Hujan mengguyur kota tanpa ampun malam itu. Di sudut ruangan hotel mewah yang sunyi, Kaila memeluk tubuhnya sendiri, bergetar bukan hanya karena dingin, tapi karena kenyataan yang tak bisa ia pahami. Gaun pesta yang membalut tubuhnya kini kusut, dan matanya sembab setelah berjam-jam menangis dalam diam.
Ia tidak tahu bagaimana bisa terbangun di kamar yang bukan miliknya, di samping pria yang tak seharusnya ada di sana. Pria yang baru saja ia kenal secara singkat di pesta gala tempat ia bekerja sebagai pramusaji tambahan. Pria itu adalah Arya.
CEO muda yang dikenal dingin, tajam, dan telah beristri.
Kaila segera bangkit dari ranjang, menutupi tubuhnya dengan selimut, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir. Tapi ketika pintu kamar terbuka dan sosok Arya muncul, dengan wajah sama terkejutnya, kenyataan menamparnya lebih keras dari yang ia bayangkan.
“Apa yang terjadi semalam?” tanya Arya, nadanya tajam namun mengandung kebingungan.
Kaila menggeleng pelan, suaranya tercekat. “Aku… aku tidak tahu. Aku hanya minum satu gelas, lalu semuanya gelap.”
Mereka saling menatap, sama-sama mencari jawaban, tapi yang mereka temukan hanyalah satu hal, masalah besar. Skandal. Kehancuran reputasi.
Dan saat itulah pintu kehidupan baru terbuka,bukan dengan cinta, melainkan dengan paksaan dan kontrak.
.....
Kaila Salsa, baru saja lulus dari Sekolah menengah pertama,tak ada yang menarik dari kehidupan nya selama ini.
Orang tua yang berpisah, kehidupan remaja nya yang tak berwarna dan hampa,membuat kaila hanya menginginkan kehidupan yang tenang.
Ayah nya bernama Rudi, sosok pemarah dan pemabuk yang selalu merepotkan Kaila,andai saja ayah nya itu tak menyayangi kaila sudah pasti Kaila akan kabur sejak lama.
Namun Rudi adalah sosok yang menjaga Kaila dengan baik, jika ada laki - laki yang berani mengganggu Kaila,maka Rudi tak segan - segan untuk langsung menghukum nya.
Hukuman nya tak main - main, jika tidak tulang rusuk nya yang patah maka orang itu tak akan bisa berjalan berbulan - bulan lamanya.
Rudi preman yang di takuti di daerah itu. Tak ada yang berani mengusik Rudi dan Kaila selama ini, hanya saja keduanya sangat kesulitan dalam ekonomi.
Rudi hanya bekerja sebagai kuli bangunan yang hanya sesekali mendapatkan proyek itu pun jika Rudi memaksa meminta pekerjaan kepada mandor.
Selebih nya Kaila lah yang berjuang mati - matian agar kedua nya bisa mendapat uang untuk sekedar membeli makanan.
Kaila sudah biasa bekerja sebagai pramusaji di Restoran milik teman nya Rudi bahkan sejak Kaila masih duduk di bangku kelas menengah.
Pemilik Restoran akan mengenalkan Kaila sebagai anak nya yang sedang membantu agar tak ada yang melaporkan nya karena memperkejakan anak di bawah umur.
Seiring berjalan nya waktu. Kaila telah tumbuh menjadi wanita cantik dengan tubuh nya yang menjadi kebanggaan Kaila.
Tak akan ada Pria manapun yang menolak kecantikannya dan juga keindahan tubuh Kaila yang menggoda.
Namun di tengah gelap nya kehidupan di Ibu Kota, Kaila masih bisa mempertahankan kesucian nya, walau tanpa sosok ibu Rudi masih sanggup membimbing Kaila.
"Kaila datang lah sore nanti ke Hotel King, Kami membutuhkan Pramusaji tambahan untuk pesta" ucap Manager Hotel di telepon.
Kaila tersenyum penuh harap,mengingat kebutuhan pokok nya mulai menipis dan Rudi yang tak pernah membawa pulang uang.
"oh ya ! Pakailah Gaun yang bagus" Ujar manager Hotel sebelum menutup ponsel nya.
"Gaun ? Apa seorang pramusaji memakai Gaun saat bekerja?" Kaila berpikir sejenak.
Tanpa memikirkan lebih jauh Kaila mulai mempersiapkan diri, Gaun bagus cukup mudah untuk Kaila dapat kan.
"Om !" Suara lantang Kaila membangunkan seorang pria paruh baya berperawakan gagah yang sedang tertidur di sofa.
"Kaila! Luar biasa kamu hari ini sangat cantik " Harlan namanya Duda tampan yang akhir - akhir ini menjadi idola para ibu - ibu di pemukiman ini.
"Kaila butuh Gaun pesta om , ada kan?" Kaila mulai merengek manja sambil mendudukan diri tepat di samping Harlan.
"Pesta ? Wah wah wah Luar biasa, om di ajak gak?" Harlan mengelus lembut rambut Kaila dengan penuh nafsu.
Kaila tersenyum nakal,lalu berdiri dari duduk nya dan mulai merengek lagi, mengeluarkan jurus andalan nya agar Harlan mau meminjamkan Gaun pesta untuk nya.
Harlan adalah pemilik Bisnis Laundry, Kaila yang bekerja paruh waktu selalu meminjam baju dari Harlan.
"Kaila kan malu om kalau pakai Gaun butut ke pesta ! Mana ini kan pesta orang kaya Kaila harus jadi pegawai yang baik "
Harlan merangkul Kaila untuk menenangkan nya, Wangi tubuh Kaila sungguh menggoda Harlan, Kaila cukup pandai merawat diri.
"Heh kamu ! Bawakan beberapa Gaun yang sudah siap " Harlan berteriak kepada pegawai nya .
"tapi pak,kalau di ambil yang punya bagaimana?" Harlan melotot mendengar Karyawan nya yang tak langsung menuruti keinginan Harlan.
"sejak kapan Kaila tak mengembalikan baju? betul kan sayang?" Kaila mengangguk, lagi pula ia tak pernah merusak baju dan selalu mengembalikan nya tepat waktu.
"Nah pakai lah Gaun ini, nah sekarang cium om yah" Harlan meminjamkan Gaun milik pelanggan nya kepada Kaila.
"Di mimpi" bisik Kaila di telinga Harlan,dan bergegas berlari untuk pulang ke Rumah nya. Kaila bergidik ngeri saat telah keluar dari Laundry itu.
Kaila hanya bisa melakukan hal rendahan seperti itu agar ia bisa mendapatkan baju yang di butuhkan. Ia tak sungguh - sungguh menjadi penggoda ,Kaila hanya memanfaatkan kecantikan dan keindahan tubuh nya.
"Kaila nakal, kapan lah aku bisa merasakan kenikmatan tubuh mu itu Kaila" gumam Harlan yang memilih untuk melanjutkan tidur nya.
.....
Suasana ballroom hotel malam itu terasa megah dan elegan. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya lembut ke seluruh ruangan, menciptakan kilau mewah yang membungkus setiap sudut. Musik jazz klasik mengalun pelan, mengiringi obrolan para tamu berdasi dan gaun malam.
Kaila berdiri di dekat meja minuman, tangannya lincah menuang wine ke gelas-gelas kristal. Gaun yang dikenakannya membuatnya nyaris tak terlihat di antara kemewahan para undangan. Tapi matanya tajam, waspada, dan selalu sigap.
Lalu, suasana mendadak berubah.
Pintu utama terbuka perlahan, dan seorang pria melangkah masuk dengan aura yang langsung menyita perhatian. Tubuhnya tinggi dan tegap, mengenakan jas hitam custom-made yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya tenang, matanya tajam dan penuh kontrol—seolah mampu membaca isi ruangan dalam sekejap.
"Arya Satya..." bisik seseorang di dekat Kaila, nada suaranya mengandung kekaguman dan sedikit ketegangan.
CEO muda dari Satya Group. Nama besar yang kerap muncul di media sebagai pengusaha visioner, dingin, dan sulit didekati. Sosok yang biasanya hanya Kaila lihat dari layar ponsel, kini berdiri nyata di hadapannya.
Tatapan Arya menyapu ruangan dengan cepat dan sempat berhenti di wajah Kaila, hanya seperkian detik namun mampu membuat jantung Kaila berdetak lebih cepat dari biasanya.
Kaila segera menunduk, kembali kepada pekerjaan nya, namun tatapan itu seolah membayang - bayangi Kaila.
Langit malam seolah ikut mabuk oleh gemerlap pesta. Setelah acara selesai, para tamu mulai berangsur pulang, meninggalkan lantai dansa yang mulai sepi. Kaila mengusap keringat di pelipisnya, lelah namun lega karena malam itu nyaris selesai tanpa insiden.
Namun semuanya berubah saat seorang pelayan tergesa menghampirinya.
“Kaila, tamu di ruang VIP butuh bantuan. Katanya, kamu yang harus datang.”
Kaila mengernyit. "Aku? Siapa?"
“Entah. Tapi dia menyebut namamu.” Pelayan itu lalu buru-buru pergi tanpa menjelaskan lebih jauh.
Dengan langkah ragu, Kaila berjalan ke arah lorong menuju ruang VIP. Ia tak tahu bahwa lorong itu adalah pintu masuk menuju kekacauan yang tak pernah ia bayangkan.
Ruang VIP remang dan sunyi. Saat Kaila membuka pintu perlahan, aroma parfum mahal langsung menyambutnya. Di dalam, hanya ada satu pria—Arya Satya. Ia duduk di sofa kulit hitam, jasnya terbuka, dasinya longgar. Sebuah botol wine setengah habis ada di meja depannya.
"Maaf… saya dipanggil ke sini. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Kaila hati-hati.
Arya menoleh, matanya sedikit sayu. Bukan mabuk berat, tapi cukup untuk membuat ekspresinya berbeda dari biasanya.
"Minumlah," katanya, mengangkat gelas dan menuangkannya. "Kau sudah bekerja keras malam ini."
Kaila ragu. “Saya tidak bisa minum saat kerja.”
"Aku bukan atasanmu," ucapnya ringan.
Ada jeda canggung. Tapi sesuatu dalam sorot mata pria itu membuat Kaila menuruti. Ia mengambil satu tegukan kecil. Lalu duduk… hanya untuk sebentar, pikirnya.
Tapi waktu berputar cepat. Percakapan ringan mengalir tanpa arah. Arya, yang biasanya terlihat dingin, malam itu tampak lelah dan terbuka. Ia bercerita singkat tentang tekanan, tuntutan, dan peran yang harus ia mainkan di dunia luar.
Kaila hanya mendengar. Dan untuk sesaat, mereka bukan CEO dan pelayan—hanya dua orang asing yang sama-sama lelah dengan hidup.
Sampai semuanya memudar.
.....
Cahaya pagi menyelinap masuk dari celah tirai. Kaila mengerang pelan, tubuhnya terasa berat dan asing. Saat membuka mata, ia langsung bangkit kaget. Tempat ini… bukan rumahnya. Dan suara napas berat di sebelahnya membuat tubuhnya membeku.
Arya.
Ia terbaring di sampingnya, masih tertidur.
Selimut menutupi tubuh mereka, dan sisa-sisa semalam mulai berputar di kepala Kaila seperti kilas balik kabur—tawa, percakapan, anggur, lalu... gelap.
Kaila menutup mulutnya, menahan napas. Air matanya mulai menggenang. Apa yang telah ia lakukan?
Suara pintu kamar mandi terbuka. Arya terbangun, menatapnya beberapa detik dengan kebingungan yang sama.
“Apa yang terjadi semalam?” tanyanya, suaranya serak dan datar.
Kaila hanya menggeleng pelan. “saya… tidak tahu.”
"pak Arya ,saya sama sekali tak tahu" tambah Kaila setelah Arya hanya menatap nya dengan tatapan dingin.
"Bukan nya kamu hanyalah seorang wanita penggoda, pergilah aku akan membayar mu dengan pantas" Arya memakai Setelan jas nya dan bersiap untuk pergi.
Kaila merasa terhina mendengar ucapan Arya yang telah menganggap nya sebagai wanita penghibur.
"Lihatlah pak ! Bukan nya anda sendiri yang meminta saya datang ke ruangan ini ? Lihat lah darah itu ! Kesucian saya telah anda renggut"
Kaila meluapkan emosi nya.
Pria yang memanggil nya, mengajak nya berbicara semalaman dan pada akhirnya menikmati tubuh nya kini menyebut nya sebagai wanita penghibur.
Kaila tak terima dengan hinaan itu. Arya menoleh ke atas ranjang dengan sprei putih ,terlihat bercak darah keperawanan milik Kaila.
"apa aku benar - benar memanggil mu semalam ?" Arya bertanya dengan nada bicara nya yang ketus
"apa aku harus menjelaskan nya dua kali?" jawab Kaila yang penuh putus asa terduduk tanpa busana di tepi ranjang.
Hanya selimut nya yang menutupi tubuh indah milik Kaila, Arya mencoba mengingat kembali kejadian malam tadi.
Tekanan besar dalam bisnis nya membuat Arya frustasi ditambah istrinya yang selalu menuduh Arya berselingkuh.
Semalam seingat nya Arya hanya ingin ditemani minum oleh pelayan cantik. Kaila yang di lihat nya pertama kali membuat Arya ingin ditemani oleh Kaila dan secara pribadi memanggil nya ke ruang VIP.
"berapa yang kau mau? " Arya mengakui nya. Bahwa ia memang telah melakukan kesalahan karena berada dalam pengaruh alkohol.
"bahkan tak ada permintaan maaf?" sindir Kaila kepada sikap dingin yang diberikan oleh Arya kepadanya.
"apa uang tak cukup membuat mu puas? Jika memang kamu sangat menjaga kesucian mu. Mengapa bekerja di tempat seperti ini?" Arya menekankan kata - katanya seolah tak ingin di salahkan atas kejadian ini.
"tulis saja jumlah nya dan bawa ke Bank. Tak akan ada yang menolak nya dan jika kamu tak puas juga datang lah ke Kantor. Asal kamu tutup mulut berapapun akan ku beri" Ucap Arya dengan angkuh.
Sebuah cek bertanda tangan Arya atas nama SATYA GROUP diberikan Arya kepada Kaila. Sebagai jaminan atas kejadian malam tadi.
Kaila menatap tajam ke arah Arya yang berjalan pergi meninggalkan nya.
Dengan jas yang sudah kembali melekat rapi di tubuhnya, Arya menarik napas panjang dan membuka pintu kamar hotel.
Namun langkahnya langsung terhenti. Di hadapannya berdiri Laras yang merupakan asisten pribadinya bersama seorang pria dengan kamera tergantung di lehernya.
Wartawan.
Mata Laras membelalak saat melihat kondisi Arya. Tapi yang lebih mencuri perhatian mereka adalah sosok yang tengah duduk di atas ranjang kamar hotel Arya . Kaila.
Perempuan itu masih terduduk di tepi ranjang, tubuhnya hanya terbalut selimut putih hotel. Rambutnya kusut, pipinya merah padam, dan sorot matanya terkejut sekaligus malu. Tapi yang paling jelas,situasinya terlihat sangat buruk.
Arya tidak bergeming. Ekspresinya tetap dingin dan cuek, hanya matanya yang sedikit menyipit menatap Laras.
“Batalkan wawancaranya,” ucapnya datar.
Laras menunduk cepat. “Baik, Pak.”
Laras sangat paham, Arya tak bisa di lawan jika sudah berkehendak.
Si wartawan tampak ingin berbicara, tapi Arya hanya memberikan satu pandangan tajam. Pandangan yang membuat siapapun tahu bahwa tidak ada yang boleh ditanyakan. Tidak ada yang boleh dikatakan.
Tanpa sepatah kata pun, Arya melangkah keluar melewati mereka, meninggalkan pintu kamar terbuka di belakangnya. Langkah kakinya mantap, tak ada satu pun emosi yang ia tunjukkan, meskipun di balik dada, pikirannya bergemuruh.
Ia tahu ini bukan akhir dari masalah—ini baru awal.
Kaila tak bisa berkutik. Dirinya jelas marah dengan Arya yang bahkan tak mau menutup pintu kamar untuk nya.
Laras menatap tajam ke arah Kaila, "tutup pintu nya dan jangan ganggu dia,cepatlah pekerjaan kita masih banyak"
Baru saja Laras akan menghampiri Kaila dan bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi, Arya yang masih menunggu lift segera memanggil Laras.
"baik pak" Laras dan Wartawan yang penuh rasa penasaran itu akhirnya menuruti Arya. Kaila bisa bernafas lega saat ia akhirnya sudah aman.
Langit pagi masih kelabu saat Kaila berdiri di halte kecil, memeluk tubuhnya yang menggigil meski matahari sudah tinggi. Gaun yang semalam ia kenakan sudah terlipat rapi di dalam kantung plastik laundry yang ia dekap erat, seakan benda itu satu-satunya yang masih tersisa dari dirinya.
Ia bahkan tidak ingat bagaimana bisa keluar dari hotel. Kakinya bergerak otomatis, pikirannya kosong, hanya suara pintu kamar yang tadi di tutup dengan kencang oleh Laras.
"Aku bukan siapa-siapa…" bisiknya pada dirinya sendiri, nyaris tanpa suara.
Saat angkot berhenti di depannya, ia naik tanpa berkata apa-apa. Duduk di pojok, membenamkan wajah ke jendela buram yang dipenuhi debu dan stiker usang. Pikirannya masih mengambang antara ingin melupakan, dan rasa takut akan apa yang terjadi selanjutnya.
Sampai ia tiba di rumah.
Ayahnya masih tertidur di dipan tua, dengan botol kosong terguling di bawah kursi. Suara dengkuran rendahnya membuat Kaila mendesah lega,setidaknya belum ada yang berubah di sini.
Ia masuk ke kamar, menutup pintu perlahan, lalu menjatuhkan diri di lantai. Tangannya mencari ponsel di dalam tas.
Satu notifikasi pesan masuk.
Dari nomor tak dikenal.
"Kamu baik-baik saja?"
— Arya Satya
Jantungnya berdegup kencang.
Belum sempat ia membalas, layar ponselnya berubah. Notifikasi dari media sosial bermunculan.
Judul-judul berita selebriti mulai naik:
"CEO Muda Tolak Wawancara Mendadak, Ada Siapa di Kamar Hotel Arya Satya?"
"Terlihat Gugup, CEO Satya Group Diisukan Skandal dengan Wanita Misterius."
Di foto yang menyertai artikel, terlihat Arya berdiri di lorong hotel. Tak jauh di belakangnya meski kabur dan tak fokus ada sosok perempuan yang sangat Kaila kenali: dirinya sendiri, dengan rambut terurai dan seprai putih membungkus tubuh.
Ponselnya nyaris terjatuh.
Dunia mulai runtuh, dan ia belum tahu bagaimana cara menyelamatkan dirinya.
.....
Di lantai tertinggi kantor Satya Group, ruangan kerja Arya tampak seperti biasa rapi, dingin, nyaris tanpa nyawa. Dinding kaca besar memperlihatkan pemandangan kota yang ramai, tapi pikirannya sama sekali tidak berada di sana.
Ia duduk di balik meja besar dengan tumpukan dokumen yang belum tersentuh. Jasnya masih terlipat di sandaran kursi, dasi sudah ia lepas. Tangan kanannya memegang ponsel, menatap layar kosong dengan tatapan tak terbaca.
Berita itu sudah menyebar.
Laras sudah mengonfirmasi bahwa wartawan dari Majalah Bisnis Sukses membocorkan keterangan kepada media hiburan. Tidak menyebut nama, memang. Tapi foto itu cukup membuat siapa pun yang kenal Kaila mulai bertanya-tanya.
“Arya?” suara Laras dari interkom terdengar hati-hati. “Ibu Nayla minta bertemu. Sekarang.”
Arya memejamkan mata sejenak. Istrinya.
Ia tahu pertemuan itu akan datang cepat atau lambat. Tapi untuk kali ini, dia benar-benar tidak ingin bertemu siapa pun.
“Bilang aku rapat,” jawabnya singkat.
“Tapi, Pak...”
“Laras. Bilang aku tidak bisa ditemui ! ”
Hening sejenak, lalu interkom mati. Arya menghela napas panjang dan akhirnya membuka galeri pesan.
Ada satu pesan terkirim yang belum dibalas.
"Kamu baik-baik saja?"
Pesan yang Arya kirim kepada Kaila hanya terbaca tanpa berbalas.
Ia mengetik ulang. Lalu menghapus. Mengetik lagi. Lalu menatap kosong ke luar jendela.
Kepalanya dipenuhi pertanyaan. Siapa Kaila sebenarnya? Mengapa wajah itu terus muncul di pikiranku? Mengapa aku merasa bersalah, padahal aku tak pernah merasa bersalah sebelumnya?
Ponselnya bergetar. Kali ini dari pengacara pribadinya.
“Ada perkembangan?” Arya bertanya tanpa basa-basi.
“Ya. Kami sedang melacak siapa yang menyebarkan foto dari koridor hotel. Tapi satu hal lagi, Pak…”
“Apa?”
“Beberapa saham perusahaan mulai goyah. Investor mempertanyakan citra Anda. Dewan Direksi meminta penjelasan.”
Arya terdiam. Matanya memejam pelan. Akhirnya ia bicara dengan dingin dan mantap.
“Siapkan dokumen kontrak. Pernikahan sementara. Aku akan menjadikan perempuan itu sebagai istri kedua ku, Nama perempuan itu, Kaila Salsa.”
....
Kaila tak bergeming. Ia sadar kini dirinya sedang berada dalam bahaya, apalagi jika media sampai tahu siapa sosok nya,maka Kaila tak akan aman lagi.
Pesan dari Arya yang teralihkan oleh berita di ponsel nya kini Kaila buka kembali.
Kaila mengerutkan alis. Tangannya gemetar sedikit saat menatap tulisan itu. beberapa jam yang lalu pria ini meninggalkannya dalam situasi memalukan, memberi cek seolah dirinya barang, lalu bersikap seakan semuanya bisa diselesaikan dengan uang.
Dan sekarang... pesan ini?
Ia tak langsung membalas. Jarinya hanya melayang di atas keyboard virtual.
Setelah beberapa menit berpikir, ia mengetik satu kata:
" Untuk apa kamu peduli?"
Tapi ia tak pernah menekan “kirim”. Tak ada keberanian walau Kaila tengah dalam amarah nya.
Kaila melemparkan ponsel nya ke sembarang arah, lalu memejamkan mata nya berharap semua ini hanyalah mimpi buruk di siang bolong.
.....
Suara ketukan keras menggema di tengah sore yang tenang.
Rudi, yang sedang duduk di kursi reyot sambil menyalakan rokok, mengernyit kesal. Ia menengok ke pintu yang bergoyang sedikit akibat hentakan itu.
“Siapa lagi sore-sore begini ? ” gumamnya sambil berjalan malas membuka pintu.
Begitu daun pintu terbuka, langkah Rudi terhenti.
Seorang pria berdiri tegap di ambang pintu, pria itu berperawakan tinggi dan tampan, jas hitam mahal yang terlalu mencolok untuk lingkungan sekelas gang sempit itu. Tatapannya tajam, bibirnya kaku. Hidungnya sedikit bergerak karena bau asap rokok yang menyengat.
"Ada yang bisa saya bantu?" Rudi menyipitkan mata curiga.
"Aku mencari Kaila Salsa," jawab pria itu datar.
"Dia tidur." Rudi menyilangkan tangan di dada.
"Kamu siapa?" tanya Rudi.
"Arya Satya."
Nama itu terdengar seperti dentuman bagi Rudi. Bahkan ia, yang jarang menyentuh berita atau televisi, tahu nama itu ,CEO muda Satya Group. Rudi tak langsung menjawab, hanya menatap pria itu dari atas sampai bawah dengan ekspresi keras.
“Apa urusanmu dengan anak saya?” suaranya tajam, sedikit mengancam.
Arya tak menjawab langsung. Ia menatap mata Rudi sejenak, lalu berkata dingin, “Itu urusan antara saya dan dia. Saya tidak datang untuk membuat keributan.”
Rudi memijit pelipisnya, lalu menyingkir sedikit. “Masuklah, tapi awasi sikapmu. Kaila bukan perempuan sembarangan.”
Arya masuk tanpa sepatah kata pun. Langkah sepatunya bergema lembut di lantai ubin kusam rumah itu. Matanya menyapu sekeliling dinding lembab, perabot tua, dan sepatu Kaila yang tergeletak di pojok ruangan.
Rudi menunjuk ke kamar di sisi kiri. “Dia di dalam. Tapi jangan macam-macam. Aku dengar satu hal saja yang nyakitin dia, kau bakal tahu artinya dihantam preman tua.”
Arya tak merespons. Ia hanya mengangguk sekali, kemudian berdiri di depan pintu kamar Kaila.
Beberapa detik ia diam di sana. Tangannya terangkat, ragu. Sejenak, ekspresinya berubah. Lalu ia kembali dingin.
Tok. Tok.
“Kaila.”
Tak ada jawaban. Hanya suara napas lembut dari dalam.
Tok. Tok.
“Kaila, bangun. Kita perlu bicara.” Arya meninggikan suara nya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!