NovelToon NovelToon

Dekapan Hangat Mantan Mafia

BAB 1

Sadewa berlari sekencang yang dia bisa. Napasnya memburu, kakinya bergetar, tetapi ketakutan jauh lebih besar daripada rasa lelah yang mulai mendera tubuhnya. Di belakang, suara langkah kaki para suruhan ayahnya semakin dekat. Mereka tak henti meneriakkan namanya dan memaksanya berhenti.

"Tuan muda! Jangan lari! Ini perintah Ayah Anda!"

Ayah, kata itu terasa begitu asing baginya. Pria itu hanya orang yang mengklaim darah mereka sama. Ayahnya adalah sosok yang tak pernah dia kenal secara utuh, kecuali dari cerita ibunya yang kini sudah tiada. Ya, ibunya hanyalah wanita simpanan yang tidak diakui, begitu juga keberadaannya. Setelah ibunya meninggal, pria itu tiba-tiba muncul, menuntutnya untuk bersamanya menjadi penerus dunia hitam.

Dia tidak ingin menjadi seperti pria itu. Dia tidak ingin hidup dalam kekejaman.

Jalanan di depannya ramai. Lampu lalu lintas berganti hijau, tetapi dia tidak peduli. Yang ada dalam pikirannya hanyalah kabur.

Sadewa berlari menyeberang jalan tanpa melihat ke kiri atau kanan. Namun, saat itulah dia mendengar bunyi klakson panjang yang memekakkan telinga. Sebuah mobil melaju cepat ke arahnya.

Brak!

Mobil itu membanting stir ke kanan, kehilangan kendali, dan menabrak kontainer dari arah berlawanan. Suara benturan keras menggema, diikuti suara kaca pecah dan dentuman logam menghantam aspal. Mobil itu terguling dan berhenti dalam keadaan terbalik, kapnya ringsek. Asap mengepul dari mesin yang hancur.

Sadewa membeku. Dia baru saja menjadi penyebab kecelakaan itu. Dengan tangan gemetar, dia mendekati mobil yang hancur. Di dalamnya, dia melihat dua orang yang terjepit di depan dan seorang gadis seumurannya dengan kerudung bermotif bunga yang sudah ternoda darah. Tubuhnya setengah keluar dari jendela yang pecah dan wajahnya berlumuran darah.

Mata gadis itu menatapnya seolah ingin mengatakan sesuatu. Lalu, kelopak matanya perlahan tertutup.

Sadewa merasa dunianya berhenti. Bukan dirinya yang terluka, tetapi dadanya terasa seperti dihantam berkali-kali.

Suara langkah kaki dari belakang menyadarkannya. Para suruhan ayahnya masih mengejarnya. Tapi kini, matanya tak bisa lepas dari gadis itu. Dia harus melakukan sesuatu.

Tanpa peduli lagi pada keselamatannya sendiri, Sadewa mengulurkan tangan ke dalam mobil yang remuk dan berusaha menarik tubuh gadis itu keluar tapi tidak bisa.

Akhirnya pria-pria yang mengejarnya mendekat dan menyeretnya menjauh dari mobil ringsek itu.

Sadewa tidak bisa melawan saat tangan-tangan kasar itu mencengkeramnya. Tubuhnya diseret ke trotoar.

Di belakangnya, suara sirene ambulans dan mobil polisi menggema seperti menusuk telinga. Lampu-lampu merah dan biru berkedip di antara gelapnya malam, menerangi kekacauan yang baru saja terjadi.

Tatapan terakhir gadis itu sebelum memejamkan mata terus terputar di benak Sadewa seperti sebuah hukuman.

Entah siapa saja yang ada di dalam mobil itu dan entah berapa nyawa yang mungkin hilang malam itu. Semua karena dirinya.

Seharusnya mobil itu menabraknya saja dan membiarkannya mati karena dia sungguh tidak ingin hidup seperti sekarang.

"Jangan coba-coba kabur lagi!" Salah satu anak buah ayahnya memaksanya masuk ke dalam mobil jeep dan tanpa menunggu lama, mobil itu melaju dengan kencang menuju rumah Martin, ayah kandung Sadewa.

...***...

Pria yang membawa Sadewa mendorongnya masuk ke dalam ruangan hingga membuatnya terjatuh keras di lantai marmer yang dingin. Napasnya tersengal karena amarah yang mendidih dalam dadanya. Di hadapannya, berdiri pria yang ingin menghancurkan hidupnya.

Ruangan itu luas dan mewah, dengan lampu kristal menggantung di langit-langit. Tapi bagi Sadewa, tempat itu tak lebih dari sebuah penjara emas.

Martin menatapnya dengan seringai penuh kemenangan. "Kamu sudah lulus SMA, Sadewa. Sudah saatnya kamu mewarisi kekuatan dan juga kekayaanku, karena kamu adalah satu-satunya anak laki-lakiku."

Sadewa menggertakkan giginya. Dia tak butuh kekayaan dan juga kekuatan. Jika harga dari semua itu adalah menjadi monster seperti ayahnya, dia lebih baik mati.

Dengan sisa tenaga, dia bangkit, mengepalkan tangannya, dan melesatkan pukulan ke arah pria itu. Namun sebelum tinjunya mengenai wajah Martin, tangan-tangan kuat mencengkeram lengannya dari belakang. Anak buah ayahnya menahannya, memaksanya berlutut kembali di hadapan pria yang akan membelenggu hidupnya.

Martin tertawa kecil, seolah menikmati rasa putus asa yang terpancar dari mata putranya. "Lawan dia," ujarnya, memberi isyarat pada salah satu pria bertubuh besar di sudut ruangan. "Jika kamu menang, aku akan melepaskanmu."

Pria itu maju, tinjunya sekeras batu. Sadewa tahu dia tak punya peluang, tapi dia tak peduli dan mencoba melawan.

Satu pukulan menghantam perutnya.

Dua pukulan lagi mendarat di rahangnya.

Darah mengalir dari sudut bibirnya, tetapi Sadewa tetap berdiri, meskipun tubuhnya mulai limbung. Dia ingin menunjukkan bahwa dia tak akan tunduk pada pria itu, meskipun nyawanya menjadi taruhannya.

Martin menghela napas, mendekati Sadewa yang babak belur. Dia berjongkok dan menatap langsung ke dalam matanya.

"Kamu pikir, Ayah kejam?" Martin menyeringai. "Iya, Ayah memang kejam. Dan kamu akan menjadi seperti Ayah."

Sadewa mendesis dengan mata yang penuh kebencian.

Martin mengusap darah yang mengalir dari pelipis anaknya dengan ibu jarinya, lalu menunjukkan darah itu di hadapan Sadewa. "Darah ini adalah darahku yang mengalir deras di tubuhmu. Tatapan penuh kebencianmu itulah yang akan menjadikanmu kuat melawan siapa pun."

Sadewa menepis tangan ayahnya dengan sisa tenaganya. "Aku tidak akan pernah menjadi sepertimu!"

Martin hanya terkekeh. "Kita lihat saja nanti, anakku."

BAB 2

Tahun demi tahun berlalu.

Setiap luka yang Sadewa terima, setiap paksaan yang dia hadapi, setiap pertarungan yang dia jalani, mengikis apa pun yang tersisa dari dirinya yang dulu. Dia sangat membenci ayahnya. Tapi kebencian saja tidak cukup untuk melawannya. Kebencian hanya membuatnya akan semakin lemah.

Akhirnya dia belajar bertarung, belajar berdarah tanpa mengeluh, belajar menatap kematian tanpa rasa takut.

Dia dipaksa membunuh untuk pertama kali di usianya yang ke-19. Seorang pria yang berkhianat pada organisasi ayahnya. Sadewa menolak, tapi Martin hanya tertawa dan meletakkan pistol di tangannya.

"Jika kamu tak membunuhnya, maka kamu yang akan mati," suara ayahnya terdengar dingin.

Jari Sadewa gemetar saat menarik pelatuknya. Dentuman pistol bergema. Darah mengotori tangannya, tapi Martin hanya menepuk pundaknya dengan bangga.

"Bagus," katanya. "Kamu semakin mirip denganku."

Seharusnya Sadewa muak. Seharusnya dia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Tapi semakin lama, semakin banyak dia melakukan hal-hal kejam, semakin dia menyadari bahwa tidak ada jalan keluar bagi dirinya.

Sampai akhirnya, dia berhenti mencoba lari.

Dia mulai mengambil alih bisnis ayahnya. Mulai berdiri di puncak dunia hitam dengan tangan berlumuran darah. Orang-orang menyebut namanya dengan rasa takut. Dia bukan lagi bocah yang dulu ingin lari dari kegelapan. Kini, dia adalah bagian dari kegelapan itu sendiri.

Di usianya yang ke-26, dia berdiri di tempat yang dulu dia benci, ruangan luas dengan lampu kristal menggantung di atasnya. Tapi kini, Martin tak lagi berdiri di depannya.

Darah menggenang di lantai marmer, menyebar seperti luka yang tak bisa disembuhkan. Martin terbaring di tengahnya, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya penuh luka tembak.

Sadewa berdiri di sisi tubuh ayahnya, tangannya mengepal keras. Dia ingin marah. Dia ingin membalas. Tapi yang dia rasakan saat ini adalah kekosongan.

Selama ini, dia hidup dalam bayang-bayang pria itu. Berjuang melawan takdir yang dipaksakan kepadanya. Membenci Martin lebih dari siapa pun di dunia ini. Namun sekarang, melihat pria itu terkapar tak berdaya, ada sesuatu yang menyesakkan dadanya karena nyatanya hanyalah ayahnya keluarga yang dia punya.

Martin membuka matanya yang mulai redup. Tatapan itu tidak penuh dengan kebengisan seperti biasanya. Untuk pertama kalinya, tatapan itu sangat hangat. “Sadewa…” Suaranya lemah, hampir tak terdengar.

Sadewa berlutut di sampingnya. “Jangan bicara. Aku akan membawamu ke rumah sakit.”

Martin tersenyum samar. “Sudah terlambat. Ayah tahu ini akan terjadi. Ayah punya banyak musuh, apalagi sejak masa kejayaan kamu.”

Sadewa menggertakkan giginya. Dia bisa membunuh semua orang yang telah melakukan ini. Dia bisa membalas dendam dengan darah yang lebih banyak lagi. Tapi tangan Martin yang berlumuran darah menggenggam tangannya erat.

“Jangan balas mereka,” kata Martin, seolah membaca pikirannya. “Kamu selalu ingin bebas dari Ayah dan selalu ingin keluar dari dunia ini. Sekarang … jika kamu ingin pergi, pergilah dari kegelapan ini. Ayah sudah memberikan semua harta untukmu.”

Sadewa terpaku. Kata-kata itu terasa seperti sesuatu yang seharusnya dia dengar sejak lama.

“Maafkan Ayah ...." Lalu, Martin menghembuskan napas terakhirnya.

Sadewa tetap di tempatnya, merasakan genggaman tangan itu melemah, lalu terlepas. Dia menatap tubuh ayahnya yang kini benar-benar tak bernyawa. Sebuah perasaan asing menyelimuti dadanya.

Sadewa menatap kedua tangannya yang selama delapan tahun itu telah melakukan kejahatan.

"Aku sudah terlanjur masuk dalam kegelapan ini, apa aku bisa keluar?"

BAB 3

Empat tahun berlalu sejak malam itu, ketika ayahnya menghembuskan napas terakhir dan memberinya kebebasan dari dunia gelap.

Kini, Sadewa bukan lagi pria yang namanya ditakuti di dunia hitam. Dia adalah CEO Radema Foods, perusahaan makanan instan yang berkembang pesat dalam waktu singkat. Produk-produknya mulai merajai pasar, dikenal karena kualitas dan inovasi yang terus dikembangkan.

Namun, perjalanan menuju titik ini tidaklah mudah. Dia melepas semua yang pernah melekat padanya—kekuasaan, kekayaan dari bisnis gelap, dan pengaruh yang diwariskan ayahnya. Banyak yang menertawakannya, termasuk para mantan sekutunya yang menganggapnya bodoh karena meninggalkan dunia yang memberi kemewahan tanpa batas.

Yang paling menentangnya adalah Nayara, kakak perempuannya dari istri sah Martin.

“Kamu pikir bisa hidup tanpa semua ini?” kata Nayara dengan tatapan tajam saat mereka bertemu di rumah keluarga. “Kamu menyerahkan hampir seluruh warisan ayah kepadaku, lalu memilih jalan yang penuh kesulitan. Kamu hanya buang-buang waktu.”

Sadewa hanya tersenyum tipis. “Aku hanya ingin menjalani kehidupanku sendiri.”

“Apa kamu pikir dunia akan membiarkanmu begitu saja?” Nayara tertawa sinis. “Orang-orang di dunia hitam tidak akan berhenti sampai kamu kembali. Mereka tidak akan membiarkan ‘pewaris Martin’ keluar begitu saja.”

“Terserah mereka.” Sadewa berdiri, menatap kakaknya dengan tenang. “Aku sudah memilih jalanku. Jika ada yang ingin menghancurkanku, mereka harus berhadapan denganku … tapi kali ini, bukan sebagai anak mafia, melainkan sebagai seorang pebisnis dan aku akan terus mencari uang yang halal.”

Nayara mendengus. “Kita lihat saja sejauh mana kamu bisa bertahan. Jangan sampai kamu kembali dan memohon pertolonganku."

Namun, bertahun-tahun setelahnya, Sadewa membuktikan dirinya.

Perusahaannya berkembang pesat, membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang, termasuk beberapa anak buah ayahnya yang memilih bertobat dan mengubah hidup mereka.

Dunia gelap yang dulu membelenggunya mungkin masih mengintai dari kejauhan, tapi tak akan pernah kembali. Dia telah menemukan jalannya sendiri. Jalan yang memang tidak mudah tapi jauh lebih berarti.

Sadewa kini duduk di kursi kebesarannya, menghadap jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota di bawah sana dengan arus kendaraan yang padat di hari yang hampir sore itu. Tapi, semua itu tak mampu mengalihkan pikirannya dari satu kenangan yang terus menghantuinya selama 12 tahun terakhir. Ya, sebuah kecelakaan yang terjadi saat dia dikejar anak buah ayahnya.

Dia mengangkat secangkir kopi yang mulai mendingin, namun tak juga menyesapnya. Dia mengingatnya lagi, masih ingat jelas bagaimana tubuhnya gemetar saat melihat mobil itu terguling, bagaimana dia terpaku menatap seorang gadis berkerudung bunga dengan wajah penuh darah yang menatapnya sesaat sebelum kedua matanya terpejam. Sejak malam itu, rasa bersalah menjadi bayangan kelam yang selalu mengikutinya ke mana pun dia pergi.

Selama bertahun-tahun, dia berusaha mengubur ingatan itu. Namun, semakin dia mencoba melupakan, semakin kenangan itu menghantui. Hingga akhirnya, satu tahun lalu, dia memerintahkan Hendri, asisten sekaligus orang kepercayaannya untuk mencari tahu apa yang terjadi pada gadis itu.

"Tuan, saya akhirnya mendapatkan informasi tentang gadis itu," ujar Hendri saat memasuki ruangan sambil membawa sebuah map cokelat yang tampak sudah lecek karena sering dibuka.

Sadewa menatap map itu dengan perasaan bercampur aduk. Kemudian dia membukanya. Beberapa lembar dokumen dan foto ada di dalamnya. Salah satu foto menunjukkan seorang wanita berkerudung tersenyum lembut di tengah anak-anak kecil yang mengerumuninya.

"Namanya Syifa," kata Hendri. "Dia kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan itu. Sekarang dia tinggal di dekat Pondok Pesantren Hidayah. Sejak kecelakaan itu, dia kehilangan pendengarannya sehingga harus selalu menggunakan alat bantu."

Sadewa terdiam. Dia membaca berulang kali kalimat terakhir itu. Kehilangan pendengaran? Dia menutup mata, merasakan sakit yang menusuk dadanya. Jika saja dia tidak berada di jalan malam itu, jika saja mobil itu tidak harus menghindarinya, mungkin Syifa tidak akan kehilangan begitu banyak hal dalam hidupnya.

"Bagaimana kehidupannya sekarang?" tanya Sadewa.

"Dari informasi yang saya dapat, dia mengabdikan hidupnya untuk mengajar anak-anak di pondok pesantren. Dia tampak bahagia, meskipun dia sering disiksa oleh paman dan bibinya karena mereka ingin menguasai harta Syifa."

Sadewa mencengkeram map itu erat. Perasaan bersalah semakin menghimpitnya. Selama ini, dia hidup dengan limpahan harta, membangun bisnis dari kegelapan menuju terang, sementara Syifa kehilangan segalanya. Bagaimana mungkin dia bisa berdamai dengan dirinya sendiri jika gadis itu terus hidup dalam kesulitan akibat kesalahannya?

"Siapkan mobil. Kita pergi ke pondok pesantren itu," kata Sadewa akhirnya.

Hendri tampak terkejut. "Tuan ingin menemui Syifa?"

"Iya, aku harus memastikan hidupnya."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!