NovelToon NovelToon

Ketika Aku Jadi Karakter Dalam Novel

kecelakaan yang di sengaja

Alethea Novira tidak pernah menyukai perpisahan, tapi ia tidak menyangka perpisahan terakhirnya datang begitu cepat—dan begitu kejam.

Hari itu hujan turun deras, seolah langit sendiri tahu sesuatu yang buruk akan terjadi. Alethea duduk di bangku penumpang, menggenggam ponselnya dengan gelisah, membalas pesan terakhir dari sahabatnya. Sopir yang mengantarnya bekerja sudah puluhan kali melintasi jalanan berkelok di lereng itu. Tidak ada alasan untuk merasa takut.

Sampai mobil itu mulai meluncur tanpa kendali.

"Ada apa ini?!" teriak sopir panik, rem diinjak berulang kali, tapi mobil tak melambat. Alethea hanya bisa membeku, tubuhnya menegang saat suara logam berderit memenuhi telinga mereka. Hujan memburamkan pandangan, kabut menyembunyikan jurang di sisi jalan, sampai akhirnya semuanya lenyap—dalam benturan yang sunyi namun mematikan.

Mobil itu jatuh. Menghantam bebatuan. Terbalik. Hening.

Dan ia tahu, kematiannya bukan kecelakaan. Seseorang telah memotong rem itu.

Dan jika dia tidak menemukan siapa, dunia baru ini mungkin menjadi kuburannya yang kedua.

Hari itu seharusnya menjadi hari biasa—tidak istimewa, tidak juga buruk. Alethea Novira bangun sedikit terlambat, rambut masih acak-acakan saat ia menyambar roti bakar dari meja dapur dan mengeluh soal kopi yang terlalu pahit. Ia mengenakan mantel favoritnya, yang warnanya sudah mulai pudar tapi tetap nyaman, dan memasukkan buku tebal ke dalam tas—novel klasik yang ia baca berulang kali seolah mencari arti di balik kalimat-kalimat yang selalu menggantung.

"Alethea, kamu yakin nggak mau mobil lain aja? Mobilnya udah tua," tanya ibunya tadi pagi, sedikit cemas.

Tapi Alethea hanya tersenyum. “Kita semua tau, Ma. Yang penting masih bisa jalan.”

Dia tidak tahu bahwa kalimat itu akan menjadi yang terakhir ia ucapkan pada ibunya.

Perjalanan ke acara seminar sastra itu seharusnya memakan waktu kurang dari dua jam. Hujan mengguyur jalanan sejak pagi, kabut tipis mulai turun perlahan. Alethea duduk tenang di bangku penumpang, earphone di telinga, alunan musik klasik mengisi ruang di antara suara hujan yang menari di kaca jendela.

Ia menatap keluar jendela, melihat pohon-pohon yang berlari mundur, jalanan yang basah dan berkelok... dan rasa aneh mulai merayap di dadanya. Seperti firasat. Seperti bisikan samar bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi ia abaikan. Ia selalu mengabaikan perasaan-perasaan semacam itu.

Hingga sopir tiba-tiba mengumpat, mencoba menginjak rem. Sekali. Dua kali. Panik mulai melesak ke dalam ruang kecil itu. Mobil meluncur semakin cepat, tikungan semakin dekat, dan Alethea—untuk pertama kalinya dalam hidupnya—benar-benar merasa takut.

Dan saat dunia mulai berputar di luar kendali, satu pikiran melintas dalam kepalanya:

Ini bukan kecelakaan.

Hujan belum berhenti ketika regu penyelamat menemukan bangkai mobil yang ringsek di dasar jurang. Logamnya terpelintir, kaca pecah berserakan, dan bau bensin yang samar masih menguar di udara. Di dalamnya, tubuh Alethea Novira terjepit di antara sisa-sisa kehidupan yang tak lagi berdenyut. Matanya tertutup, kulitnya pucat seperti bulan yang tertutup awan—tenang, seolah hanya tertidur, padahal jiwa telah lama pergi.

Para petugas bekerja dalam diam, hujan menyamarkan suara langkah, dan wajah-wajah mereka tertunduk, tahu bahwa mereka tidak sedang menyelamatkan seseorang hari ini—mereka hanya membawa pulang apa yang tersisa.

Tubuh Alethea dimasukkan ke kantung jenazah dengan hati-hati. Seakan, meskipun sudah tiada, dia masih layak diperlakukan dengan lembut. Mobil ambulans menunggu di tepi jalan, lampu merahnya berkedip pelan, seperti detak jantung yang menolak berhenti.

Saat ambulans mulai melaju perlahan, membawa tubuh Alethea kembali ke rumah, dunia terasa terlalu sunyi. Sopir ambulans tak berkata apa-apa. Hanya suara hujan yang mengetuk-ngetuk atap mobil, mengiringi perjalanan terakhir seorang gadis yang terlalu muda untuk mati.

Di rumah alethea Novira, suasana sudah tegang. Sang ibu duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah pintu. Telepon yang masih tergenggam di tangannya tak lagi berdering, seolah waktu ikut membeku. Ayah Aletha mondar-mandir, mencoba tetap kuat, tapi jemarinya gemetar, dan matanya merah, penuh air mata yang belum sempat jatuh.

Dan ketika suara sirene terdengar dari kejauhan, hati mereka runtuh seketika.

Ambulans berhenti di depan rumah. Dua petugas turun, membuka pintu belakang dengan gerakan perlahan, seolah tahu mereka tidak hanya membawa tubuh—mereka membawa duka yang tak bisa diucapkan kata. Kantung jenazah itu dibaringkan di ruang tamu, di atas permadani yang biasa aletha di injak alethea tiap pagi .

Dan ketika resleting di buka dunia runtuh dalam sekejap .

ibu nya menjerit, bukan seperti tangisan , tapi seperti suara hati yang robek.

ayah nya jatuh berlutut menatap wajah anak nya yang tak lagi hangat.

Semua orang yang dirumah berkabung. Tidak ada yang bisa menerima kenyataan bahwa sosok yang mereka cintai kini hanya tubuh yang diam.

tapi di luar tetap hujanturun membasahi tanah,seolah ikut menangis .

Yang mereka tak tau, adalah bahwa di tempat lain , di dunia asing . Dunia yang seharusnya fiksi , alethea novira membuka matanya .iya terbangun di tubuh yang asing , dengan ingatan yang utuh dan pertanyaan yang menggema di hatinya ......

Cahaya redup dari lampu langit-langit menusuk perlahan kelopak matanya. Bau antiseptik yang khas memenuhi udara. Detak monitor jantung berdetak stabil di sebelahnya. Alethea mengerjapkan mata—pelan, bingung, dan… asing.

Lehernya kaku. Tubuhnya terasa ringan, terlalu kecil. Jemarinya kurus, bukan miliknya. Ia mengangkat tangan perlahan dan menatapnya—jari-jarinya tak lagi sama. Bukan tangannya. Bukan tubuhnya. Bahkan suaranya yang tercekat pun terdengar asing di telinganya sendiri.

“Dia… dia gerak! Mama! Kak, dia bangun!” seruan panik—tapi penuh harapan—meledak di sisi kanan tempat tidur. Langkah-langkah bergegas menghampiri. Suara kursi tergeser, suara napas tercekat, dan lalu… tangan-tangan hangat menggenggam jemarinya.

"Alethea… sayang… kamu dengar Mama?"

Suara itu gemetar, basah oleh air mata. Seorang wanita dengan wajah lembut, mata sembab dan senyum gemetar memandangnya seolah dunia berhenti berputar. Di belakangnya, tiga laki-laki berdiri—semuanya memiliki kemiripan di wajah. Salah satu dari mereka, yang tertua, bahkan menutup mulutnya dengan tangan, berusaha keras menahan tangis.

Alethea menatap mereka, masih dalam kabut kebingungan. “Siapa… aku…?”

Suasana seketika hening.

Wanita itu—yang ternyata adalah ibunya—tersenyum meski air mata mengalir deras. Ia membelai rambut Alethea dengan lembut.

"Kamu anak Mama… Alethea Alegria. Kamu koma selama dua bulan. Tapi kami semua di sini, menunggu kamu bangun. Setiap hari."

Kakak keduanya, yang berwajah dingin tapi matanya merah, melangkah maju dan berjongkok di sisi ranjang.

"Kamu nggak ingat kami? Aku, Ares. Ini Aryan, dan ini arvel kakak ketigamu. Kami kakak-kakakmu, Thea."

Alethea menatap mereka satu per satu. Hatinya berdebar tak karuan. Nama-nama itu tidak asing. Entah kenapa, ia merasa pernah membacanya… di suatu tempat. Di… novel?

Namun di balik kepanikannya, ada sesuatu yang menghangatkan hatinya. Pelukan ibu yang tulus, genggaman kakak-kakak yang kuat namun penuh kasih. Senyuman yang tak memaksa.

"Kami pikir kamu nggak akan bangun," ujar Arvel, kakak ketiga, suaranya pecah. "Tapi kami tetap tunggu. Karena kamu adik kami. Kamu... rumah kami."

Dan untuk pertama kalinya dalam hidup—atau mungkin dalam hidup barunya—Alethea merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sejak lama:

Dicintai. Diharapkan. Diterima, bahkan dalam tubuh yang asing.

Namun jauh di lubuk hatinya, Alethea tahu satu hal: ini bukan mimpi. Ini bukan dunia lamanya. Tapi ini... mungkin adalah kesempatan kedua.

Dan ia bersumpah, kali ini ia tidak akan menyia-nyiakannya.

Kalau kalian suka, kita bisa lanjutkan ke hari-hari pertama Alethea mencoba menyesuaikan diri di keluarga barunya sambil menyembunyikan kenyataan bahwa ia bukan Alethea Alegria yang mereka kenal. Mau dilanjut?

bab 2 kembali ke rumah

Sudah seminggu sejak Alethea membuka matanya di dunia yang asing—di tubuh yang bukan miliknya, di tengah keluarga yang mencintainya tanpa syarat. Dunia ini terasa seperti mimpi yang terlalu nyata, terlalu hangat, dan terlalu sulit untuk dipahami sepenuhnya.

Selama seminggu pula, ia diam dalam kebingungan, menatap wajah-wajah yang memanggilnya "sayang", "adik", "anak Mama". princes , Ia mengangguk, tersenyum kecil, menjawab sekenanya, walau hatinya terus bertanya: siapa mereka sebenarnya? Dan… siapa dirinya sekarang?

Namun tubuh ini—tubuh gadis berusia 17 tahun yang kini ia tinggali—masih rapuh. Kadang ada pusing mendadak. Kadang nafasnya sesak. Dan kadang, saat malam tiba, ia bermimpi tentang dunia lamanya—tentang mobil yang terjun ke jurang, tentang cahaya terakhir, tentang nama yang tak lagi dipanggil.

Hari ini, langit cerah. Jendela kamar rumah sakit terbuka setengah, membiarkan angin pagi yang sejuk masuk. Seorang dokter berdiri di sisi tempat tidurnya, memeriksa grafik hasil pemulihan dengan ekspresi netral tapi melegakan.

"Secara fisik, kamu sudah cukup stabil. Tapi kamu tetap harus rajin kontrol, ya, Thea," kata dokter itu sambil tersenyum. "Kamu masih dalam masa pemulihan. Trauma kepala akibat kecelakaan itu tidak ringan. Hilang ingatanmu bisa pulih perlahan, atau mungkin tidak… kita belum tahu."

Alethea hanya mengangguk pelan. Ia tidak bisa berkata banyak. Ia bahkan tidak tahu apa yang harus diingat.

"Tapi kamu anak kuat," dokter menambahkan sambil menepuk tangannya. "Dan kamu punya keluarga yang luar biasa."

Dan memang benar. Saat Alethea keluar dari kamar rawat, ia disambut oleh tiga kakaknya yang langsung berdiri serempak—Aryan, Ares, dan Arvel—seperti pengawal kerajaan. Ibu dan ayah nya memeluknya erat, terlalu erat, seolah takut gadis itu akan hilang lagi.

"Ayo pulang, sayang," bisik sang ibu dengan suara yang bergetar. "Rumah sudah rindu kamu."

Sepanjang perjalanan pulang, Alethea hanya menatap jendela mobil. Dunia di luar terasa asing tapi tidak menakutkan. Seperti halaman pertama dari buku yang belum ia baca, tapi ingin ia pahami.

Dan di dalam hatinya, ia tahu satu hal:

Meskipun ini bukan hidup yang ia kenal, meskipun ingatan yang mereka harapkan tak akan pernah kembali…

Ia ingin mencoba. Menjadi Alethea Alegria. Menjadi adik yang mereka rindukan.

Menjadi bagian dari keluarga yang terus menunggunya pulang, bahkan ketika dirinya sendiri nyaris tak mengenali siapa ia sebenarnya.

Tak lama kemudian mereka pun sampai di rumah yang mereka sebut sederhana , Gerbang rumah pun terbuka perlahan, memperlihatkan bangunan dua lantai bergaya klasik modern dengan halaman luas yang dipenuhi bunga-bunga bermekaran. Bagi Alethea, rumah itu seperti potongan dari lukisan: terlalu sempurna, terlalu indah… dan terlalu asing.

Mobil berhenti di depan beranda. Ibunya, Cintya Alegria, turun lebih dulu, lalu dengan cepat membukakan pintu untuk Alethea.

"Pelan-pelan ya, sayang. Jangan dipaksain," katanya sambil meraih tangan Alethea dengan lembut.

Di belakang mereka, Bram Alegria—sosok pria tegap dengan sorot mata teduh dan rambut mulai memutih di sisi—memandang putri bungsunya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Matanya basah, tapi ia menahan emosi itu sedalam-dalamnya.

"Selamat datang kembali, Putri kecil Papa," ucap Bram, suaranya serak namun penuh kehangatan.

Alethea hanya tersenyum kecil. Ia belum terbiasa dipanggil begitu. Tapi ia tidak ingin menyakiti hati siapa pun. Jadi ia membiarkan genggaman tangan ayahnya yang hangat, meski jiwanya masih mencari pijakan.

Saat mereka masuk ke dalam rumah, ketiga kakaknya sudah menunggu di ruang tamu.

Ares Alegria, sang sulung—tinggi, kalem, dengan aura pelindung—berdiri dan langsung menghampiri, menggandeng tas Alethea.

"Udah waktunya kamu rebut kamarmu lagi. Jangan biarin Arvel terus tidur di sana, bikin berantakan," katanya sambil tersenyum miring.

Arvel, si bungsu dari para kakak, langsung berseru, "Hey! Aku cuma jaga kasur biar tetep hangat!"

Aryan, kakak kedua yang lebih ekspresif dan jenaka, menepuk kepala Arvel dengan gemas. "Hangat atau penuh sisa keripik kentang, huh?"

Alethea tertawa kecil. Untuk pertama kalinya, suara tawanya terdengar seperti milik gadis itu. Mungkin bukan dirinya yang lama, tapi… ia ingin percaya bahwa dia bisa menjadi bagian dari ini.

"Makasih… udah jaga kamarku," katanya pelan. Ucapan itu sederhana, tapi membuat semua orang tersenyum lega.

Cintya: "Kita semua kangen kamu, Thea. Rumah ini sepi banget tanpa kamu. Bahkan Ares sampe masak sendiri lho kemarin, dan… yah, hasilnya kayak eksperimen gagal."

Ares: "ma , Itu omelet. Bentuknya doang kayak bantal sobek."

Bram: "Tapi rasanya… hmm, berkesan," kata sang ayah, mencoba diplomatis.

Alethea duduk di sofa empuk ruang keluarga, memandangi sekeliling. Dinding-dinding itu dipenuhi foto-foto masa kecilnya—atau lebih tepatnya, masa kecil gadis ini. Senyum di foto-foto itu ceria, penuh cahaya. Ia tak ingat satu pun dari mereka.

Namun pelukan hangat dari ibunya, candaan dari kakak-kakaknya, dan tatapan teduh dari ayahnya… semuanya nyata. Dan untuk saat ini, itu cukup.

Alethea: "Aku… bakal coba inget semuanya. Tapi kalau pun nggak bisa… aku tetap bersyukur, bisa pulang ke rumah ini."

Bram menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. "Kamu nggak harus buru-buru inget, Thea. Yang penting kamu sehat. Kamu hidup. Dan kamu tetap anak kami… apapun yang kamu ingat atau tidak."

Dan pada sore itu, saat cahaya matahari menyusup lewat jendela, Alethea Alegria duduk di tengah keluarganya, dikelilingi cinta yang tulus. Meski hatinya masih menyimpan rahasia yang belum terungkap, ia tahu satu hal:

Ia tidak sendiri.

Pintu kamar terbuka perlahan, disambut aroma familiar yang lembut—perpaduan lavender dan vanila, seperti pelukan hangat dari masa lalu yang samar. Alethea berdiri di ambang pintu, menatap ruang pribadinya dengan perasaan campur aduk. Ini… kamarnya. Atau setidaknya, itulah yang mereka semua yakini.

Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan kecil, sebagian hasil coretan tangan sendiri, sebagian lain tampak seperti hadiah dari orang-orang tercinta. Rak buku di sudut ruangan penuh dengan novel, jurnal, dan tumpukan kertas—dan satu boneka beruang tua duduk di atas bantal, seolah menunggu pemiliknya kembali sejak lama.

Alethea melangkah masuk pelan-pelan, setiap inci ruangan memanggil namanya… atau nama gadis yang dulu tinggal di tubuh ini.

"Kamu butuh waktu, Thea," suara lembut Cintya terdengar dari belakang. Ia berdiri di ambang pintu bersama Bram dan ketiga kakak Alethea. "Tapi rumah ini, kamar ini… semuanya milikmu. Kami nggak akan paksa kamu ingat sekarang."

"Istirahatlah dulu," sambung Bram dengan tenang. "Tubuhmu masih butuh waktu untuk pulih sepenuhnya. Kami akan selalu ada di luar pintu, kapan pun kamu butuh."

Ares menambahkan dengan senyum kecil, "Kalau ada yang ganggu, tinggal panggil. Aku siap jadi penjaga kamarmu, Thea."

Aryan terkekeh pelan, "Tapi jangan panggil tengah malam cuma buat minta cemilan, ya. Arvel bisa habis duluan."

"Hey!" Arvel melotot, membuat suasana sedikit cair.

Alethea tersenyum, walau hatinya masih gentar. Ia menatap mereka satu per satu, menghafal wajah-wajah yang mencintainya dengan tulus, meski ia belum sepenuhnya mengenal mereka.

"Terima kasih… semuanya. Aku akan istirahat sekarang," katanya pelan, hampir seperti bisikan.

Cintya berjalan mendekat, mencium kening putrinya dengan penuh kasih.

"Selamat datang kembali di rumah, Alethea Alegria."

Satu per satu mereka pun mundur, menutup pintu dengan perlahan, meninggalkan Alethea dalam kesunyian kamarnya sendiri.

Ia duduk di ranjang, membelai seprai yang lembut. Jari-jarinya menyentuh boneka beruang di samping bantal. Ada sobekan kecil di telinganya, dijahit rapi—seperti luka yang pernah ada, tapi kini sudah sembuh.

"Kehidupanmu... sangat berbeda dari milikku," gumamnya lirih, menatap bayangannya di cermin di seberang ruangan.

"Tapi… kalau ini kesempatan kedua, aku akan coba hidup di dalamnya dengan benar."

Dan dengan napas panjang, Alethea berbaring. Mata terpejam. Tapi pikirannya… mulai mencari. Mencari siapa dirinya sebenarnya. Dan mengapa takdir membawanya ke dalam tubuh seorang gadis bernama Alethea Alegria.

candaan di pagi hari

Di rumah keluarga Alegria, pagi itu terasa lebih hangat dari biasanya. Sinar matahari menyusup lembut lewat jendela besar ruang makan, menyinari meja yang sudah penuh dengan hidangan lezat buatan Mama Cintya. Tawa kecil terdengar dari Papa Bram dan ketiga kakak Alethea—Ares, Aryan, dan Arvel—yang sudah duduk rapi di meja. Tapi, masih ada yang kurang.

Sang putri kecil keluarga, Alethea, belum terlihat. Tanpa kehadirannya, pagi belum terasa lengkap.

Papa Bram (tersenyum sambil menyesap kopi):

"Sepertinya istana belum lengkap tanpa sang putri turun dari menaranya, ya?"

Aryan (dengan nada usil):

"Aku yakin dia masih memilih baju buat sarapan."

Ares (berteriak lembut ke lantai atas):

"Aletheaaa! Princess, rakyatmu sudah menanti!"

Arvel (mengangkat sendok seperti tongkat kerajaan):

"Atas nama kerajaan Alegria, kami meminta sang putri untuk turun dan menyantap hidangan kerajaan bersama kami!"

Mama Cintya (tersenyum sambil menata piring):

"Alethea sayang, sarapanmu bisa dingin, lho..."

Tak lama kemudian, terdengar langkah kecil dari tangga. Dengan piyama lucu dan rambut dikuncir dua, Alethea muncul sambil menguap kecil.

Alethea (dengan suara manja):

"Aku datang, rakyatku... tapi boleh nggak aku duduk di samping Papa?"

Papa Bram (membuka tangan lebar-lebar):

"Tentu saja, Princess. Singgasana ini hanya untukmu."

Alethea tersenyum lebar mendengar gurauan pagi dari keluarga tercintanya. Tawa kecil keluar dari bibir mungilnya saat ia menuruni tangga dan berlari kecil menuju meja makan. Ia langsung duduk di sebelah Papa Bram, yang menyambutnya dengan pelukan hangat, dan diapit oleh kakak sulungnya, Ares, yang dengan lembut mengacak rambutnya.

Suasana pagi itu begitu cerah—penuh tawa, aroma makanan, dan cinta yang tak kasat mata. Tapi perlahan, semua menjadi hening ketika Alethea, sambil memotong rotinya perlahan, membuka suara dengan nada lembut.

Alethea (pelan):

"Pa... Ma... Aku mau nanya. Kapan aku mulai sekolah lagi?"

Sendok dan garpu yang semula berdenting pelan di atas piring kini terdiam. Semua mata memandang ke arah Alethea. Tak ada yang langsung menjawab. Wajah-wajah yang tadi ceria kini berubah menjadi penuh perhatian—bukan karena pertanyaan itu mengejutkan, tapi karena mereka tahu, bagi Alethea, sekolah bukan sekadar tempat belajar. Itu dunia yang dulu sempat ia tinggalkan.

Ares (lembut, menoleh ke arah adiknya):

"Kamu pengin balik secepatnya, Thea?"

Alethea (mengangguk perlahan):

"Iya... aku kangen teman-teman. Tapi juga... agak takut."

Mama Cintya (mengelus punggung Alethea):

"Itu wajar, sayang. Tapi kamu nggak sendiri. Kita semua di sini buat nemenin kamu."

Papa Bram (tersenyum hangat):

"Kapan pun kamu siap, kita akan dukung. Kamu kuat, princes. Dan sekolah... akan jadi petualangan baru buat kamu."

Setelah keheningan sejenak, percakapan mulai mengalir lagi di meja makan. Kali ini, lebih tenang, lebih serius, tapi tetap hangat. Semua mata tertuju pada Alethea—sang putri kecil yang mereka sayangi sepenuh hati.

Papa Bram (menatap Alethea lembut):

"princes, kamu tahu kan… kamu boleh sekolah, tapi dengan satu syarat."

Alethea (penasaran):

"Apa, Pa?"

Papa Bram:

"Kamu nggak boleh capek-capek Kalau udah mulai lelah, kamu harus istirahat. Nggak boleh maksain diri, ya?"

Mama Cintya (menimpali sambil menaruh segelas susu di depan Alethea):

"Kesehatan kamu nomor satu, sayang. Pelan-pelan aja. Nggak usah kejar-kejaran sama yang lain."

Aryan (dengan nada menggoda):

"Jangan khawatir, kita bisa kasih kamu sepatu roda biar nggak capek jalan!"

Semua tertawa kecil, kecuali Arvel yang tampak berpikir serius.

Papa Bram (beralih ke Arvel):

"Arvel, Papa mau minta tolong sama kamu."

Arvel (langsung duduk lebih tegak):

"Apa, Pa?"

Papa Bram:

"Kamu anak kelas tiga di SMA itu. Papa titip adik kamu selama di sekolah. Jagain dia baik-baik, pastiin dia nggak kelelahan, dan selalu temani kalau dia butuh sesuatu."

Arvel (mengangguk cepat, matanya mantap):

"Iya, Pa. Aku janji bakal jagain Thea. Nggak akan aku tinggal sendirian."

Alethea (tersenyum lebar, menoleh ke Arvel):

"Makasih, Kak. Tapi aku juga bisa jaga diri kok."

Arvel (tersenyum balik):

"Aku tahu. Tapi tugas kakak kan tetap jagain adik, walaupun adiknya hebat."

Ares (bercanda):

"Cieee, jadi bodyguard sekarang!"

Aryan:

"Harus beli jas hitam dan kacamata item tuh, Vel."

Tawa kembali memenuhi meja makan. Tapi di balik gurauan itu, tersimpan rasa saling menjaga yang begitu dalam. Keluarga Alegria tak hanya menyayangi Alethea, mereka melindunginya, bersama-sama. Dan pagi itu, mereka semua tahu, perjalanan Alethea kembali ke sekolah akan jadi babak baru—yang akan mereka lalui bersama.

Hari demi hari berlalu, dan keluarga Alegria mulai membantu Alethea bersiap untuk kembali ke sekolah. Setiap anggota keluarga punya peran masing-masing—semua ingin sang putri kecil kembali dengan percaya diri dan senyum ceria.

Di kamar Alethea, malam sebelum sekolah dimulai...

Mama Cintya (membuka lemari sambil memegang seragam):

"Seragam kamu masih muat, Thea. Tapi Mama beliin yang baru juga, biar kamu makin semangat."

Alethea (duduk di tempat tidur, tersenyum):

"Makasi, Ma. Rasanya deg-degan... tapi juga excited."

Mama Cintya (membelai rambutnya):

"Itu wajar, sayang. Semua anak pernah merasa begitu. Yang penting kamu percaya, kamu bisa."

Sementara itu, di ruang keluarga, Papa Bram sedang berbicara dengan ketiga putranya.

Papa Bram:

"Ares, Aryan, Arvel… besok pagi kita berangkat bareng. papa mau kalian semua ada buat Alethea, biar dia ngerasa didukung."

Ares (mengangguk):

"Tentu, Pa. Aku bahkan bisa bantu antar sampai kelasnya."

Aryan (bersemangat):

"Dan aku siap bikin jokes receh sepanjang jalan biar dia nggak tegang."

Arvel (tersenyum tenang):

"Aku yang bakal jagain di sekolah. Nggak akan jauh dari dia."

Papa Bram (tersenyum puas):

"Papa bangga sama kalian."

Matahari menyambut lebih cerah dari biasanya. Meja makan penuh dengan sarapan bergizi. Alethea duduk dengan rambut dikuncir rapi, seragam putih abu yang baru, dan ransel yang nyaris lebih besar dari tubuhnya. Matanya bersinar.

Alethea (berbisik pelan):

"Aku siap..."

Mama Cintya (memeluknya erat):

"Kamu luar biasa, sayang. Jalanin hari ini dengan senyum, ya?"

Papa Bram (memberi high-five):

"Putri Alegria siap menaklukkan dunia!"

" siap dong pa , aku pasti bisa semangat !!!!... Ucap alethea dengan penuh semangat

Dengan langkah kecil tapi penuh keberanian, Alethea keluar dari rumah bersama keluarganya. Mobil keluarga melaju pelan menuju sekolah, penuh tawa dan semangat. Hari itu bukan sekadar hari pertama sekolah. Itu adalah awal dari babak baru kehidupan Alethea—dan cinta keluarganya akan selalu menjadi sayap di belakangnya.

alethea merasa beruntung mempunyai keluarga yang hangat sama seperti di kehidupan lalu nya , tak tersadar ia pun menangis melihat semua keluarga yang mengantarkan nya ke sekolah di hari pertama masuk sekolah ,

" sayang nya mama kenapa nangis hmm" ??

ucap mama Cintya sembari menghapus air mata anak nya.

papa dan ketiga kakak nya pun langsung menoleh kearah nya melihat apa yang di katakan istri dan ibu mereka ,

" hey princes nya papa kamu kenapa nak ??" apa ada yang sakit ?? Kalau begitu jangan pergi sekolah kita kerumah sakit aja ya ??"" ucap papa Bram dengan penuh ke khawatiran

ketiga kakak nya pun tak kalah panik melihat adik nya yang menangis ,

Tapi Dengan lembut alethea berkata bahwa dirinya baik-baik saja dan tak perlu kerumah sakit , " aku ga papa kok ma ,pa ,kak , aku hanya terharu kalian semua begitu sayang dan perhatian padaku , aku merasa beruntung bisa ada di tengah-tengah kalian semua"...

lirih alethea pelan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!