel di kulitnya.
Selimut tebal berwarna putih menjadi satu-satunya penghalang antara tubuhnya dan dunia luar.
Napas gadis itu tercekat, dan tenggorokannya kering. Untuk beberapa detik, dia merasa seperti akan pingsan. "Tidak, ini tidak mungkin. Apa yang sebenarnya terjadi semalam?"
Pikiran buruk menjalari benaknya dengan liar. Dia menatap punggung pria itu sekali lagi, penuh tanda tanya, panik, dan rasa takut yang bergemuruh dalam dada.
"Rajendra?" Nama itu lolos seketika, Aruni ingat betul karena bukan sekali dua kali dia melihat seseorang dengan ciri khas yang sangat mudah dikenali itu.
Selang beberapa saat, yang punya nama seolah berbalik dan benar saja, dugaan Aruni benar. Pria di sampingnya adalah Rajendra, presiden mahasiswa yang dijuluki sebagai donatur kampus oleh beberapa karena tak kunjung lulus juga.
Bukan itu masalahnya, status Rajendra di kampus sama sekali tidak penting. Akan tetapi, yang jadi masalah dan cukup dianggap miris ialah, Rajendra adalah calon adik iparnya.
Ya, fakta itu membuat Aruni bergetar hebat. Dia bingung sampai tidak bisa berpikir jernih tentang apa yang harus dia lakukan.
Haruskah menghindar perlahan dan pura-pura tidak terjadi apapun nantinya? Atau, perlukan klarifikasi tentang apa yang terjadi semalam?
Dua-duanya sama sekali bukan pilihan, tapi Aruni masih berusaha mempertimbangkan. Kelamaan berpikir, sebelum keputusan berhasil dia ambil mata tajam Rajendra sudah lebih dulu terjaga.
Beberapa saat terdiam, dia juga tampak kebingungan dan sontak menyingkap selimut seolah memastikan keadaannya juga.
Begitu dia mendapati keadaannya, Rajendra menggigit bibir dan mengacak rambutnya. "A-apa yang terjadi? Kamu kenapa bisa di sini?"
"Harusnya aku yang bertanya, apa yang terjadi dan kenapa kamu bisa bersamaku di sini? Hah?" Sembari menahan selimut yang membalut tubuhnya agar tidak jatuh, Aruni melayangkan tatapan tajam disertai pertanyaan beruntun dengan suara gemetarnya.
Bahkan, mata Aruni berkaca-kaca dan berusaha menjaga jarak dari Rajendra.
"Aku, aku tidak bisa mengingat apapun, Aruni cuma ...." Dia tak melanjutkan perkataannya, tapi dari permulaan yang dia utarakan sudah cukup jelas ke mana arahnya.
"Cuma apa? Jangan setengah-setengah aku butuh kejelasannya!!" Suara Aruni meninggi, dan ini adalah kali pertama dia berani berucap tanpa menjaga sikap di hadapan pria itu.
Selama ini, di kampus dia harus menjaga sikap karena kedudukan Rajendra memang cukup di segani.
Sementara beberapa bulan terakhir, dia baru mengetahui fakta bahwa Rajendra adalah adik kandung calon suaminya. Jelas saja mereka harus bersikap layaknya keluarga dekat walau cukup sulit bagi Aruni sebenarnya.
.
.
"Aku tidak tahu ... aku butuh waktu untuk mengingatnya dan ... aku siap memberikan kompensasi atas-"
PLAK!!
Tamparan keras itu menggema di ruangan. Suara telapak tangan yang membentur pipi laki-laki itu terdengar begitu nyaring, menusuk keheningan pagi yang menyesakkan.
"Tutup mulutmu, Rajendra!!" seru Aruni dengan suara bergetar penuh amarah dan jijik.
Wajah pria itu tersentak ke samping. Bekas telapak tangan Aruni langsung tampak jelas di pipinya, merah, panas, menyala. Tapi yang membuat Aruni makin muak adalah betapa datarnya ekspresi Rajendra. Seolah tamparan itu hanyalah hembusan angin yang tak berarti.
Aruni menggigil, bukan karena dingin, tapi karena kemarahan yang mendidih di setiap inci tubuhnya. Matanya berkaca-kaca, bukan oleh rasa takut, tapi oleh rasa hina. Perasaan tercabik, diinjak-injak, dilukai tanpa bisa membela diri.
Dia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Kompensasi? Apa dia pikir harga dirinya bisa dibayar dengan uang?
Beberapa detik hening. Lalu pria itu menatap balik, dan di wajahnya tergambar sesuatu yang bahkan lebih menusuk dari perkataannya, ketenangan yang dingin, kosong.
"Lalu apa?" tanya Rajendra pelan, nada suaranya datar, tanpa rasa bersalah. "Kamu berharap apa selain kompensasi? Pernikahan?"
"Dasar badjingan!!" Aruni berteriak sekencang-kencangnya, sampai suaranya serak dan napasnya terputus-putus.
Tangannya mengepal kuat-kuat, kukunya sampai menusuk ke telapak tangannya sendiri. Tak peduli lagi dengan tubuhnya yang hanya dilindungi selimut, Aruni menerjang Rajendra seperti singa yang terluka parah, liar, marah, dan dipenuhi rasa tak berdaya yang menyesakkan.
Aruni memukul dadanya, mencakar bahu dan menampar wajahnya berulang kali. Tangisnya pecah di tengah amarah yang menggelegak, membuat tiap serangannya seolah bertenaga dari dalam luka yang tak kasat mata.
Rajendra sempat tak melakukan perlawanan. Dia hanya diam, menerima hujan pukulan dan cakaran itu dalam diam. Tapi saat Aruni tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, ia mulai geram.
Dia mengangkat tangannya, lalu menggenggam pergelangan Aruni dengan kasar, menahan gerakan wanita itu dengan paksa.
"Cukup!" bentaknya, kemudian mendorong tubuh Aruni kembali ke tempat tidur.
Aruni berontak, menjerit, meronta sekuat tenaga, tapi Rajendra terlalu kuat. Dia menahan kedua tangan Aruni dan menguncinya di atas kepala, membuat gadis itu tak bisa bergerak.
"Jangan berlagak sebagai korban sendirian, bisa jadi kita sama-sama korban di sini."
"Se-tan!! Jangan berusaha cuci tangan, pasti semua ini kamu yang merencanakan!!"
"Cih, kamu kira aku akan tertarik sama cewek style kampungan sepertimu? Hah?"
Diam, tidak ada tanggapan dari Aruni. Keduanya hanya beradu pandang dengan menyimpan sejuta kebencian di dalamnya.
"Dengar ya, aku sudah cukup baik dengan menawarkan kompensasi ataupun pernikahan kita memang dibutuhkan, tapi sikapmu justru begini dan membuatku sepertinya berubah pikiran."
"Baik kamu bilang? Dengar!! Aku masuk ke sini, dalam keadaan semua terasa gelap dan aku kehilangan kesadaran ... esok harinya, aku bangun dalam keadaan sehina ini bersamamu, coba jelaskan di mana letak kebaikanmu, Rajen-"
Brak!!
Belum selesai Aruni menuntaskan pertanyaannya, suara pintu dibuka secara paksa terdengar seketika.
Beberapa saat setelahnya, suara berat dari seorang pria bertubuh tegap dan rahang tegas itu juga turut menyelinap di indra pendengaran Aruni.
"Oh, jadi ini bridal shower yang kamu maksud, Aruni?"
.
.
- To Be Continued -
Jantung Aruni berdegup tak karu-karuan, tenaganya yang tadi bahkan sanggup untuk melukai Rajendra seketika musnah sudah.
Bagaimana tidak? Yang kini dihadapannya bukan pegawai hotel atau orang asing, melainkan Bagaskara, calon suaminya.
Tak sendirian, tapi juga bersama Daddy-nya yang tampak kecewa. Lebih buruk dari pada mimpi buruk malam kemarin, napas Aruni seperti berhenti beberapa saat.
Habislah sudah impiannya, kecil kemungkinannya semua ini bisa berjalan baik-baik.
Bagas mendekat, tatapan pria itu tertuju ke sekeliling kamar. Dia tampak menyimpulkan apa yang terjadi dari sesuatu yang jelas terlihat.
Pakaian yang berserakan di lantai persis pasangan saat memadu kasih dengan cara terburu, dan posisi mereka saat ini tak ubahnya bak pengantin baru.
"Kak Bagas, aku bisa jelas-"
"Diam!! Aku tidak memintamu bicara, Aruni!!" Suara berat itu memotong pembicaraan Aruni, membuatnya tidak bisa bicara lagi.
Terpaksa, mau tidak mau Aruni hanya bisa diam dan menunggu diizinkan untuk bicara lagi.
Perlahan, Bagaskara mendekat dan Aruni menunduk dalam. Dia takut sekali bahwa pria itu akan memukulnya, tapi yang terjadi justru berbeda.
Pria yang bahkan belum pernah melihat rambutnya itu terdiam, dan hanya bisa menghela napas panjang.
Tak berselang lama, Daddy-nya muncul dengan membawakan jubah mandi sebagai penyelamat utama.
"Pakai bajumu lebih dulu, Aruni." Aruni menatap Renaga - daddy-nya dengan hati yang terluka.
Sama sekali dia tidak memiliki cita-cita untuk menyakiti hati sang ayah. Namun, di posisi ini Daddy-nya masih bersikap baik, suaranya juga masih tetap hangat.
Tanpa peduli dengan keberadaan Rajendra yang masih diam di tempat tanpa rencana lain, Aruni memunguti pakaiannya dan bergegas mengenakan pakaian itu kamar mandi.
Sewaktu di kamar mandi, Aruni juga menyempatkan diri untuk melihat kondisi wajahnya. Dia tidak tertarik untuk mandi lebih dulu, pikirannya tak setenang itu jujur saja.
Namun, meski dia tidak mandi, tapi gadis itu sengaja berlama-lama dan berharap Rajendra diserang habis-habisan di sana.
Minimal, pria itu mau mengaku tentang apa yang terjadi. Dia yakin, Daddy-nya tidak akan tinggal diam setelah apa yang dilakukan Rajendra.
Beberapa saat menunggu, tapi yang Aruni dengar justru percekcokan seperti tengah bertengkar hebat.
Dan, begitu keluar dia mendapati Rajendra yang justru tengah dihajar habis-habisan oleh Bagaskara.
Saat ini, Rajendra sudah mengenakan pakaian, mungkin dipaksa sewaktu Aruni masih di dalam.
"Dasar anj!! Papa tidak pernah mengajarimu jadi bina-tang, Rajendra!!" teriak Bagaskara menggema, Aruni yang mendengar sampai bergidik ngeri.
Di sisi lain, Daddy Aga terlihat diam dan tak berusaha memisahkan mereka. Atau mungkin, sebenarnya dilarang Bagaskara, sungguh Aruni tidak tahu juga.
"Sudah kukatakan aku hilang kendali, Kak, mana aku sadar kalau yang masuk calon Kakak ipar."
Bugh
Bugh
Bugh
Sedikit demi sedikit, Aruni mulai bisa menangkap penjelasan Rajendra di sela-sela pukulan dan amukan yang dilayangkan padanya.
Meski napasnya masih tersengal dan tubuhnya gemetar, sebagian kata-kata Rajendra berhasil menembus gumpalan emosi yang mengurung pikirannya.
Dari yang dia dengar, Aruni bisa menarik satu kesimpulan, kemungkinan besar, Rajendra telah mengingat sesuatu. Mungkin, dia benar-benar kehilangan kendali waktu itu.
“Kehilangan kendali? Lalu sekarang Katakan padaku ....” Suara Bagaskara menggelegar, penuh amarah yang ditahan. Sorot matanya menusuk. "Apa yang kau lakukan padanya? Hah?!”
Rajendra menunduk. Sorot matanya berubah sendu saat menatap Aruni, yang kini sudah rapi seperti saat pertama kali ia masuk ke kamar itu.
Tidak ada lagi tatapan kosong dari orang yang sedang hilang kesadaran. Kali ini, Rajendra benar-benar sadar. Dan dengan suara pelan namun mantap, dia menjawab.
"Aku menodainya, Kak."
Pengakuannya begitu yakin, dan hal itu membuat Daddy Aga memalingkan muka. Sementara itu, Aruni yang mulai bisa berpikir tenang setelah sempat menyendiri di kamar mandi kemudian menyela.
"Maaf sebelumnya, tapi ... tentang itu, aku tidak yakin."
"Maksudmu?" Daddy Aga bersuara manakala putrinya angkat bicara.
Ada secercah harapan bahwa yang dia pikirkan tak segelap itu. "Iya, Dad, aku baru menyadari sesuatu dan agaknya, dia tidak sampai menodaiku."
Bukan tanpa alasan kenapa Aruni mengatakan hal itu, tapi dia merasa bahwa yang dia alami hanya sekadar kaku dan sakit kepala, tidak ada rasa sakit di area sensitifnya.
Beberapa saat mereka terdiam, sampai akhirnya Daddy Aga kembali bersuara dan kali ini mengatakan pendapatnya. "Kalau begitu, untuk lebih pasti bagaimana jika kita visum saja?"
"Visum?" Kening Bagaskara berkerut seketika.
"Iya, setidaknya ... dengan itu, kesucian Aruni masih bisa dibuktikan, Bagas."
.
.
“Tidak perlu.”
Satu kalimat pendek itu membuat Aruni spontan mendongak. Bola matanya membulat, menatap lekat-lekat ke arah Bagaskara yang berdiri tegak di sisi ruangan. Ada nada dingin dalam suara laki-laki itu, calon suaminya sendiri dan itu cukup mengejutkan.
“Tidak perlu?” ulang Daddy Aga, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Suaranya mengandung nada heran dan sedikit cemas, khawatir ia salah menangkap maksud ucapan Bagaskara.
Bagaskara menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah perlahan mendekati mereka. Tubuhnya masih menyisakan sisa-sisa emosi yang belum sepenuhnya reda.
Tangan kirinya mengepal, sementara tangan kanan tampak sedikit bergetar, mungkin akibat tenaga yang ia habiskan untuk menghajar Rajendra hingga nyaris tak berdaya di sudut ruangan. Wajahnya penuh Guratan amarah dan kekecewaan.
“Bagaimanapun juga … Aruni sudah terjamah,” ucapnya akhirnya, suaranya berat dan terdengar getir. “Hitungannya, dia sudah tidak bisa dikatakan suci lagi, Pak Aga.”
Gleg.
Aruni menelan ludahnya dengan susah payah. Tenggorokannya terasa kering, seolah semua air liur mendadak menghilang.
Jantungnya berdebar kencang, bukan karena takut, tapi karena keterkejutan yang begitu menyesakkan dada. Ucapan Bagaskara bagaikan pisau yang mengiris pelan-pelan, tajam dan menyakitkan.
Dia tidak menyangka, sama sekali tidak menyangka. Calon suaminya akan mengatakan itu dengan sedingin es. Memang benar, mungkin ada kekecewaan di hatinya. Tapi Aruni tak pernah membayangkan bahwa kekecewaan itu akan berubah menjadi penghakiman sekejam ini.
Perubahan sikap Bagaskara terasa mencolok. Laki-laki yang semalam masih menanggapi kata pamitnya dengan kelembutan dan penuh kasih, kini berubah menjadi sosok yang nyaris asing baginya. Sorot matanya gelap, bukan hanya karena amarah, tapi juga karena luka yang belum sempat diobati.
Lalu, Bagaskara membalikkan badan dan menatap tajam ke arah Rajendra yang kini tersandar lemah di lantai. Wajahnya penuh memar, darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya. Tapi tatapan Bagaskara tak menunjukkan belas kasihan sedikit pun.
“Dan untuk kau, Rajendra,” ucapnya sambil menunjuk tajam ke arah pria itu. Dadanya naik turun, napasnya berat menahan emosi yang kembali menyala. “Pilihanmu cuma dua. Nikahi dia … atau mati!!”
.
.
- To Be Continued -
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!