Dokter keluar dari ruang UGD dengan helaan nafas panjang. Keluarga pasien yang ia tangani belum datang juga, katanya mereka masih diperjalanan.
"Bagimana keadaan putri saya dok?"
Dokter itu berhenti melangkah saat sudah ingin pergi dari area ruangan itu.
"Kalian siapa?"
"Saya orang tua dari pasien yang dokter tangani."
"Putri? Di dal----"
"Jawab saya keadaan putri saya gimana?!" Potongnya dengan wajah frustasi.
Terdengar helaan nafas dari Dokter itu. "Mohon maaf kami tidak bisa menyelamatkan nyawanya."
"Gak mungkin putri saya meninggal!" Teriak Denis menggelegar. "Anda bohong kan? Jawab saya!" Denis sudah menarik kerah baju dokter itu, sudah bersiap-siap memberi bogeman.
"Jangan membuat keributan Pak," Tahan Scurity.
"Putri saya gak meninggal, lepasin saya!"
Devan tak bertenaga lagi ingin memisahkan Denis. Dirinya langsung terduduk dengan lemas setelah mendengar penuturan dokter itu.
"Gue gak bisa tahan semua ini Dev, rasanya gue pengen mati aja."
Devan menangis mengingat perkataan Vanya dulu. "Vanya." Gumamnya dengan perasaan sesal.
Devan meremas rambutnya frustasi, menyalahkan dirinya karena tak bisa menyelamatkan Vanya. Sedangkan kondisi disana semakin memanas karena Denis tak menerima putrinya meninggal.
"Pak Denis? Ini kenapa ya?" Tanya Doker Arya, dokter yang pernah menangani Vanya saat Vanya dinyatakan Koma.
"Dokter Arya, Vanya gak mungkin meninggal, dia gak mungkin ninggalin saya," Lirih Denis tak bertenaga. Ia bahkan sudah jatuh terduduk dihadapan dokter Arya.
"Vanya kenapa?"
Pertanyaan dokter Arya tidak di jawab lagi karena ruang UGD terbuka menampilkan orang yang seluruh badannya tertutup oleh kain.
"Vanya!" Denis mendekat kemudian memeluk putrinya. "Putri saya gak meninggal Dok!"
"Maaf kami akan memindahkan jenazahnya."
"Gak, putri saya gak meninggal!"
Denis membuka kain itu namun sepersekian detik tangisnya langsung berhenti.
"Putri saya kemana?"
Denis bingung sendiri karena orang yang ada di atas brankar itu bukanlah putrinya melainkan nenek yang umurnya lebih dari Denis.
"Lah saya juga bingung tadi bapak bilang yang didalam itu putri bapak."
"Kenapa anda gak ngomong?!" Gregetnya ia jadi malu sendiri jadinya.
Devan mendekat karena mendengar perdebatan Denis. Devan merasa ada yang tidak beres dengan semua ini.
"Gimana saya mau ngomong, bapak tadi potong pembicaraan saya," Dokter itu membela diri.
"Terus putri saya di mana?"
"Kamu nanya? Mana saya tahu," Sewot dokter itu kemudian mengisyaratkan pada perawat agar membawa jenazahnya. Sudah kepalang kesal pada Denis jadi ia memilih pergi.
Suara dering ponsel terdengar membuat Denis cepat-cepat membuka ponselnya.
"Halo,"
"Halo Pak, maaf pak kami mau memberitahukan kalau non Vanya ada di rumah sakit Bina sakti. Kami membawa ke rumah sakit itu karena non Vanya sempat kejang-kejang sehingga kami memutuskan membawa Non Vanya ke rumah sakit terdekat."
"Kenapa kamu baru ngabarin saya!"
"Maaf pak, saya baru menemukan Hp saya."
"Ya sudah tunggu saya di sana,"
Denis menutup telfonnya dan menatap dokter Arya dengan tatapan malu. Dirinya sempat meraung-raung tapi pada akhirnya ini semua hanyalah Prank. Benar-benar memalukan, mana banyak yang nonton lagi.
"Gimana pak, Vanya sudah di temukan?"
Denis menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Maafin saya dok, ternyata saya salah rumah sakit."
Dokter Arya terkekeh, ia menepuk bahu Denis. "Gak papa, lain kali pak Denis harus mendengarkan orang lain bicara dulu, jangan langsung menyimpulkan begitu saja."
"Hehehe iya dok."
•••
Devan bersykur ternyata Vanya masih hidup. Ia tidak bisa membendung kebahagiaanya dan berjanji setelah Vanya sehat ia akan ke panti asuhan. Tentu saja sebagai rasa bersyukurnya.
Sampai di rumah sakit Bina sakti, Denis langsung memukul satu persatu Bodyguardnya. Devan yang melihat itu hanya meringis kecil. Ia yang bukan Denis saja sudah malu sekali karena telah salah orang, mana orang yang di kira putrinya adalah Nenek-nenek lagi. Malunya itu loh, pasti selalu diingat.
"Gara-gara kalian saya jadi malu!"
"Malu kenapa pak?"
Denis memberi pelolotan tajam pada yang bertanya itu. "Karena saya mengira orang yang meninggal itu adalah Vanya tapi ternyata itu adalah nenek-nenek."
Bodyguard Denis menahan tawanya mendengar perkataan majikannya.
"Malah ketawa lagi, sana pergi carikan saya makanan sama Devan," Usirnya.
"Iya Pak,"
"Gaji kalian saya potong baru tahu rasa kalian,"Cetus Denis merasa kesal pada anak buahnya.
Dokter yang menangani Vanya keluar. Denis dan Devan langsung mendekat karena sudah sangat penasaran bagaimana keadaan Vanya.
"Gimana keadaan putri saya dok?"
"Syukurlah putri anda cepat-cepat di larikan ke sini karena lambat sedetik saja saya tidak tahu bagaimana keadaan Vanya."
"Pendarahan di tangannya sudah berhenti, kita tinggal menunggu putri anda siuman. Boleh saya mengusulkan sesuatu pada anda?"
"Boleh dok."
"Saya sarankan bawa putri anda pergi dari kota ini untuk sementara waktu. Saya taku kondisi putri anda semakin buruk jika ia tetap masih di tempat ini. Dia butuh tempat baru untuk beradaptasi, jadi saya berharap kalian bisa mempertimbangkan pendapat saya."
Denis terdiam, yang di katakan dokter dihadapannya ini sebenarnya sudah ia pikirkan jauh-jauh hari. Ia tentu tak mau Vanya seperti ini lagi. Mungkin membawa Vanya pergi dari sini adalah jalan satu-satunya.
"Saya sudah memutuskan membawa Vanya pergi dari sini."
Devan duduk termenung di depan ruang rawat inap Vanya. Ini sudah lewat dua jam Vanya masih belum siuman, dan Devan tentu tak ingin pergi sebelum ia melihat Vanya membuka matanya.
Vanya akan di bawa pergi setelah siuman. Itu berarti jika Vanya siuman malam ini, artinya Vanya sudah di bawah pergi besok pagi. Devan tak siap untuk berjauhan dengan Vanya.
"Mikirin Vanya ya?"
Devan tersenyum tipis melihat Denis yang tiba-tiba mengagetkannya.
"Mau dengar cerita tentang Vanya?"
"Mau Om," Ucapnya cepat.
Denis terkekeh, ia sudah menduga sejak lama kalau Devan menyukai Vanya. Devan memang galak pada putrinya namun Denis tahu kalau Devan menyimpan beribu rasa sayang pada putrinya itu.
"Istri saya di angnosis sulit mendapatkan anak. Tapi saya tak pernah sedikitpun punya niat untuk meninggalkannya. Kami terus berusaha dan ternyata tuhan mendengarkan doa kami. Vanya tumbuh di rahim istri saya sekitar 6 tahun pernikahan kami,"
Denis mengingat masa di mana dirinya berjuang keras bersama istrinya.
"Kami sangat bahagia dan menanti Vanya dengan sabar. Dan saat Vanya lahir istri saya dinyatakan tidak bisa memiliki anak lagi. Tapi kami tetap bersykur karena Vanya sudah hadir di tengah-tengah kami,"
"Saya dan Wijaya bersahabat dari SMA. Tentu Vanya dan Alka sering bertemu karena Wijaya pernah tinggal di dekat rumah kami. Alka dan Vanya saling menyayangi, tapi pada saat Vanya berumur 10 tahun, kami memutuskan pindah rumah karena kedua orang tua saya menginginkan Vanya tinggal di sana,"
"Pada saat SMP Vanya sering di Bully, tapi dia tak mau jujur pada saya. Karena kesempurnaanyalah Vanya jadi di Bully sehingga mengakibatkan Vanya jadi Trauma. Untungnya Trauma Vanya cepat pulih sehingga kami memutuskan untuk memindahkan Vanya dan kembali kesini. Mungkin Vanya memilih jadi Pembully karena merasa menjadi Pembully lebih baik daripada menjadi korban."
Devan mengangguk -anggukan kepalanya sudah mengerti.
"Kamu harus janji sama saya," Denis memegang tangan Devan dan menatap laki-laki itu dengan serius. "Kamu harus datang dan perjuangkan putri saya."
•••
Devan memasuki kamar inap Vanya. Devan merasa bersykur karena tuhan masih baik pada Vanya. Ia mengelus tangan Vanya kemudian mengecupnya. Tak ada salahnya bukan kalau ia melakukan hal itu, toh Denis sendiri sudah memberikan restu padanya.
"Lo kok bego banget mau bunuh diri? Kenapa gak langsung ke gue aja, biar langsung gue bawa lo ke jurang."
Devan mengelus pipi Vanya yang sudah semakin tirus. Devan kesal pada pemilik tubuh ini karena gara-gara ia pipi kesukaan Devan jadi tidak terawat seperti ini.
"Dasar bego, pipi lo jadi gak gembul lagi kan. Kalau lo sudah ada di sana besok, makan yang banyak dan buat pipi kesukaan gue jadi kayak dulu, ingat ya,"
"Kenapa sih lo mau bunuh diri? Sesempit itukah pemikiran lo? Woi bangun dong kalau gak mau gue cium nih,"Ancamnya namun setelah itu ia terkekeh karena telah berbicara sendiri.
Devan terdiam sesaat memandang Vanya. Dirinya akan berpisah dengan Vanya untuk waktu yang lama. Devan frustasi karena rasanya kepalanya hampir pecah memikirkan Vanya.
"Gue cium aja deh lo. Kan Om Denis sudah kasih lampu hijau sama gue."
Devan mendekat dan berhenti sesaat menatap Vanya yang masih belum siuman. Ia memiringkan kepalanya dan bibirnya sudah berhasil menyentuh bibir pucat milik Vanya.
Cup
"Ini tanda kalau lo milik gue sekarang."
2 tahun kemudian
Devan baru sampai ke bandung setelah menempuh perjalanan selama empat jam. Matanya menyusuri bandara mencari seseorang yang katanya sudah menunggunya sejak tadi.
Devan mencoba menelfon orang itu dan nomornya tidak aktif. Devan berdecak kesal kemudian menarik kopernya mencari orang itu.
"Dimana sih dia?"
Devan menurunkan kaca mata hitamnya saat matanya menangkap orang yang sangat ia hafal sedang berbincang dengan seseorang yang Devan tak kenali. Ia menarik kopernya dengan cepat setelah ia dekat, Devan langsung menarik orang tersebut.
"Ih apaansih,"Dengusnya dengan nada berbisik.
"Lo siapa?" Tanya Devan to the point. Nada ketusnya tak lepas seperti biasanya saat berbicara dengan laki-laki yang mendekati perempuan itu.
"Devan, jangan kayak gitu," Vanya mencubit kecil lengan Devan kemudian tersenyum bersalah pada orang yang telah membantunya tadi.
Sebelum Vanya datang ke bandara tadi ia sempat membeli minuman. Tapi ternyata dompetnya tertinggal di kafe tempat ia membeli minuman. Untungnya ada yang membantunya dan rela membawakan dompetnya itu ke bandara. Vanya sangat berterima kasih pada orang yang telah membantunya itu.
"Maafin sahabat gue ya, dia kayaknya capek karena perjalanan makanya dia sensitif kayak gini."
"Oh gak papa Vanya," Ucap Cowok itu memaklumi.
"Oh iya makasih banyak ya karena sudah bantuin gue,"
"Sama-sama Vanya,"
"Ehem, urusannya sudah kan? Ayo kita pergi," Devan menarik tangan Vanya namun sekali lagi Vanya melepaskannya dan menatap horor laki-laki itu.
"Gavi kita lanjut di wa atau ig aja ya, lo sudah follow gue kan?"
"Iya sudah."
"Ayo," Devan mengeram dan kembali memegang tangan Vanya.
"Kit---- Devan ih," Devan sudah menarik Vanya pergi dari sana. Setelah itu mendorong Vanya dengan pelan memasuki mobil yang sudah Devan pesan.
Vanya menatap Devan dengan tajam di dalam mobil, sedangkan Devan hanya memasang wajah biasa saja seperti tak pernah terjadi apa-apa.
"Devan ih, lo bikin malu aja tahu gak?!"
Devan menutup mulut Vanya membuat Vanya langsung melepas tangan Devan.
"Ih ngeselin banget jadi cowok!"
"Berisik."
Vanya bersidekap dada tak mau melihat Devan. Ia masih kesal pada cowok itu. Selalu saja seperti ini jika ia berdekatan dengan cowok. Jika di tanya mengapa Devan melakukan itu, cowok itu akan mengatakan kalau ia hanya mau menjaga Vanya.
Terdengar suara notifikasi dari hp Vanya membuat kepala Devan langsung menoleh.
"Akhirnya dia Dm gue," Ucap Vanya pelan yang masih di dengar oleh Devan.
"Ternyata dia Bule, orang turki lagi. Pantas aja muka dia ganteng banget."
Devan memanas mendengar Vanya memuji orang lain. Devan lantas merebut ponsel Vanya kemudian membaca nama laki-laki itu.
"Ih Devan! Sini hp gue!"
Devan memberikan kembali Hp Vanya karena sudah tahu siapa nama laki-laki itu. Ia menyeringai karena seperti biasanya ia akan membuat laki-laki itu jera padanya. Tak akan ada satupun laki-laki yang bisa berlama-lama dekat dengan Vanya. Hanya dirinya, dan tak ada orang lain.
•••
Devan mendudukkan dirinya di sofa setelah sampai di apartemennya. Dirinya sangat lelah setelah perjalanan tadi. Ia menatap Vanya yang sudah membuka kopernya. Ia menghela nafas lelah karena seperti biasanya saat ia pulang ke jakarta pasti perempuan itu akan meminta kue bawang buatan maminya.
Setelah Devan lulus SMA Devan memutuskan kuliah di Bandung dan menetap di sana. Ia melakukan ini semua karena tak bisa jauh dari Vanya. Tiga bulan tanpa melihat Vanya secara langsung membuat Devan tak bisa diam. Dirinya selalu khawatir pada keadaan gadis itu.
Awalnya maminya tak setuju kalau Devan kuliah di bandung, tapi untungnya Michel mendukungnya sehingga Maminya kalah dan terpaksa melepaskan putranya.
"Enak banget, beda banget sama buatan Mama," Vanya memeluk toples besar berisikan kue bawang.
"Devan gue saranin lo bikin usaha kue bawang," Usul Vanya tiba-tiba membuat Devan melongo.
"Kan lo bisa untung tuh, apalagi lo jualan di kampus, lo bisa kaya raya tiba-tiba."
"Ngaco lo,"
"Kok ngaco sih, ini tuh bagus kali,"
"Terserah lo aja deh," Ucap Devan malas karena dirinya lebih serius memandang Vanya yang menikmati kue bawang.
Dari sudut manapun itu Vanya tetap cantik. Devan tak tahu mengapa dirinya bisa sejatuh-jatuhnya pada pesona gadis itu. Rasanya Devan ingin mencekik Vanya sangking gemasnya ia pada perempuan itu. Apalagi jika Vanya sedang tidur, rasanya Devan ingin mencubit sampai badan perempuan itu merah-merah karena sangking gemasnya dia.
"Aww Devan!"
Devan berlari memasuki kamarnya setelah menggigit lengan Vanya. Ia terkekeh mendengar omelan Vanya yang mengatai dirinya.
"Devan anjing! Buka!"
"Gak mau, gue mau mandi!"
"Awas aja lo ya."
Devan tertawa terpingkal-pingkal di kamarnya. Ia merebahkan dirinya di ranjang dan menatap langit-langit kamarnya.
"Kapan lo peka kalau gue suka sama lo Vanya."
•••
Vanya menatap Devan dengan tatapan menyelidik. Agaknya cowok itu sedang merencanakan sesuatu untuk menjahilinya. Sedangkan yang di tatap masih menampilkan senyum lebarnya pada Vanya.
"Lo mau bilang kan kalau gue cantik kayak monyet kan?"
Senyum Devan langsung meluruh. Ia berharap Vanya berterima kasih padanya karena ia sudah memujinya tapi perempuan itu malah tidak percaya.
"Iya lo mirip kayak monyet," Cetus Devan kesal kemudian makan dengan cepat.
"Tuh kan gue sudah bilang. Omongan lo itu gak bisa di percaya. Ngomong gue cantik tapi ujung-ujungnya bilang mirip monyet,"
"Terserah, dasar gak peka,"
"Siapa yang gak peka?" Tanya Vanya dengan polosnya.
Devan berdiri dari duduknya kemudian berjalan mendekat pada Vanya.
"Mau ngapain lo?"
Devan menggigit lengan Vanya membuat si empunya mengerang kesakitan.
"Argh!"
"Rasain, emang enak,"
"Sakit!"
"Bodo amat."
•••
Jam sudah menunjukkan angka 23.00 sepertinya Vanya sudah terlalu lama mengobrol dengan Devan sampai ia lupa dengan waktu. Ia berdiri dari duduknya setelah mendapatkan telfon dari Denis.
Devan yang melihat Vanya membereskan barang-barangnya di atas meja langsung cemberut. Ia masih ingin Vanya berada di apartemennya dan juga masih merindukan gadis itu.
"Dev ayo anterin gue pulang,"
"Gue malas."
"Loh tadi kan lo bilang mau anterin gue,"
"Sekarang gue capek Vanya," Devan memang lelah sejak sampai tadi. Tapi rasa lelahnya seketika menghilang ketika Vanya sudah berada di dekatnya.
"Yaudah lo istirahat aja, gue pesan Gojek aja,"
Devan melotot, perempuan itu benar-benar punya berbagai macam cara pergi dari sini. Dasar tidak peka.
"Devan!"
Devan menyimpan Hp Vanya di belakang punggungnya. Ia tak akan membiarkan perempuan itu pergi dari sini. Dirinya sudah menahan rindu selama hampir satu bulan dan bayarannya harus setimpal dengan rasa rindu yang ia tahan.
"Lo apa-apaansih, sini hp gue,"
"Gak,"
"Devan Papa sudah nyuruh gue pulang," Ucap Vanya memelas. "Gue juga mau siapin buat ujian dua hari ke depan,"
"Gue gak mau anterin lo," Devan tetap kekeh pada pendiriannya.
"Yaudah kalau lo gak mau anterin gue. Gue jalan kaki aja."
Karena terlanjur kesal pada Devan, Vanya berjalan keluar tapi Devan tetap di tempatnya. Devan berfikir Vanya tak mungkin mau pulang sendirian apalagi keadaan sudah sangat malam. Tapi saat mendengar suara pintu yang ditutup Devan langsung beranjak dan berlari menyusul Vanya. Benar-benar Vanya sangat keras kepala.
•••
Devan terus mengumpat dalam hati. Ia sekarang ini berada di dalam mobil mengantar Vanya. Lihat saja bagaimana wajah gadis yang duduk di sampingnya ini. Sangat polos dan sangat tidak peka kalau Devan saat ini sedang marah.
"Bisa sedikit cepat gak?"
"Ini sudah cepat," Ucap Devan begitu judes.
"Cepat gimana maksud lo? Larinya kayak mobil mau mogok,"
"Terserah gue lah, gue yang nyetir kenapa lo yang sewot,"
Vanya berusaha sabar menghadapi sikap Devan. Yang ia hadapi sekarang ini adalah Devan yang kerasnya melebihi batu. Mau berdebat bagaimana pun ia dan Devan pasti ujung-ujungnya Devan yang tak mau mengalah. Jadi Vanya memilih diam saja, toh nanti Devan diam sendiri.
Setelah menempuh perjalanan yang memerlukan banyak waktu akhirnya mereka sampai juga. Vanya melepas seatbeltnya dan semua itu tak luput dari penglihatan Devan.
"Gak usah masuk, lo pulang aja langsung terus istirahat," Pesan Vanya yang tidak di hiraukan Devan.
Devan masih rindu pada Vanya. Memang terkesan sangat lebay tapi ini adalah dirinya, si bucin yang tak pernah mengakuinya.
"Dah! Langsung pulang!" Vanya langsung masuk ke dalam rumahnya, sepertinya perempuan itu sangat lelah.
Devan berfikir keras, ia masih merindukan Vanya dan ia tipikal orang yang tak bisa menahan sesuatu yang menjanggal di dadanya.
"Gak mau masuk Den?" Tanya Pak aji, satpam yang menjaga rumah Vanya.
"Tunggu pak, jangan di tutup dulu," Devan menjalankan mobilnya memasuki rumah Vanya. Ia nekat akan melakukan rencana ini. Bukan namanya Devan kalau tidak melanggar apa yang ia inginkan.
"Pak Aji tutup gerbang aja, saya mau nginap,"
"Siap Den."
•••
Denis mengernyit saat melihat Devan berjalan menuju padanya. Denis menduga Devan melupakan sesuatu sehingga ia masuk ke dalam rumahnya, karena sebelumnya Vanya mengatakan kalau Devan langsung pulang karena ingin istirahat.
"Loh Devan kamu lupa sesuatu? Atau mau Om panggilin Vanya?"
"Eh gak usah Om," Tahan Devan kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung sendiri mau dari mana mengatakan keinginannya.
"Terus ada apa?"
"Gini Om, saya boleh nginap gak di sini?"
Melihat wajah Denis yang sedang mengerutkan alisnya Devan salah tingkah. Alasannya pasti akan di ditertawakan oleh Denis jika tahu sebenarnya ia masih merindukan Vanya.
"Saya mau nginap om karena saya punya sesuatu yang penting untuk di bicarakan dengan Vanya. Apartemen saya juga belum di bersihkan. Jadi....boleh gak saya nginap di sini?"
"Ini kan sudah malam, gak bisa besok bicaranya?"
"Gak bisa om, soalnya ini menyangkut soal pendaftaran Vanya di kampus saya,"
"Oh gitu ya? Bukan karena masih ingin ketemu sama anak saya?"
Devan meneguk ludahnya susah payah. Mati sudah dirinya karena Denis menebak maksud kedatangannya.
"Enggak om, saya......"
Sial, Devan kehilangan kata-katanya. Malu sekali rasanya karena pastinya Denis sudah tahu maksudnya.
"Kamu itu kayak sama siapa aja. Saya kan sudah tahu kalau kamu naksir sama anak saya. Gak usah pake bikin alasan. Langsung ngomong aja kalau masih pengen ketemu sama Vanya."
Devan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia malu karena akhirnya Denis tahu alasannya ingin bermalam. Tapi tidak papa, toh hal seperti ini sudah biasa bagi Devan. Malahan ada yang lebih parah lagi daripada ini saat Denis mengetahui alasannya dulu.
Satu tahun yang lalu Vanya pernah demam. Devan menjenguk Vanya dan menjaga Vanya di dalam kamar perempuan itu. Saat Vanya tertidur Devan gelisah karena tergoda melihat bibir Vanya. Jika ia mencium Vanya sekarang ini berarti ini kedua kalinya ia mencium Vanya secara diam-diam.
Devan terus berfikir dan terus menahan diri tapi pada akhirnya ia tak bisa. Ia mendekat ingin mencium Vanya dan akhirnya bibirnya juga bertemu dengan Vanya setelah sekian lama berpisah. Devan masih tak mau melepaskan kecupannya. Ia masih suka dengan posisi itu, tapi suara keras mengagetkannya.
Denis yang memergoki Devan mencium putrinya menarik Devan pergi dari sana. Ia menatap Devan dengan tatapan tajam sedangkan yang di tatap terus mengumpati dirinya karena lupa menutup pintu kamar Vanya.
"Kamu ngapain cium anak saya?"
"I...itu om, saya cuma kasi nafas buatan buat Vanya,"
Tuk
Denis memukul kepala Devan karena sudah berbicara sembarangan. Putrinya bukan sesak nafas yang harus di beri nafas buatan. Vanya hanya tertidur tapi cuma laki-laki inilah yang otaknya sudah kotor.
"Sembarangan aja kamu. Kamu pikir Vanya sesak nafas yang harus di kasih nafas buatan?"
"Maaf om," Devan menunduk sedih.
"Ini sudah kedua kalinya kamu cium anak saya secara diam-diam."
Tunggu. Devan tak mungkin salah dengar. Ya tuhan, apa jangan-jangan selama ini Denis tahu kalau ia pernah mencium Vanya?
"Saya tahu kamu pernah mencium Vanya di rumah sakit waktu itu. Pake segala bilang, 'ini tanda kalau lo milik gue sekarang',"
"Om maafin saya om, jangan hukum saya," Devan langsung bersujud memohon ampun pada Denis.
"Iya-iya, lain kali jangan lakuin itu. Kalau kamu serius sama anak saya, nikahi dia. Jangan nyentuh dia sembarangan."
"Iya om,"
Begitulah kejadian pada saat itu. Kejadian itu masih terekam sangat jelas di otaknya. Tapi mau bagaimana lagi, harga diri Devan sudah tak ada di hadapan Denis. Jadi mending jadi diri sendiri.
"Om saya boleh gak masuk ke kamar Vanya?"
•••
Setelah mendapatkan izin dari Denis, Devan akhirnya memasuki kamar Vanya. Walaupun awalnya Denis tak memberi izin tapi Devan meyakinkan Denis kalau ia tak akan melakukan sesuatu pada Vanya.
Devan tersenyum salah tingkah mengingat kembali kejadian tadi siang. Secara tidak langsung Vanya mengatakan dirinya ganteng selama ini. Sudah Devan bilang kan dari dulu, Bule itu tidak ada saingannya. Vanya saja mengatakan dirinya tampan bagaimana dengan orang lain.
"Loh-loh, lo kok tetap cantik walaupun mulut lo kebuka kayak gini,"
Vanya tidur dengan mulut yang sedikit terbuka. Gaya Vanya saat tidur itu membuat Devan bingung karena Vanya masih saja tetap cantik walaupun dengan mulut yang terbuka.
"Lo operasi plastik kan? Kenapa lo bisa secantik ini sih," Gemasnya.
Tangan Devan terangkat mengelus rambut Vanya. Ia sangat menyayangi perempuan ini. Ia sangat bersykur karena akhirnya tuhan memberikan kebahagiaan pada Vanya setelah menjalani perawatan hampir dua tahun.
Devan menunduk kemudian mencium dahi Vanya.
"Selamat bermimpi monyet cantik."
Vanya menatap hidangan sarapan pagi dengan tatapan ngiler. Ia mengambil makanan yang ada di hadapannya. Denis yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya.
"Lapar banget kayaknya,"
"Iya Pa, hehehe," Vanya menyengir lebar.
"Selamat pagi semuanya!"
Vanya hafal betul siapa suara itu. Telinganya masih berfungsi dengan baik, tak mungkin ia salah dengar. Ia berbalik dan langsung tersedak saat melihat orang yang sedang menampilkan senyum lebarnya.
"Uhuk,"
Denis langsung memberikan minum pada putrinya. Setelah di rasa sudah baik-baik saja, Vanya kembali menatap orang yang sudah menarik kursi di dekatnya.
"Lo ngapain pagi-pagi di rumah gue?"
"Gue nginap tadi malam Bdw,"
"What!" Pekiknya karena begitu kaget dengan apa yang di katakan Devan.
"Lo ngapain nginap di rumah gue?" Tanya Vanya lagi dengan mata memicing tajam.
"Emang gak boleh? Orang om Denis ngizinin gue kok," Balas Devan dengan entengnya tapi Vanya masih belum puas dengan jawaban Devan.
"Jawab yang benar, lo ngapain nginap di rumah gue?" Gemasnya.
"Kok lo kaget kalau gue nginap di rumah lo, orang gue sudah beberapa kali juga nginap di sini,"
"Tap---"
"Vanya,"Tegur Vanesa memberi tatapan untuk diam.
Vanya memanyunkan bibirnya sedangkan Devan tertawa pelan meledak Vanya.
Denis yang melihat itu ikut tertawa dan memaklumi pertengkaran mereka berdua. Vanya dan Devan tak akan bisa tidak bertengkar tanpa satu hari saja.
"Tadi malam gue masuk ke kamar lo, dan lo harus tahu," Devan menyeringai di dekat telinga Vanya.
"Lo tidur mirip monyet minta di cium dan gue punya fotonya,"
"Devan!"
•••
Vanya menunggu Chat dari Gavi, laki-kaki yang ia temui di bandara kemarin. Pagi tadi setelah Vanya bangun, ia dan Gavi masih sempat bertukar kabar. Bahkan ia dan Gavi berencana bertemu hari ini. Tapi setelah Vanya selesai mengisi baterai hpnya, Gavi sudah tidak membalas pesannya.
"Dia online kok tapi kenapa gak balas Chat gue?" Herannya
"Kenapa?" Tanya Devan penasaran.
"Ini loh Dev cowok yang bantuin gue kemarin. Gua sempat chatan sama dia kemarin sampai pagi tadi, tapi sekarang kok pesan gue gak di balas,"
Devan menyeringai mendengar perkataan Vanya. Gavi tak membalas pesan Vanya lagi karena itu ulah Devan.
Kemarin Devan sudah menyuruh Miko dan Noah untuk membantunya seperti biasanya. Menjauhkan laki-laki yang mencoba ingin mendekati Vanya. Dan Gavi termasuk ke dalam itu.
"Mungkin sama ceweknya kali,"
"Sembarangan aja lo. Orang dia sendiri yang ngomong sama gue kalau dia gak punya pacar," Sewotnya.
"Mungkin dia gak mau jujur. Lagian lo ngapain mau dekat sama dia?"
Vanya menarik nafas pelan. Setelah sembuh dari rasa traumanya, Vanya menginginkan punya pacar. Vanya iri dengan perempuan lain yang bisa menikmati masa mudanya. Mereka bisa jalan dengan pacarnya, makan berdua, dan saling bertukar cerita, Vanya memimpikan itu semua. Tapi selama dua tahun ini tak ada satupun yang berhasil mendekatinya. Jikapun ada pasti tak akan sampai selama seminggu.
"Gue tuh pengen punya pacar kayak cewek-cewek lain," Akunya membuat Devan mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.
"Gue pengen rasain itu. Jalan sama dia, bisa makan berdua, dan saling bertukar cerita. Tapi kenapa ya gak ada satupun yang berhasil dekatin gue. Gue gak cantik? Atau memang gak ada yang suka sama gue?"
Vanya berfikir keras. Selama ia berusaha mencari pacar Vanya merasa laki-laki yang mendekatinya baik-baik saja awalnya tapi tiba-tiba mereka hilang begitu saja setelah berkenalan dengannya.
"Menurut lo gimana Dev?"
"Menurut gue lo gak cantik," Ucap Devan membuat Vanya melototkan matanya.
"Apa lo bilang?"Vanya menatap Devan dengan tatapan horor.
"Santai dong, gak usah marah gitu, orang gue ngomongnya fakta kok."
"Fakta apa? Orang mama sama papa gue bilang gue cantik.!"
"Ya itu sih menurut mereka. Tapi menurut gue dan laki-laki di luar sana itu lo itu gak cantik. Apa ya....." Devan mengetuk-ngetuk telunjuknya pada dagunya seperti orang yang sedang berfikir.
"Lo tepos dan dada lo....."
Vanya langsung menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Devan yang melihat itu rasanya ingin tertawa sekeras mungkin. Dirinya hanya bercanda saja dan tentu saja Vanya sangat cantik. Hanya saja yang membuat cowok tak ada yang mendekatinya itu karena Devan sendiri.
"Kalau gitu gue akan berusaha gak tepos lagi dan juga gue akan berusaha membuat dada gue tidak seperti ini lagi kalau itu yang di inginkan semua cowok."
Vanya mengatakan itu semua dengan sangat jelas di telinga Devan membuat cowok itu langsung berdiri dari duduknya.
Devan mendorong Vanya bersandar pada sandaran sofa dan mengukung gadis itu. Vanya yang mendapatkan serangan tiba-tiba dari Devan hanya diam membeku.
"Kalau lo lakuin itu, jangan harap lo bisa keluar dari sini. Atau perlu wajah lo gue cabik-cabik supaya gak ada yang suka sama lo."
•••
Miko dan Noah bertamu ke Apartemen Devan. Kedua laki-laki itu sudah tiba dari bandung lebih dulu daripada Devan.
Noah dan Miko memutuskan untuk kuliah di universitas yang sama dengan Devan karena mereka berdua merasa hampa jika tak ada Devan di antara mereka berdua.
"Gimana sama cowok yang bernama Gavi?"
"Semuanya sudah beres, dia gak akan dekatin Vanya lagi,"Ucap Miko.
"Kalian apain dia?"
"Kita sedikit memberi pelajaran sama dia. Biasalah, tangan gue gatal pengen mukul orang. Sudah lama juga gak mukulin orang, jadi ya...kita berdua kebablasan,"
"Maksudnya?" Tanya Devan penasaran.
"Gigi dia copot," Celetuk Noah membuat Devan maupun Miko tertawa keras.
"Terus-terus dia ngomong apa pas lihat giginya copot?"
"Dia cuma pegang kedua giginya yang copot, terus dia nangis," Noah tertawa terpingkal-pingkal setelah mengatakan itu. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana wajah Gavi saat giginya copot.
Devan memberikan uang pada kedua sahabatnya itu. Beginilah biasanya, Devan akan memberikan uang pada sahabatnya ketika pekerjaan mereka selesai untuk memberi peringatan pada orang yang berusaha mendekati Vanya.
Demi Vanya, Devan yang pelitnya minta ampun rela mengeluarkan uang untuk gadis itu.
"Dev," Panggil Noah.
"Ya?"
"Lo gak capek apa gini terus?"
Raut wajah Devan langsung berubah drastis. Sahabatnya itu selalu menanyakan hal yang sama. Ia tak tahu harus bagaimana. Yang ada di fikirannya hanya cara membahagiakan Vanya.
"Cepak sih iya, tapi mau bagaimana lagi,"
"Sampai kapan? Lo gak mau jujur apa sama Vanya kalau selama ini lo cinta sama dia?"
"Gue pengen banget jujur sama dia. Tapi kalian berdua tahu kan ketakutan gue?"
Noah berdecih. Ia benci dengan sikap sahabatnya yang tak punya keberanian mengungkapkan perasaanya pada Vanya. Dan Noah tak suka dengan sikap Vanya yang tak mengerti apapun apa yang tujukan Devan.
"Gue ambil pengalaman dari kisah sebelumnya, Alka dan Vanya. Mereka sahabat tapi ketika mereka menjalin hubungan serius, hubungan mereka jadi berantakan. Dan kejadian itu bukan hanya Vanya yang mengalaminya, tapi Adela dan Fikar juga mengalaminya,"
"Gue lebih enak dengan hubungan seperti ini walaupun gue gak tahu sampai kapan ini akan berlangsung,"
Terkadang Devan berfikir apakah dirinya salah mengambil langkah atau tidak. Dirinya takut jika hubungan status sahabat mereka yang berubah itu pada akhirnya akan mengakibatkan permasalahan. Ia tak mau lagi jauh dengan Vanya, cukup dulu.
"Kalau lo gak mau Vanya tahu sama perasaan lo, mending lo buang jauh-jauh perasaan lo untuk Vanya. Gak ada gunanya juga lo nyimpan perasaan lo kalau ujung-ujungnya lo gak mau Vanya tahu semua ini, sia-sia tahu gak," Cetus Noah sudah tidak tahan dengan sikap sahabatnya.
"Gak bisa Noah, gue pernah mencoba melupakan Vanya tapi hasilnya gak bisa. Gue sayang banget sama dia dan kalian tahu sendiri gimana perjuangan gue buat perempuan itu,"
Devan meremas rambutnya frustasi. Ia ingin sekali Vanya tahu semuanya kalau ia menyayangi perempuan itu, tapi dia takut, takut kalau pada akhirnya Vanya masih belum melupakan Alka.
"Kita tahu Dev, kita tahu semuanya. Dari lo berjuang cari pendonor darah buat Vanya sampai ketika Vanya di nyatakan mengalami keretakan di kepalanya. Kita semua tahu Dev kisah lo. Tapi pertanyaan gue, sampai kapan lo ngukung Vanya secara diam-diam seperti ini? Vanya juga butuh pendamping suatu saat nanti."
Devan berfikir keras, ia melupakan satu fakta ini. Benar yang di katakan noah. Sampai kapan dirinya akan mengukung Vanya. Perempuan itu tadi mengatakan ingin merasakan pacaran tapi Devan tak mau kalau Vanya sampai berpacaran. Devan tak rela kalau Vanya berpaling darinya.
"Dengan tanpa ikatan apapun Vanya tetap milik gue."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!