"Huek..." Angelo menekan dadanya, sebuah gerakan refleks untuk meredakan mual yang tiba-tiba menyerangnya setelah pulang dari kuburan orang tuanya. Udara terasa pengap, seakan-akan beban berat menindih dadanya. Matanya sedikit sayu, bayangan makam kedua orang tuanya masih jelas terpatri di benaknya.
"Kau baik-baik saja, Angelo?" tanya Cyne, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran. Ia menuruni tangga dengan langkah hati-hati, George mengikuti di belakangnya, raut wajahnya mencerminkan ketegangan.
Angelo mengangguk, berusaha tersenyum meskipun raut wajahnya pucat pasi. "Aku baik-baik saja... Huek..." Namun, ucapannya terputus oleh gelombang mual yang lebih kuat. Kali ini, ia benar-benar kehilangan keseimbangan. Wajahnya memutih, keringat dingin membasahi pelipisnya. Dengan langkah tertatih-tatih, ia berlari menuju kamar mandi di lantai bawah.
Cyne, dengan wajah yang dipenuhi kepanikan, langsung menyusul Angelo. George, dengan sigap, menjaga langkah Cyne agar tetap aman. Tangannya siap menopang Cyne setiap saat, melindungi kandungan wanita itu yang masih rawan. Kecemasan terlihat jelas di mata George, ia takut terjadi sesuatu pada Cyne.
"Huek... huek..." Hanya suara mual yang keluar dari mulut Angelo, diikuti cairan bening yang mengalir dari bibirnya. Wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi dahinya. Ia terlihat sangat menderita.
Angelo membilas mulutnya yang terasa sangat asam, mencoba membersihkan sisa-sisa muntahan. Cyne, yang berada di luar kamar mandi, dengan hati-hati membuka pintu. Di sana, ia melihat Angelo berdiri di depan wastafel, tubuhnya gemetar. Rambutnya yang biasanya rapi kini sedikit kusut, menambah kesan lelah dan tak berdaya pada dirinya.
"Angelo, kau baik-baik saja?" tanyanya dengan suara lembut, kecemasan terpancar jelas dari sorot matanya.
Angelo hanya mengangguk lemah, sebuah gerakan yang terlihat dipaksakan. Namun, sebelum Cyne sempat merasa lega, Angelo merasakan kepalanya berputar hebat. Pandangannya mulai kabur, dunia di sekitarnya berputar-putar. Kegelapan perlahan-lahan menyelimuti indranya.
Bruk!
Tubuh Angelo ambruk ke lantai tanpa suara. Keheningan sesaat, kemudian teriakan panik Cyne memecah kesunyian. "Angelo!!" suaranya penuh kepanikan, mencerminkan rasa takut dan khawatir yang mendalam. Angelo tergeletak tak sadarkan diri di lantai kamar mandi yang dingin dan lembab.
Kepanikan memenuhi wajah Cyne dan George saat mereka menghampiri Angelo yang terkulai lemas, tak sadarkan diri. Wajah Angelo pucat pasi, bibirnya membiru, menambah rasa cemas yang menggelayut di hati mereka.
"George, bawa dia ke kamar," perintah Cyne, suaranya bergetar menahan kepanikan. Air mata mengancam untuk jatuh dari pelupuk matanya.
George mengangguk, dengan hati-hati ia membopong tubuh Angelo yang terasa sangat ringan dan lemas. Langkahnya tergesa, namun tetap berusaha lembut agar tidak menambah penderitaan Angelo.
Di luar kamar mandi, Jacob baru saja kembali setelah memeriksa anak buahnya. Pria itu tampak terkejut, langkahnya terhenti saat melihat Angelo dalam gendongan George, wajahnya pucat pasi dan tak berdaya. Tatapan Jacob dipenuhi kekhawatiran dan rasa terkejut yang mendalam.
"Angelo... apa yang terjadi padanya, Cyne?" tanyanya, suaranya terdengar cemas. Ia begitu khawatir dengan keponakannya yang tercinta. Jacob mengenal Angelo sebagai sosok yang kuat dan sehat, melihatnya dalam keadaan seperti ini sungguh membuatnya terkejut dan takut.
Cyne menggeleng, air matanya mulai menetes. "Aku tidak tahu, tapi dia tiba-tiba pingsan. Jacob, segera hubungi dokter! Kita harus segera memeriksa keadaan Angelo." Suaranya dipenuhi kepanikan dan desakan untuk segera mendapatkan pertolongan.
Jacob buru-buru mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya gemetar saat ia menghubungi dokter pribadi keluarga. Ia mengikuti George dan Cyne yang membawa Angelo ke kamar Angelo, langkahnya tergesa-gesa, mencerminkan kepanikan yang sama.
"Dokter, segera datang ke rumah utama! Angelo pingsan!" suaranya panik, nada perintah yang tegas terdengar jelas di balik rasa khawatirnya. Perintah darurat itu membuat dokter dan perawat yang berada di paviliun belakang bergegas menuju rumah utama. Mereka berlari kecil, wajah mereka tampak serius dan tegang.
Begitu dokter dan perawat tiba, Jacob langsung mengarahkan mereka pada Angelo yang terbaring lemah di tempat tidur. Kepanikan masih terlihat jelas di wajahnya, namun ia berusaha untuk tetap tenang. "Lakukanlah dengan baik, jangan ada kesalahan!" suaranya sedikit meninggi, menunjukkan betapa cemasnya ia akan kondisi keponakannya. Meskipun panik, ia masih sempat mengeluarkan ancaman halus pada dokter.
"Baik, Tuan," jawab dokter dengan tenang, mencoba meredakan ketegangan. Ia segera memulai pemeriksaan yang teliti dan menyeluruh.
Cyne dan George duduk di sofa, menunggu dengan cemas. Mereka saling berpegangan tangan, mencari kekuatan satu sama lain di tengah situasi mencekam tersebut. Tatapan mereka tertuju pada dokter yang tengah memeriksa Angelo, do'a-do'a terucap dalam hati mereka. Suasana kamar terasa hening, hanya diiringi suara alat medis dan desiran nafas yang tertahan.
Dokter menyelesaikan pemeriksaannya. Namun, seketika itu juga, sebuah ekspresi ketakutan terpancar jelas di wajahnya. Wajahnya memutih, keningnya berkerut, dan matanya melebar seolah melihat sesuatu yang sangat mengejutkan.
Jacob, yang jeli mengamati perubahan ekspresi dokter, mengerutkan keningnya. Matanya menyipit, menunjukkan kekhawatiran dan sedikit kecurigaan. "Apakah kau sudah mengetahui penyakit adikku?" tanyanya, suaranya terdengar tajam, menuntut jawaban yang jelas. Dokter itu menelan ludah dengan susah payah, jari-jarinya gemetar.
Dokter itu menunduk hormat, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan kabar tersebut. "Nona muda... tengah mengandung, Tuan," katanya pelan, suaranya terdengar sedikit gemetar. Ia menatap Jacob dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara rasa takut dan simpati.
"Mengandung?" Jacob mengulang kata-kata dokter itu, suaranya terdengar tak percaya. Ia terdiam sesaat, otaknya berusaha mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Ekspresinya sulit diartikan, antara terkejut, tak percaya, dan mungkin sedikit bingung.
Berbeda dengan Jacob, Cyne menunjukkan reaksi yang jauh lebih bahagia. Senyum lega terkembang di bibirnya, mencerminkan kebahagiaan yang tak terkira. "Kan, apa aku bilang? Dia hamil," ujarnya, suaranya penuh kegembiraan. Matanya berbinar-binar, menunjukkan rasa syukur dan kebahagiaan yang begitu besar.
. . .
Jacob, Cyne, dan George masih berada di kamar Angelo, menunggui wanita itu hingga siuman. Udara di ruangan terasa sesak, hanya diselingi oleh detak jam dinding yang berdetak nyaring. Aroma obat-obatan samar tercium di udara.
"Eungh..." Angelo mengerang, perlahan membuka matanya. Kepalanya terasa berdenyut hebat, pandangannya masih kabur. Ia memegangi kepalanya, jari-jarinya terulur dengan lemah.
Jacob segera menghampiri Angelo, raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran. "Jangan langsung bangun, Angelo. Tiduran saja dulu," ujarnya dengan suara lembut, tangannya dengan hati-hati menyentuh lengan Angelo. Sentuhannya ringan, penuh perhatian.
Setelah mendapat ceramah panjang lebar dari Cyne—yang diselingi sesekali teguran tajam dari George—Jacob akhirnya mengalah. Ia memutuskan untuk tidak memaksa Angelo menggugurkan kandungannya, dan menerima apapun pilihan Angelo untuk masa depan wanita itu. Keputusan itu terlihat jelas dari sorot mata Jacob yang kini lebih tenang, meski masih tampak sedikit ragu.
"Ah, kepalaku sangat sakit," keluh Angelo, suaranya masih lemah dan sedikit serak. Dahi Angelo berkeringat tipis.
Cyne menghampiri Angelo dengan senyum simpul yang manis, namun tetap terlihat sedikit khawatir. "Benarkan apa yang kubilang? Kau hamil," ucapnya pelan, matanya menatap Angelo dengan penuh kasih sayang.
George dan Jacob langsung melotot ke arah Cyne. "Cyne! Ini bukan waktunya!" bisik George, wajahnya memerah menahan amarah. Jacob mengangguk setuju, ekspresi wajahnya menunjukkan ketidaksetujuannya yang sama. Ketegangan memenuhi ruangan, hanya suara nafas mereka yang terdengar.
Di bawah cahaya remang lampu balkon kamarnya, Angelo termenung. Air mata mengancam membasahi pipinya yang pucat. Ia masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Dengan tangan gemetar, ia perlahan mengelus perutnya yang masih rata, sebuah gerakan lembut yang penuh dengan kebingungan dan ketakutan. Helaan napas berat, tertahan, terdengar dari bibirnya, mengungkapkan beban emosi yang begitu besar.
Setelah mendengar pengakuan dokter—bahwa ia tengah mengandung—kejutan dan keraguan langsung menyergapnya. Ia meminta pemeriksaan ulang, berharap ada kesalahan, namun hasilnya tetap sama. Kepanikan terlihat jelas di matanya yang berkaca-kaca. Ia bahkan meminta untuk melihat hasil USG, ingin sekali menyangkal kenyataan yang begitu tak terduga. Namun, gambar di layar USG tak bisa dipungkiri: kandung telur telah terbentuk, membuktikan kehamilannya yang mengejutkan.
"Hah..." Angelo menghela napas panjang, kepalanya mendongak menatap langit malam yang gelap. Sesak. Berat sekali beban yang ia pikul.
Ketukan pintu kamarnya membuyarkan lamunannya. Jacob, Pamannya, masuk dengan secangkir susu hangat di tangan, uapnya mengepul lembut di udara. Wajah Jacob tampak khawatir, di bawah cahaya remang lampu kamar.
"Angelo, masuklah. Udara malam tidak baik untukmu, apalagi dalam keadaanmu sekarang." Suara Jacob lembut, penuh perhatian, namun ada getaran kuat di baliknya. Ia meletakkan cangkir susu di nakas, jari-jari tangannya tampak gemetar sedikit.
Angelo memeluk erat bantal yang menghangatkan nya. Ia ingin sekali menolak, ingin sekali melampiaskan semua bebannya. Tapi ia tak mampu. Ia tahu Jacob hanya ingin yang terbaik. Ia telah mendengar cerita dari Cyne, sahabatnya, tentang bahaya menggugurkan kandungan, tentang bagaimana hal itu akan merusak kesehatannya, bahkan mengancam jiwanya. Jacob, dengan segala keterbatasannya, berusaha keras agar Angelo mempertahankan kandungannya, bayi mungil yang kini menjadi pusat dari pergolakan batinnya. Bayi yang tak diinginkan, namun kini telah menjadi bagian dari dirinya.
"Biarkan aku sendiri," kata Angelo pelan, suaranya hampir teredam oleh kesunyian malam. Wajahnya pucat, mata sembab.
Jacob menghela napas. Ketakutannya bukan hanya pada keselamatan Angelo, tapi juga dampak stres pada kandungannya. Cerita Cyne telah memberinya banyak pelajaran.
Ia ingin Angelo tak hanya terhindar dari luka fisik, tapi juga memiliki hati yang lebih baik. Ia berharap kehadiran anak ini akan menenangkan Angelo, membuatnya lebih bijak mengendalikan emosi, dan menghargai kehidupan.
Sedangkan soal ayah dari anak tersebut, Maximillian, Jacob tak mau ikut campur. Keputusan untuk memberitahu Maximillian atau tidak, sepenuhnya ada di tangan Angelo.
Jacob berjalan mendekat, langkahnya pelan dan hati-hati. Ia duduk di samping Angelo, yang masih terpaku menatap kosong ke depan, wajahnya pucat pasi di bawah cahaya remang lampu balkon kamar. Suasana dingin di luar seolah ikut membekukan suasana hati. "Angelo," suara Jacob lembut, penuh kekhawatiran, "apakah kau menyesali kehadiran bayi itu di dalam dirimu?"
Angelo menggigit bibirnya hingga hampir berdarah, matanya terpejam rapat, menahan gelombang kesedihan yang menggulungnya. Sebuah isakan kecil lolos dari bibirnya, diikuti oleh tangisan yang semakin menjadi. "Aku... aku takut," suaranya terputus-putus oleh isakan, "aku takut menjadi ibu yang gagal untuk anakku..."
Hati Jacob terasa seperti diremas. Ia langsung menarik Angelo ke dalam pelukannya, menghibur keponakannya yang tengah dilanda keputusasaan. Tangisan Angelo pecah sejadi-jadinya di pelukan Jacob, suara pilu yang mengiris hati. Jacob membelai rambut Angelo, mencoba memberikan ketenangan dan kekuatan di tengah badai kesedihan yang melanda.
Jacob sama sekali tak menyangka Angelo akan berpikiran seperti itu. Ia mengira Angelo termenung karena penyesalan atas kehadiran bayi yang belum lahir, namun apa yang baru saja didengarnya jauh lebih menyayat hati. Rasa bersalah Jacob pun ikut menggejolak.
"Aku... aku sudah membunuh banyak orang dengan tanganku sendiri," isak Angelo di antara tangisnya yang menyesakkan dada, "apakah... apakah dia tidak akan kecewa saat mengetahui ibunya adalah seorang pembunuh?" Kalimat itu terucap dengan suara tertahan, diselingi isakan pilu yang menusuk kalbu.
Jacob terdiam, tak mampu menjawab. Ia takut jawaban apa pun hanya akan melukai Angelo lebih dalam, menghancurkan kepercayaan dirinya yang sudah rapuh. Ia hanya bisa mengelus lembut rambut Angelo, mendengarkan setiap kata yang terucap dari bibir keponakannya, kata-kata yang dipenuhi ketakutan akan masa depannya sebagai seorang ibu yang dianggapnya tak layak. Jacob merasakan kepedihan yang mendalam, menyaksikan keponakannya terbebani oleh masa lalu yang kelam.
. . .
Matahari pagi menerobos masuk melalui celah tirai, menyinari wajah Angelo yang masih sembab karena tangis semalam. Ia terbangun dengan perasaan berat yang masih membebani hatinya. Angelo berjalan gontai menuju kamar mandi, langkahnya lesu dan lamban. Di depan wastafel, ia membasuh wajahnya yang lengket karena air mata, mencoba membersihkan sisa-sisa kesedihan yang masih membekas.
Angelo menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya masih pucat, tetapi ada secercah tekad yang mulai muncul di matanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mengucapkan tekad dalam hati, "Hah... Ayo, berubah lebih baik lagi."
Di meja makan yang dipenuhi aroma kopi dan roti panggang, Cyne dan George tampak menikmati sarapan bersama Jacob dan yang lainnya. Cyne, dengan mulut yang penuh roti, tampak lahap menyantap makanannya. Hormon kehamilannya membuatnya memiliki nafsu makan yang meningkat drastis.
"Dimana Angelo? Apakah dia masih tidur?" tanya Cyne, suaranya sedikit tertahan karena mulutnya masih penuh makanan, kehadiran Angelo yang tak terlihat membuatnya sedikit khawatir.
Jacob mengangguk pelan, matanya masih tertuju pada kursi kosong Angelo. Namun, tak lama kemudian, Angelo muncul dari balik pintu lift, langkahnya ringan dan penuh energi. Semua orang di meja makan tertegun. Wajah Angelo terlihat berbeda; binar bahagia terpancar dari matanya yang biasanya redup, menyisakan keheranan di wajah para sahabatnya.
"Pagi semua," sapa Angelo ceria, suaranya terdengar lebih riang dari biasanya. Ia duduk di kursinya, menatap setiap orang dengan senyum yang tulus dan menenangkan.
"Pagi," jawab mereka serempak, suara mereka sedikit terbata-bata karena terkejut. Ketenangan Angelo yang tak biasa, dipadukan dengan senyum yang begitu cerah, menimbulkan tanda tanya besar di hati mereka. Semalam, Angelo masih terlihat sangat sedih dan terpukul oleh kenyataan kehamilannya.
"Ada apa dengan kalian? Mengapa menatapku seperti itu?" tanya Angelo, keningnya sedikit berkerut karena bingung. Sikap tenangnya yang tiba-tiba ini justru yang membuat mereka takut.
"Kau... kau tidak sedang berniat untuk membunuh bayi dalam kandunganmu itu, kan, Angelo?" Celetuk Cyne, suaranya sedikit gemetar. George, yang duduk di sebelahnya, segera menyikut pelan lengan Cyne, menegur kekasarannya.
Angelo tersenyum, senyum yang kali ini terasa lebih tulus dan melegakan. Ia menggelengkan kepala, menepis kekhawatiran yang tampak jelas di wajah sahabat-sahabatnya. "Aku memutuskan untuk mempertahankannya," ujarnya, suaranya mantap dan penuh keyakinan. Sebuah beban seakan terangkat dari pundak mereka semua. Suasana tegang di meja makan perlahan mereda, digantikan oleh rasa syukur dan lega.
"Lalu bagaimana dengan Maximillian?" tanya Cyne lagi, suaranya masih sedikit ragu-ragu. Kali ini, pertanyaan itu diiringi tatapan tajam dari Jacob, yang seakan memperingatkan Cyne untuk lebih berhati-hati dalam berbicara. Ketegangan kembali muncul, mengingatkan mereka pada dilema yang masih membayangi Angelo.
"Aku memutuskan untuk tidak memberitahunya," jawab Angelo, senyum kecut terukir di bibirnya. Matanya berkaca-kaca, namun ia berusaha tegar. "Aku ingin mengurus anakku sendiri."
Keheningan menyelimuti meja makan. Garpu dan sendok terdiam, hanya suara detak jam dinding yang terdengar nyaring. Mereka semua, keluarga Angelo, memahami. Tak ada paksaan untuk memberitahu Maximilliam tentang kehamilannya. Keputusan Angelo, mereka hormati. Secercah kekhawatiran terpancar dari sorot mata mereka, namun tetap dibalut dengan dukungan yang kuat.
. . .
Seminggu kemudian, Maximilliam telah kembali ke New York setelah Janet dinyatakan pulih. Bayangan wanita yang hampir merenggut nyawa nya masih menghantui pikiran Janet. Satu minggu bersama, cukup untuk merasakan kasih sayang seorang ibu, namun juga cukup untuk membangkitkan kebencian yang mendalam. Kini, dengan kepergian Miracle, Janet merasakan kedamaian yang tak terkira. Ia bahkan merasa lega, sebuah beban berat telah terangkat dari pundaknya.
"Kau tidak apa-apa, Max?" tanya Theodore, suaranya lembut namun penuh perhatian. Ia melirik sekilas ke arah Maximilliam yang duduk di sampingnya di dalam mobil sedan hitam yang melaju di jalanan New York yang lengang. Cahaya lampu kota yang redup menerangi wajah Maximilliam yang terlihat lelah.
"Hm, aku tidak apa-apa," jawab Maximilliam, suaranya datar, tanpa emosi. Namun, rahangnya mengeras, dan jari-jarinya tampak mengepal di antara lipatan mantel wolnya yang tebal.
Theodore mengamati putranya dengan saksama. Tatapan Maximilliam kosong, jauh, seakan terpaku pada gemerlap lampu kota yang membentang di kejauhan. Keningnya berkerut dalam, membentuk garis-garis tegang di antara kedua alisnya. Ada kesedihan yang terselubung di balik sikap dinginnya. Theodore tahu, di balik topeng ketenangan itu, putranya sedang bergulat dengan sesuatu yang berat. Udara dingin New York malam itu seakan semakin memperkuat suasana hati yang suram.
"Maafkan Papa, karena belum bisa membuat Angelo menjadi pendampingmu," ucap Theodore, suaranya bergetar sedikit. Ia meraih tangan Maximilliam, menepuknya pelan. Sentuhan itu seakan ingin menyampaikan dukungan dan pemahaman yang tak mampu diungkapkan kata-kata. Theodore tahu persis apa yang menggelayuti pikiran Maximilliam.
"Tidak masalah," jawab Maximilliam singkat, nada suaranya masih datar, tetapi Theodore melihat kilatan sesaat di matanya – sebuah percampuran antara kekecewaan dan tekad yang belum padam.
"Apakah kau akan menyerah untuk meyakinkan Angelo, untuk menikah denganmu?" tanya Theodore, suaranya sedikit lebih serius. Ia memperhatikan raut wajah Maximilliam dengan hati-hati, mencari sedikit pun petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi di dalam hati putranya. Lampu-lampu kota New York yang berkelap-kelip seakan menjadi saksi bisu percakapan berat antara ayah dan anak itu.
"Tentu saja tidak," jawab Maximilliam, suaranya bergetar dengan tekad yang terselubung. Rahangnya mengeras, matanya menyiratkan kegigihan yang membara. "Aku akan terus meyakinkannya. Jika dia tetap menolak… maka tidak ada cara lain, selain membuatnya mengandung anakku." Kalimat terakhir keluar seperti bisikan, namun penuh dengan ancaman terselubung.
Sejenak, ia terdiam, matanya menerawang, seakan mengingat masa lalu. Kenangan akan kedekatan keluarganya dengan keluarga Angelo berputar dalam pikirannya. Senyum pahit mengembang di bibirnya. "Aku sudah lama menginginkan Angelo," gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. "Apalagi dulu, keluarga kita begitu dekat. Namun karena Maureen…" Ia menghela napas panjang, menahan amarah yang hampir meledak. "Aku harus menikah dengan Rain, dan itu membuatku semakin menjauh darinya. Dan juga… Angelo yang semakin menjaga jarak denganku saat mengetahui aku sudah menikah…" Kekecewaan dan penyesalan tergambar jelas di wajahnya, membuatnya terlihat jauh lebih rapuh daripada citra dingin yang biasa ia tampilkan.
Seketika Theodore merasa tubuhnya menegang. Kalimat itu menusuk hatinya seperti sebilah pisau. Rasa bersalahnya membuncah, menggenangi jiwanya. Ia tak pernah tahu bahwa Maximillian menyimpan perasaan yang begitu dalam kepada Angelo. Pernikahannya dengan Rain, yang ia kira adalah keputusan terbaik, justru telah menyiksa putranya dan mengubahnya menjadi pria yang kasar dan penuh amarah. Ironisnya, putra kesayangannya itu juga dikhianati oleh wanita pilihan bibinya sendiri. Theodore merasakan beban berat yang menghancurkan hatinya.
"Papa akan melakukan apapun, agar kau bisa bersatu dengan Angelo," gumam Theodore dalam hati, suaranya hanya bisikan yang nyaris tak terdengar. Matanya menatap kosong ke depan, seolah mencari jalan keluar dari labirin kesalahan yang telah ia buat. Air mata mengalir di pipinya, menunjukkan penyesalan yang mendalam.
. . .
Suasana tenang Rusia berbanding terbalik dengan badai emosi yang menerjang Cyne. Air mata membasahi pipinya, mengalir deras saat Angelo menyampaikan keputusannya untuk pergi ke tempat yang sangat jauh—jauh dari jangkauan Maximillian. Angelo ingin mencari kedamaian, suatu tempat untuk menenangkan diri dari badai perasaannya. Cyne memeluk tubuh Angelo dengan erat, mencoba menahan rasa sakit yang menghantam hatinya.
Angelo memilih pergi ke tempat yang sangat jauh, bukan tanpa alasan. Ia yakin Maximillian akan mencarinya, atau mungkin Cyne akan memberitahukan kehamilannya kepada Maximillian. Bukan karena ia meragukan kemampuan Cyne untuk menyimpan rahasia, namun karena ia mengenal dengan baik hati Cyne yang penuh kasih sayang dan kadang terlalu lembut hingga sulit mengatasi perasaannya. Cyne sering kali mengambil keputusan yang tak terduga, didorong oleh perasaannya, dan Angelo hanya ingin berjaga-jaga. Ia mengantisipasi kemungkinan terburuk. Ekspresi wajahnya menunjukkan campuran kecemasan dan keputusasaan.
"Sudahlah, Cyne," ujar Angelo, suaranya lembut mencoba menenangkan Cyne yang terus menangis. Ia menggenggam tangan Cyne dengan erat. "Jangan terus menangis. Aku pergi untuk mencari ketenangan, bukan untuk mati." Namun, kalimat terakhirnya justru semakin memperparah keadaan. Air mata Cyne mengalir lebih deras.
"Sekali lagi kau mengatakan mati," ancam Cyne, suaranya bergetar karena tangis, "aku akan benar-benar menelepon Maximillian sekarang juga dan mengatakan bahwa kau mengandung anaknya!" Wajahnya merah padam, menunjukkan betapa emosionalnya ia saat ini.
Angelo mengeluarkan helaan napas panjang, menunjukkan rasa lelah dan sedikit jengkel. Ancaman itu lagi. "Baiklah… baiklah," katanya, suaranya sedikit lelah. "Aku tidak akan mengatakannya lagi. Dan kau… berhentilah menangis. Aku lelah melihatnya." Ia menatap Cyne dengan tatapan yang menunjukkan rasa kasihan dan sedikit kekesalan.
Cyne menyeka air matanya dengan punggung tangan, usaha keras untuk menghentikan tangisnya. Napasnya masih tersengal-sengal, menunjukkan betapa terkoyaknya perasaannya. "Janji," lirihnya, suaranya masih bergetar, "kau akan terus mengabariku, dan jangan menghilang seperti dulu." Matanya memandang Angelo dengan tatapan yang penuh harap.
Angelo tersenyum, sebuah senyum yang mencoba menunjukkan kekuatan dan ketenangan, meski di dalam hatinya terasa berat. "Tentu saja," jawabnya, suaranya tegas menunjukkan kepastian. "Aku akan terus menghubungi mu dan tidak akan menghilang seperti dulu." Ia menjangkau tangan Cyne dan mencengkeramnya dengan erat.
Setelah perpisahan yang penuh emosi itu, Angelo naik ke atas helikopter. Hanya ia dan pilotnya yang mengetahui tujuan perjalanan ini— sebuah rahasia yang tersimpan dengan aman.
Saat helikopter mulai mengudara, membawa Angelo menjauh, Cyne memeluk George dengan erat, air mata kembali mengalir deras di pipinya. Ia menatap helikopter yang semakin mengecil di langit, sebuah gambaran dari perpisahan yang menyakitkan. Ia berharap Angelo akan menemukan kedamaian yang dicarinya.
Kesedihan tak hanya meliputi Cyne, tetapi juga Jacob, Nick, Andrew, dan Kennan. Kehilangan Angelo terasa begitu nyata, menciptakan suasana sunyi yang berat di antara mereka. Ketiadaan Angelo membuat suasana rumah terasa hampa. Apalagi, Angelo tak menjelaskan kapan ia akan kembali. Ketidakpastian itu semakin memperparah rasa kehilangan mereka. Hanya Mecca, robot buatan ibu Angelo, yang dibawa Angelo untuk menemaninya di tempat yang jauh itu. Tatapan mereka menunjukkan kecemasan dan kesedihan yang mendalam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!