NovelToon NovelToon

Jodoh Pilihan Ibu.

1. Renungan gadis miskin.

Seorang gadis miskin berangan-angan menjadi orang kaya, dia termenung di tepian sungai sambil tersenyum-senyum. Meski pikirannya sibuk, tangan tidak berhenti menyikat pakaian di atas jamban kayu.

Senyumnya begitu lembut, mengundang banyak kesalahpahaman bagi pengguna jalan tepi sungai yang melihat. Mereka pikir, gadis itu ikhlas dengan pekerjaannya, membantu pekerjaan rumah layaknya anak berbakti.

Andaikan mereka tahu apa yang tengah dipikirkan gadis itu, mereka akan tertawa lalu berucap itu adalah hal yang mustahil.

Pikiran seperti apa itu? Khayalan menjadi seorang penguasa di dunia, membeli apapun termasuk hukum negara. Dia akan duduk di singgasana, berpakaian mewah, dan mendapat julukan gadis tercantik di dunia. Seorang pangeran tampan akan berlutut memberikan setangkai bunga mawar terbaik, menjanjikan cinta terluas lantas mereka hidup bahagia.

“Kak Cloe!”

Lalu seseorang meneriakkan namanya, membawa dia kembali ke dunia nyata. Cloe memperhatikan adiknya terburu-buru turun dari sepeda, seragam SMP masih melekat di tubuhnya.

“Ada apa, Juna?” Menurut Cloe ekspresi Juna tidak dapat diremehkan, dia panik seolah tengah dikejar hantu. Mau tidak mau dia berdiri, menelantarkan keranjang cucian. Dia menyambut Juna yang tiba-tiba menarik tangannya.

“A-aku tidak sengaja menabrak mobil pribadi lagi parkir. Itu lecet, bagaimana ini? Tolong bicara pada pemilik mobilnya.”

Cloe sulit berkata-kata, ia tahu sedikit saja goresan di mobil, maka gantinya bisa memotong uang belanja sebulan atau mungkin setahun. Bagaimana ini? Cloe berpikir untuk berpura-pura tidak mengenal adiknya sendiri, sebelum ia melihat Juna pucat serta gemetaran membuat dia khawatir Juna akan bunuh diri.

“Semoga pemilik mobil baik, kakak akan mengatakan padanya kalau kau sebenarnya anak spesial.”

“Kakak! Aku normal.”

“Shuut, diam! Bertingkahlah seperti idiot, miringkan bibirmu seperti orang setruk. Untung-untung dia kasihan.”

Juna menggaruk-garuk kepala frustasi, namun pada akhirnya dia menuruti perkataan Cloe. Lalu mereka berhadapan dengan pemilik mobil, dengan ekspresi yang dibuat seperti anak spesial, Juna memaki kakaknya di dalam benak karena wanita itu justru berekspresi bodoh di depan seorang pria.

‘Kalau kakak yang ingin menjadi anak spesial, kenapa menyuruhku? Kita bedua jadi tampak bodoh.’

Juna menginjak kaki Cloe, segera gadis itu sadar sambil menahan sakit di kakinya.

“Ehem,” dehem Cloe. “Ini adik saya, yang secara tidak sengaja menggores mobil Anda.” 

Si pria menurunkan pandangan pada anak yang tampak tidak normal. Dia mengangguk-anggukan kepala, seraya menunggu Cloe melanjutkan maksudnya. Setelah itu dia terus memperhatikan wajah Cloe sambil mengernyitkan dahi seolah tengah berpikir.

Cloe gugup karena tatapannya. “D-dia anak yang berkekurangan, dan kami hanyalah orang miskin. Jadi, tidak ada hal lain yang bisa kami berikan selain ucapan minta maaf. Sungguh, maafkan adikku.”

“Siapa namamu?”

“Ah, aku? C-Cloe.” Nyali Cloe ciut, ia pikir namanya akan diantar ke kantor polisi.

“Nama lengkap dan usia.”

Yang benar saja, pria ini serius tidak ingin mengasihi keluarga miskin? Cloe melirik Juna, mengecamnya melalui tatapan tajam. Ini semua salah Juna.

“Cloe Sakeira, 22 tahun,” ucapnya lemah sekaligus pasrah. Dia menundukkan pandangan, diam-diam menitikkan air mata.

“Hei, jangan menangis, tidak apa-apa.” Pria itu segera menyadari ketakutan dari adik kakak tersebut. “Aku tidak berencana meminta ganti rugi, bahkan tidak memanggil adikmu setelah menyenggol mobilku.”

Cloe mengangkat kepala, matanya dipenuhi harapan. Pria itu tersebut tertawa akan ekspresinya. Lantas dia menyentuh kepala Juna, menggusar rambut Juna.

“Kau baik-baik saja? Aku lihat tadi kau terjatuh.”

Juna mengangguk, dia tidak tahu kapan harus melepaskan peran anak spesial. Apa sebenarnya cara inilah yang membuat pria ini merasa kasihan dan melepaskan tuntutan tanggung jawab?

“Kau laki-laki hebat, datang bersama wali untuk bertanggung jawab.” Selanjutnya pria itu melihat jam di tangannya. “Sudah waktunya aku pergi, kalian tidak perlu khawatir. Selamat tinggal.”

Selamat tinggal katanya? Apakah mereka tidak akan pernah bertemu lagi? Cloe memperhatikan mobil semakin menjauh. Jantungnya masih berdebar kencang, apa dia sedang jatuh cinta pada pandangan pertama. Pria tampan, baik, dan sepertinya orang kaya. Pengeran berkuda putih impian Cloe.

“Hah, kita selamat.” Juna berjongkok lega. Kala dia mendongak, ia lihat kakaknya berekspresi sedih. “Ada apa, Kak?”

“Ti-tidak ada apa-apa. Ayo pulang.” 

“Bukannya cucianmu belum selesai, ya?”

“Sialan.”

Cloe berlari cepat, ia cemas jika air semakin tinggi, menyentuh jamban, maka pakaiannya akan hanyut. Ibu akan marah, omelannya akan sedalam samudera.

Syukurlah semua baik-baik saja, Cloe kembali duduk guna menyelamatkan pakaiannya. Tetapi wajah pria tadi terbayang-bayang sampai jantungnya bagaikan bom waktu yang akan segera meledak.

“Sadarlah diriku, secara realistis, orang kaya mencari pasangan yang setara.”

Dia tersenyum pahit, berhenti menyikat baju karena dia harus menyembunyikan wajah di antara lutut yang ditekuk. Realita tidak seindah ekspektasi. Karena dia menghabiskan setengah hidupnya dalam dunia hayalan, dia jatuh terlalu keras dalam realita.

Di desa ini, dia dikenal sebagai kembang desa. Cloe membungkuk menatap air, namun gelombang menghancurkan bayangannya. Dia tidak bisa bercermin saat ini, tidak bisa mengobati diri dengan melihat anugrah Tuhan yang diberikan padanya.

Kecantikan tidak cukup masuk ke dalam dunia sosialita, kecuali perannya sebagai simpanan. Namun hidup secara memalukan tidak ada di dalam daftar Cloe. Ah, benar, itu masuk ke dalam buku hitam.

‘Aku harus berhenti membaca novel, otakku terpengaruh besar. Sudah syukur ibu tiriku mau menghidupiku.’

Ya, dia dibesarkan oleh ibu tiri. Sebenarnya Cloe anak di luar nikah, ayahnya berselingkuh dengan seorang wanita--ibu kandung Cloe--dan membawa Cloe pulang sambil bersujud minta maaf pada istrinya--ibu tiri saat ini, Mala.

Waktu itu mereka belum di anugerahi anak, oleh karena itu Mala menerima kehadiran anak wanita lain dalam rumah tangganya. Lalu, saat Cloe berusia 10 tahun, Juna 2 tahun, sang ayah meninggal akibat kecelakaan kerja--tertimpa pohon kala melakukan penebangan.

Cloe tidak pernah tahu siapa ibu kandungnya.

“Woi, Cloe!” panggil Sinta, temannya Cloe, di seberang jalan sana.

Cloe menoleh, tapi dia enggak ada niat buat merespon. Dia sedang merenungkan nasib saat ini.

“Kau tahu? Ibu Mala membawa pria untuk dijodohkan denganmu.”

“Apa?!” Cloe sontak berdiri.

“Lihat sana.” Sinta menunjuk rumah Cloe yang berjarak cukup dekat dari jamban ini. “Ada mobil mewah terparkir di depan rumahmu.”

Apa pada akhirnya Ibu Mala bosan dengan kemiskinan? Dia ingin menjual Cloe pada pria kaya sebagai jalan keluar? Kembang desa didambakan banyak orang, tidak aneh jika Mala memandang situasi ini sebagai keuntungan.

Cloe berlari pulang, dia membuka pintu tergesa-gesa, lalu dia hampir pingsan melihat siapa yang tengah duduk di atas sofa.

Bersambung....

2. Malam di kota gemerlap.

Cloe berpegangan pada kusen pintu, ia terengah-engah mengatur laju napas. “I-ibu,” gumamnya dengan rasa tidak percaya.

Bukan pria seperti apa yang selama ini dia bayangkan, bahkan saat ia sadar berada dalam realita pun, dia merasa ini tidak benar. Pria tua duduk di sana, ditemani secangkir kopi panas dan menampilkan senyum bahagia.

Cloe kenal dia, duda kaya di desa sebelah. Pak Anos, pemilik lahan perkebunan teh.

“Akhirnya kau pulang. Kemarilah, sapa dulu sama Pak Anos.”

“Enggak!” teriak Cloe menangis. “Ibu jahat!” Cloe berbalik badan, melarikan diri. Ia mengabaikan panggilan Mala yang mengejarnya di belakang, sampai kapanpun dia tidak mau dinikahi pria tua. Lebih baik melarikan diri dulu saja untuk saat ini.

Langkah Cloe cepat, semasa sekolah dia tidak pernah tinggal ikut lomba lari antar kelas. Terbukti dari Mala yang tidak tampak lagi di belakang. Cloe mulai berjalan santai, kepalanya mendongak pada langit yang perlahan-lahan menggelap.

‘Aduh, bagaimana nasib cucianku, ya?’ Cloe menggelengkan kepala. Untuk apa memikirkan hal sepele itu sekarang? Pun dia berencana tidak kembali dalam waktu dekat. Tapi ... ke mana dia akan pergi? Langkahnya berhenti, berpikir seharusnya tidak pergi ke rumah orang yang dikenal. Mereka bisa membuat Cloe dijemput pulang nanti.

Melarikan diri sungguh membuat bingung, gundah gulana tidak dapat terhindarkan. Dia tidak membawa uang sama sekali, kaki saja tidak bisa membawa pergi jauh. Kemudian ia melihat mobil angkutan sayur bersiap berangkat ke kota, diam-diam Cloe menyusup di antara keranjang sayur.

‘Apa yang akan aku lakukan di kota nanti? Apa ibu akan mencariku?’

Angin menyejukkan menerpa dirinya, bulu kuduk merinding oleh dingin di malam hari. Ia lihat langit tengah beruntusan malam ini, kelap-kelip bintang berserak di atas sana. Malam yang indah menemani perjalanannya, mungkin Tuhan berbaik hati menghiburnya dengan cara ini.

Lama kelamaan dia terlelap, lalu lalang kendaraan menjadi lagu pengantar tidur yang tidak menyenangkan. Kala suara-suara manusia terdengar, ia bangun. Ternyata mobil tengah berhenti, Cloe seketika panik takut jika seseorang datang mengecek muatan.

“Coba lihat, apakah kita ada membawa labu?”

“Ok, Bos.”

Percakapan tersebut menandakan Cloe harus pergi sekarang, dari sisi lain dia memutari mobil, berhasil bersembunyi di balik tembok bangunan. Dia mengintip orang tersebut mengambil satu labu, kemudian menyerahkan pada pemilik toko yang mereka singgahi.

Cloe mengelus dada. “Syukurlah tidak ketahuan.”

Dari posisi bulan di atas kepala, Cloe yakin sekarang waktu tengah malam. Dia berjalan tanpa tujuan, melirik sana sini pada gedung-gedung tinggi dihiasi gemerlap lampu. Pemandangan yang terkesan mewah.

“Ternyata suasana tangah malam di kota sama sekali tidak terasa sepi.”

Cloe menutupi kepala menggunakan handuk kecil yang tergantung di atas bahunya, ia cukup yakin wajahnya dapat mengundang masalah. Untunglah dia memakai celana panjang, dan kaos lusuh longgar. Tidak ada kesan menggoda sama sekali, baik secara sengaja ataupun tidak.

Seharusnya dia baik-baik saja selama tidak menarik perhatian.

Di depan ada gerombolan pemuda bermotor tengah menepi di sisi jalan, Cloe takut mereka pemuda bermasalah yang menguasai malam di kota ini. Anggap saja dia korban berita, kisah rusuh anak geng motor cukup sering didengar dalam kalangan masyarakat.

Berjarak tiga meter, Cloe melihat mobil hitam terparkir, bagisi belakangnya terdapat sedikit celah--tidak terkunci. Hatinya berkata untuk bersembunyi di sana sementara waktu, atau sampai mobil ini melewati gerombolan pemuda di depan sana.

‘Malam ini sepenuhnya aku menjadi ninja.’

Awalnya keadaan cukup tenang, detik selanjutnya dua orang masuk ke dalam mobil. Cloe bernapas secara hati-hati, entah memiliki keberanian dari mana, dia mengintip siapa, lalu tercengang melihat salah satu dari mereka memegang foto pria yang mobilnya tergores tadi siang di desa.

“Ini Elad Gahanim, ” ucap seseorang di bangku supir. “Bunuh dia dengan cara apapun selagi tidak melibatkan namaku.”

Mata Cloe terbelalak, pengeran idamannya memiliki musuh jahat. Apa yang harus ia lakukan? Mobil melaju sewaktu dia terguncang oleh informasi yang ia dapatkan. Sekarang otaknya menjerit memerintah untuk dia melarikan diri atau mati.

“Aku kasih 10% bayaranmu. Jika kau berhasil, aku berikan sisanya.”

“Apa dia seseorang yang merepotkan?”

“Sangat. Selain cerdas, dia terbiasa terjerumus dalam situasi berbahaya. Aku tidak heran jika kalian akan gagal di percobaan pertama nanti.”

“Baiklah.”

Tiba-tiba terdengar suara perut keroncongan, dua laki-laki itu saling melemparkan pandangan pada perut masing-masing.

“Kita baru saja makan. Kau lapar lagi?”

“Aku kira itu perutmu.”

Sekali lagi bunyi yang sama terdengar, serentak mereka melihat ke belakang. Mobil berhenti, mereka berdua saling menganggukkan kepala sebagai isyarat setelah tombol kunci otomatis ditekan.

‘Oh, sepertinya aku ketahuan. Dasar perut sialan.’

Kunci otomatis tidak berguna, karena pada awalnya bagasi belakang tidak rapat. Cloe cepat melebarkan jalan keluar, melarikan diri sebelum mereka dapat melihat wajahnya. Handuk di atas kepala cukup menyamarkan dirinya.

“Dia melihat wajah dan mendengar percakapan kita! Ayo kejar!”

Padahal ada cukup banyak kendaraan berlalu lalang, akan tetapi mereka tidak begitu memedulikan aksi kejar-kejaran ini. Bisa jadi mereka penasaran, namun hanya sebatas itu. Kehidupan di kota ternyata seabai ini, Cloe berteriak meminta tolong pun tetap percuma. Mereka tidak ingin ikut campur.

“Berhenti!”

‘Siapa orang bodoh yang akan berhenti?’

Cloe melihat ke belakang. Satu orang berbedan penuh otot mengejar, lalu mobil yang akhirnya bergeraklah membuat Cloe sesak napas. Siapa yang bisa berlari mengalahkan mobil? Jelas Cloe akan tertangkap, karena mobil itu dalam beberapa detik sudah menghadang di depan.

Supirnya akan keluar, menangkap Cloe dari sisi depan, kemudian di belakang ada pria berbadan besar.

Cloe mundur perlahan-lahan, ia berada di atas jembatan panjang. Dalam situasi terpojok seperti ini pun, dia menahan handuk di wajahnya.

“Siapa kau?” Dia maju, mencoba menangkap tangan Cloe. Akan tetapi Cloe tiba-tiba melompat melewati pembatas jembatan, terjun bebas ke bawah. “Hei!” pekiknya tak kalah terkejut.

Cloe melambung di udara, dalam waktu sekian detik, dia bertanya apa yang sedang ia lakukan saat ini. Dalam kegelapan tersebut, tubuh yang terlentang menghadap langit, membuat dia bisa melihat bintang lebih indah mungkin untuk terakhir kalinya.

Dia memejamkan mata kala kepala berada di posisi bawah, lalu kegelapan semakin pekat hingga ia sadar bahwa hari ini dia sudah sangat lelah.

Byur.

Cloe menembus permukaan air, barulah dia mencoba bertahan hidup dengan berenang secara mati-matian. Akan tetapi arusnya sangat deras, terlebih dia khawatir ada predator siap merobeknya.

‘Aku akan mati? Apa aku benaran akan mati?’

Dia kelelahan, paru-parunya terlalu banyak terisi air. Rasanya dia terbakar di kobaran api kendati berada di air, sulit bernapas, kemudian penglihatannya mulai memburam. Sebelum benar-benar hitam pekat, telinganya menangkap suara mesin namun dia hilang kesadaran lebih dulu sebelum menoleh ke belakang.

Bersambung....

3. Bayaran.

Samar-samar Cloe mendengar langkah kaki bergema. Sebelum membuka mata, hidungnya terlebih dahulu mencium bau obat-obatan. Rumah sakit? Ia melirik perlahan lingkungan di sekitar; ruangan dominasi putih dan botol infus di atas kepala. Sesuatu menyumbat hidungnya, kala ia mengulurkan tangan, sentuhan itu memberitahu bahwa itu adalah selang oksigen.

Ingatan tersusun kembali bagaikan kepingin pazzle, Cloe bertanya-tanya bagaimana cara dia bisa sampai di sini. Siapa yang menyelamatkannya?

Sekeras apapun dia berpikir dia tidak menemukan jawaban, justru kepala berdenyut hebat sampai dia mencengkram kuat rambutnya sendiri.

“A-ada apa? Kepalamu sakit?”

Siapa yang tengah bicara? Cloe mendongak, di depan pintu ia melihat seorang gadis tampak cemas sembari menggenggam erat bingkisan yang ia bawa.

“K-kau?” Cloe kaget, ia merasa tengah melihat wajahnya sendiri, bedanya rambut gadis itu bergaya pendek. “Kayaknya aku berhalusinasi.”

Gadis itu terkekeh. “Tidak, kita memang terlihat sangat mirip. Aku juga terkejut awalnya.” Dia mendekat, wajahnya bersemangat. “Namaku Zeline, siapa namamu?”

“Cloe.” Cloe masih terpaku pada wajah tersebut. Bagaimana bisa sebegitu mirip? Zeline memerkan sisi imut yang tidak pernah Cloe lihat pada dirinya, dia murah senyum, mungkin tipe kepribadiannya adalah ceria.

“Jadi ... bagaimana aku bisa berada di sini?” tanya Cloe.

“Aku berada di kapal kala melihat seseorang akan tenggelam.”

“Apa yang kau lakukan di tengah malam naik kapal?”

“Jalan-jalan.”

Cloe mengangguk-anggukan kepala meski dia merasa aneh dengan waktu jalan-jalan Zeline. Yah ... berkat itu dia selamat, Cloe bersyukur salah satu kembaran di antara 7 lainnya di dunia meluangkan waktu jalan-jalan tengah malam.

Tunggu! Bukankah ini doppelganger? (Kembaran tidak sedarah). Kabarnya, melihat doppelganger akan menyebabkan kematian atau nasib buruk dalam waktu dekat. Petanda kemalangan.

Zeline mendengar Cloe menggumamkan kata doppelganger, dia tertawa terbahak-bahak. “Jangan khawatir, itu tidak akan terjadi. Mitos.”

Menurut Cloe saat ini tidak ada yang perlu ditertawakan, nyatanya dia hampir mati, dan kemalangan telah ia lalu sejak ia melarikan diri dari rumah. Lalu munculah kembarannya, semakin memperkuat keyakinan kehidupannya bisa saja tersisa sedikit waktu lagi.

“Hei, kenapa kau tampak sedih begitu? Apa kau mengalami trauma? Aku mengerti malam itu pasti sangat menakutkan bagimu.”

“Terima kasih sudah menolongku.”

Senyum di wajah Zeline pudar, dia menarik napas panjang, lantas menundukkan kepala menatap tangan di atas pangkuan. “Sebenarnya itu semua enggak gratis,” ucap Zeline membuat Cloe memicingkan mata. Cloe terdiam, ia yakin bukan uang yang Zeline minta sebagai bayaran.

“Karena kita mirip, gantikan aku menikah dengan jodoh pilihan ibuku.”

Dia bercanda? Sudah susah payah Cloe melarikan diri sejauh ini untuk menolak pernikahan, tidak mungkin menerima pernikahan yang bukan atas namanya. Itu bahkan lebih absurd daripada menikah dengan pria tua.

“Aku tidak-”

“Ini fotonya,” potong Zeline, memperlihatkan selembar foto dengan tatapan percaya diri bahwa Cloe pasti akan memikirkan tawarannya setidaknya sekali. Seperti dugaan, mata Cloe melotot kaget, Zeline diam-diam tersenyum.

“D-dia ....”

“Elad Gahanim, 27 tahun. Mapan dan tampan. Kau yakin menolaknya?”

Cloe menggigit-gigit jari, tawaran ini ... tawaran ini sungguh menggiurkan! Kamarin dia terbayang-bayang wajahnya sebab jatuh cinta, terlebih Cloe ingin bertemu dirinya untuk memberitahu ada seseorang yang menginginkan nyawanya. Astaga! Kebetulan macam apa ini?

“Aku mau!”

Mata Cloe berbinar, yang tadinya murung menjadi sangat bersemangat. Luar biasa efek melihat pria tampan. Zeline pikir akan sangat sulit membujuk Cloe, ya ampun, ini semudah mematahkan sebatang tusuk gigi.

“Kenapa kau tidak ingin menikah dengannya?” Jelas dia penasaran, heran kenapa ada orang menolak pria berkharisma itu. Mungkin.

Zeline tersipu. “Aku sudah memiliki kekasih, kami sudah menjalani hubungan selama empat tahun. Aku mencinta dia, ingin menua bersamanya.”

“Kalau aku sih enggak pengen menua. Keriput,” balas Cloe. Zeline berkedip-kedip tidak percaya, rasanya itu terdengar seperti candaan dibaluti wajah serius.

“O-oh, itu lucu. Haha.”

Selama dua hari Cloe dirawat di rumah sakit, tibalah waktu baginya menjauh dari bau obat-obatan.

Kini dia berada di dalam mobil taksi, bersama pasangan harmonis di belakangnya menuju bandara. Sebelumnya Zeline sudah menjelaskan tentang lantar belakangnya, Cloe tidak perlu bersusah payah memahami kondisi setelah menikah. Elad Gahanim tidak begitu mengenal Zeline.

Situasi si kembar ini terdengar menakjubkan, mereka saling malarikan diri dari tempat asal mereka.

“Cloe, terima kasih,” ucap Hendrik sebelum mereka menuju ke pesawat. Dia kekasih Zeline.

Dia pria ramah, cukup tampan dan tinggi. Alasan mereka tidak direstui sebab Hendrik seorang seniman, bukan pengusaha seperti yang diinginkan oleh ibunya Zeline.

Dari pertama kali bertemu, Hendrik tidak begitu terkejut sebab ada orang lain yang mirip kekasihnya. Dia pandai bergaul, secara mudah mengakrabkan diri dengan Cloe.

“Iya, semoga kalian bahagia hidup di negeri orang.”

Zeline terharu, lalu memeluk Cloe sambil menangis. “Maafkan aku melibatkanmu untuk hal seperti ini, aku berdoa yang terbaik untukmu. Jaga dirimu.”

Kenapa Zeline sedih sekali? Dari awal persetujuan ucapan maaf kerap kali terdengar. Padahal Cloe sangat senang dan tidak sabaran ingin segera bertemu Elad.

Pasangan itu menyeret koper menjauh, mereka beberapa kali berpaling dengan senyuman bersalah. Cloe melambaikan tangan melepas kepergian orang yang belum lama ini ia kenal.

“Pasti berat meninggalkan rumah dan keluarga,” gumam Cloe. Terbayang wajah Mala dan Juna, hampir meneteskan air mata sebab ia cukup merindukan mereka dan cemas pasal kehidupan di sana.

“Ibu, Juna ... aku akan berkunjung setelah menikah nanti. Maafkan aku.” Dia tersenyum tipis, bagaimanapun itu ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia hidup dan besar berkat Mala dan adik yang cerdas.

Cloe berbalik badan, meninggalkan bandara. Di dalam taksi, dia membaca kertas alamat yang ditinggalkan Zeline, lantas memberitahu supir mengantarkan dia ke sana.

Sepanjang perjalanan dia mengamati lingkungan sekitar secara takjub, 99% berbeda dengan kehidupan di kampung. Gedung-gedung tinggi itu ... bagaimana cara melarikan diri kala terjadi gempa? Orang di bawah juga akan tertimpa puing-puing. Dia seketika merinding usai membayangkan hal random.

Menit-menit berikutnya suasana jalan kembali berubah, ada sedikit kendaraan di jalan. Satu atau dalam beberapa waktu, kemudian memaski gerbang setelah dicegat oleh security. Selepas itu jejeran rumah mewah terlihat, tidak ada gedung tinggi di sini. Ini menakjubkan.

“Nona, kita sudah sampai.”

“Terima kasih, Pak.”

Cloe turun, dia mengencangkan pegangan pada tas menahan gugup. Cloe masuk dengan lancar, tidak ada siapapun menaruh curiga kendati Cloe tidak benar-benar berpenampilan seperti Zeline. Cloe tidak memotong rambutnya.

Interior rumah begitu mewah, terdapat tangga melengkung yang hanya ia lihat di di film sebelumnya.

“Akhirnya kau datang.”

Cloe menoleh ke samping, ternyata di sana ada seorang wanita cantik tengah duduk santai memangku majalah sekaligus meneguk teh.

“Iya, I-ibu.” Cloe mengigit bibirnya, jantungnya semakin tidak karuan setelah memanggil wanita itu ibu.

“Hari pernikahan sudah dekat, jangan keluyuran ke mana-mana.”

“Aku mengerti.”

Cloe bergegas pergi, canggung sekali. Kamar Zeline, di mana kamar Zeline? Katanya naik tangga, lurus saja, pintu sebelah kiri bagian paling ujung adalah kamarnya. Dan, yap! Cloe menemukannya.

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!